Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 27 Oktober 2008

Pertikaian di Seputar Tafsir Keagamaan

Senin, Oktober 27, 2008 0

Tulisan ini Pernah dimuat di buku “Esai-Esai Pemikiran Moh. Shofan dan Refleksi Kritis Kaum Pluralis”

Oleh: Mohamad Asrori Mulky

Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta


Apapun yang menjadi penghalang, seberat apapun perang batin kita. . .kita selalu punya pilihan. Pilihan kita lah yang menjadikan diri kita. Dan kita selalu bisa memilih untuk melakukan yang benar.

Abstrak

Ungkapan di atas sangat relevan bila dikaitkan dengan bentuk ekspresi keberagamaan kita pada hari ini, esok, dan masa yang akan datang. Betapa tidak, munculnya fenomena klaim kebenaran dewasa ini tidak saja telah membunuh fitrah keragaman dalam beragama, tapi juga ia telah menjadi penghalang dalam menentukan pilihan yang dianggap benar dan sah menurut timbangan hati dan nurani kita. Faktanya, terkadang kita lebih sering dituntut untuk menjadi budak dalam beragama, yang tunduk dan patuh pada satu otoritas ulama, daripada menghargai seorang penganut agama yang mencari kebenaran agamanya sendiri. Hanya pilihan kitalah yang menentukan corak keberagamaan kita, bukan atas dasar intstruksi eksternal yang terkadang membelenggu kreatifitas dan kebebasan seseorang untuk mengekspresikan keberagamaanya. Sekali lagi, kita selalu bisa memilih untuk melakukan yang benar dan baik buat kita.

--------------------------------------------------------------------------------

Peradaban Islam adalah peradaban pertentangan dan pertikaian di seputar tafsir kegamaan dan dalam seluruh perwujudan budaya dan tradisi mereka. Peradaban yang lebih dikenal dengan aksi pengibaran panji dan hunusan belati, di mana kompromi dan negoisasi acapkali diabaikan dan ditinggalkan. Hingga akhirnya menciptakan kubangan darah yang merambah dalam amuk waktu yang terus berlalu. Sebuah peradaban yang selalu mengobarkan api, menyalakan bara dendam dan meneriakan klaim kebenaran sebagai jalan tunggal yang harus dilalui dan dijejaki. Menyeramkan, memilukan, dan mengerikan memang.

Bagitulah pertarungan yang terjadi di atas panggung sejarah dan peradaban manusia yang selalu ditorehkannya dari masa ke masa, terutama oleh pihak yang menginginkan ‘kemapanan’ (ats-tsâbit) dengan pihak yang menginginkan ‘perubahan’ (al-mutahawwil) dalam segala lini kehidupan, baik dalam bidang teologi, politik, budaya, hukum, bahkan bahasa dan sastra. Ironisnya, pertarungan yang terjadi antara dua belah pihak ini dalam catatan sejarah pemikiran Islam tidak selalu bersifat dialektis dan akomodatif, tapi lebih mengarah pada sikap kontradiktif dan monolitik. Hingga pada akhirnya sering melahirkan represi, kekerasan dan tragedi yang berdarah-darah, yang karenanya sisi ‘kemapanan’ (ats-tsâbit) lebih mendominasi sisi ‘perubahan’ (al-mutahawwil) dan dia menghancurkan segala upaya yang dilakukan oleh kecenderungan gerakan kreatif dan dinamis.

Penggunaan istilah ‘kemapanan’ (ats-tsâbit) dan ‘perubahan’ (al-mutahawwil) dalam tulisan ini, sebetulnya merujuk pada gagasan Adonis (Ali Ahmad Said), seorang penyair Arab kontemporer dan budayawan besar Arab masa kini. Dalam salah satu karyanya ‘Ats-Tsâbit wa al-Mutahawwil: Bahts fî al-Ibdâ’ wa al-Ittibâ’ ‘inda al-‘Arab’, Adonis menggunakan dua istilah tersebut untuk memetakan watak nalar masyarakat Arab-Islam ke dalam dua kategori, ‘nalar ekslusif’ dan ‘nalar inklusif’. Di mana satu sama lain saling berseberangan, memperlebar jarak, dan selalu membuat jurang pemisah yang begitu terjal hingga sulit untuk dijembatani dan didamaikan.

Atas dasar dua kategori nalar tersebutlah, menurut hemat saya kasus pemecatan Moh. Shofan sebagai Dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Gresik pada awal Pebruari 2007 lalu, terkait dengan salah satu tulisanya “Natal dan Pluralisme Agama” yang diterbitkan di media Surya dan Indo Pos/Jawa Pos, lebih mengarah pada pertarungan otoritas nalar, yang bisa saja diekspresikan kedalam nalar ekslusif atau nalar inklusif. Dalam kasus Shofan ini, bagi saya Muhammadiyah lebih merepresentasikan dirinya sebagai organisasi yang mengedepankan nalar ekslusif, jumud, dan statis ketimbang organisasi yang bernalar inklusif, dinamis, dan progresif. Sebab, Muhammadiyah dalam konteks ini sama sekali tidak mencerminkan sebagai sebuah organisasi yang mengedepankan nilai-nilai pluralitas dan kemajemukan. Sehingga setiap pemikiran yang keluar dari cara pandang Muhammadiyah, apapun bentuk dan isinya dianggap sesat dan patut untuk dimusuhi tanpa pertimbangan dan pengkajian ulang.

Sikap seperti ini sungguh sangat disayangkan, apalagi dilakukan oleh sebuah organisasi kegamaan seperti Muhammadiyah yang dalam perannya sudah mendapat perhatian banyak masyarakat luas. Keputusan Muhammadiyah mengklaim saudara Shofan dengan sesat hingga berujung pada pemecatan terhadapnya, tidak saja telah memasung kreativitas seseorang untuk berpikir dan berpendapat dalam era demokrasi seperti ini, tapi juga telah melupakan peranya sendiri sebagai sebuah kelompok pembaharu yang mengidealkan nilai-nilai progresivitas dan modernitas. Padahal sejak semula, KH. Ahmad Dahlan, tokoh dan pendiri Muhammadiyah ini selalu mencita-citakan nilai-nilai tersebut. Namun hingga kini, dan dalam faktanya nilai-nilai itu terpasung dan bahkan terancam punah oleh para penerusnya yang lebih berpikiran ekslusif dan dogmatis.

Yang paling disesalkan lagi, sebagai organisasi yang mengaku mengadopsi nilai-nilai modernitas, khususnya dalam ranah pendidikan, Muhammadiyah tidak bisa mengakomodir dan mengapresiasi keragaman pendapat yang terjadi di lingkunganya. Padahal dalam lingkup akademik, sejatinya pluralitas dan keragaman itu harus senantiasa didukung dan diapresisasi, bukan dicerca dan dicibir begitu saja. Apalagi melakukan tuduhan-tuduhan yang tidak mencerminkan sikap akademis.

Bila kita perhatikan tradisi Islam pada masa kejayaanya, betapa kebebasan berpikir dan berpendapat seperti yang dilakukan Shofan akhir-akhir ini sebenarnya sudah diekspresikan para ulama dan kaum cendikia waktu itu. Upaya ini dilakukan untuk mewujudkan cetak biru peradaban Islam yang lebih progresif dan rasional. Artinya, apa yang dilakukan saudara Shofan ketika menyampaikan ucapan selamat Natal kepada umat kristiani yang sedang merayakan natalan 25 Desember 2006 lalu, bukanlah satu dari sekian banyak isu yang mencuat di permukaan, yang kedatanganya hampir-hampir dianggap menantang aqidah seseorang dan memaksanya untuk keluar dari keyakinan yang dianut. Tapi, hal demikian lebih pada soal pemahaman dan tafsir dalam wacana keagamaan yang bersifat dinamis dan menyejarah.

Abdurrahman Badawi dalam Min Tarikh al-Ilhad fi al-Islami menyebutkan tokoh-tokoh muslim yang dianggap sesat dan bersimpangan jalan dengan tradisi Islam. Sebut saja misalnya, Ibn al-Muqaffa, Muhammad Zakariya ar-Razi, Ibn ar-Rawandi, Jabir Ibn Hayyan dan tokoh-tokoh lainya. Dalam bukunya, Badawi mengurai dengan jelas prilaku semua tokoh sambil mengekplorasi argumen-argumen mereka, kenapa mereka dianggap sesat dan atheis (mulhid). Dalam setiap pendapatnya mereka sering mendapatkan perlakukan yang tidak sesuai dengan fitrah kemanusiaan, seperti julukan sesat, murtad, atheis bahkan sampai pada penyiksaan fisik dan ekslusi.

Klaim kebenaran dalam setiap diskursus ilmu sosial dan keagamaan seperti disebutkan di atas lebih sering terjadi, dan bahkan sudah terlanjur mengendap dan menubuh dalam kesadaran umat manusia hingga kini. Fenomena ini seakan telah menjebol setiap dinding ruang dan waktu di mana manusia hidup hingga melahirkan getaran dan patahan dalam sejarah. Hal demikian akan selalu memadati dan menyeruak dalam panggung sejarah dunia dan bangsa-bangsa, kini, esok dan masa yang akan datang. Bila manusia dalam keseluruhan hidupnya tidak pernah menghayati dan memahami arti sebuah akal, yang darinya kebebasan muncul untuk memperjuangkan berbagai keragaman dan pendapat.


Agama dan Paham Keagamaan

‘Agama dimulai dengan hening, sunyi dan senyap’, kata Goenawan Mohamad. Ia tidak hanya datang dari sebuah ‘uzlah yang panjang hingga melahirkan kesuyian, juga bukan karena ia datang dari sebuah saat yang dahsyat (wahyu) hingga melahirkan keheningan. Lebih dari itu, keheningan dan kesunyian dalam agama lebih menggambarkan wataknya yang ramah, santun, dan beradab. Karena itu merupakan misi utama dari kedatanganya ke muka bumi ini. Namun dalam seluruh perwujudanya, agama menjadi tanda yang bengis, seram, dan menakutkan. Ia seakan lebih menakutkan dari Monster dan lebih membahayakan dari Dracula. Setiap saat kita sering menyaksikan pertikaian dan ketegangan yang mengatasnamakan agama. Dan tak jarang pula kita menyaksikan fenomena klaim kebenaran dan sikap sok suci.

Sikap seperti itu sesungguhnya sudah terekam dengan jelas dalam diskursus wacana agama yang selalu berkutat pada isu “kemapanan” (ats-tsâbit) dan “perubahan” (al-mutahawwil), atau dalam istilah Mohammad Iqbal “kebakaan” dan “kefanaan”. Dua hal tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab para cendikiawan muslim dewasa ini untuk bisa mendamaikan dan mengkompromikannya dalam satu tujuan, memahami keragaman dan mengakui pluralitas makna dalam setiap diskursus wacana agama.

Dalam konteks wacana agama, kita sering kali dikacaukan dengan sebutan ‘agama’ dan ‘paham keagamaan’, atau dalam istilah Sa’id al-Asymawi sebagai ad-Din wa al-Fikr ad-Din. ‘Agama’ sejak semula dipahami oleh para rasul dan pemeluknya sebagai sesuatu yang memiliki makna yang tetap dan abadi hingga kapanpun. Ia bersifat al-tsâbit, konstan, abadi, ilahi, permanen, dan sakral. Sebab, sumber agama adalah Zat yang Azali, yang Maha Kekal dan yang tidak mengalami perubahan dan pergeseran sedikitpun. Tapi pada saat yang sama, setiap pemeluk agama malah tidak memahami makna lain yang mengiringi makna yang bersifat tetap dan abadi tersebut, yakni ‘paham keagamaan’. Ia lebih bersifat manusiawi, dinamis, transformatif, al-mutaghayyir, berubah-ubah, temporal, dan profan.

Maka, ikhtiar mengidentikan keduanya dalam keseluruhan tafsir dan pemahamanya merupakan kesalahan yang besar. Karena, hal tersebut akan berpengaruh pada bagaimana kita beragama. Pada momen seperti inilah, Abdul Karim Soroush memberikan kontribusi penting dengan menawarkan satu teori yang cukup populer, yaitu teori ‘pengembangan’ dan ‘penyusutan’ (al-qabdh wa al-basth). Soroush menjelaskan inti dari teorinya itu, bahwa dengan teori ‘pengembangan’ dan ‘penyusutan’ kita dapat memahmi perbedaan antara ‘agama’ dan ‘pemaham keagamaan’. Munculnya berbagai wacana kegamaan yang cukup kontroversial dewasa ini seperti, persoalan pluralisme, sekularisme, liberalisme, dan juga mengucapkan hari natal bagi umat kristiani sesungguhnya lebih mencerminkan pada dimensi ‘paham agama’ bukan ‘agama’ itu sendiri. Ia merupakan serpihan puing-puing yang dinamakan paham agama, bukan bangunan kokoh yang namanya agama. Ia tak lebih sebagai percikan sinar matahari dan bukan matahari itu sendiri. Singkatnya, agama pada dirinya bersifat tunggal dan universal, sementara pemahaman terhadapnya bersifat partikular, beragam, dan temporal, karena ia adalah produk dari hasil sebuah kreasi manusia yang dikembangkan akal. Sementara tabiat akal itu sendiri, menurut Sa’id al-Asymawi adalah ikhtilaf dan mengandung keragaman, “Thabi’at al-‘Aql al-Ikhtilaf”.

Celakanya, perbedaan pemahaman dalam wacana keagamaan yang nampak di atas permukaan akir-akhir ini lebih dimotivasi dan didorong oleh unsur kepentingan. Sehingga, makna hakiki yang terkandung dari sebuah teks terabaikan. Oleh karenanya, dalam melakukan tafsir terhadap teks-teks keagamaan, baik al-Qur’an maupun hadits misalnya, menurut Nasr Hamid Abu Zaed, paling penting adalah bagaimana menangkap pesan teks dalam makna yang sesungguhnya, bukan sebagai ideologi yang dapat dipolitisir dan dimanipulasi demi kepentingan kelompok atau individu. Teks harus dibebaskan dari macam-macam kepentingan. Ia tidak boleh memihak dan memilih identitas tertentu. Apalagi bertujuan untuk meneguhkan kemapanan kelompok tertentu. Bila tafsir keagamaan yang muncul di permukaan dan diserap manyoritas umat Islam lebih bersifat tendensius dan mencerminkan kepentingan idiologi kelompok tertentu, maka tak heran jika klaim kebenaran menjadi semakin menyeruak dan menjadi tantangan yang harus dihadapi.


Mengedepankan Tradisi Dialog

Dalam perhelatan sejarah yang panjang dan mengemuka pada setiap lini kehidupan umat manusia, pertentangan antara kelompok ‘yang menginginkan kemapanan’ dengan kelompok ‘yang menginginkan perubahan’, atau antara kelompok ‘yang bernalar eklusif’ dengan kelompok ‘yang bernalar inklusif’ sering melahirkan tragedi dan represi. Maka damai dalam kondisi seperti ini adalah kata yang selalu dipinta, dinanti, diminati, dan bahkan didamba setiap manusia, bangsa, dan peradaban manapun. Namun, untuk meraihnya amat sulit dilakukan, terkadang kita harus melewati jalan yang terjal dan berliku-liku, tersandung dan tersungkur jatuh.

Dalam kaitan inilah bisa ditegaskan bahwa dialog menjadi aspek terpenting dalam setiap diskursus diantara pertentangan dan perhelatanya. Dialog merupakan sarana perjumpaan ide dan gagasan yang mengandaikan di dalamnya terjadi saling menghormati dan mengakui masing-masing kutub dalam keragaman dan pluralitas. Karena, esensi dari sebuah dialog itu sendiri merupakan manifestasi dari pluralitas kemajemukan ciptaan Tuhan. Dalam dialog memungkinkan kita untuk mengedepankan sikap saling memberi dan menerima, mengisi dan melengkapi, serta menegor dan menyapa. Namun demikian, dialog yang kita inginkan adalah dialog yang aktif, membuahkan, dan menghasilkan kebenaran, bukan dialog pasif dan mandul.

Dalam tradisi pemikiran Islam, model dialog yang demikian disebut dengan "dialektik-dialogis" (al-Hiwar al-Jadali), yaitu dialog yang dimulai dengan memperhadapkan dua pendapat yang berbeda, lalu satu sama lain saling mengkritik, membongkar, mendekonstruksi, dan akhirnya merekonstruksinya kembali dengan cara memilih dan mempertahan kebenaran yang diyakininya, sambil tetap menghargai dan memahami pendapat masing-masing tanpa saling merendahkan dan menafikan yang lain. Karena hakikat dialog itu sendiri adalah mencari kebenaran dari sebuah persoalan, bukan memaksakan kehendak (egois) agar lawan debat kita membenarkan dan mengikuti pemahaman yang kita pegang teguh.

Untuk menghindari hal demikian, Ibn Rusyd seorang filosof Cordoba memberikan penjelasan penting bagaimana seharusnya kita dialog. Ia mengatakan “ketika menemuka bahwa pandangan lawan itu buruk atau tidak memiliki premis-premis tertentu yang bisa menghilangkan keburukan tersebut, seorang pencari kebenaran semestinya mencari hakikat sejalan dengan metode yang diyakini si lawan dalam mengukuhkan pendapatnya, selain mempelajari pendapat itu secara berulang-ulang dan berurutan”. Hal ini mengandaikan bahwa dalam berdialog kedua belah pihak dituntut untuk menjaga etika dialog, dimana setiap pihak melihat pandangan dan pendapat pihak lain dari kacamata referensi pihak terakhir. Dengan ini akan lahir kesalingpahaman yang menjadi syarat pokok untuk mengakui sebuah perbedaan.

Di pihak lain, Abu Hamid al-Ghazali seorang teolog Asy’ariyah yang pernah menjadi lawan debat Ibn Rusyd, juga memberikan gambaran serupa. Dalam salah satu kitabnya “Maqâsidh al-Falâsifah”, ia menegaskan bahwa fa Inna al-Wuqûf ‘alâ Fasâd al-Mazhâhib qabla al-Ihâthati bi Madârikihâ Muhâlun bal Huwa Ramâ fî al-‘Imâyati wa adz-Dzhalâlati, bahwa memberikan penilaian atas suatu kelompok atau pendapat tanpa mengkaji dan menganalisisnya terlebih dahulu sungguh merupakan kezholiman dan kejahatan yang mengerikan. Kejahatan dalam berdialog tidak saja terjadi ketika satu sama lain saling memaksakan kehendaknya untuk diikuti, tapi juga terjadi ketika satu sama lain tidak saling mengkaji dan memahami terlebih dahulu pendapat masing-masing. Model seperti ini akan menciptakan sikap egoistis, ingin menang sendiri serta akan melahirkan anggapan dan prasangka yang memihak.

Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Ibn Rusyd dan al-Ghazali sama-sama sepakat bahwa munculnya kesalahpahaman hingga melahirkan tuduhan dan klaim kebenaran, disebabkan karena tidak adanya upaya untuk memahami pendapat lawan debatnya, terlalu egois, dan tidak mencoba untuk memahami metode yang digunakan oleh lawan. Sehingga, kesimpulan yang dihasilkannya pun cenderung merugikan pihak lawan. Oleh karenanya, dalam membangun sebuah dialog, langkah yang mungkin kita lakukan adalah mengkaji, mempelajari, dan memahami terlebih dahulu pendapat lawan sebelum melakukan penilaian dan penghakiman. Karena itu merupakan cara yang bijak yang hanya dilakukan oleh orang yang bijak.

Atas pertimbangan itu, apa yang dilakukan Muhammadiyah memecat saudara Shofan dari jabatanya sebagai Dosen tetap, tanpa adanya upaya komunikasi dan diskusi yang dapat mencairkan masalah. Sungguh merupakan keputusan yang tidak dapat digolongkan kedalam kategori orang-orang bijak. Sebab, keputusan itu dilakukan secara sepihak. Sebagai organisasi yang mengusung nilai-nilai modernitas, sejatinya Muhammadiyah melakukan instropeksi diri dan kembali kepada khittah awal. Yaitu sebagai organisasi yang memperjuangkan pembaharuan (tajdid) sebagaimana yang menjadi cita-cita ideal KH. Ahmad Dahlan.

Pendeknya, bila Muhammadiyah ingin konsisten disebut sebagai gerakan tajdid, maka upaya yang harus dilakukan kemudian adalah memberi kesempatan dan kebebasan kepada generasi muda untuk mengekspresikan segala macam bentuk kreatifitas, berpikir kritis, dan bernalar inklusif. Dengan mengedepankan nalar inklusif, maka telah membunuh nalar dogmatis yang sifatnya selalu menafikan pendapat pihak lain dan menganggapnya sebagai wacana ‘terlarang dipikirkan’. Bila ini terjadi, menurut Arkoun konsekuensinya adalah wacana itu akan menjadi wilayah ‘tak terpikirkan’ (alla al-mufakkar fih) selamanya. Wallhu ‘alam bisshawab.

Menyemai Damai Bersama Maulana Rumi

Senin, Oktober 27, 2008 0

Tulisan ini Pernah dimuat di Jurnal Al-Washatiyah ICIP

Oleh:

Mohamad Asrori Mulky

Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)

Universitas Paramadina Jakarta


dengar alunan pilu seruling bambu

sayu sendu nadanya menusuk kalbu

bergitulah ia sejak bercerai dari batang pohon rimbun

dadanya sesak dipenuhi cinta dan kepiluan

walau dekat tempatnya laguku ini berasal:

tak seorang pun tahu dan dapat mendengar

o kurindu kawan yang mengerti isyarat ini

dan mencampurkan rohnya dengan rohku

api cintalah yang memabukan diriku

anggur cintalah yang memberiku cinta mengawan

inginkah kau tau bagaimana pencinta luka?

dengar, dengar alunan seruling bambu

(Jalaluddin Rumi, Muqadimah Matsnawi)


Ali Syari’ati, sosiolog asal Iran dalam bukunya ‘On the Sosiology of Islam’ menjelaskan, sejarah umat manusia adalah sejarah peperangan dan pertikaian antara dua kubu yang saling berkepentingan. Lebih ekstrim lagi Ibn Khaldun, sejarawan Muslim abad pertengahan dalam karya agungnya ‘Muqaddimah’ menegaskan, “Anna al-Hurûb wa al-Muqâtilata Lam Tazal Wâqi’atan fî al-Khalîqati Mundzu Barâhâ Allâh” (perang dan berbagai bentuk pertarungannya selalu terjadi sejak Allah menciptakan dunia).


Konflik yang terjadi antara Qabil dan Habil, putra Adam As, pada permulaan sejarah manusia merupakan bentuk pertikaian awal dalam episode kehidupan manusia di muka bumi. Dalam rangkaian kehidupan umat manusia selanjutnya, di sini dan di bumi ini, pertarungan tersebut akan terus berkecamuk dalam segala bentuknya dan dalam wujudnya yang berbeda-beda. Ini semakin menta’kidkan (memperkuat) fakta ilmiah, bahwa kehidupan, manusia dan sejarah didasarkan atas kontradiksi dan pertarungan.


Sehingga dengan begitu bisa dikatakan bahwa seluruh sejarah manusia merupakan arena pertarungan antara kelompok Qabil si pembunuh, dan kelompok Habil yang menjadi korbanya. Qabil dan Habil dalam filsafat sejarah Shari’ati merupakan aktor utama dalam panggung sejarah dunia. Setiap manusia, baik secara individu maupun kolektif akan memilih satu peran di antara dua tokoh besar itu, Qabil atau Habil. Secara tipologis, Qabil berperangai jahat, kasar, dan suka membunuh. Sementara Habil berkepribadian baik, ramah, dan pemaaf.


Namun demikian, kehidupan manusia di dunia hakikatnya tidak dipandangan sebagai baik dan jahat, bagus dan buruk, hitam dan putih, perang dan damai, dan seterusnya. Karena pandangan seperti ini tidak saja membelah dunia menjadi dua bagian, di mana satu sama lain saling berlawan-lawanan, berhadap-hadapan, dan saling diperhadap-hadapkan—Dar al-Islam melawan Dar al-Kufr, Dar al-Amn melawan Dar al-Harb, roh suci melawan roh jahat, dan setersunya. Tapi pandangan ini juga berpotensi menyulut api perang dan permusuhan antara dua kelompok tersebut. Sesungguhnya hakikat hidup adalah bagaimana kita dapat memperluas garis perdamaian, cinta-kasih, toleransi, dan humanisme agar tercipta suasana yang harmonis dan rukun antara sesama manusia.


Dalam konteks Indonesia seperti sekarang ini, bahkan dalam dunia global sekali-pun sosok Qabil lebih banyak diperankan dalam kehidupan sehari-hari. Kita sering menyaksikan fenomena aksi kekerasan, seperti terorisme, brutalisme, dan barbarisme. Ironisnya, keseluruhan aksi kekerasan itu tak jarang mengatasnamakan agama, suku, kelompok, budaya dan lainya. Hampir-hampir aksi kekerasan itu dengan sengaja dipertontonkan di ruang-ruang publik tanpa ada perasaan malu dan bersalah sedikit-pun. Tak hanya itu, ketidakadilan menjadi karakter dasar para pemimpin kita, kebengisan menjadi keniscayaan dalam persaingan, dan watak bangsa dari hari ke hari semakin retak, rusak dan bercoreng karat akibat kurangnya keamanan nasional dari pemerintah.


Di tengah-tengah carut marutnya zaman, kengerian yang mencekam, ketakutan yang meneror, dan kegilaan yang menggila, Maulana Jalaluddin Rumi, seorang sufi terkenal menawarkan satu ajaran mulia nan paripurna, bagaimana kita dapat meraih kedamaian di dunia, bahkan di akhirat kelak. Ajaran itu diyakini tidak akan pernah sirna dengan bergulirnya ruang dan waktu yang terus berlalu, karena ia tidak bergantung pada keduanya. Ia akan semakin abadi dan kokoh tegak berdiri, karena ia sumber dari segalanya. Ialah ‘Cinta Illahiyah’ atau ‘Cinta Transendental’. Bagi Rumi cinta seperti inilah yang memiliki kekuatan amat dahsyat, bagaikan sayap yang dapat membawa terbang manusia ke angkasa raya, dan dari kedalaman mengangkatnya ke tinggian yang menjulang, dan dari bumi ke bintang Tsurayya.


Bila kita mendalami Cinta Illahiyah-nya Rumi kita akan dapat memetik segudang hikmah, yaitu bagaimana kita membenahi jiwa umat manusia yang dalam konteks sekarang ini sedang kusut dan morat marit. Sudah saatnya dunia harus kita kembalikan pada pungsi awalnya sebagai tempat bernaung, beribadah, berkarya, berjuang, berbuat baik, dan melakukan hal-hal yang positif. Pikiran-pikiran Rumi yang profetik (mengandung pesan kenabian) memiliki tenaga pembebasan dan pencerahan, sehingga bisa digunakan untuk membebaskan dunia dari macam peperangan, keterasingan, marginalisasi, kezaliman dan sifat-sifat negatif lainya. Pikiran-pikiran itu senantiasa ia pijakan pada landasannya yang kokoh, Cinta Illahiyah.


Mengenal Maulana Jalaluddin Rumi

Maulana Jalaluddin Rumi dikenal tidak saja sebagai penyair-mistik, tapi juga sebagai tokoh humanis terbesar sepanjang masa. Ia adalah tokoh perdamaian yang mampu menyatukan berbagai aliran kepercayaan, agama, suku, golongan, dan kelompok pada masanya. Dalam setiap Halaqahnya (tempat mengajar), banyak dari kalangan Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan juga Islam ikut mendengarkan ceramah-ceramahnya. Rumi selalu mengajarkan kepada murid-muridnya tentang kesejatian hidup, nilai-nilai luhur kemanusiaan seperti toleransi, inklusivisme, dan pluralisme. Inilah yang bisa kita sebut dengan nilai-nilai parenial agama, yaitu nilai-nilai yang absolut, universal, dan berlaku kapan saja. Karena itu, murid-murid Rumi menyebut dirinya dengan ‘guru sejagat’.


Mohamad Iqbal, sastrawan-filosof Pakistan sekaligus salah satu dari sekian ribu muridnya· menyebut Rumi sebagai “Raushan Damir”, yaitu orang yang memiliki penglihatan ruhani yang tajam sehingga mampu membaca dan menyingkap rahasia hati dunia dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang tadinya tersembunyi. Seakan-akan ia tahu betul apa yang akan terjadi pada esok hari dan masa yang akan datang. Maka tidak heran kalau Fariruddin Atthar, penulis karya agung “Mantiq at-Thair” pernah meramalkan bahwa pada suatu saat nanti Maulana Rumi akan menjadi seorang terkenal dan berpengaruh bagi peradaban umat manusia, sekarang, esok, dan masa yang akan datang. Ramalan itu menjadi kenyataan, kini siapa yang tidak pernah mengenal Maulana Rumi.


Dari ujung Timur hingga Barat, dan dari ujung Selatan hingga Utara semunya mengenal Rumi. Berkat jasa-jasanya, terutama upayanya menciptakan perdamaian di dunia, UNESCO tak segan-segan menetapkan tahun 2007 sebagai tahun Maulana Rumi. Pada 6 September 2007 lalu, badan PBB ini merayakan kelahiran Rumi yang dihadiri oleh Dirjen UNESCO, Koichiro Matsura, dan tiga orang Menteri yang mewakili Afghanistan, Iran, dan Turki. Tak ketinggalan juga Negeri para Mullah, Iran menggelar Konferensi Internasional peringatan Maulana Rumi pada 28-30 Oktober 2007. Dan pada 25 Oktober 2007 lalu, beberapa kedutaan untuk Indonesia seperti Iran dan Turki juga menggelar acara yang sama di Taman Ismail Marzuki. Jelasnya, peringatan Rumi selalu dirayakan dalam setiap tahun dan semuanya ikut meramaikan.


Tak hanya itu, konon katanya, para selebritas Hollywood seperti Madonna, Goldie Hawn, dan Deepak Chopra untuk mengabadikan jasa Maulana Rumi, mereka telah merekam puisi-puisinya (A Gift of Love). Yusuf Islam, penyanyi-pencipta lagu dari Inggris yang dulu tenar dengan nama Cat Stevens, menyelipkan karya Rumi dalam lagu berjudul Whispers from a Spiritual Garden di album pop terbarunya selama hampir 30 tahun. Bahkan, seorang Ahmad Dhani (personil Dewa) pun, musisi ternama Indonesia dalam beberapa bait lagunya banyak diinspirasi oleh puisi-puisi Rumi. Tarian sama-nya Rumi dalam “Laskar Cinta” bukti dari keterinspirasian Dhani atas Rumi.


Rumi lahir pada tahun 604 Hijriah (30 September 1207) di Kota Balkhan, salah satu kota kecil yang dulu merupakan bagian dari Provinsi Khurasan di Iran, dan kini telah menjadi bagian dari Afghanistan. Ketika itu wilayah tersebut merupakan bagian dari wilayah kerajaan Khwarizmi yang beribukota di Bukhara, Transoksiana.

Rumi dilahirkan dalam kondisi zaman sedang mengalami peperangan yang amat menakutkan. Yaitu ketika umat Islam di Dunia Arab dan Persia berada dalam periode paling mengerikan dalam sejarah klasiknya. Di mana di sebelah Barat terjadi Perang Salib yang telah berlangsung sejak akhir abad ke-11 M belum kunjung berakhir dan terus mencabik-cabik kehidupan kaum Muslimin. Sementara di sebelah Timur, bangsa Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan menyapu bersih dan memporak-porandakan kerajaan-kerajaan Islam. Puncaknya adalah serbuan besar-besaran yang dilakukan Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, dari Transoksiana pada tahun 1256 M.


Akibat serangan tersebut, kota Baghdad sebagai pusat peradaban Islam waktu itu hancur berkeping-keping bagaikan puing-puing yang tersapu ombak. Ratusan ribu penduduknya dibantai, dibunuh dan dihancurkan secara keji tanpa ampun. Sehingga ibukota kekhalifahan Abbasiyah berubah menjadi kota mati, sepi, dan sunyi untuk belasan tahun lamanya. Tak ada kehidupan. Tragis, mengerikan, dan memilukan memang!


Sementara itu, menurut keterangan Leonard Lewisohn, Persia yang merupakan kota para sufi juga telah terjadi pembantaian sistematis terhadap penduduk sipil di semua kota besarnya (Balkh, Marv, Nishapur, Heart, Tus, Ray, Qazwin, Hamadan, Ardabil, dll). Pengrusakan yang dilakukan tentara Mongol itu pada akhirnya berakibat pada hancurnya ekonomi feodal Persia abad pertengahan yang mengubahnya menjadi sebuah ekonomi budak.


Perang Salib yang terjadi secara bergelombang dan serbuan tentara Mongol yang menyapu bersih hampir seluruh negeri kaum Muslimin, tentu saja melahirkan penderitaan yang amat dahsyat, bahkan hingga kini masih terasa akibatnya. Umat Islam sepertinya tak lagi berdaya membangun kehidupannya kembali. Untuk kembali bangkit mereka harus membutuhkan waktu yang lama. Di tengah-tengah suasana yang diliputi keputusasaan dan psimisme yang mendalam inilah para sufi, ulama dan cendekiawan Muslim, salah satunya Maulana Rumi bangkit mengajarkan pentingnya makna ‘Cinta illahi’ bagi kehidupan umat manusia. Karena kedalaman cinta illahi akan merubah perang menjadi damai, marah menjadi anugerah, dan sesuatu hal yang buruk akan menjadi baik.


Rumi banyak meninggalkan karya agung hingga saat ini tetap dibaca dan memberikan inspirasi besar bagi kehidupan kemanusiaan. Kitab-kitab itu antar lain: Divan-i Syams-i Tabriz (ditujukan untuk sang guru spiritualnya sekaligus kekasihnya Syamsi Tabriz); Matsnawi-i-Ma'anawi (terdiri dari 6 jilid berisi 20.700 bait syair); Ruba'iyyat (sajak empat baris dalam jumlah 1600 bait); Fîhi Maa Fîhi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang sufisme); dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).


Kekuatan Cinta Rumi

Dalam dunia tasawuf, cinta merupakan dasar terpenting dari serangkaian keimanan dan ketakwaan seseorang kepada sang Pencipta. Tanpa cinta yang mendalam, ketakwaan dan keimanan seseorang akan rapuh, goyah dan mudah diombang-ambing—laksana perahu yang terombang-ambing gelombang besar dan laksana buih di lautan yang terhempas ombak laut ke tepian, lalu diseret kembali ke tengah pantai, digulung, dilumat, dan dihempaskan kembali ke tepian. Begitulah selanjutnya orang yang tidak terdapat dalam dirinya cinta illahiyah.


Bila cinta kepada sang Pencipta telah goyah, maka seluruh kenyataan hidup manusia seketika itu juga akan mengarah kepada kehancuran dan kebinasaan. Saat itulah, remuk redam sebuah peradaban dan kebudayaan manusia sampai pada titik nadir yang mengenaskan. “Sangkar yang dibangun di atas dahan yang rapuh akan mudah jatuh”, kata Mohamad Iqbal. Kita bagaikan hidup di dalam sangkar di atas dahan, bila dahan itu rapuh maka sangkar akan jatuh terkulai. Begitupun manusia, bila cinta tidak bersemi di dalam jiwanya dan malah mencampakanya maka rentetan peristiwa mengerikan akan datang tanpa sebuah undangan. Ia akan tersungkur, terkapar dalam musim tumbang.


Cinta dalam tulisan ini tidak merujuk pada model cinta manusiawi, layaknya cinta seorang laki-laki kepada perempuan, karena itu bersifat temporal, berwaktu, dan terbatas. Tapi, cinta ilahiyah. Karena, ialah yang mengilhami keseluruhan cinta yang ada di dunia; terhadap sesama manusia, alam, jagat raya dan mahluk ciptaan Tuhan. Ibn ‘Arabi dalam “Futûhât al-Mâkiyyah” menjelaskan, cinta illahi sebab terciptanya alam semesta. Tanpa cinta, alam semesta tidak akan pernah ada. Allah-pun dalam salah satu hadis Qudsinya menayatakan; “Aku (Allah) adalah harta yang tersembunyi; Aku ingin dikenal. Sebab itu, Ku ciptakan dunia”.


Yang dimaksud dengan ‘harta yang tersembunyi’ menurut Rumi adalah perbendaharaan hikmah Tuhan yang abadi, yang ingin dipandang, direnungi, dipikirkan, dan dikenal. Dengan mendapatkan cermin dari perbendaharaan Tuhan yang tersembunyi itu, maka segala sesuatu di alam semesta semakin cinta dan rindu terhadap perwujudan diri mereka. Rumi dalam “Fihi Ma Fihi” menjelaskan, bukankah sang pecinta ingin dikenal cintanya, perindu ingin diketahui rindunya, dan pencari ingin diketahui bahwa ia benar-benar mencari. Sedangkan Tuhan dan perbendaharaan dari cinta dan hikmah-Nya ingin menjelmakan agar supaya cinta dan hikmah-Nya dapat dinyatakan pada mereka yang menerima petunjuk.


Di sini kita dapat memahami begitu besar kekuatan cinta dan peranya bagi alam semesta terutama sekali bagi kehidupan manusia di dunia. Oleh karenanya, Rumi meyakini kekuatan itu. Baginya, cinta memiliki kekuatan yang amat dahsyat. Di dalamnya terdapat energi yang dapat menjadikan alam dan jagat raya berjalan di dalam keteraturan dan keseimbangan yang sempurna. Dengan adanya keteraturan dan keseimbangan atas alam semesta berarti kedamaian dan keharmonisan akan selalu tercipta. Bagi Rumi bintang-bintang dan planet-planet yang terdapat di angkasa raya semuanya digerakan dan dikendalikan oleh kekuatan cinta. Dalam satu puisinya Rumi mengatakan;


Melalui cinta, langit-langit dalam keselarasan

Tanpa cinta, bintang-bintang akan lenyap…..

Seiring dengan itu, Ibn Sina, seorang filusuf Muslim ternama mengatakan;

Cinta menjadi kekuatan hidup setiap gerakan

Mohamad Iqbal dalam salah satu puisinya yang berjudul “Cordoba” mengatakan;

Cinta asal kehidupan dan haram baginya kematian

Cinta menyingkirkan banjir datang melanda

Sebab cinta adalah air pasang mengalun

Tundukan topan dan badai


Cinta adalah penggerak kehidupan. Tidak ada yang mampu bergerak sedikitpun di dunia ini kecuali ia digerakan oleh cinta. Matahari tidak akan mampu mengeluarkan cahayanya dan kembali terbenam di ufuk sebelah Barat tanpa sentuhan cinta. Deburan ombak di lautan tidak akan bergelombang dengan begitu anggun dan mesranya tanpa hentakan kaki cinta. Gunung-gemunung tidak akan menjadi pasak, tiang-tiang penyanggah tanpa ditopang cinta. Gemuruh badai, gelegar halilintar, tiupan angin, dan gemericik hujan semuanya ada karena alunan Cinta Illahiah dan kasih sayang-Nya yang tak bertepi. Singkatnya, dengan cinta, seseorang akan mengenal hakikat sesuatu secara mendalam, yaitu hakikat kehidupan yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk formal kehidupan.


Bagi Rumi, untuk memahami kehidupan dan asal usul ketuhanan dirinya, manusia dapat melakukannya melalui jalan Cinta. Dengan jalan cinta seseorang akan sampai pada kebenaran tertinggi dan dapat terbang tinggi menuju Yang Satu. Kata Rumi:

Inilah cinta: terbang tingi ke langit

Setiap saat mencampakan ratusan hijab

Mula-mula menyangkal dunia (zuhd)

Pada akhirnya jiwa berjalan tanpa jasad

Cinta memandang dunia benda-benda telah raib

Dan tak mempedulikan yang hanya tampak di mata

Ia memandang jauh ke balik dunia rupa

Menembus hakikat segala sesuatu


Seruling Cinta untuk Radikalisme Agama

Bila ditanya, apa sumbangan terbesar Rumi bagi kepentingan Islam dan kemanusiaan? Yang jelas, bukan saja terletak pada terbentuknya Tarekat Mawlawi, tarian berputar (sama’), ataupun berzikir dengan diiringi lantunan musik. Tapi doktrin cintanlah yang menjadi sumbangan terbesar Rumi. Karena, dari doktrin cinta lahir beberapa ajaran Rumi sebagaimana telah disebutkan di atas tadi. Cinta pada dirinya mengandung makna universal yang dengan sendirinya akan diterima oleh semua kalangan, paham, dan ideologi, tanpa kecuali.


Sehingga misalnya, ketika kita berbicara bagaimana relasi agama dan cinta Rumi. Maka bisa dipastikan cinta Rumi dalam hubunganya dengan agama tidak ingin mengkotak-kotakan pemeluknya hingga melahirkan “asabiyah” (fanatisme kelompok yang berlebihan). Keragaman dalam beragama dan berkeyakinan memang sesuatu yang niscaya terjadi dan bahkan mesti ada. Namun demikian, dengan keragaman itu cinta tidak menginginkan perpecahan dan pertikaian. Karena cinta mengandung kekuatan, yaitu melakukan perlawanan terhadap semangat untuk menjadikan agama sebagai pembenaran terhadap penaklukan dan fanatisme golongan. Dan Rumi melalui tafsir cintanya, ingin menolak penggunaan agama sebagai alat untuk mengobarkan perang dan kekerasan sebagaimana yang terjadi sekarang ini.


Munculnya aksi kekerasan berlatar agama atau populer kita sebut dengan radikalisme agama seperti aksi terorisme, disebabkan karena cinta tidak lagi dijadikan landasan dalam beragama. Kita lebih banyak mengekspresikan agama sebagai sesuatu yang menakutkan, kejam, bengis dan mengerikan. Padahal kedatangan Islam itu sendiri sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi sekalian alam), cinta dan kasih. Bukan sebagai pembawa kekacauan dan malapetaka bagi alam, manusia dan mahluk ciptaan lainya. Bila agama sampai detik ini selalu mengobarkan perang dan kekerasan, maka agama saat itu juga sudah kehilangan misi propetiknya sebagai pembawa kedamaian dan kemaslahatan bagi umat manusia. Saat itu pula agama sudah berada di “titik nol” bahkan “nol besar”.


Dalam sub-judul ini kita akan bicara soal kenapa akhir-akhir ini radikalisme agama muncul di permukaan hingga pada akhirnya agama lebih diidentikan dengan hantu yang membawa ketakutan dan kengerian bagi pemeluknya? Lalu bagaimana kita merendam gerakan itu?


Sejauh pengamatan Said Agil Siroj, dalam sejarah kemunculanya, fenomena radikalisme agama tidak muncul pada era modern sekarang ini. Kemunculnya dimulai sejak terjadinya peristiwa albitrase (tahkim) yang dilakukan antara kelompok Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyyah dalam perang Shiffin. Peristiwa ini akhirnya melahirkan kelompok Khawarij, pengikut Ali yang membelot karena tidak sepakat diadakanya albitrase. Dalam perjalanan selanjutnya Khawarij diasosiasikan sebagai kelompok yang membidani lahirnya radikalisme agama pada era sekarang ini. Bahkan, lebih lanjut Said Agil mengatakan kemunculan gerakan radikal dimulai sejak Nabi Muhammad masih hidup.


Yang menjadi karakter dasar dari kelompok radikal ini, terutama sekali mengenai keyakinan dan kepercayaan, mereka menganut paham absolutisme dan tak kenal kompromi. Dalam banyak hal radikalisme agama ini cenderung menjadi puris, dalam arti ia tidak bersikap toleran, inklusif, dan terbuka terhadap berbagai sudut pandang yang berbeda. Dan mereka memandang realitas pluralis sebagai satu bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati.


Bila kita amati, kemunculan radikalisme agama bisa jadi diakibatkan karena dua faktor, pertama, simplikasi pemahaman terhadap teks-teks suci keagamaan (al-Quran dan al-hadis). Atau dalam istilah Fazlur Rahman, ia menyebutnya dengan pendekatan “atomistik” atas al-Quran yang hingga kini sudah menjadi norma dan nilai. Artinya, kita cenderung memahami teks keagamaan secara parsial, sepotong-sepotong dan meninggalkan konteks turunya teks tersebut. Padahal dalam memahami sebuah teks kita tidak boleh melepaskan konteksnya. Karena teks dan konteks bagaimanapun juga satu sama lain saling berkelindan dan berkaitan. Tidak ada teks tanpa konteks, kata Nasr Hamid Abu Zaed.


Untuk memahami satu ayat dalam al-Quran, apalagi kita mencoba merelevansikanya dengan kondisi umat manusia yang sedang dihadapi, kiranya akan mustahil bila kita tidak lebih dahulu memahami sebab-sebab kenapa ayat itu duturunkan. Karena, dalam studi ilmu al-Quran (Ulum al-Quran) mayoritas ayat-ayat al-Quran diturunkan melalui sebab dan kondisi yang memaksanya turun. Sehingga tidak aneh bila ulama tafsir, baik ulama klasik maupun modern menuliskan buku mengenai asbab an-Nuzul (sebab turunya ayat) seperti; Jalaludin As-Shuyuti dengan ‘Lubbâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl’; Ibn Juzi al-Kilâbi dengan ‘Tahshil Lil al-Ulûm at-Tanzîl’; Ibn Khalifah ‘Aliwi dengan ‘Jâmi’ an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl wa Syarh Ayâtihi’, dan ulama lainya. Sekali lagi, tanpa mengetahui asbab nuzul sebuah ayat kita akan kesulitan memahami ayat bersangkutan dan hasil yang dicapainya-pun cenderung tidak mengarah pada kebaikan.


Sebagai contoh misalnya, setelah terjadi tragedi kemanusiaan yang cukup memilukan 11 September 2001, kelompok Taliban secara keseluruhan membenarkan serangan tersebut dengan mengutip salah satu ayat yang dijadikan senjata; “Akan Kami masukan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka adalah neraka” (Q.S. Ali Imran [3]:151). Padahal kalau kita merujuk pada ilmu asbab nuzul, ayat ini diwahyukan ketika terjadi perang Uhud. Ketika itu pasukan Nabi berjumlah lebih kecil dan serba kekurangan bila dibandingkan dengan pasukan musuh yang cukup besar dan serba legkap.


Dalam kondisi seperti ini Allah menentramkan pasukan Nabi dengan cara memberikan ketakutan pada pasukan musuh. Bila dilihat dari kontek turunya ayat, ayat ini tidak berati bentuk umum bagi semua umat Islam dan berlaku untuk semua kondisi. Ayat ini adalah komentar terhadap apa yang terjadi pada saat itu, yaitu hanya dalam kasus perang Uhud saja, tidak dibenarkan untuk menteror orang lain atau agama lain. Dengan begitu, kandungan ayat tersebut hanya bersifat temporal dan personal.


Kalau kita membaca ayat tersebut dengan menggunakan pendekatan cinta Rumi. Maka kita tidak dengan segera menjustifikasi ayat itu sebagai ayat terorisme yang memberikan ketakutan pada musuh. Dengan menggunakan pendekatan cinta kita akan memperlakukan ayat tersebut dengan santun, ramah, dan manusiawi. Kenapa? Karena seluruh kandungan al-Quran, menurut Rumi diyakini mengajarkan kebaikan dan keselamatan bagi umat manusia, bukan kekerasan apalagi sampai mengorbankan nyawa manusia. Bila agama sebagai wahyu Tuhan mengajarkan kekerasan dan pertumpahan darah antar manusia, maka kita sebagai manusia yang berakal patut mempertanyakan itu. Karena dalam timbangan akal sehat sendiri kekerasan dan bentuk lainya tidak pernah diperkenankan. Tafsir cinta Rumi menginginkan keterlibatan konteks dalam menafsirkan teksnya atau ilmu asbab nuzul. Karena teks dan konteks pada kenyataanya satu sama lain tidak saling berdiri sendiri-sendiri secara permanen.


Kedua, terjadia reduksi terhadap terma-terma kegamaan seperti yang terjadi pada konsep jihad. Untuk sekarang ini, jihad direduksi ke dalam satu pengertian tunggal, “perang suci”. Sehingga dengan demikian orang akan mudah melakukan teror, bom bunuh diri, dan melakukan kekerasan lainya hanya lantaran demi membela agama Allah. Pemahaman ini sampai kapanpun menyesatkan, bukan saja karena komponen-komponen spiritual, intelektual, dan sosial dari konsep jihad itu telah dilucuti begitu saja, tetapi istilah itu sudah direduksi menjadi perang dengan jalan apapun, termasuk melalui terorisme. Pada akhirnya setiap orang bisa mengumandangkan jihad tanpa harus mempertimbangkan etis dan moral yang terkandung di dalam jihad itu sendiri.


Bila kita kembalikan kepada ajaran Rumi, yaitu cinta. Maka jihad akan dimaknai dengan penuh hati-hati, yaitu dipahami dalam makna subtansial dan spiritualnya secara utuh dalam rangka mewujudkan perdamaian dan keadilan sebagai realitas yang hidup bagi semua orang, di manapun mereka berada. Karena jihad dalam makna asalinya memiliki makna yang baik sebagai pertahanan dan pembelaan terhadap nyawa, agama, harta, keturunan, akal, dan seterusnya. Bukan dimaknai sebagai perang yang agresif dan membabi buta.


Khaled Abou El-Fadl menegaskan bahwa Al-Quran dalam seluruh kandungan ayat-ayatnya tidak pernah merujuk kata jihad untuk perang atau pertempuran secara fisik. Al-Quran hanya menggunakan kata qital untuk merujuk pada makna perang dan pertempuran yang berbentuk fisik, bukan jihad. Jihad pada dirinya mengandung etika dan moral yang baik sehingga penggunaanya pun tidak terbatas dan berhingga selama digunakan untuk kemaslahatan dan kebaikan umat manusia di dunia. Sementara qital sendiri dibatasi oleh kondisi dan situasi tertentu dan oleh alasan tertentu pula.


Begitulah Maulana Rumi meniupkan seruling cintanya ke pelosok dunia untuk merendam radikalisme agama. Dengan seruling cintanya, Rumi menyeru umat Islam untuk mengembalikan pemahaman Islam pada penilaianya yang subtantif. Oleh karenanya diperlukan penyegaran pada tingkat keberagamaan yang bersifat pendalaman dan peresapan. Para sufi terdahulu pun selain Rumi, seperti al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, al-Junayd, Dzû Nun al-Misri, al-Bustami, Rabi’ah, dan Fariruddin Attar telah memberikan teladan yang luar biasa, bagaimana keberagamaan itu seharusnya menjangkau sisi terdalam dari sebuah agama. Ini berarti keberagamaan bukan lahir dari determinasi eksternal, melainkan tumbuh dari dalam, sehingga mekar berkembang secara ramah dan santun. Cintalah yang harus kita jadikan landasan dalam memahami agama. Karena ia akan selalu berpijak pada keramahan dan kasih sayang.


Selanjutnya, kita harus berterimakasih pada Maulana Rumi, meskipun ia telah jauh meniinggalkan kita, yaitu 800 tahun yang lalu, namun pesan-pesan damai yang sempat ditorehkanya dalam lembaran buku melalui seruling cintanya akan selalu tetap aktual dan relevan untuk diaplikasikan dalam kehidupan seperti sekarang ini. Ia menyeru umat manusia secara keseluruhan agar agama didekati dengan jalan cinta. Bila ini dilakukan maka sudah dapat dipastikan tidak akan terjadi peperangan, pertikaian dan pembunuhan atas nama agama. Karena cinta akan mengajak seluruh elemen umat beragama untuk berdamaai, bersaudara, dan saling kasih mengasihi.


Perang dan bentuk kekerasan lainya dalam “Matsnawi” diibaratkan dengan seruling bambu yang terpisah dari batang pohonya yang rimbun dan rindang. Keterpisahan itu telah menjadikan nada seruling bambu menjadi sayu sendu dan memilukan. Menjadikan dadanya semakin sesak, dipenuhi kesedihan dan penderitaan. Ketika seruling bambu terpisah dari pohonya, maka melodi cinta tidak bisa menggema kembali. Suara-suara damai semakin tak terdengar bahkan terkubur, hilang bersama alam. Rumi menawarkan solusi dengan cara meniup seruling bambu dengan penuh penghayatan dan perasaan sehingga mengeluarkan suara merdu, yaitu suara cinta dan perdamaian.


Begitulah kekerasan yang terjadi di dunia akibat seruling cinta sudah tidak lagi bergema, bersuara, bahkan ditiupkan. Api cintalah yang memabukan diriku/anggur cintalah yang memberiku cinta mengawan/inginkah kau tau bagaimana pencinta luka?/dengar, dengar alunan seruling bambu, kata Rumi.


Setelah memberi pelajaran hidup yang sangat bermakna, Rumi berpulang ke pangkuan Illahi dalam usia 68 tahun. Ia wafat pada 5 Jumadil Akhir 672 H. Kepergian Rumi untuk selamanya mengundang kesedihan yang mendalam. Pada batu nisan di atas makam Rumi, orang menatahkan kata-kata yang pernah dikemukakannya: “Saat kita mati, janganlah mencari makam kita di atas bumi, tapi temukanlah di hati manusia”. Artinya, berilah yang terbaik untuk kehidupan manusia di dunia, sehingga dengan meninggalkan mereka, mereka akan selalu mengenal dan mengingat kita.


Akhirnya, selamat tinggal sang kekasih Allah, kadamaian mengikuti perjalananmu sebagaimana engkau torehkan cinta dan perdamaian bagi kami. Amin!


DAFTAR BACAAN

  • Abdul Hadi W.M, Pesan Propetik Matsnawi Karya Agung Jalaluddin Rumi, (Makalah; Jakarta, 12 Desember 2003).
  • Ali Shari’ati, On the Sosiology of Islam, Translated from the Persian by Hamid Algadri, New York, 1977.
  • Ibn Khaldun, Muqaddimah, Dar al-Ma’arif, Libanon, 1957.
  • Ibn Sina, Risâlât fî Mâhiyyât al-‘Isyq, Istanbul, 1953.
  • Jalaludin Rumi, Matsnawi Ma’nawi (terj. Masnawi Rumi).
  • Jalaludin Rumi, Fîhi Mâ Fîhi (terj. Yang Mengenal Dirinya, Yang Mengenal Tuhanya), Pustaka Hidayah, 2002.
  • Mohamad Iqbal, Asrar-i Khudi, Bulan Bintang, 1984.
  • Tariq Ramadan, To be a European Muslim; A Study of Islamic Sources in the European Context (terj. Teologi Dialog Islam-Barat; Pergumulan Muslim Eropa), Mizan 2002.



· Dalam Javid Namah Iqbal menjelaskan hubungan antara dirinya dengan Rumi sebagai hubungan guru dan murid. Buku ini menjelaskan bagaimana Iqbal sang murid menemani gurunya, Rumi dalam pengembaraan spiritual. Pengembaraan ini, Iqbal gambarkan melalui drama Isra’ Mi’raj yang dimulai dari bumi hingga ke langit ke tujuh sebagaimana yang pernah dialami Nabi Muhammad. Karena bagi Iqbal Isra’ Mi’raj diyakini sebagai pengalaman spiritual paling tinggi karena tersingkapnya seluruh kenyataan hidup yang tadinya tersembunyi.

Minggu, 19 Oktober 2008

Iran Melawan Arogansi AS

Minggu, Oktober 19, 2008 0

Dimuat diSINDO 19 Oktober 2008


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.


Judul Ahmadinejad Menggugat!

Republik Islam Iran Mematahkan Arogansi Amerika dan Israel

Penulis Dr. Mahmud Ahmadinejad

Penerbit Zahra

Cetakan I, September 2008

Tebal 346 halaman


REVOLUSI Islam Iran 1979 merupakan tonggak sejarah bagi masyarakat dunia. Peristiwa ini membangkitkan semangat antiimperialisme terhadap kekuatan Amerika.

Negara-negara dunia yang selama ini memimpikan independensi dan terbebas dari kungkungan negara adikuasa, mulai melirik Iran sebagai proyek percontohan dan kekuatan baru di abad ini. Pasalnya, Amerika Serikat (AS) sebagai satu-satunya negara yang mengklaim dirinya sebagai adidaya tunggal di dunia, juga perlahan-lahan mulai mendekati masa ajalnya.


Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad dalam pidatonya di depan markas besar PBB pada 23 September, meramalkan akan tumbangnya kekaisaran AS dalam waktu dekat. Simbol-simbol AS akan hancur dan pengaruhnya di dunia internasional akan juga sirna.


Oleh karena itu, AS harus segera menata ulang kebijakan luar negerinya terhadap isu-isu regional dan internasional sebelum masa kehancurannya tiba. Ternyata, lantunan suara kemerdekaan dan kebebasan yang didengungkan Revolusi Islam Iran menggema bukan hanya di Timur Tengah dan negara-negara muslim, melainkan juga hingga negaranegara Amerika Latin seperti Venezuela, Bolivia, Brasil, dan Kuba.


Semangat antiimperialisme yang didengungkan Iran membuat bangsa-bangsa pencinta kemerdekaan di Amerika Latin makin tergugah untuk bangkit melawan hegemoni AS dan melepaskan diri dari jeratan kebergantungan dengan kekuatan imperialis. Iran tak henti-hentinya menjadi pusat perhatian dunia.


Bukan hanya isu penolakan penghentian proyek nuklir yang membuat bangsa Barat berang, melainkan juga pernyataan radikal Ahmadinejad soal keinginannya untuk menghapuskan Israel dari peta dunia serta keraguannya mengenai kebenaran peristiwa holocaust.


Seiring dengan itu semua, tingkat permusuhan Iran dan AS makin menunjukkan titik paling rawan, masing-masing saling melancarkan serangan dalam bentuk wacana dan propaganda. Selama ini, Iran menjadi negara tertuduh dan banyak isu miring dialamatkan kepada negara para Mullah ini.


Untuk itulah, buku Ahmadinejad Menggugat! ini hadir guna menjelaskan mengenai berbagai tuduhan Barat (AS) terhadap Iran. Buku yang ditulis langsung oleh Ahmadinejad ini merupakan hasil dari serangkaian kunjungannya di New York, Amerika.


Dalam kunjungan itu, Ahmadinejad melakukan ceramah, dialog, dan wawancara. Baik dengan berbagai media yang ada di sana mauun di kampus ternama University of Columbia. Walau berjalan mulus,bukan berarti kunjungannya tidak diwarnai protes.


Parahnya lagi, Menteri Pertahanan AS tidak menjamin ke-amanan bagi Ahmadinejad. Tuduhan tuduhan kejidan dusta banyak disuguhkan media-media Barat kepada masyarakat AS. Upaya ini dilakukan tidak lain untuk terus merusak citra Ahmadinejad dan menjadikannya sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas munculnya terorisme di Timur Tengah.


Maka itu, kebencian dan cemoohan akan diberikan rakyat AS padanya.Ini berarti, AS telah melakukan perang wacana sebelum Presiden Iran itu tiba di New York. Setibanya di New York,Ahmadinejad menghadiri undangan resmi dari salah satu universitas ternama di dunia, Universitas Columbia.


Disana, dia diminta Prof Lee Bollinger, Rektor Universitas Columbia, untuk menyampaikan kuliah terbuka di depan ribuan mahasiswanya, yang juga dihadiri masyarakat umum. Tidak tanggung-tanggung, ceramah Ahmadinejad disiarkan secara langsung oleh televisi-televisi Amerika.


Nahas, sebagai tuan rumah yang seharusnya memperlakukan tamu dengan sopan, Prof Lee dalam sambutannya malah mencaci maki, menghina, dan melontarkan tuduhan keji kepada Ahmadinejad. Prof Lee tidak segansegan menuduh Presiden Iran itu sebagai diktator, pengobar api perang, dan pendukung gerakan terorisme global.


Bukan hanya menghina Presiden Iran, Prof Lee juga menyebut bangsa Iran sebagai bangsa yang tidak beradab dan bengis. Namun, Ahmadinejad dengan tenang dan senyum menanggapi tuduhan itu. Inilah momen terpenting yang untuk ke sekian kalinya, Iran melakukan serangan balik terhadap wacana yang sebelumnya sudah dimulai AS.


Dalam keadaan tenang, Ahmadinejad melancarkan serangan balik dengan beragam pertanyaan yang ditujukan kepada pihak AS, seperti budaya menghormati tamu, budaya intelektual di universitas, dan standar ganda yang sering dilakukan AS.


Di Universitas Columbia itu, Ahmadinejad menjawab berbagai isu seputar peristiwa holocaust yang terjadi pada masa Perang Dunia II. Baginya, holocaust di kalangan universitas masih menjadi bahasan yang debatable, bukan sesuatu yang permanen dan tidak bisa diperdebatkan kembali.