Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 07 November 2023

Dendam yang Dipupuk di Reruntuhan Puing

Selasa, November 07, 2023 0
Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Rentetan tembakan di Gaza hingga kini terus menyala. Ribuan tubuh roboh, ambruk bersimbah darah. Mayat-mayat bergelimpangan. Terserak di sembarang tempat. Terhimpit di antara rerutuhan puing-puing dan bangunan.

 

Apa yang hendak didapat dari perang yang terlanjur digelar ini, kecuali kehancuran yang total dan keadaan rakyat yang kian rumit. Perang hanya menyisakah kecemasan yang membatin, luka yang mengarat, dan dendam yang kian menggumpal dalam dada.

 

“Tidak ada contoh negara yang diuntungkan dari perang yang berkepanjangan”, kata Sun Tzu (554 SM), panglima perang China yang kesohor, juga penulis buku The Art of War yang melegenda dari zaman ke zaman.

 

Bagi Sun Tzu, perang hanyalah kesia-siaan yang nyata, yang hadir di pelupuk mata kedua belah pihak. Para pelakunya harus melewati kengerian demi kengerian. Hidup mereka mencekam, penuh dengan teror dan horor, sebab nyawa kapan saja bisa tiba.

 

Dalam perang yang terlanjur digelar, apapun bentuk dan modelnya, apapun motif dan tujuannya, tak ada yang dimenangkan, tak ada yang diuntungkan. Yang didapat oleh mereka yang berseteru hanyalah kekalahan yang nyata, baik materi maupun non-materi.

 

Apa yang nampak dari kemenangan dalam sebuah pertempuran, tidak lain hanyalah kemenangan yang semu dan menipu. Merobohkan puluhan musuh dalam hitungan menit bahkan detik, tidaklah bisa dikatakan kemenangan yang hakiki. Sebab sebenarnya mereka sedang memupuk dendam di hati orang lain.

 

Saat para penduduk dari kalangan perempuan, manula dan anak-anak tak berdosa tewas tergelepar meregang nyawa. Boleh jadi bagi yang lain dianggap balas dendam yang tuntas. Tapi sesungguhnya mereka sedang memelihara kebengisan yang binal, yang disarangkan di dalam jiwa yang terdalam.

 

Kemenangan sejati adalah ketika musuh menyerah tanpa sebuah pertempuran, ketika ketegangan merenggang menjadi ketenteraman, ketika bara dendam padam dibasuh cinta dan kasih sayang. Kemenangan seperti itu tidak hanya milik satu pihak, tapi bisa juga dirasakan oleh kedua pihak.

 

Perang adalah nama lain dari diplomasi yang gagal. Fakta sebenarnya mereka tak mampu menciptakan tatanan dunia baru yang damai penuh persaudaraan. Untuk menjadi bangsa yang kuat dan bermartabat tak perlu melewati desingan peluru atau harus menumpahkan darah manusia. Duduk bersama dalam satu meja dan mencita-citakan masa depan dunia yang lebih baik, jauh lebih bijaksana.

 

Perang Palestina dan Israel bukan perang yang baru saja terjadi, satu atau dua tahun belakangan. Tapi perang, yang dalam catatan sejarah, sudah tergelar dalam waktu yang cukup lama. Simon Sebag Montefiore dalam Jerusalem The Biography mengungkapkan, bahwa Palestina menyimpan banyak kisah tragis dari dulu hingga kini; perang, pemberontakan, pengkhianatan, intrik politik dan perebutan kekuasan.

 

Apa yang tersaji di Palestina saat ini sulit untuk diungkapkan. Nalar waras kita sulit menerima apa yang terjadi di sana. Lewat pemberitaan di sejumlah media kita disuguhkan aksi biadab yang dilakukan tentara Israel terhadap warga Palestina. Moralitas hilang. Nilai-nilai kemanusiaan tak berarti. Empati mati.

Siapa yang tega menyaksikan kengerian yang terjadi di Palestina, kecuali hati yang sakit, yang tak tersisa lagi empati walau setitik. Siapa yang tak pilu mendengar jerit tangis anak-anak yang kehilangan orangtua. Siapa yang tak pedih menyaksikan tumpukan mayat yang terkena tembakan dan terhimpit  di reruntuhan gedung dan bangunan.

 

Kita hanya bisa menghela nafas dalam-dalam seraya berdoa kepada Sang Pengatur Segala Takdir, agar bangsa Paletina segera dibebaskan, dijauhkan dari selaksa penderitaan. Palestina adalah negeri para nabi, dengan kemuliaan dan karomah mereka, semoga kebebasan, kedamaian, keamanan, dan ketenteraman cepat jadi kenyataan.

 

Saya tidak bisa membayangkan bila Israel terus menggempur warga Gaza. Maka yang terjadi adalah penderitaan yang kian bertambah. Saya tidak bisa membayangkan nasib anak-anak Palestina, yang saat ini masa depannya dipertaruhkan oleh keputusan orang-orang dewasa untuk menggelar perang.

 

Perang yang disulut orang dewasa telah memakan korban anak-anak yang tak berdosa, yang tak tahu apa itu perang. Saya teringat dengan adik kecil bernama Maran, imigran dari Afghanistan yang saya temui di Ciputat. Perang telah membwanya tiba di Indonesia. Di sini dia tidak sendiri. Bersama imigran lain dari negara-negara konflik, dia meminta pelukan kasih.

 

Beginilah derita manusia bila negaranya dirundung perang berkepanjangan. Masa depan anak-anaknya dipertaruhkan semata-mata untuk ego orang-orang dewasa. Perang memang tidak pernah melahirkan apa-apa, kecuali kecemasan yang membatin. Korbannya selalu menggumpalkan dendam dalam dadanya. Dan dendam itu akan terus dipelihara di antara reruntuhan puing dan bangunan.

Sabtu, 16 September 2023

Muhammad Abid Al Jabiri

Sabtu, September 16, 2023 0
Oleh Mohamad Asrori Mulky

Proyek kebangkitan Islam yang digagas para pembaharu generasi awal seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad 'Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal, Muhamma 'Ali Jinah, Muhammad 'Ali Pasha, dll, dianggap belum mengangkat martabat umat Islam. Islam masih terpuruk. Belum mampu keluar dari problem laten yang dihadapinya.

Keadaan umat Islam dulu dan kini masih diselimuti awan mendung. Begitu banyak kejadian, begitu banyak persoalan yang membebani pundak umat; sengkarut politik di negara-negara Islam masih kusut, perang saudara yang tak kunjung usai, fanatisme agama, korupsi yang terus bertambah, wajah pendidikan yang muram, distribusi keadilan yang belum merata, kebodohan, dan kemiskinan yang terus bertumbuh.

Belum lagi cara berpikir umat yang dogmatis, beku, dan anti-kritisisme. Semua itu menambah ‘pekerjaan rumah’ yang kian menumpuk dan harus dicarikan solusinya. Mustafa Akyol dalam Reopening Muslim Minds, mengajak umat Islam keluar dari keterbelakangan dan kebekuan berpikir dengan cara kembali kepada nalar kritis sembari membuka ruang kebebasan dan toleransi dalam keragaman.

Kesadaran ilmiah, berpikir kritis dan sikap inklusif terhadap keragaman, menurut Akyol, sudah lama hilang dari umat Islam. Dan itu bermula ketika teologi Asy’ariyah di hampir seluruh negara-negara Islam di dunia mendominasi dan dijadikan rujukan. Padahal teologi populer ini kurang menempatkan akal pada posisi yang terhormat. Akal masih dicurigai. Dan perannya dipinggirkan.

Maka, tidaklah heran bila para pembaharu generasi kedua seperti Mohamad Arkoun, Hassan Hanafi, ‘Ali Harb, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, Zaki Najib Mahmud, Thayyib Tizini, ‘Ali Ahmad Said (Adonis), dan Muhammad ‘Abid Al Jabiri, lebih banyak mengarahkan proyek kebangkitan Islam pada kritik nalar. Kebudayaan Islam, demikian kata Nasr Hamid Abu Zayd, adalah kebudayaan teks. Islam akan menjadi teks yang mati bila akal dibiarkan tidak terlibat dalam memahami sebuah teks.

Tentu saja tulisan ini tidak bermaksud mengulas pemikiran semua tokoh yang terlibat dalam proyek kebangkitan Islam generasi kedua. Ulasan singkat ini difokuskan membahas Muhammad ‘Abid Al Jabiri dan kritiknya terhadap epistemologi masyarakat Arab yang cenderung retoris (bayani) dan mistis (irfani).

Dalam proyek intelektualnya itu, Al Jabiri menawarkan sebuah pandangan kritis dengan menempatkan nalar demostratif (burhani), yang menurut Ibn Rusyd, kedudukannya lebih tinggi ketimbang dua nalar lainnya: bayani dan irfani. Al Jabiri menyadari kecenderungan nalar Arab yang berorientasi pada nalar bayani dan irfani itu perlu didekonstruksi dan memberikan tempat yang memadai untuk nalar burhani.

Dalam dunia pemikiran siapa yang tak mengenal Muhammad ‘Abid Al Jabiri. Dia adalah penulis prolifik asal Maroko. Ide pembaruannya banyak dirujuk anak-anak muda progresif di banyak belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Dia merupakan seorang muslim kontemporer yang kreatif, sangat kritis dan sekaligus provokatif. Di kalangan pemikir Arab, Al Jabiri memang dikenal sebagai seorang filosof kontemporer Arab yang memiliki ide-ide brilian dan mengagumkan.

Al Jabiri dilahirkan di Figuig, sebelah Selatan Maroko pada tahun 1936. Perhatiannya pada pemikiran Ibn Khaldun begitu intens dan mendalam. Gelar masternya diraih setelah menulis Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, Falsafah al Tarikh ‘inda Ibn Khaldun. Sementara gelar doktornya juga menulis tokoh yang sama, yakni Fikr Ibn Khaldun: Al ‘Asyabiyyah wa al Dawlah, Ma’alim Nazariyyah Khalduniyyah fi al Tarikh al Islami.

Karir inteletualnya dimulai dengan menerbitkan buku Nahnu wa al Turâts pada tahun 1980. Disusul dua tahun kemudian dengan al Khitâb al ‘Arabi al Mu’âsir: Dirâsât Naqdiyyah Tahlîliyyah. Kedua buku tersebut sepertinya sengaja dipersiapkan Al Jabiri sedemikian rupa sebagai pengantar kepada grand projek intelektualnya, Naqd al ‘Aql al ‘Arabi (Kritik Nalar Arab). Inilah nanti di kemudian hari yang membedakan dirinya dengan Mohamad Arkoun (Naqd al ‘Aql al Islâmi).

Projek ini bertujuan sebagai upaya untuk membongkar formasi awal pemikiran Arab-Islam dan mempelajari langkah apa saja yang dapat diambil dari pemikiran Islam klasik tersebut. Untuk projek pemikiran ini Al Jabiri telah menerbitkan Takwin al ‘Aql al ‘Arabi, Bunyah al ‘Aql al ‘Arabi, al ‘Aql al Siyâsi al ‘Arabi, dan al ‘Aql al Akhlâq al ‘Arabiyyah: Dirasâh Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzum al Qiyâm fi Tsaqafah al ‘Arabiyyah.

Kritik atas Proyek Kebangkitan Islam

Melihat keadaan umat Islam yang masih terpuruk dan tertinggal, beku dan jumud dalam berpikir, Al Jabiri punya ambisi membangun sebuah epistemologi baru yang sesuai dengan perkembangan masyarakat dewasa ini. Sebuah epistemologi yang bisa mendukung kerja-kerja ilmiah, berpikir kritis dan anti dogmatisme. Sejauh ini, Al Jabiri memang tidak puas dengan proyek kebangkitan Islam yang telah dan sedang dilakukan para intelektual muslim.

Al Jabiri misalnya mengkritik usaha pembaruan yang telah dilakukan Muhammad Abduh. Bagi Al Jabiri, gerakan pembaruan Abduh masih jauh dari apa yang diharapkan. Al Jabiri mengakui keberhasilan Abduh dalam mengubah cara berpikir masyarakat muslim yang sebelumnya sangat kaku dalam melakukan inovasi-inovasi pemikiran dalam menjawab tantangan zamanya.

Abduh juga berhasil dalam memerangi khurafat dan taqlid serta mengembalikan prinsip ijtihad dalam kerangka pembaruan Islam. Namun demikian Jabiri menilai, pemikiran Abduh masih berkutat dalam paradigma lama. Konsep akal yang diagungkan Abduh dalam proyek pembaruannya masih berpusat pada konsep akal abad pertengahan, yaitu akal yang berputar-putar dalam tataran teosentris.

Semestinya akal manusia Arab kontemporer, meminjam pemikiran Hassan Hanafi, harus berpijak pada akal antroposentris. Yaitu akal yang berpusat pada manusia. Seluruh daya dan kemampuan akal harus diarahkan pada kebutuhan, kepentingan, dan kebaikan hidup manusia di dunia. Dan seluruh penjelasan Al Jabiri mengenai Kritik Nalar Arab-nya, saya kira, sejalan dengan apa yang diteorisasikan oleh Hassan Hanafi.

Kritik Nalar Arab Al Jabiri dengan tegas menyasar nalar Salafi. Dia mengkritik gerakan salafi, karena dalam penilaiannya kelompok ini tidak historis (la tarikhiyyah) dalam membaca turats atau tradisi. Hal demikian bisa diperhatikan dalam karyanya, Nahnu wa al Turats. Mereka kalangan Salafi, kata Al Jabiri, terlalu mengagungkan pencapaian masa silam Islam sehingga cenderung mengabaikan realitas empiris yang tengh dihadapi umat. Cara berpikir ahistoris seperti ini, justru akan makin menghambat Islam untuk maju dan perkembang.

Dalam urusan politik, kelompok Salafi ini mengidealkan sistem khilafah yang sebetulnya tidak lagi relevan diterapkan dalam konsep negara bangsa (nation state). Cita-cita mendirikan negara khilafah itu sangat utopis. Tidak masuk akal. Apalagi rujukannya realitas masa lalu Islam yang keadaannya jauh berbeda dengan problem yang dihadapi umat Islam dewasa ini.

Di Indonesia sendiri, dan beberapa negara Islam di Timur Tengah, tidak menjadikan khilafah sebagai sistem pemerintahan. Bukan karena sistem itu tidak lagi relevan. Tapi juga akan mendatangkan kesulitan bagi umat Islam, terutama soal penentuan kepemimpinan tunggal yang akan memimpin umat Islam dunia.

Cara berpikir ahistoris kelompok Salafi ini juga bisa kita lihat dalam menyikapi teks-teks keagamaan yang terlalu literal. Sementara untuk memahami sebuah teks tidak boleh meminggirkan sisi lain dari teks itu sendiri, yaitu konteksnya. Setiap teks pasti ada konteksnya. Melepaskan konteks dari teksnya secara sepihak akan mengaburkan makna dan signifikansinya secara sekaligus. Inilah yang tidak dikehendaki oleh Al Jabiri.

Al Jabiri juga tidak ragu mengkritik model pembaruan kelompok liberal yang secara membabibuta mengadopsi peradaban Barat untuk membangun peradaban umat ini. Kelompok liberal ini sangat terpukau dengan capaian peradaban Barat hingga mereka lupa jati diri mereka sendiri. Bagaimana mungkin, kata Al Jabiri, kita dapat mencangkok seluruh elemen yang datang dari Barat, sementara setting sejarah kedua komunitas ini sangat jauh berbeda. Apa yang baik dan cocok bagi Barat belum tentu revelan diterapkan di dunia Arab.

Kelompok liberal selalu berdalih bahwa keberhasilan Barat melakukan modernisasinya setelah berhasil melakukan pemutusan hubungan dengan masa pra-modern mereka sendiri. Andaikan pola pemutusan ini dilakukan oleh masyarakat Arab-Islam, kata Al Jabiri, maka yang menjadi pertanyaannya adalah periode sejarah mana yang harus diputuskan bangsa Arab sehingga mereka bisa maju seperti Barat. Padahal masa silam mereka tidak sama seperti sejarah masa lalu Barat, dan problem yang dihadapi bangsa Arab tidak sama dengan bangsa Eropa. Oleh sebab itu menurut Al Jabiri, tidak mungkin mengadopsi seluruh budaya Barat hanya untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa Arab.

Kritik atas Kritik

Menurut Al Jabiri, problem yang dihadapi bangsa Arab adalah salah satunya problem epistemologi. Untuk bisa keluar dari epistemologi bayani dan irfani yang kini mendominasi dan membatasi kreativitas akal, diperlukan epistemologi burhani yang kritis dan rasional. Model epistemologi burhani sebetulnya pernah dikembangkan dengan baik oleh Umat Islam terdahulu, terutama masyarakat Islam di Cordoba (Spanyol).

Adapun masyarakat Arab Islam yang hidup di bagian Timur, menurut Al Jabiri, lebih berpikir retoris (bayani) dan mistik (irfani). Demarkasi semacam ini sengaja dibuat Al Jabiri untuk memetakan model epistemologi yang cocok diterapkan bagi masyarakat Arab Islam saat ini. Al Jabiri mengelompokkan Ibn Sina, Al Farabi, Al Kindi, Al Ghazali, kedalam pemikiran filsafat Arab Islam bagian Timur. Sementara Ibn Rusyd, Ibn Thufayl, dan Ibn Khaldun masuk kedalam filosof rasional dari bagian Barat (Cordoba) yang dijadikan percontohan.

Secara tegas Al Jabiri mengklasifikasi pemikiran Arab Timur dalam kategori irrational (alla-ma’qul al dini), dan Arab Barat dalam kategori al ma’qul al dini. Al Jabiri menegaskan, untuk melihat pemikiran Islam berkembang dan maju seperti yang dicita-citakan, umat Islam, kata dia,  perlu melakukan apa yang disebut dengan al qati’ah al ibistimulujiyyah (epistemic rupture). Sebab keberhasilan Barat, kata Al Jabiri, dalam membangun pemikirannya dan mencapai kemajuannya disebabkan oleh keberhasilannya melakukan epistemic rupture ini.

Meski demikian, seluruh gagasan brilian dengan segala kritiknya terhadap kebudayaan Arab Islam, tidak lepas dari kritik. Tidak sedikit buku dan artikel dari kalangan kritikus dan intelektual yang secara tajam mengkritisi pemikiran Al Jabiri, terutama kajian epistemologinya sebagaimana disebutkan di atas. Di antara kritikus tajam yang mengkritik Al Jabiri adalah George Tarabisi dalam Nazariyyah al ‘Aql dan Wihdah al ‘Aql al ‘Arabi al Islami. Kedua buku tersebut merupakan rangkaian dari projek Tarabisi dalam Naqd Naqd al ‘Aql al ‘Arabi.

Dalam kritiknya, George Tarabisi menyebut kalau Al Jabiri bukanlah orang pertama pengusung proyek Kritik Akal Arab. George Tarabisi kemudian merujuk tulisan Zaki Najib Mahmud di majalah Ruz al Yusuf yang terbit pada tahun 1977 dengan judul al ‘Aql al ‘Arabi Yatadahwar. Dari kajian yang dilakukan George Tarabisi secara intens dan mendalam, sampai pada kesimpulan bahwa ide Al Jabiri tidak orosinil dan bahkan secara implisit dia menyebut Al Jabiri telah melakukan plagiat, karena tidak menyebutkan sumber rujukan ide-idenya, meskipun secara jelas sumber itu dari orang lain.

Selain George Tarabisi, adalah Ali Harb pemikir asal Lebanon yang juga melakukan kritik tajam terhadap gagasan-gagasan Al Jabiri. Menurut penulis Naqd al Nash (Ali Harb) ini, kajian turats Al Jabiri penuh dengan muatan ideologis, Arab Maghribi Centris, bahkan secara khusus Sunni Arab Maghribi Minded. Jadi menurut Ali Harb, Al Jabiri tidak lain adalah seorag ideolog, yang telah memiliki pola berpikir dan ideologi tertentu, yang kemudian dia gunakan untuk menelaah tradisi Islam.

Kritik dalam dunia pemikiran dan ilmu pengetahuan adalah hal yang wajar terjadi. Sebab kritik itu, apapun bentuk dan wujudnya, selama masih dalam batasan konstruktif, bisa menjadi energi dan semangat ilmiah untuk terus dikembangkan. Karena itu, segala kritik ilmiah yang dialamatkan kepada Al Jabiri akan ‘menyehatkan’ masa peradaban Arab Islam di kemudian hari. Wallahu’alambisshawab.

Senin, 11 September 2023

Yang Terbuang Akibat Perang

Senin, September 11, 2023 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Dalam perang yang terlanjur digelar, tak ada yang dimenangkan, tak ada yang dikalahkan. Bahkan ketika perang itu dirancang, pihak-pihak yang terlibat di dalamnya telah menjadi budak nafsu yang beringas: tanpa empati, tanpa nurani.

 

Bagi yang kalah, tak ada yang tersisa selain kengerian yang mencekam, membayang bersama reruntuhan gedung dan bangunan. Sementara yang menang menyumbang kekacauan di dunia dan di hati mereka yang dikalahkan.

 

Begitulah derita manusia bila negaranya dirundung kecamuk perang; negerinya hancur, masa depan anak-anaknya dipertaruhkan untuk ego orang-orang dewasa. Perang tak melahirkan apa-apa, kecuali penderitaan, kecemasan, dan ketakutan yang membatin. 

 

Beberapa waktu lalu, saya menonton film Ode To My Father. Film ini menceritakan tentang perjuangan orang-orang yang ingin menyambung hidup akibat perang, tentang orang-orang mencari sanak saudara yang hilang terpisah oleh keganasan perang.

 

Perang tak memiliki mata. Siapa saja bisa menjadi korban; tua, remaja, bahkan balita. Perang tak memiliki nurani. Siapa saja bisa terusir dan terbuang. Dan inilah kisah tentang seorang penyair Mourid Barghouti yang terbuang jauh dari negerinya sendiri.

 

I Saw Ramallah (Akhirnya Kuklihat Ramallah) adalah sebuah memoar tentang orang yang terbuang akibat kecamuk perang. Novel yang ditulis Mourid Barghouti ini dipuji oleh Edward Said sebagai salah satu kisah eksistensial terbaik tentang pengungsian warga Palestina.

 

Inilah memoar yang didasarkan pada kepulangan penulisnya ke Ramallah untuk pertama kalinya pada tahun 1990-an setelah lebih dari tiga dekade berada di pengasingan. Kisah tentang perjalanan kembali pulang untuk melihat tanah kelahirannya.

 

Dalam novelnya ini, Mourid Barghouti menceritakan kondisi Palestina yang tertindas akibat pendudukan Israel. Begitu banyak warga Palestina merasakan kesengsaraan, terjajah, bahkan terpisah dari keluarga.

 

Sebagai novel yang mengisahkan perjalanan hidup penulisnya, yakni Mourid Barghouti sendiri, setiap kisah yang dia ceritakan begitu hidup namun pedih dan menyayat hati. Bagaimana misalnya Mourid Barghouti menggambarkan penderitaan orang-orang Palestina karena terpisah dari keluarganya, kehilangan rumah, harta, saudara, bahkan nyawa.

 

Mourid Barghouti memotret Palestina melalui pengalaman pribadinya, melalui pandangannya, melalui apa yang dia rasakan. Ia berusaha membuka mata dunia bahwa perang tidak menghasilkan apapun, melainkan penderitaan yang tak berkesudahan.

 

Menjadi orang yang terbuang dari negerinya sendiri cukup menyakitkan. Dan barangkali pengalaman Mourid Barghouti bisa menjadi pelajaran yang berharga bagi kita, bahwa perang hanya membuat kerusakan dan penderitaan. Bahwa hidup terpisah dari tanah tumpah darah sendiri begitu sulit dan menjadi pengalaman eksistensial yang menyakitkan.

 

Selasa, 15 Agustus 2023

Soekarno

Selasa, Agustus 15, 2023 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Ketika Soekarno dijuluki Putra Sang Fajar. Itu karena dia menjadi suluh di tengah gelapnya nasib bangsa yang ratusan tahun dijajah tak kunjung merdeka. Dia tanamkan harapan pada jiwa rakyat semesta bahwa sinar kebebasan akan segera terbit di pelupuk bangsa paling dekat.

 

Soekarno bukanlah tokoh fiktif atau legenda. Dia nyata, hadir dalam realitas bangsa Indonesia yang menyejarah. Dilahirkan pada 6 Juni 1901, di Peneleh, Surabaya, tepat ketika matahari menyingsing di sebelah Timur. Itulah mengapa dia dijuluki Putra Sang Fajar.

 

“Bersama dengan kelahiranku, menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru, dan menyingsing pulalah fajar dari suatu abad yang baru”, demikian Soekarno mengisahkan momen kelahirannya pada Cindy Adams, wartawan Amerika, penulis buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.

 

Di hari ketika Soekarno dilahirkan, Indonesia memang masih dalam cengkeraman imperialisme Belanda. Keadaan Ibu Pertiwi kala itu kian suram ketika anak-anak bumiputera dijadikan budak di negerinya sendiri. Keringatnya diperas. Tenaganya diperah tak ubahnya sapi perah; tanpa perlakukan yang layak dan upah yang memadai.

 

Sumber daya alam Bumi Pertiwi dikeruk, dieksploitasi untuk keuntungan Belanda. Sementara kebutuhan mendasar rakyat semesta (Indonesia) seperti keadilan, kesejahteraan, keamanan, dan kenyamanan tidak terpenuhi. Penindasan demi penindasan dengan segala bentuk dan wujudnya terus terjadi, bahkan dilegalkan demi kepentingan kaum penjajah.

 

“Indonesia masih berada di zaman yang gelap”, kata Soekarno. Zaman yang disebut oleh Prabu Jayabaya sebagai zaman kalabendhu. Zaman gonjang-ganjing, zaman edan tanpa keadilan, tanpa arah dan panutan. Zaman yang dalam istilah Adonis (Ali Ahmad Said), disebut “zaman yang merepih seperti pasir”, rapuh, mudah dipecah-belah, karena tak berjangkar ke akar jati diri.

 

Dalam gelap malam seperti itu, Indonesia tidak sekedar memerlukan bintang penuntun yang memberi arah ke jalan yang terang, tapi juga sinar fajar yang mengusir sisa-sisa kelam dari pekatnya malam. Indonesia membutuhkan sosok Satria Pingit (Ratu Adil) yang mampu menghantarkan bangsa ini ke depan pintu gerbang kemerdekaan yang hakiki.

 

Dalam keyakinan masyarakat Jawa, Satria Piningit (Ksatria Tersembunyi) adalah pemimpin masa depan yang hadir membawa kemakmuran, keberkahan, keadilan, dan kebebasan bagi rakyat. Satria Piningit yang ditunggu-tunggu kehadirannya itu kemudian menitis dan mewujud pada diri Soekarno, Putra Sang Fajar, Presiden Indonesia Pertama, Sang Pemimpin Besar Revolusi.

 

Muncul sebagai Satria Piningit, Soekarno membopong Indonesia ke posisi terhormat. Bukan hanya oleh sebab telah lepas dari kaum kolonial tapi juga mulai dipandang dunia internasional. Dia membawa bangsa ini ke era baru, zaman baru, yaitu Indonesia pasca revolusi (kemerdekaan). Tetapi semangat revolusi yang telah diletupkan itu, nyalanya harus tetap dijaga, bila perlu lebih dikobarkan biar menyala-nyala meski kemerdekaan sudah diraih secara mutlak. Soekarno mengatakan, revolusi Indonesia harus Kiri bukan Kanan.

 

Kiri berarti perlawanan dan anti kemapanan. Kiri adalah ideologi perjuangan melawan kesewenang-wenang, penindasan, penjajahan, eksploitasi, ketidakadilan, dan sejenisnya yang harus menjadi komitmen bersama bangsa ini. Sebaliknya, ideologi kanan yang ditentang Soekarno tidak hanya berarti melanggengkan status quo, tapi juga memungkinkan tumbuhnya otoriterianisme, kolonialisme, dan imperialisme model baru.

 

Pandangan Kiri Soekarno, tentu saja, selain banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan berhaluan kiri seperti Che Guevara, juga sedikit banyak dipengaruhi paham Marxisme-Leninisme yang dia telaah dengan serius sejak di bangku kuliah semasa di Bandung. Di masa pergerakan seperti itu, kata Peter Kasenda dalam Sukarno, Marxisme & Leninisme, hampir tidak ada tokoh pergerakan yang meninggalkan paham Marxisme-Leninisme. Entah hanya sebagai konsumsi intelektual, maupun sebagai sebuah tindakan praktis perjuangan.

 

Salah satu wujud Ideologi Kiri Soekarno berhaluan Marxisme-Leninisme adalah konsepsinya mengenai Marhaenisme yang terinspirasi dari seorang petani kecil bernama Marhaen dari Priangan, Jawa Barat. Meski tak seperti Karl Marx yang membagi masyarakat kedalam borjuis dan proletar, Soekarno melihat marhaenisme sebagai kenyataan sosial yang terjadi di Indonesia secara umum.

 

Istilah marhaenisme yang dipopulerkan Soekarno untuk menggambarkan keadaan rakyat Indonesia yang miskin dan marjinal: petani kecil, buruh kecil, dan nelayan kecil, namun mereka tak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Padahal mereka memiliki alat-alat produksi sendiri. Sementara proletar di Eropa hanya mengarah kepada kaum buruh miskin yang tidak memiliki alat-alat produksi sendiri. Untuk menghindari gejolak dan pemberontakan kaum buruh, agama dijadikan alat untuk meninabobokan mereka. Itulah mengapa Karl Marx melontarkan kata-kata keras: Agama candu masyarakat.

 

Dari sini kita bisa memetakan kalau Soekarno menjadikan wong cilik (rakyat miskin) sebagai dasar perjuangan melawan feodalisme (penindasan sisa-sisa masa kerajaan) dan imperialisme (penindasan kaum penjajah). Feodalisme dan imperialisme di Indonesia telah menciptakan keadaan rakyat makin sulit tak berdaya. Sementara Karl Marx di Eropa menjadikan kaum proletar (kaum buruh yang tak punya modal) sebagai basis perjuang dari kesewenang-wenangan kaum borjuis.

Meski Soekarno menggunakan Marxisme-Leninisme sebagai pisau bedah analisis keadaan sosial masyarakat Indonesia kala itu, Putra Sang Fajar ini tetap seorang nasionalis sejati. Dia bukan komunis. Sebagai seorang nasionalis sejati, sekaligus pemimpin besar revolusi, Soekarno percaya dengan kekuatan rakyat. Karena itu, baginya, basis kekuatan perjuangan rakyat harus datang dari rakyat yang telah dimelaratkan oleh sistem imperialisme dan feodalisme. Indonesia harus lepas dari kedua sistem tersebut yang sudah lama menjerat nasib rakyat.

 

Bagi sebagian besar tokoh pergerakan, melibatkan seluruh rakyat semesta (dari Sabang sampai Meuraoke) dalam perjuangan mengusir penjajah tidaklah mudah. Perlu sosok yang memiliki kemampuan agitasi dan orasi yang mumpuni. Perlu sosok yang bisa menyampaikan ide-ide perjuangan kepada anak-anak revolusi dengan bahasa rakyat agar mudah dicerna. Sosok itu tiada lain adalah Soekarno. Dia adalah agitator dan orator ulung yang bisa mengolah kata-kata menjadi mantra yang memikat kesadaran rakyat.

 

Mengenai hal ini, saya teringat dengan Pendekar Syair Berdarah, Arya Dwipangga tentang kata menjelma mantra, mari kita renungkan:

 

Kata membuat mantra

Mantra menusuk daya

Daya mantraku mengunci semua daya

Daya mantraku menyirap pikiran manusia

dengan darah dan lupa

 

Kalau kita cermati bahasa yang diolah Soekarno begitu kuat dan memikat hati pendengarnya. Kata-katanya meledak-ledak penuh semangat. Dan itu cocok digunakan dalam situasi rakyat membutuhkan semangat perjuangan. “Ganyang Malaysia”, “Inggris kita linggis”, “Amerika kita Setrika”, “Api sejarah”, “Ambil apinya, buang abunya”, “Berikan aku sepuluh pemuda niscaya akan aku guncang dunia”, dan masih banyak lagi jargon dan istilah berapi-api penuh perlawanan dari Soekarno. Bahkan Soekarno menamai dua putra dengan: Guruh dan Guntur yang memiliki daya ledak dengan suara yang menggelegar.

 

Bagi penikmat cerita Mahabharata seperti Soekarno, hidup adalah lakon panjang Baratayudha. Setiap pertempuran harus dimenangkan, tidak boleh kalah, apalagi lari jadi pecundang dari medan laga. Dia tidak ingin jadi budak orang kulit putih (penjajah). Dia lawan kekuatan imperialis yang sudah bercokol ratusan tahun. Dia mewarisi watak Ksatria Karna yang melawan tata nilai, aturan, dan tradisi yang membelenggu harkat, martabat, dan kebebasan manusia.

 

Nama Soekarno (Putra Sang Fajar) diambil dari Karna (Putra Dewa Surya), keduanya mewarisi watak matahari; menghangatkan, menerangi, dan membawa keberkahan bagi apa, dan siapa saja yang ada di muka bumi ini. Soekarno dan Karna adalah ksatria pilihan yang dituntun alam yang kehadirannya membawa berkah bagi manusia, langkah-langkahnya digandeng matahari.

 

Selamat merayakat Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke 78. Merdeka seratus persen!!!