Penulis : Cliff Schecter
Penerbit : Zahra, Jakarta
Edisi : I, Agustus 2008
Tebal : 218 halaman
Dimuat di SINDO, Minggu, 14 Desember 2008
Oleh: Mohamad Asrori Mulky
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.
Judul : Buku Induk Ekonomi Islam (Iqtishaduna)
Penulis : Muhammad Baqir Ash-Shadr
Penerbit : Zahra, Jakarta
Cetakan : I, Agustus 2008
Tebal : 598 Halaman
DI tengah krisis finansial yang melanda penjuru dunia,tak terkecuali Indonesia, sudah dipastikan bahwa kemiskinan, pengangguran, dan tindak kejahatan makin merajalela.
Pada saat itulah para ekonom, negarawan, dan cendekiawan berusaha mencari akar persoalannya untuk memulihkan kembali kondisi ekonomi di negaranya masing-masing. Sebab, selama ini ekonomi dianggap sebagai hal yang sangat fundamental bagi tegaknya sebuah bangsa,negara,danperadaban.
Segala aktivitas akan berhenti jika kondisi pertumbuhan ekonominya mengalami guncangan dan ketidakpastian. Kesimpulan sementara mengatakan bahwa penyebab utama dari munculnya krisis ekonomi di berbagai dunia adalah karena ekonomi kapitalis menggebrak dimensi kehidupan manusia. Sistem bunga yang menjadi ciri khas ekonomi kapitalis telah menciptakan keterjarakan sosial dalam masyarakat dunia.
Prinsip-prinsip kebebasan untuk memiliki harta secara pribadi, kebebasan ekonomi, dan persaingan bebas telah menguntungkan sebagian pihak dan merugikan pihak yang lain. Jurang pemisah antara kaum feodal dengan proletar makin menganga sehingga struktur sosial pun melebar. Melihat kenyataan seperti ini, sistem ekonomi Islam mulai dilirik sebagai suatu pilihan alternatif dan diharapkan mampu menjawab tantangan dunia di masa kini, esok, dan mendatang.
Buku Iqtishaduna (Induk Ekonomi Islam) karya Muhammad Baqir Shadr (MBS) ini menawarkan sebuah sisteme konomi Islam yang berdasarkan pada rasa ketuhanan dan kemanusiaan.Kedua nilai inilah secara mendasar yang membedakan antara ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalis dan sosialis. Sebagai homo economicus, manusia dalam pandangan ekonomi Islam tidak diperkenankan untuk memperkaya dirinya dan meraup keuntungan yang berlebihan.
Tapi, harta yang ia miliki seluruhnya untuk tujuan spiritual dan sosial. Dalam buku ini, MBS menguraikan sistem dan ciriciri dasar dasar Islam, tanpa dipengaruhi para pemikir dan sarjana Barat yang cenderung berhaluan kapitalis dan materialis. Dalam ekonomi kapitalis dikatakan bahwa sumber-sumber alam yang tersedia di jagat raya ini sangat terbatas, sementara kebutuhan dan keinginan manusia tidak terbatas.
Dengan demikian, manusia bebas mengeruk kekayaan alam yang tersedia sebanyak-banyaknya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Cara pandang seperti ini jelas ditolak MBS. Baginya, ekonomi Islam, dengan berlandaskan ajaran agama Islam, membatasi hak milik seseorang dan tidak mengenal adanya sumber alam yang terbatas.
Keterbatasan bukan pada sumber alam yang telah Allah sediakan,melainkan manusia harus membatasi dirinya untuk tidak mengeksploitasi alam dengan segala keserakahannya. Sebab,Alquran sendiri dalam sebagian ayatnya menegaskan seperti ini, ”Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan menurunkanair hujandarilangit,….Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah,maka tidaklah kamu dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat ingkar.” (Q.S Ibrahim: 32–34).
Melalui ayat di atas, dapat dipahami bahwa ekonomi Islam tidak menyetujui pandangan kapitalis karena Islam sendiri mempertimbangkan bahwa alam semesta ini memiliki sumber-sumber kekayaan yang sangat melimpah ruah, yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia secara keseluruhan.
MBS lebih cenderung melihat masalah ekonomi itu pada aspek manusia sebagai pelaku ekonomi ketimbang ketersediaan alat pemuas kebutuhan yang terbatas versus keinginan/kebutuhan manusia yang tidak terbatas.Ketersediaan sumber daya alam yang melimpah ruah tidak akan dapat menyejahterakan rakyat jika manusia sebagai pelaku ekonomi tidak melestarikannya demi kepentingan bersama.
Pada titik inilah, MBS mengelompokkan ekonomi ke dalam dua bagian, yakni ‘’ilmu ekonomi’’ (science of economics) dan ‘’doktrin ekonomi’’ (doctrine of economics). Perbedaan yang tegas antara ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalis terletak pada doktrin ekonomi, bukan pada ilmu ekonominya.
Doktrin ekonomi Islam memberikan ruh pemikiran dengan nilai-nilai Islam dan batas-batas syariah. Sementara ilmu ekonomi berisi alat-alat analisa ekonomi yang dapat digunakan dan dioperasikan. Ilmu ekonomi adalah segala teori atau hukum-hukum dasar yang menjelaskan perilaku- perilaku antar variabel ekonomi tanpa memasukan unsur norma ataupun tata aturan tertentu.
Adapun doktrin ekonomi adalah ilmu ekonomi murni yang memasukkan norma atau tata aturan tertentu sebagai variabel yang secara langsung atau tidak langsung ikut mempengaruhi fenomena ekonomi. Norma atau tata aturan tersebut berasal dari Allah yang meliputi batasan-batasan dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Proses integrasi antara doktrin ekonomi ke dalam ilmu ekonomi murni disebabkan adanya pandangan bahwa kehidupan di dunia tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan di akhirat,semuanya harus seimbang karena dunia adalah sawah ladang akhirat.
Buku ini terasa lebih kaya dan mencerminkan konstruksi pemikiran ekonomi Islam seutuhnya jika dibandingkan dengan literatur ekonomi Islam yang ada, yang selama ini tereduksi pada praktik dan gagasan mengenai ekonomi syariah. Karya MBS ini berusaha untuk memaparkan persoalan secara lebihluas.
Selain berbicara mengenai dasar-dasar teologis normatif dari ekonom Islam, ia juga mendiskusikan soal produksi, distribusi, sirkulasi, jaminan sosial, pajak, batas kekayaan pribadi, dan juga posisi negara sebagai regulator.
Dimuat di Koran Jakarta, 13 Desember 2008
Oleh Mohamad Asrori Mulky
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.
Judul Buku : Misteri Rubaiyat Omar Khayyam
Penulis : Amin Maalouf
Penerbit : Serambi, Jakarta
Edisi : I, Oktober 2008
Tebal : 514 halaman
Harga : Rp. 59.900
Omar Khayyam (1048-1131 M) adalah seorang penyair paling masyhur pada zamanya. Ia juga dikenal sebagai seorang filsuf, matematikawan, astronom, ilmuan dan ahli kedokteran. Sejak sajak empat baris-nya (kwatrin) atau ''Rubaiyat'' diterjemahkan untuk pertama kalinya ke dalam bahasa Inggris oleh Edwad J FitzGerald pada tahun 1859, Omar Khayyam menjadi buah bibir di kalangan masyarakat dunia dan meneguhkan dirinya sebagai pencipta Rubaiyat yang tangguh.
Namun demikian, naskah asli Rubaiyat yang ditulis langsung oleh tangan Omar dan menjadi kebanggaan semua orang, hingga kini keberadaanya masih misterius bersamaan dengan tenggelamnya kapal Titanic pada tanggal 14 malam 15 April 1912, di perairan sekitar Terre-Neuve, Samudra Atlantik. Sehingga menimbulkan pertanyaan mendalam bagi kita, apakah rubaiyat masih terselamatkan, sebagaimana ia (rubaiyat) juga pernah diduga hangus terbakar di perpustakaan benteng ''Alamut'' (benteng sekte pembunuh Hassan Sabbah) yang dibakar tentara Mongol? Atau memang karam tenggelam dengan ribuan korban manusia lainya dan belum ditemukan hingga kini?
Novel 'Misteri Rubaiyat Omar Khayyam" karya Amin Maalouf, sastrawan kelahiran Lebanon, yang diterbitkan oleh Penerbit Serambi ini mencoba mengisahkan kembali perjalanan panjang nan berliku sebuah karya agung Omar, Rubaiyat. Melaui novel ini, Amin seakan mengajak pembacanya untuk berkelana ke masa lalu, menembus batas ruang dan waktu dengan latar Timur Tengah, Daratan Persia dan kawasan Mediterania hingga benua Eropa, dari proses penulisan naskah Rubaiyat hingga terggelamnya kapal Titanic. Dibumbui kisah romantik antara Khayyam dengan Djahan dan Benjamin dengan Syirin, menjadikan novel ini menarik untuk diikuti hingga akhir cerita.
Dalam novel ini juga Amin Maalof menuturkan secara piawai perjalanan ketiga sahabat yang memiliki peran di zamanya masing-masing, yaitu; Omar Khayyam (ilmuan dan sastrawan), Nizamul Mulk (Wazir Agung Sultan Parsi), dan Hassan Sabbah (pemimpin sekte pembunuh, yaitu kaum Hashishin atau Assassin). Dengan dibarengi konflik, intrik politik, dan kepentingan, persahabatan ketiganya mengalami jatuh bangun. Konflik yang berujung pada dendam dan peperangan dialami oleh Wazir dengan Hassan, hingga Omar terpaksa harus menjadi penengah di antara keduanya. Dengan didukung pengikut masing-masing, keduanya saling menyerang, mengalahkan, dan membunuh.
Melalui narasi yang dituturkan oleh Benjamin O. Lesage, seorang orientalis dari Amerika Serikat dan dituliskan langsung oleh Amin Maalouf, novel ini juga berkisah tentang sebuah masa, di mana kebebasan berbicara dan berpendapat—termasuk mengucapkan sajak—sangat dibatasi oleh penguasa. Sebagai ilmuan, sastrawan, dan pemikir bebas (liberal), Omar sempat mendapatkan hukuman mati dari penguasa karena dituduh telah menantang Tuhan melalui syair-syairnya. "Jika Kau hukum dengan keburukan perbuatan buruk-ku, Kau dan aku apakah bedanya?" (Omar Khayyam, Rubaiyat).
Namun atas jasa Abu Taher, seorang Kadi dari Samarkand, Omar terbebas dari hukuman mati. Abu taher berpesan pada Omar; "Kita sedang hidup di zaman kerahasiaan dan ketakutan. Kau harus berwajah ganda, yang satu kau perlihatkan kepada orang banyak, yang lain hanya kepada dirimu sendiri dan Sang Pencipta. Jika kau tak mau kehilangan matamu, telingamu, dan lidahmu, lupakan kau punya mata, telinga dan lidah." (halaman 30).
Maka Abu Taher memberi Omar sebuah buku dengan 256 halaman yang masih kosong. Agar setiap tersirat di benak Omar sebuah sajak ia dapat menuliskanya dalam buku kosong tersebut dan merahasiakannya dari pengetahuan umum. Buku itulah kelak akan menjadi naskah asli Rubaiyat Omar Khayyam yang tersembunyi selama berabad-abad dan menjadi misteri hingga kini.
Sebagai sebuah roman sejarah, novel ini memiliki informasi yang layak untuk diketahui. Dalam membacanya, kita terasa diombang-ambing antara imajinasi atau fakta sejarah, sehingga kita tidak bisa membedakan mana yang benar-benar historis dan bukan historis. Namun, Amin Maalouf dengan kepiawaianya dalam bercerita mampu meramunya dengan cukup menarik dan bertaji. Pada titik inilah, "Misteri Rubaiyat Omar Khayyam" patut diapreasiasi sebagai novel petualangan dan kembara. Selamat membaca!
Media Indonesia |
Dimuat di SINDO, Minggu, 22 November 2008
Oleh Mohamad Asrori Mulky
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.
Penulis : Muhammad Alcaff
Penerbit : Zahra, Jakarta
Edisi : I, September 2008
Tebal : 201 halaman
AWAL 1979, tokoh spiritual dan cendekiawan Iran Ayatullah Ruhullah Khomaeni memimpin sebuah gerakan revolusi untuk menumbangkan penguasa monarki, Shah Reza Pahlevi.
Di bawah komandonya, ribuan massa berbondong- bondong turun ke jalan, menentang, memprotes, dan menuntut Pahlevi untuk segera turun dari jabatannya. Tumbangnya rezim Pahlevi di bawah pimpinan para Mullah, merupakan bencana besar bagi pihak Amerika dan sekutunya.
Pasalnya, selama Pahlevi menjabat sebagai presiden, Iran memiliki hubungan diplomasi yang cukup erat dengan negara adidaya itu. Di mata Amerika, Iran memiliki arti strategis sebagai negara penyanggah untuk membentengiwilayah Timur Tengahdari pengaruh komunisme Uni Soviet.
Selain itu, Iran juga dapat menjamin keamanan sekutu utamanya di wilayah kaya minyak tersebut, Israel. Setelah kemenangan revolusi, negeri para Mullah ini mengorientasikan kebijakan luar negerinya pada penyebaran nilai-nilai revolusi ke negara-negara Arab dan Islam. Tujuannya adalah agar kaum muslim bangkit melawan para penguasa yang represif.
Munculnya gerakangerakan perlawanan di berbagai wilayah konflik di Timur Tengah, seperti Hezbollah, Amal al-Islam, Hamas, dan Tentara Mahdi merupakan efek dari pengaruh revolusi Islam Iran. Revolusi Islam Iran telah memberikan arti yang positif bagi rakyat Iran, bahkan dunia.
Pascarevolusi, pemerintah bersama rakyat bahu membahu membangun kembali negerinya dan melepaskan intervensi bangsa asing. Tekad keras bangsa Iran itu mencapai hasil yang cukup signifikan, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, bahkan militer.
Buku “Perang Nuklir?” karya Muhammad Alcaff ini, menjelaskan tentang kemajuan yang dicapai Republik Islam Iran pascarevolusi. Untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi, Iran berusaha mencapai kemandirian di bidang pertanian dan industri.Upaya ini terus berlanjut meski Iran harus menjalani masa-masa paling sulit, yaitu perang yang dipaksakan Rezim Ba’ats Irak selama delapan tahun.
Meski demikian, ikhtiar tanpa kenal lelah itu akhirnya membuahkan hasil yang membanggakan. Iran berhasil mencapai swasembada gandum, sebuah komoditas strategis pertanian. Bahkan, saat ini Iran sanggup mengekspor hasil produksi gandumnya ke sejumlah negara Timur Tengah.
Dalam bidang sains dan teknologi, para pakar Iran berhasil mencapai kemajuan yang pesat.Teknologi ”nano” sebagai salah satu dari empat teknologi paling bergengsi dan rumit di dunia, ternyata selama bertahun-tahun telah menjadi perhatian dan penelitian ilmuwan Iran.Teknologi ”nano” dapat digunakan untuk keperluan kedokteran, pertanian, dan industri.
Hingga kini, Iran tergolong sebagai negara maju di bidang teknologi ”nano” dan berhasil memproduksi sejumlah komoditas. Dalam bidang pendidikan, pemerintah Iran berhasil memberantas buta huruf. Melalui instruksi Imam Khomaeni, Iran membentuk Lembaga Kebangkitan Melek Huruf.
Hasilnya,angka buta huruf di Iran turun drastis. Tercatat, sebelum revolusi angka buta huruf di Iran mencapai 50%. Pascarevolusi, angka ini berhasil ditekan menjadi 10%. Dalam bidang pertahanan dan nuklir, Iran mengalami perkembangan pesat.Kendati Iran pascarevolusi menghadapi beragam tekanan dan embargo, para ilmuwan dan teknisi militer Iran tidak pernah menyerah untuk memajukan kekuatan pertahanan negaranya.
Tidak heran bila kini Iran berhasil meraih keberhasilan yang tidak pernah diduga sebelumnya dalam bidang persenjataan modern. Saat ini Iran berhasil mengembangkan berbagai bentuk roket. Begitu pula dalam bidang pembuatan helikopter dan pesawat tempur.Sejumlah pesawat tempur berteknologi tinggi, baik berjenis tanpa awak maupun standar, berhasil dibuat Iran.
Di samping itu, program nuklir Iran yang sempat menjadi isu paling panas di dunia internasional, juga menghasilkan prestasi yang mengagumkan. Produksi nuklir yang dikembangkan Iran, murni untuk tujuan damai dan kesejahteraan bangsa Iran. Sebab, nuklir bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik, keperluan kedokteran, dan rekayasa genetika dalam bidang pertanian dan peternakan.
Prinsip keadilan, kesetaraan, kebebasan, dan kemerdekaan yang didengungkan sejak revolusi seakan menjadi roh dan pemecut nyali bangsa Iran.Karena itu,beragam upaya busuk yang dilakukan Amerika tidak bisa menghancurkan Negeri Mullah ini. Dari embargo militer, ekonomi, pembekuan aset Iran di luar negeri dengan atau tanpa Resolusi DK PBB, misalnya, tidak bisa membuat Iran kapok.
Sebagai bangsa yang berkembang, sepertinya kita harus bisa meniru apa yang telah dilakukan bangsa Iran. Sikap merdeka dan mandiri yang dipraktikkan bangsa Iran hingga dapat melakukan lompatan yang mengagumkan, mestinya juga dapat dilakukan bangsa ini. Sebab, hanya dengan cara itulah bangsa kita akan menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri, dan disegani bangsa-bangsa lain.
Buku ini sangat menarik untuk dibaca, tidak saja karena berhasil menyajikan sejumlah data dan fakta mengenai kemajuan Iran pasca revolusi. Lebih dari itu, buku ini membeberkan bagaimana Iran berperan penting dalam melahirkan gerakan-gerakan perlawanan di Timur Tengah, seperti Hezbollah, Amal al- Islam, Hamas, Jihad Islam, dan Tentara Mahdi. Selamat membaca!
Sihir Laskar Pelangi
Dimuat di Koran Jakarta, 01 Nopember 2008
Oleh Mohamad Asrori Mulky
Judul : Laskar Pelangi - The Phenomenon
Penulis : Asrori S. Karni
Penerbit : Pustaka Hikmah
Cetakan : I, September 2008
Tebal : 263 halaman
Harga : Rp. 49.000
Laskar Pelangi benar-benar telah menyihir masyarakat Indonesia, tanpa kecuali. Dari anak kecil, remaja, hingga orang tua telah terkena sihirnya. Tak hanya bukunya yang terjual hampir 1 juta eksemplar, tapi filmnya juga berhasil menarik simpati para penonton. Film yang diangkat langsung dari novel karya Andrea Hierata ini dalam waktu 10 hari saja telah meraih penjualan 1,1 juta penonton.
Sekali lagi, Laskar Pelangi memang fenomenal. Kisah memoar Ikal dan kawan-kawannya mengejar mimpi ternyata diapresiasi dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Novel tetralogi ini tak hanya manjadi buku yang menghibur secara sastrawi, namun juga mampu menginspirasi dan membius jutaan pembacanya. Sihir apa gerangan yang dipakai Andrea dalam proses penulisan novelnya ini hingga menawan banyak penggemar dan menginspirasi mereka?
Buku "Laskar Pelangi: The Phenomenon" buah karya Asrori S. Karni ini menampilkan kisah-kisah nyata yang terjadi di berbagai bidang dan di berbagai daerah tentang spirit baru yang tumbuh karena efek fenomena Laskar Pelangi. Luar biasa, Laskar Pelangi mampu menggugah jutaan pembacanya tentang arti sebuah pendidikan, cinta, impian, dan harapan. Seseorang yang ingin mengejar cita-citanya, ia harus punya mimpi. Dan mimpi akan terlaksana dengan pendidikan.
Dalam buku ini, Asrori menuturkan bagaimana seorang Bupati Sumba, Jamaluddin Malik tergerak hatinya untuk mendatangkan Andrea ke tempatnya. Ikhtiar ini dilakukan agar penulis novel best seller tersebut dapat mengobarkan api semangat dan merangsang kreativitas kepada ratusan siswa SMP-SMU di Sumba. Sampai-sampai Pemda setempat rela mengeluarkan uang 50 juta untuk honor Andrea diluar biaya akomodasi dan transfortasi. Dan ini mungkin rekor honor tertinggi bagi pembicara sastra di Indonesia.
Melalui novel ini, tak sedikit orang terhentak hatinya untuk berbuat kebajikan. Salah satu contoh, para penguasa Tionghoa Jakarta yang berasal dari Belitong dengan suka rela memberikan bingkisan senilai Rp. 20 juta kepada Lintang, sang jenius dari Belitong. Mereka sangat mengagumi Lintang, tentang perjuangan, bakti, keinginan untuk sekolah dan kecerdasanya. Selain dua kisah nyata ini, masih banyak lagi kisah-kisah yang tak kalah seru, kesemuanya merupakan efek dari Laskar Pelangi.
Buku ini juga mencatat bagaimana proses kreatif Andrea dalam membuat Laskar Pelangi. Tentunya, banyak kendala dan rintangan yang ia hadapi. Ternyata, untuk menulis novel fenomenal tersebut Andrea tidak jarang beberapa kali datang ke Belitong untuk menyegarkan ingatanya kembali. Beberapa kali ia juga harus bertemu dengan kesepuluh teman-teman Laskar Pelanginya di Belitong.
Asrori juga menyajikan kisah bagaimana pada awalnya naskah Laskar Pelangi tidak dipedulikan bahkan hampir dibuang oleh penerbitnya ke tong sampah. Karena dalam pandangan penerbit, seorang yang bekerja di Telkom tidak mungkin bisa menuliskan cerita. Namun, setelah naskah itu dibaca oleh Haedar Baghir, Direktur Mizan waktu itu, dengan spontan ia menyetujui untuk diterbitkan. Setelah diterbitkan, buku itu menjadi best seller di Indonesia dan banyak diganderungi para penggemarnya.
Buku yang dikemas dengan menarik dan atraktif serta dilengkapi dengan foto-foto yang berkaitan dengan novel laskar pelangi termasuk foto-foto saat syuting film laskar pelangi ini memang buku yang menarik dan memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi. Jujur, penulispun sangat terkesan dan banyak terinspirasi oleh buku Laskar Pelangi.
Tulisan ini Pernah dimuat di buku “Esai-Esai Pemikiran Moh. Shofan dan Refleksi Kritis Kaum Pluralis”
Oleh: Mohamad Asrori Mulky
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta
Apapun yang menjadi penghalang, seberat apapun perang batin kita. . .kita selalu punya pilihan. Pilihan kita lah yang menjadikan diri kita. Dan kita selalu bisa memilih untuk melakukan yang benar.
Abstrak
Ungkapan di atas sangat relevan bila dikaitkan dengan bentuk ekspresi keberagamaan kita pada hari ini, esok, dan masa yang akan datang. Betapa tidak, munculnya fenomena klaim kebenaran dewasa ini tidak saja telah membunuh fitrah keragaman dalam beragama, tapi juga ia telah menjadi penghalang dalam menentukan pilihan yang dianggap benar dan sah menurut timbangan hati dan nurani kita. Faktanya, terkadang kita lebih sering dituntut untuk menjadi budak dalam beragama, yang tunduk dan patuh pada satu otoritas ulama, daripada menghargai seorang penganut agama yang mencari kebenaran agamanya sendiri. Hanya pilihan kitalah yang menentukan corak keberagamaan kita, bukan atas dasar intstruksi eksternal yang terkadang membelenggu kreatifitas dan kebebasan seseorang untuk mengekspresikan keberagamaanya. Sekali lagi, kita selalu bisa memilih untuk melakukan yang benar dan baik buat kita.
--------------------------------------------------------------------------------
Peradaban Islam adalah peradaban pertentangan dan pertikaian di seputar tafsir kegamaan dan dalam seluruh perwujudan budaya dan tradisi mereka. Peradaban yang lebih dikenal dengan aksi pengibaran panji dan hunusan belati, di mana kompromi dan negoisasi acapkali diabaikan dan ditinggalkan. Hingga akhirnya menciptakan kubangan darah yang merambah dalam amuk waktu yang terus berlalu. Sebuah peradaban yang selalu mengobarkan api, menyalakan bara dendam dan meneriakan klaim kebenaran sebagai jalan tunggal yang harus dilalui dan dijejaki. Menyeramkan, memilukan, dan mengerikan memang.
Bagitulah pertarungan yang terjadi di atas panggung sejarah dan peradaban manusia yang selalu ditorehkannya dari masa ke masa, terutama oleh pihak yang menginginkan ‘kemapanan’ (ats-tsâbit) dengan pihak yang menginginkan ‘perubahan’ (al-mutahawwil) dalam segala lini kehidupan, baik dalam bidang teologi, politik, budaya, hukum, bahkan bahasa dan sastra. Ironisnya, pertarungan yang terjadi antara dua belah pihak ini dalam catatan sejarah pemikiran Islam tidak selalu bersifat dialektis dan akomodatif, tapi lebih mengarah pada sikap kontradiktif dan monolitik. Hingga pada akhirnya sering melahirkan represi, kekerasan dan tragedi yang berdarah-darah, yang karenanya sisi ‘kemapanan’ (ats-tsâbit) lebih mendominasi sisi ‘perubahan’ (al-mutahawwil) dan dia menghancurkan segala upaya yang dilakukan oleh kecenderungan gerakan kreatif dan dinamis.
Penggunaan istilah ‘kemapanan’ (ats-tsâbit) dan ‘perubahan’ (al-mutahawwil) dalam tulisan ini, sebetulnya merujuk pada gagasan Adonis (Ali Ahmad Said), seorang penyair Arab kontemporer dan budayawan besar Arab masa kini. Dalam salah satu karyanya ‘Ats-Tsâbit wa al-Mutahawwil: Bahts fî al-Ibdâ’ wa al-Ittibâ’ ‘inda al-‘Arab’, Adonis menggunakan dua istilah tersebut untuk memetakan watak nalar masyarakat Arab-Islam ke dalam dua kategori, ‘nalar ekslusif’ dan ‘nalar inklusif’. Di mana satu sama lain saling berseberangan, memperlebar jarak, dan selalu membuat jurang pemisah yang begitu terjal hingga sulit untuk dijembatani dan didamaikan.
Atas dasar dua kategori nalar tersebutlah, menurut hemat saya kasus pemecatan Moh. Shofan sebagai Dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Gresik pada awal Pebruari 2007 lalu, terkait dengan salah satu tulisanya “Natal dan Pluralisme Agama” yang diterbitkan di media Surya dan Indo Pos/Jawa Pos, lebih mengarah pada pertarungan otoritas nalar, yang bisa saja diekspresikan kedalam nalar ekslusif atau nalar inklusif. Dalam kasus Shofan ini, bagi saya Muhammadiyah lebih merepresentasikan dirinya sebagai organisasi yang mengedepankan nalar ekslusif, jumud, dan statis ketimbang organisasi yang bernalar inklusif, dinamis, dan progresif. Sebab, Muhammadiyah dalam konteks ini sama sekali tidak mencerminkan sebagai sebuah organisasi yang mengedepankan nilai-nilai pluralitas dan kemajemukan. Sehingga setiap pemikiran yang keluar dari cara pandang Muhammadiyah, apapun bentuk dan isinya dianggap sesat dan patut untuk dimusuhi tanpa pertimbangan dan pengkajian ulang.
Sikap seperti ini sungguh sangat disayangkan, apalagi dilakukan oleh sebuah organisasi kegamaan seperti Muhammadiyah yang dalam perannya sudah mendapat perhatian banyak masyarakat luas. Keputusan Muhammadiyah mengklaim saudara Shofan dengan sesat hingga berujung pada pemecatan terhadapnya, tidak saja telah memasung kreativitas seseorang untuk berpikir dan berpendapat dalam era demokrasi seperti ini, tapi juga telah melupakan peranya sendiri sebagai sebuah kelompok pembaharu yang mengidealkan nilai-nilai progresivitas dan modernitas. Padahal sejak semula, KH. Ahmad Dahlan, tokoh dan pendiri Muhammadiyah ini selalu mencita-citakan nilai-nilai tersebut. Namun hingga kini, dan dalam faktanya nilai-nilai itu terpasung dan bahkan terancam punah oleh para penerusnya yang lebih berpikiran ekslusif dan dogmatis.
Yang paling disesalkan lagi, sebagai organisasi yang mengaku mengadopsi nilai-nilai modernitas, khususnya dalam ranah pendidikan, Muhammadiyah tidak bisa mengakomodir dan mengapresiasi keragaman pendapat yang terjadi di lingkunganya. Padahal dalam lingkup akademik, sejatinya pluralitas dan keragaman itu harus senantiasa didukung dan diapresisasi, bukan dicerca dan dicibir begitu saja. Apalagi melakukan tuduhan-tuduhan yang tidak mencerminkan sikap akademis.
Bila kita perhatikan tradisi Islam pada masa kejayaanya, betapa kebebasan berpikir dan berpendapat seperti yang dilakukan Shofan akhir-akhir ini sebenarnya sudah diekspresikan para ulama dan kaum cendikia waktu itu. Upaya ini dilakukan untuk mewujudkan cetak biru peradaban Islam yang lebih progresif dan rasional. Artinya, apa yang dilakukan saudara Shofan ketika menyampaikan ucapan selamat Natal kepada umat kristiani yang sedang merayakan natalan 25 Desember 2006 lalu, bukanlah satu dari sekian banyak isu yang mencuat di permukaan, yang kedatanganya hampir-hampir dianggap menantang aqidah seseorang dan memaksanya untuk keluar dari keyakinan yang dianut. Tapi, hal demikian lebih pada soal pemahaman dan tafsir dalam wacana keagamaan yang bersifat dinamis dan menyejarah.
Abdurrahman Badawi dalam Min Tarikh al-Ilhad fi al-Islami menyebutkan tokoh-tokoh muslim yang dianggap sesat dan bersimpangan jalan dengan tradisi Islam. Sebut saja misalnya, Ibn al-Muqaffa, Muhammad Zakariya ar-Razi, Ibn ar-Rawandi, Jabir Ibn Hayyan dan tokoh-tokoh lainya. Dalam bukunya, Badawi mengurai dengan jelas prilaku semua tokoh sambil mengekplorasi argumen-argumen mereka, kenapa mereka dianggap sesat dan atheis (mulhid). Dalam setiap pendapatnya mereka sering mendapatkan perlakukan yang tidak sesuai dengan fitrah kemanusiaan, seperti julukan sesat, murtad, atheis bahkan sampai pada penyiksaan fisik dan ekslusi.
Klaim kebenaran dalam setiap diskursus ilmu sosial dan keagamaan seperti disebutkan di atas lebih sering terjadi, dan bahkan sudah terlanjur mengendap dan menubuh dalam kesadaran umat manusia hingga kini. Fenomena ini seakan telah menjebol setiap dinding ruang dan waktu di mana manusia hidup hingga melahirkan getaran dan patahan dalam sejarah. Hal demikian akan selalu memadati dan menyeruak dalam panggung sejarah dunia dan bangsa-bangsa, kini, esok dan masa yang akan datang. Bila manusia dalam keseluruhan hidupnya tidak pernah menghayati dan memahami arti sebuah akal, yang darinya kebebasan muncul untuk memperjuangkan berbagai keragaman dan pendapat.
Agama dan Paham Keagamaan
‘Agama dimulai dengan hening, sunyi dan senyap’, kata Goenawan Mohamad. Ia tidak hanya datang dari sebuah ‘uzlah yang panjang hingga melahirkan kesuyian, juga bukan karena ia datang dari sebuah saat yang dahsyat (wahyu) hingga melahirkan keheningan. Lebih dari itu, keheningan dan kesunyian dalam agama lebih menggambarkan wataknya yang ramah, santun, dan beradab. Karena itu merupakan misi utama dari kedatanganya ke muka bumi ini. Namun dalam seluruh perwujudanya, agama menjadi tanda yang bengis, seram, dan menakutkan. Ia seakan lebih menakutkan dari Monster dan lebih membahayakan dari Dracula. Setiap saat kita sering menyaksikan pertikaian dan ketegangan yang mengatasnamakan agama. Dan tak jarang pula kita menyaksikan fenomena klaim kebenaran dan sikap sok suci.
Sikap seperti itu sesungguhnya sudah terekam dengan jelas dalam diskursus wacana agama yang selalu berkutat pada isu “kemapanan” (ats-tsâbit) dan “perubahan” (al-mutahawwil), atau dalam istilah Mohammad Iqbal “kebakaan” dan “kefanaan”. Dua hal tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab para cendikiawan muslim dewasa ini untuk bisa mendamaikan dan mengkompromikannya dalam satu tujuan, memahami keragaman dan mengakui pluralitas makna dalam setiap diskursus wacana agama.
Dalam konteks wacana agama, kita sering kali dikacaukan dengan sebutan ‘agama’ dan ‘paham keagamaan’, atau dalam istilah Sa’id al-Asymawi sebagai ad-Din wa al-Fikr ad-Din. ‘Agama’ sejak semula dipahami oleh para rasul dan pemeluknya sebagai sesuatu yang memiliki makna yang tetap dan abadi hingga kapanpun. Ia bersifat al-tsâbit, konstan, abadi, ilahi, permanen, dan sakral. Sebab, sumber agama adalah Zat yang Azali, yang Maha Kekal dan yang tidak mengalami perubahan dan pergeseran sedikitpun. Tapi pada saat yang sama, setiap pemeluk agama malah tidak memahami makna lain yang mengiringi makna yang bersifat tetap dan abadi tersebut, yakni ‘paham keagamaan’. Ia lebih bersifat manusiawi, dinamis, transformatif, al-mutaghayyir, berubah-ubah, temporal, dan profan.
Maka, ikhtiar mengidentikan keduanya dalam keseluruhan tafsir dan pemahamanya merupakan kesalahan yang besar. Karena, hal tersebut akan berpengaruh pada bagaimana kita beragama. Pada momen seperti inilah, Abdul Karim Soroush memberikan kontribusi penting dengan menawarkan satu teori yang cukup populer, yaitu teori ‘pengembangan’ dan ‘penyusutan’ (al-qabdh wa al-basth). Soroush menjelaskan inti dari teorinya itu, bahwa dengan teori ‘pengembangan’ dan ‘penyusutan’ kita dapat memahmi perbedaan antara ‘agama’ dan ‘pemaham keagamaan’. Munculnya berbagai wacana kegamaan yang cukup kontroversial dewasa ini seperti, persoalan pluralisme, sekularisme, liberalisme, dan juga mengucapkan hari natal bagi umat kristiani sesungguhnya lebih mencerminkan pada dimensi ‘paham agama’ bukan ‘agama’ itu sendiri. Ia merupakan serpihan puing-puing yang dinamakan paham agama, bukan bangunan kokoh yang namanya agama. Ia tak lebih sebagai percikan sinar matahari dan bukan matahari itu sendiri. Singkatnya, agama pada dirinya bersifat tunggal dan universal, sementara pemahaman terhadapnya bersifat partikular, beragam, dan temporal, karena ia adalah produk dari hasil sebuah kreasi manusia yang dikembangkan akal. Sementara tabiat akal itu sendiri, menurut Sa’id al-Asymawi adalah ikhtilaf dan mengandung keragaman, “Thabi’at al-‘Aql al-Ikhtilaf”.
Celakanya, perbedaan pemahaman dalam wacana keagamaan yang nampak di atas permukaan akir-akhir ini lebih dimotivasi dan didorong oleh unsur kepentingan. Sehingga, makna hakiki yang terkandung dari sebuah teks terabaikan. Oleh karenanya, dalam melakukan tafsir terhadap teks-teks keagamaan, baik al-Qur’an maupun hadits misalnya, menurut Nasr Hamid Abu Zaed, paling penting adalah bagaimana menangkap pesan teks dalam makna yang sesungguhnya, bukan sebagai ideologi yang dapat dipolitisir dan dimanipulasi demi kepentingan kelompok atau individu. Teks harus dibebaskan dari macam-macam kepentingan. Ia tidak boleh memihak dan memilih identitas tertentu. Apalagi bertujuan untuk meneguhkan kemapanan kelompok tertentu. Bila tafsir keagamaan yang muncul di permukaan dan diserap manyoritas umat Islam lebih bersifat tendensius dan mencerminkan kepentingan idiologi kelompok tertentu, maka tak heran jika klaim kebenaran menjadi semakin menyeruak dan menjadi tantangan yang harus dihadapi.
Mengedepankan Tradisi Dialog
Dalam perhelatan sejarah yang panjang dan mengemuka pada setiap lini kehidupan umat manusia, pertentangan antara kelompok ‘yang menginginkan kemapanan’ dengan kelompok ‘yang menginginkan perubahan’, atau antara kelompok ‘yang bernalar eklusif’ dengan kelompok ‘yang bernalar inklusif’ sering melahirkan tragedi dan represi. Maka damai dalam kondisi seperti ini adalah kata yang selalu dipinta, dinanti, diminati, dan bahkan didamba setiap manusia, bangsa, dan peradaban manapun. Namun, untuk meraihnya amat sulit dilakukan, terkadang kita harus melewati jalan yang terjal dan berliku-liku, tersandung dan tersungkur jatuh.
Dalam kaitan inilah bisa ditegaskan bahwa dialog menjadi aspek terpenting dalam setiap diskursus diantara pertentangan dan perhelatanya. Dialog merupakan sarana perjumpaan ide dan gagasan yang mengandaikan di dalamnya terjadi saling menghormati dan mengakui masing-masing kutub dalam keragaman dan pluralitas. Karena, esensi dari sebuah dialog itu sendiri merupakan manifestasi dari pluralitas kemajemukan ciptaan Tuhan. Dalam dialog memungkinkan kita untuk mengedepankan sikap saling memberi dan menerima, mengisi dan melengkapi, serta menegor dan menyapa. Namun demikian, dialog yang kita inginkan adalah dialog yang aktif, membuahkan, dan menghasilkan kebenaran, bukan dialog pasif dan mandul.
Dalam tradisi pemikiran Islam, model dialog yang demikian disebut dengan "dialektik-dialogis" (al-Hiwar al-Jadali), yaitu dialog yang dimulai dengan memperhadapkan dua pendapat yang berbeda, lalu satu sama lain saling mengkritik, membongkar, mendekonstruksi, dan akhirnya merekonstruksinya kembali dengan cara memilih dan mempertahan kebenaran yang diyakininya, sambil tetap menghargai dan memahami pendapat masing-masing tanpa saling merendahkan dan menafikan yang lain. Karena hakikat dialog itu sendiri adalah mencari kebenaran dari sebuah persoalan, bukan memaksakan kehendak (egois) agar lawan debat kita membenarkan dan mengikuti pemahaman yang kita pegang teguh.
Untuk menghindari hal demikian, Ibn Rusyd seorang filosof Cordoba memberikan penjelasan penting bagaimana seharusnya kita dialog. Ia mengatakan “ketika menemuka bahwa pandangan lawan itu buruk atau tidak memiliki premis-premis tertentu yang bisa menghilangkan keburukan tersebut, seorang pencari kebenaran semestinya mencari hakikat sejalan dengan metode yang diyakini si lawan dalam mengukuhkan pendapatnya, selain mempelajari pendapat itu secara berulang-ulang dan berurutan”. Hal ini mengandaikan bahwa dalam berdialog kedua belah pihak dituntut untuk menjaga etika dialog, dimana setiap pihak melihat pandangan dan pendapat pihak lain dari kacamata referensi pihak terakhir. Dengan ini akan lahir kesalingpahaman yang menjadi syarat pokok untuk mengakui sebuah perbedaan.
Di pihak lain, Abu Hamid al-Ghazali seorang teolog Asy’ariyah yang pernah menjadi lawan debat Ibn Rusyd, juga memberikan gambaran serupa. Dalam salah satu kitabnya “Maqâsidh al-Falâsifah”, ia menegaskan bahwa fa Inna al-Wuqûf ‘alâ Fasâd al-Mazhâhib qabla al-Ihâthati bi Madârikihâ Muhâlun bal Huwa Ramâ fî al-‘Imâyati wa adz-Dzhalâlati, bahwa memberikan penilaian atas suatu kelompok atau pendapat tanpa mengkaji dan menganalisisnya terlebih dahulu sungguh merupakan kezholiman dan kejahatan yang mengerikan. Kejahatan dalam berdialog tidak saja terjadi ketika satu sama lain saling memaksakan kehendaknya untuk diikuti, tapi juga terjadi ketika satu sama lain tidak saling mengkaji dan memahami terlebih dahulu pendapat masing-masing. Model seperti ini akan menciptakan sikap egoistis, ingin menang sendiri serta akan melahirkan anggapan dan prasangka yang memihak.
Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Ibn Rusyd dan al-Ghazali sama-sama sepakat bahwa munculnya kesalahpahaman hingga melahirkan tuduhan dan klaim kebenaran, disebabkan karena tidak adanya upaya untuk memahami pendapat lawan debatnya, terlalu egois, dan tidak mencoba untuk memahami metode yang digunakan oleh lawan. Sehingga, kesimpulan yang dihasilkannya pun cenderung merugikan pihak lawan. Oleh karenanya, dalam membangun sebuah dialog, langkah yang mungkin kita lakukan adalah mengkaji, mempelajari, dan memahami terlebih dahulu pendapat lawan sebelum melakukan penilaian dan penghakiman. Karena itu merupakan cara yang bijak yang hanya dilakukan oleh orang yang bijak.
Atas pertimbangan itu, apa yang dilakukan Muhammadiyah memecat saudara Shofan dari jabatanya sebagai Dosen tetap, tanpa adanya upaya komunikasi dan diskusi yang dapat mencairkan masalah. Sungguh merupakan keputusan yang tidak dapat digolongkan kedalam kategori orang-orang bijak. Sebab, keputusan itu dilakukan secara sepihak. Sebagai organisasi yang mengusung nilai-nilai modernitas, sejatinya Muhammadiyah melakukan instropeksi diri dan kembali kepada khittah awal. Yaitu sebagai organisasi yang memperjuangkan pembaharuan (tajdid) sebagaimana yang menjadi cita-cita ideal KH. Ahmad Dahlan.
Pendeknya, bila Muhammadiyah ingin konsisten disebut sebagai gerakan tajdid, maka upaya yang harus dilakukan kemudian adalah memberi kesempatan dan kebebasan kepada generasi muda untuk mengekspresikan segala macam bentuk kreatifitas, berpikir kritis, dan bernalar inklusif. Dengan mengedepankan nalar inklusif, maka telah membunuh nalar dogmatis yang sifatnya selalu menafikan pendapat pihak lain dan menganggapnya sebagai wacana ‘terlarang dipikirkan’. Bila ini terjadi, menurut Arkoun konsekuensinya adalah wacana itu akan menjadi wilayah ‘tak terpikirkan’ (alla al-mufakkar fih) selamanya. Wallhu ‘alam bisshawab.