Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 28 Januari 2008

Senin, Januari 28, 2008 0
Kegagalan Annapolis
Dimuat di SINDO (Selasa 04 Des 2007)

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Annapolis merupakan sebuah kota kecil dengan jumlah penduduk kurang dari 500 ribu yang terletak di Negeri Bagian Maryland, dekat Washington DC. Di kota kecil itulah Konferensi Damai Palestina-Israel yang digagas Amerika Serikat (AS) diselenggarakan, dengan dihadiri hampir 52 negara dan organisasi internasional, termasuk di dalamnya Indonesia. Konferensi yang digelar selama dua hari, 27-28 November 2007 ini diharapkan dapat memberikan hasil yang maksimal, yaitu menciptakan perdamaian Palestina-Israel yang sudah sekian tahun hingga kini masih saja terjadi konflik bedarah. Namun, setelah dua hari para peserta konferensi dari berbagai negara dunia itu berembuk dan melakukan negosiasi, hasil yang dicapai hanya kegagalan dan kekecewaan belaka. Mereka pulang ke negerinya masing-masing dengan tangan hampa, tanpa ada hasil yang dapat diberikan untuk kesejahteraan masyarakat Palestina.

Jauh sebelum diselenggarakanya konferensi itu banyak kalangan, baik dari pengamat politik nasional maupun internasional memprediksikan kemungkinan besar capaian yang akan didapat adalah ‘kegalan’. Mereka menyebutkan bahwa konferensi damai di Annapolis hanya sekedar konsumsi publik semata untuk memperbaiki citra pemerintah Presiden AS George Walker Bush yang akan mengakhiri jabatanya pada tahun 2008 nanti. Sepertinya Bush dalam hal ini ingin memberikan pemahaman kepada masyarakat dunia bahwa Bush bukanlah tokoh yang selalu harus dipersalahkan, teruatama setelah kegegalanya dalam perang Irak dan Afghanistan.

Pada kesempatan lain, beberapa hari sebelum diselenggarakanya konferensi Annapolis, Perdana Menteri (PM) Israel Ehud Olmert menyatakan, seakan memberikan sikap psimisnya akan hasil yang akan dicapai dalam konferensi itu, “Jangan berharap terlalu banyak dari Annapolis. Di sana nanti tidak akan ada keputusan yang bersifat spesifik. Dan bahkan mungkin tidak ada pernyataan bersama Palestina-Israel”.

Pernyataan Olmert di atas semakin diperkuat dengan munculnya pemberitaan dari Harian Israel, Haretz, Kamis (22/11) lalu. Dalam beritanya, Haretz membocorkan draf dokumen politik bersama yang gagal dicapai antara perundingan Israel dan Pelstina. Dalam draf itu Israel menolak untuk memecah kota Jerusalem dan membahas isu nasib pengungsi Palestina, serta menuntut Palestina mengakui negara Israel sebagai negara Yahudi yang legal (sah).

Sejauh analisis penulis, kegagalan konferensi Annapolis disebabkan, paling tidak karena diabaikanya dua faktor penting oleh para peserta konferensi. Pertama, tidak dilibatkanya dua unsur yang dapat menentukan masa depan perdamaian Palestina-Israel, yaitu Negeri para Mullah, Iran dan Hamas yang hingga kini seharusnya diakui sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Palestina.

Dan kedua, isu-isu penting dalam konteks konflik Palestina-Israel seperti status kota Jerusalem, perbatasan, pengungsi Palestina, sama sekali tidak disinggung. Padahal, isu-isu tersebut merupakan tuntutan dan harapan dari masyarakat Palestina.

Dengan diabaikanya dua faktor penting tersebut menunjukan ketidakkonsistenan AS untuk menciptakan perdamaian abadi Palestina-Israel. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan negara-negara yang hadir dalam konferensi damai tersebut.

Kepentingan AS-Israel
Seorang Pakar politik Timur Tengah, Riza Sihbudi dalam bukunya Menyandera Timur Tengah, menuturkan bahwa AS dalam setiap kebijakannya di Timur Tengah, khususnya terkait dengan perdamaian Palestina-Israel akan selalu mendukung dan melindungi kepentingan Israel secara penuh daripada Palestina. Ini disebabkan karena AS selalu berpatokan pada doktrin “Israel First”, sebagai dasar utama untuk melindungi kepentingan Israel. Bagi AS, Israel adalah segala-galanya karena ia (Israel) anak kandung AS sendiri yang diciptakan dan dibentuk sedemikian rupa untuk kepentingannya dalam melawan negara-negara Timur Tengah.

Seiring dengan pernyataan Riza Sihbudi di atas, Michael C. Hudson, Direktur Center for Contemporary Arab Studies, Georgetown University menyebutkan bahwa terdapat dua aliran pemikiran di kalangan intelektual dan politisi AS terkait dengan sikap AS terhadap negara-negara Arab (khususnya Palestina). Pertama, aliran “Isarel First” yang membela dan mendukung kepentingan negeri Yahudi, Israel. Dan kedua, aliran “Evenhanded”, yaitu aliran yang menghendaki agar AS bersikap “lebih adil” dan “bijaksana” di Timur Tengah. Namun, kata Hudson, dalam kenyataanya pendukung doktrin “Isarel First” di AS lebih mendominasi ketimbang pendukung aliran “Evenhanded”.

Akibatnya, bisa kita prediksi bahwa dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan AS terkait isu damai Palestina-Israel, AS lebih mengedepankan kepentingan Israel. Apalagi dominasi pengikut doktrin “Israel First” dalam proses pembuatan kebijakan di AS mendapatkan dukungan lebih dari para pejabat penting baik di Dewan Keamanan Nasional (NSC), Pentagon, Departemen Luar Negeri, maupun kalangan intelijen (CIA). Dari pembacaan di atas, kita dapat menimbang bahwa konferensi damai di Annapolis yang direncanakan langsung oleh pihak AS untuk terciptanya perdamaian abadi Palestina-Israel tidak akan menguntungkan dan memberikan apa-apa bagi pihak Palestina. Justru hanya untuk memenuhi hasrat dan kepentingan AS-Israel semata. Hal ini terbukti dengan tidak adanya hasil konkret yang dapat diberlakukan dalam konteks perdamaian Palestina-Israel.

Maka sangat disayangkan sekali kehadiran negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Irak, Mesir, dan Yordania, juga negara luar Timur Tengah seperti Malaysia dan Indonesia yang menjadi delegasi dalam menghadiri konferensi damai Annapolis itu. Kehadiran mereka, khusunya Indonesia dalam konferensi tersebut sebetulnya tidak akan membawa dampak apa-apa bagi perbaikan dan perkembangan Palestina, terutama bagi bangsa Indonesia sendiri, selain membuang-buang waktu, energi dan tenaga saja. Dengan begitu, Indonesia dan juga peserta konferensi damai di Annapolis harus mengambil pelajaran dari kegagalan berbagai konferensi damai Palestina-Israel yang pernah diselengagrakan AS. Jauh sebelum Bush, Bill Clinton pernah mempertemukan pemimpin Palestina Yaseer Arafat waktu itu dan PM Israel Ehud Barak di Camp David pada 2000 lalu. Namun hasilnya pun sama, hanya menghasilkan “proses perdamaian”, bukan perdamaian itu sendiri.

Akhirnya, kita hanya bisa mencatat dan mengingat bahwa konferensi damai di Annapolis atas prakarsa AS itu merupakan satu dari sekian sejarah kegagalan AS dalam upayanya menciptakan perdamaian Palestina-Israel. Sejarah itu hanya sebagai kenangan yang berlalu tanpa makna besar, khususnya bagi kedua pihak yang bertikai Palestina dan Israel. Yang jelas, konferensi damai di Annapolis tidak membawakan hasil yang konkret ke arah perdamaian, hanya keputusan final yang akan dicapai pada akhir 2008. Satu hal yang harus menjadi catatan Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan PM Israel Ehud Olmert, apakah mereka masih ingin melakukan negosisi kembali di penghujung tahun 2008? Jika mereka masih melakukan negosiasi, tidak cukupkah hasil yang dicapai (kegagalan) di Annapolis kemarin? Kita serahkan pada mereka berdua untuk memilih mana yang terbaik demi terciptanya perdamaian abadi Palestina-Israel. Kita tunggu di penghujung 2008 nanti.
Senin, Januari 28, 2008 0
Makna Simbolik Qurban
Dimuat di Suara karya (Rabu, 19 Desember 2007)

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Di penghujung tahun 2007, tepatnya tanggal 20 Desember besok, umat Islam akan merayakan hari raya Idul Adha atau biasa disebut dengan Idul Qurban. Qurban berasal dari kata qaraba-yaqrabu-qurbanan berarti mendekati, menghampiri, dan mendatangi. Pengertiannya adalah proses mendekatkan diri manusia kepada Allah SWT dengan penuh ketabahan, kepasrahan dan pengurbanan secara totalitas.

Ritual qurban atau kurban berawal dari peristiwa Nabi Ibrahim dan anaknya, Ismail, ketika Ibrahim mendapat perintah dari Allah SWT untuk menyembelih Ismail. Tradisi kurban ini sudah dikenal sejak manusia pertama, Nabi Adam, ketika Allah memerintahkan kedua anak Adam (Habil dan Qabil) untuk mempersembahkan hasil tanaman dan hewan peliharaanya sebagai bukti ketaatan dan kepatuhan kepada-Nya (QS. Al-Maidah: 27).

Menurut Ali Syariati, intelektual asal Iran, peristiwa kurban sarat akan makna simbolik, di antaranya menghargai harkat martabat manusia untuk tetap hidup dan menekankan kehidupan sosial sebagai wujud kepasrahan yang total kepada Allah SWT. Namun, dalam segala perwujudannya, dulu dan sekarang, makna qurban telah bergeser menjadi sebuah tradisi ritual belaka yang tidak memiliki nilai apa-apa.

Membunuh adalah salah satu perbuatan yang dibenci Allah SWT. Secara moral pun membunuh sangat bertentangan dengan hak hidup manusia untuk bernapas bebas di muka bumi ini. Membunuh akan melahirkan kebencian, permusuhan, pertikaian dan memperpanjang rantai perselisihan keluarga, yang pada akhirnya berdampak dendam-kesumat yang tak kunjung usai.

Dalam konteks masyarakat modern sekarang ini, kita sering menyaksikan aksi terorisme, radikalisme, dan anarkisme, baik yang berlatar agama, kelompok maupun etnis. Pembunuhan terjadi di mana-mana, dari bom bunuh diri seperti yang terjadi di beberapa daerah dan negara. Padahal Al-Qur'an menandaskan, menghilangkan nyawa seorang manusia, seolah-olah ia telah menghilangkan nyawa manusia seluruhnya, karena nyawa manusia sangat penting bagi keberlangsungan hidupnya.

Dalam kurban, kenapa binatang ternak yang dikorbankan? Binatang adalah simbol keburukan, kejahatan, dan kerakusan. Sifat-sifat ini akan berimplikasi pada kehancuran dan kebinasaan. Seseorang yang sering melakukan kekerasan, teror, penindasan, kerusakan dan sejenisnya oleh Allah dalam beberapa ayat Al-Qur'an diumpamakan dengan binatang. Dengan memotong binatang ternak diharapkan sifat-sifat dan karakter kebinatangan yang terdapat pada diri kita terhapus.

Momentum kurban kali ini perlu kita maknai tidak hanya sekadar wujud kepasrahan Nabi Ibrahim yang total kepada Allah SWT. Lebih dari itu kurban mempunyai makna pembebasan manusia dari sifat-sifat kebinatangan, dari kesemena-menaan dan kesewenang-wenangan terhadap manusia. Ali Syari'ati menjelaskan dalam Hajj bahwa ketika Allah SWT mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba, tersirat pesan kepada manusia agar tidak lagi menginjak-injak harkat martabat kemanusiaannya.

Peristiwa tersebut juga ingin menegaskan kepada kita bahwa Tuhannya Ibrahim bukanlah Tuhan yang haus darah dan suka berperang. Dia adalah Tuhan yang ingin menyelamatkan dan membebaskan manusia dari tradisi yang tidak menghargai manusia dan kemanusiaan, dan dari tradisi yang suka mempersembahkan nyawa manusia untuk para dewa dan roh suci. Dia adalah Tuhan yang ingin menyelamatkan manusia dari tradisi yang sering menumpahkan darah kepada tradisi yang penuh dengan rahmat dan anugerah. Dalam kurban, seperti juga zakat, haji, puasa dan shadaqah, terkandung di dalamnya nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. Islam adalah agama yang tidak dapat dipisahkan dari dimensi sosialnya. Dalam konteks ini, ibadah kurban tidak boleh hanya dipahami sebagai upaya untuk mencapai kemaslahatan ukhrowi belaka, tapi lebih dari itu bertujuan untuk terciptanya kemaslahatan dan kebaikan duniawi. Karena setiap pensyariatan dalam Islam, terkandung tujuan syariat (maqhasid as-syari'ah), yaitu tercapainya kemaslahatan dan kebaikan bagi umat manusia di dunia dan akhirat.

Pertanyaannya, kenapa makna kurban secara subtansial sebagai tradisi sosial dan kemanusiaan telah bergeser menjadi tradisi ritual belaka? Sulit jawabannya, karena dilatarbelakangi oleh sejarah yang sangat panjang di mana risalah sosial-kemanusiaan Islam yang sebetulnya menjadi tujuan utama sebuah agama tereduksi oleh ritualisme aspek ibadah kepada Tuhan semata. Seakan-akan agama hanya untuk kepentingan individu dengan Tuhan semata, terlepas dari kepentingan sosial dan kemanusiaan. Meminjam perspektif Hassan Hanafi, intelektual Mesir kontemporer, bahwa keberagamaan seperti itu merupakan cara keberagamaan yang terlalu teosentris, abstrak dan melangit. Kalau kita coba kaitkan ibadah kurban dengan fenomena sosial di negara kita, Indonesia, sesungguhnya persoalan paling mendasar yang sedang kita hadapi adalah persoalan kemiskinan dan ketidakadilan. Kita melihat, kemiskinan lebih banyak dirasakan orang, sementara kekayaan hanya dicicipi segelintir orang. Karena itu, persoalan utama yang harus kita perjuangkan adalah bagaimana kita bisa menegakkan keadilan dalam struktur sosial. Kalau persoalan itu yang kita hadapi, maka relavansi Idul Qurban saat ini adalah mewujudkan keadilan sosial diantara manusia, memberantas kemiskinan, sehingga kekayaan tidak menumpuk pada sekelompok orang saja. Bila ini kita lakukan, maka kita telah mengamalkan makna simbolik kurban itu.

Akhirnya, ada dua hal yang penting terkandung di dalam ibadah kurban. Pertama, semangat ketauhidan atau keesaan Tuhan yang tidak lagi membeda-bedakan manusia yang satu dengan lainnya. Di sini juga terkandung pesan pembebasan manusia dari penghambaan kepada selain Allah, seperti para dewa dan roh jahat. Kedua, kurban juga dapat diletakkan dalam kerangka penegakan nilai-nilai kemanusiaan, seperti menyantuni fakir-miskin, saling membantu tanpa dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan di luar pesan ketuhanan itu sendiri.

Minggu, 27 Januari 2008

Minggu, Januari 27, 2008 0
Pengontekstualan Pesan Agama
Dimuat di Media Indonesia

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Peneliti pada Pusat Studi Islam dan kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Agama adalah seperangkat nilai yang mengatur kehidupan manusia secara individu dan sosial. Dengan demikian, menurut hemat penulis, hal tersebut dengan sendirinya akan menghasilkan dimensi-dimensi keagamaan dalam kehidupan manusia yang dapat ditampakkan dalam berbagai aspek kehidupan, baik berbangsa, bernegara, maupun bermasyarakat.

Dalam pemahaman umat beragama, setiap fenomena sosial dan individual bisa dilacak akar permasalahannya dari sisi agama. Sehingga, pertanyaan yang muncul kemudian ialah sejauh mana peran agama dalam mengatur kehidupan bangsa kita ini, kini, esok, dan masa yang akan datang?

Bila diyakini bersama bahwa agama telah menjadi sumber pandangan hidup bagi para pemeluknya, lalu mengapa fenomena sosial dan individual yang dijumpai pada saat ini tidak mencerminkan religiusitasnya sebagai orang yang taat terhadap agama? Fenomena kekerasan, budaya korupsi, kesewenang-wenangan, penindasan, ketidakadilan, pengonsumsian obat-obat terlarang, dan lain sebagainya kerap kita jumpai dalam keseharian bangsa kita. Kesemuanya masih mencerminkan perilaku tidak beradab dan tidak memiliki religiusitas sama sekali. Watak retak lebih ditampakkan daripada watak ramah dan toleran.

Atau memang pada kenyataannya, fenomena sosial dan individual seperti itu merupakan cermin dari religiusitas masyarakat kita saat ini. Jika demikian kenyataannya, titik persoalannya ialah pada konstruksi religiusitas, yaitu pada interpretasi agama bukan pada agama itu sendiri. Said al-Asymawi dalam Jauhar al-Islam membedakan antara agama dan pemahaman keagamaan atau dalam perspektif Muhammad Iqbal al-Baqa dan al-Fana.

Agama pada dirinya tetap dan abadi tidak ada yang berubah. Tidak seperti pemahaman keagamaan kita yang selalu mengalami perubahan dan pergeseran makna sesuai dengan perkembangan zaman pada konteksnya. Sehingga, sebuah interpretasi terhadap nilai dan ajaran agama dengan sendirinya akan berpengaruh besar kepada perilaku dan posisi umat beragama dalam kehidupan sosialnya kini, esok, dan masa yang akan datang.

Ketidakadilan, penindasan, dan kesewenang-wenangan merupakan sejumlah masalah yang muncul sebagai akibat dari perkembangan masyarakat modern yang tidak diimbangi dengan kesanggupan agama untuk menyelesaikannya dengan baik dan sesuai dengan tuntutan zamannya. Ketidaksanggupan itu berpangkal dari cara pandang kita yang masih didominasi pemikiran Islam formal yang menitikberatkan pada ibadah vertikal belaka (teosentris), hubungan manusia dan Tuhannya saja. Dan mengabaikan ibadah horizontal, yang menitikberatkan pada hubungan manusia dengan manusia lainnya. Lalu apa yang harus kita lakukan?

Reinterpretasi
Kondisi tersebut tentunya tidak mungkin terus dibiarkan berlarut-larut karena hal itu akan mengakibatkan kerugian bagi manusia dan kemanusiaannya, baik dalam agama maupun budaya. Tanpa adanya upaya penyegaran kembali paham keagamaan, agama akan semakin mengasingkan manusia dari kenyataan hidupnya. Jika agama sudah terasing dan tidak berakar pada kenyataan yang tengah dihadapi, lalu apa makna agama sebagai pesan Tuhan yang mewartakan perubahan sebagaimana yang telah dilakukan para nabi? Lalu di mana peran manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi?

Jika kondisi tersebut dibiarkan dan diabaikan, agama juga akan mengalami stagnasi dan masa krisis. Sehingga, yang terjadi adalah agama tidak lagi berfungsi sebagai emansipasi kemanusiaan yang emansipatoris, tetapi sebagai kekuatan tertentu yang tidak berdasarkan pada rasa kemanusiaan. Pada akhirnya, agama tidak bergerak pada aspek kemanusiaan yang lebih tinggi, tetapi melorot melayani hasrat kemanusiaan yang paling primitif dan biadab.

Maka, titik temu atas masalah tersebut harus dicari dan dielaborasi. Pencarian dan elaborasi hanya mungkin dilakukan jika agama 'dibaca' dan 'dipahami' dengan memberi ruang akomodasi dan rekonsiliasi dengan perkembangan masyarakat sesuai dengan hajat hidup orang banyak. Dalam kaidah fikih disebutkan 'Al-Hukmu Yaduru ma'a 'ilatihi Wujudan wa 'Adaman' dan 'Tagayyur al-hukmi bi tagayyur al-amkani wa al-azminati'.

Bahwa hukum atau pemahaman keagamaan akan berubah sesuai dengan kondisi zamannya, karena hukum muncul dari realitas yang ada. Artinya, agama akan memiliki peran yang baik di tengah kondisi zaman yang terus berubah-ubah, jika interpretasi terhadap teks-teks keagamaan dimungkinkan untuk merengkuh pemahaman yang segar dan menzaman.

Di atas itu semua, bahwa kita harus memosisikan agama sebagai seperangkat nilai yang merupakan prinsip dan sumber inspirasi masyarakat, bukan memenjarakan mereka ke dalam jurang kekakuan dan mendekap mereka ke dalam keterasingan. Sebagai tata nilai yang menyeluruh, agama tidak hanya dipahami sebagai doktrin mati, tetapi juga sebagai prinsip-prinsip yang bisa dibaca dan dilaksanakan secara kontekstual. Karena itu, menurut Abou Fadhl, kita harus membedakan antara urusan ibadah yang bersifat tetap dalam agama, dan urusan kemasyarakatan yang dinamis.

Jadi, sepanjang menyangkut masalah ibadah, ketentuan-ketentuan dalam agama bersifat tetap dan baku. Kalaupun ada perbedaan, merupakan perbedaan dalam hal yang bersifat teknis dan detail. Sedangkan dalam hal selain ibadah, yaitu hubungan manusia dengan manusia dan alam yang biasa juga disebut dengan urusan muamalah, bersifat sangat dinamis bergantung pada perkembangan masyarakat. Namun demikian, karena agama adalah tata nilai yang menjadi pedoman hidup manusia, sehingga perkembangan muamalah pun harus berdasarkan pada nilai-nilai keagamaan. Pendasaran pada nilai-nilai itu tidak berarti bersifat tetap, tetapi dinamis. Nilai-nilai keagamaan bisa berkembang dan ditafsirkan sesuai dengan realitas yang dihadapi.

Sekali lagi, proses reinterpretasi terhadap teks-teks keagamaan adalah sebuah keniscayaan tanpa harus meninggalkan nilai-nilai fundamental sebagai ciri dari agama itu sendiri. Ali Harb dalam Naqd an-Nash menegaskan bahwa teks bukan 'subjek' yang mati, tetapi dinamis dan dapat diinterpretasikan terus-menerus tanpa kehilangan maknanya yang konstan. Tanpa reinterpretasi, agama akan mengalami pembusukan dari dalam dan dengan sendirinya akan terlibat ketegangan dengan perkembangan zaman, baik positif maupun negatif. Kita tidak menginginkan agama kita memasung umatnya sendiri.

Oleh karenanya, dalam melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan, baik Alquran maupun Al-Hadits yang paling penting untuk dilakukan adalah bagaimana menangkap pesan teks tersebut dalam makna etika, bukan sebagai ideologi yang dapat dipolitisasi dan dimanipulasi demi kepentingan kelompok atau individu. Teks harus dibebaskan dari macam-macam kepentingan. Ia tidak boleh memihak dan memilih identitas tertentu.

Sisi transendental (ilahiyat) adalah ciri utama dari pola pikir agama. Bahwa segala pemikiran dan tindakan harus berorientasi kepada Tuhan sebagai wujud kesalehan seseorang. Namun demikian, Hassan Hanafi dalam Min al-Aqidah ila Tsaurah menegaskan bahwa penafsiran yang bersifat teosentris harus dihindari dan dijauhi. Karena penafsiran semacam itu hanya berorientasi kepada hal-hal yang bersifat ke-Tuhan-an tanpa memperhatikan aspek sosial. Penafsiran yang melulu teosentris sering mengorbankan manfaat kemanusiaan dan melupakan bahwa sesungguhnya agama itu diturunkan adalah untuk manusia, karena Tuhan sebetulnya tidak membutuhkan apa-apa dari manusia. Lebih parah lagi teosentris mutlak bisa menjebak penganutnya pada pemikiran dan sikap yang mengatasnamakan Tuhan, seperti peperangan dan kekerasan atas nama Tuhan yang dari dulu hingga kini banyak terjadi.

Artinya, penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan harus memerhatikan kepentingan kemanusiaan (anthroposentris). Bahwa sesungguhnya agama diturunkan sebagai rahmat bagi alam, termasuk manusia yang juga dibebani tugas sebagai pemimpin alam. Agama harus berguna bagi kehidupan manusia dan perkembangan sosial sesuai dengan realitas yang dihadapi. Pendekatan antroposentris juga merupakan legitimasi religius terhadap nilai-nilai hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia dalam konsep beragama akan memperkuat semangat inklusivitas dan toleransi antarumat beragama serta penolakan cara-cara kekerasan dalam beragama.

Akhirnya, semua kembali kepada manusia yang diciptakan sebagai makhluk yang sempurna dan mulia untuk mengemban kewajibannya sebagai wakil Tuhan yang dengan sendirinya telah dibekali nilai-nilai ke-Tuhan-an (ilahiyah) dan kemanusiaan (insaniyah) dalam ajaran agama-agama. Karenanya, manusia yang hidup dalam masanya, harus bisa memahami dan kemudian mewartakan kejadian dan masalah yang menghadang kemanusiaan pada masa itu serta bagaimana menyelesaikannya. Hal itu bisa dilakukan dengan melakukan reinterpretasi demi terwujudnya penyegaran pemahaman keagamaan kita.