Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Sabtu, 09 Februari 2008

Sabtu, Februari 09, 2008 0
Menjawab Horor Tragedi WTC
Dimuat di SINDO (Minggu, 10 Feb 2008)

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Jakarta


TRAGEDI kemanusiaan 11 September 2001 sangat me-milukan masyarakat dunia, terutama Amerika Serikat.Peristiwa ini telah memicu Amerika melakukan dua perang sekaligus, yaitu mengakhiri rezim penguasa Taliban di Afghanistan dan mengakhiri rezim Saddam Husein di Irak.

Dalam peristiwa ini, Islam menjadi agama tertuduh.Hanyabeberapasaatsetelahterjadi pengeboman World Trade Center (WTC), Amerika mengeluarkan pernyataan yang cukup kontroversial,war and teror. Pernyataan ini jelas-jelas ditujukan pada umat Islam yang menjadi target utamanya.

Timbul pertanyaan, bagaimana mungkin horor peristiwa 11 September terjadi atas nama Islam? Apakah masalahnya muncul dari konsep “jihad” atau kepercayaan bahwa pelaku bom bunuh diri akan dihibur dan dilayani 72 perawan di surga? Dalam buku ini, Seruan Azan dari Puing WTC Feisal Abdul Rauf, penulis dan Imam besar Masjid Al-Farah, menjawab berbagai pertanyaan tersebut dalam berbagai forum diskusi,baik yang ia lakukan di universitas-universitas, gereja-gereja, sinagoga- sinagoga, masjid-masjid, maupun tempat-tempat kedutaan.

Menurut Imam Feisal, munculnya citra negatif terhadap Islam tidak serta-merta disebabkan karena pihak nonmuslim yang salah dalam melihat substansi Islam, tapi juga adanya sebagian umat Islam sendiri yang tidak mencerminkan aktualisasi ajaran Islam yang damai dan santun. Sikap seperti ini sungguh sangat disayangkan. Meski demikian, pencitraan negatif terhadap Islam tidak selalu melulu dilihat dari dua faktor tadi.Fenomena ini juga terkait erat dengan ketimpangan internasional, kebijakan- kebijakan luar negeri Amerika yang ingin mendominasi dan menghegemoni. Oleh karena itu, Imam memberikan sejumlah rekomendasi kepada berbagai pihak, terutama sekali pemerintah Amerika,untuk meninjau kembali persepsi dan kebijakan- kebijakan politik mereka. Jangan sampai kebijakan luar negerinya itu merugikan umat Islam. Yang menarik dari buku ini, Imam Feisal mampu memberikan interpretasi baru soal hubungan Islam dan Barat (Amerika).

Ia berkesimpulan bahwa tidak ada nilai-nilai substansial yang bertentangan satu sama lain.Untuk membuktikan itu,secara argumentatif ia menunjukkan beberapa fakta yang dapat mempertemukan keduanya, sekaligus dapat dijadikan modal untuk membangun dialog antar iman, peradaban,dan kebudayaan.

Pertama, bahwa ajaran Kristen dan Yahudi—yang merupakan elemen penting dalam menentukan karakter warga dan bangsa Amerika— memiliki akar-akar yang sama dengan Islam sebagai keluarga agama Ibrahim. Artinya, agama Yahudi, Kristen,dan Islam berasal dari bapak yang sama dan ajaran yang sama pula, yaitu etika Ibrahim. Etika Ibrahim mengajarkan pemeluk agamanya agar mencintai Tuhan dan sesama manusia tanpa memandang ras, agama, ataupun latar belakang budaya.

Wilfred Cantwell Smith, dalam hal ini memberikan solusi bahwa “benturan”antara Islam dan Barat (Amerika) yang terjadi karena perbedaan agama, harus segera mungkin dikembalikan pada nilai-nilai fundamental yang terdapat pada ketiga agama itu. Dengan cara itu diharapkan kedamaian antara keduanya terwujud. Kedua,bahwa ada common platform antara nilai-nilai dasar Islam dan Konstitusi Amerika dalam mempromosikan kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan.

Temuan ini mungkin agak mengejutkan banyak orang,bahkan mungkin juga bagi warga Amerika dan umat Islam sendiri. Tidak melupakan fakta beberapa abad silam para ulama fikih, salah satunya Imam Syatibi dalam Al-“Muwâfaqât” telah mendefinisikan lima bidang kehidupan yang harus dilindungi dan dikembangkan oleh hukum Islam. Kelima wilayah ini adalah hidup, pikiran (yaitu kesadaran mental atau kewarasan), agama, kepemilikan (atau ke-kayaan), dan keluarga (garis keturunan dan anak cucu). Dan pada kenyataannya, bila kita coba bandingkan daftar hak-hak dalam “Deklarasi”( Konstitusi Amerika) dengan hak-hak dalam “Hukum Syariat” (Hukum Islam), kita temukan keduanya mencantumkan hak hidup.

Karena itu, kita mengatakan bahwa kebebasan dan pencarian kebahagiaan dalam “Deklarasi” Amerika mencakup kesejahteraan mental, keluarga, kepemilikan, dan agama dalam “Hukum Syariat Islam”. Dengan demikian, bagi Imam Feisal sistem aturan mana pun yang menegakkan, melindungi, dan memperjuangkan hak-hak di atas, dengan demikian bisa disebut “islami”, atau tunduk pada syariat,secara substansial. Ketiga, bahwa keislaman dan keamerikaan bukan bersifat substitutif (saling menggantikan), melainkan komplementer (saling melengkapi). Seorang muslim yang taat bisa menjadi warga negara Amerika yang loyal.

Dengan adanya kesamaan nilai substansial pada ajaran Yahudi, Kristen, dan Islam; dan kesamaan tujuan dalam Deklarasi Amerika dan Hukum Syariat Islam sebagaimana disebutkan pada poin satu dan dua. Ini mengandung arti bahwa Islam dan Barat (Amerika) sama, tidak ada yang harus menjadi musuh dan lawan. Keduanya saling melengkapi dan mendukung.

Buku ini penting dibaca dan bahkan untuk ditindak lanjuti dalam kehidupan beragama dan bernegara,karena buku ini mengandung pesan yang begitu luhur berdasarkan pengalaman Umat Islam Amerika yang hidup di sana dan melakukan interaksi dengan warga Amerika sendiri. Ini membantu orang-orang muslim dan masyarakat Barat mencari jalan keluar dari kebuntuan masa kini,dari kekejaman yang mengarah pada upaya pembalasan dendam.

Menjawab Horor Tragedi WTC

Sabtu, Februari 09, 2008 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky 

TRAGEDI kemanusiaan 11 September 2001 sangat memilukan masyarakat dunia, terutama Amerika Serikat (AS). Peristiwa berdarah ini telah memicu Amerika melakukan dua perang sekaligus, yaitu mengakhiri rezim penguasa Taliban di Afghanistan dan mengakhiri rezim Saddam Husein di Irak.

Dalam peristiwa ini, Islam menjadi agama tertuduh. Hanya beberapa saat setelah terjadi pengeboman World Trade Center (WTC), Negara Adi Kuasa itu mengeluarkan pernyataan yang cukup kontroversial, war and teror. Pernyataan ini jelas-jelas ditujukan pada umat Islam yang menjadi target utamanya.

Timbul pertanyaan, bagaimana mungkin horor peristiwa 11 September terjadi atas nama Islam? Apakah masalahnya muncul dari konsep “jihad” atau kepercayaan bahwa pelaku bom bunuh diri akan dihibur dan dilayani 72 perawan di surga?

Buku ini, Seruan Azan dari Puing WTC, Feisal Abdul Rauf, penulis dan Imam besar Masjid Al-Farah, menjawab berbagai pertanyaan tersebut dalam berbagai forum diskusi, baik yang ia lakukan di kampus-kampus ternama, gereja-gereja, sinagoga- sinagoga, masjid-masjid, maupun tempat-tempat kedutaan.

Menurut Imam Feisal, munculnya citra negatif terhadap Islam tidak serta-merta disebabkan karena pihak non-muslim yang salah dalam melihat substansi Islam, tapi juga adanya sebagian umat Islam sendiri yang tidak mencerminkan aktualisasi ajaran Islam yang damai dan santun.

Sikap seperti ini sungguh sangat disayangkan. Meski demikian, pencitraan negatif terhadap Islam tidak selalu melulu dilihat dari dua faktor tadi. Fenomena ini juga terkait erat dengan ketimpangan internasional, kebijakan-kebijakan luar negeri Amerika yang ingin mendominasi dan menghegemoni.

Atas dasar itu, penulis buku memberikan sejumlah rekomendasi kepada berbagai pihak, terutama sekali pemerintah Amerika, untuk meninjau kembali persepsi dan kebijakan-kebijakan politik mereka yang tidak bersahabat. Jangan sampai kebijakan luar negerinya itu merugikan umat Islam.

Yang menarik dari buku ini, Imam Feisal mampu memberikan interpretasi baru soal hubungan Islam dan Barat (Amerika). Ia berkesimpulan bahwa tidak ada nilai-nilai substansial yang bertentangan satu sama lain. Untuk membuktikan itu, secara argumentatif ia menunjukkan beberapa fakta yang dapat mempertemukan keduanya, sekaligus dapat dijadikan modal untuk membangun dialog antar iman, peradaban, dan kebudayaan.


Pertama, bahwa ajaran Kristen dan Yahudi—yang merupakan elemen penting dalam menentukan karakter warga dan bangsa Amerika— memiliki akar-akar yang sama dengan Islam sebagai keluarga agama Ibrahim. Artinya, agama Yahudi, Kristen, dan Islam berasal dari bapak yang sama dan ajaran yang sama pula, yaitu etika Ibrahim.

Etika Ibrahim mengajarkan pemeluk agamanya agar mencintai Tuhan dan sesama manusia tanpa memandang ras, agama, ataupun latar belakang budaya. Wilfred Cantwell Smith, dalam hal ini memberikan solusi bahwa “benturan” antara Islam dan Barat (Amerika) yang terjadi karena perbedaan agama, harus segera mungkin dikembalikan pada nilai-nilai fundamental yang terdapat pada ketiga agama itu. Dengan cara itu diharapkan kedamaian antara keduanya terwujud.

Kedua, bahwa ada common platform antara nilai-nilai dasar Islam dan Konstitusi Amerika dalam mempromosikan kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan. Temuan ini mungkin agak mengejutkan banyak orang, bahkan mungkin juga bagi warga Amerika dan umat Islam sendiri.

Tidak melupakan fakta beberapa abad silam para ulama fikih, salah satunya Imam Syatibi dalam Al-Muwâfaqât telah menguraikan lima bidang kehidupan yang harus dilindungi dan dikembangkan oleh hukum Islam. Kelima wilayah ini adalah menjaga kehidupan, pikiran (yaitu kesadaran mental atau kewarasan), agama, kepemilikan (atau ke-kayaan), dan keluarga (garis keturunan dan anak cucu).

Bila kita coba bandingkan daftar hak-hak dalam “Deklarasi”( Konstitusi Amerika) dengan hak-hak dalam “Hukum Syariat” (Hukum Islam), kita temukan keduanya mencantumkan hak hidup. Karena itu, kita mengatakan bahwa kebebasan dan pencarian kebahagiaan dalam “Deklarasi” Amerika mencakup kesejahteraan mental, keluarga, kepemilikan, dan agama dalam “Hukum Syariat Islam”.

Dengan demikian, bagi Imam Feisal sistem aturan mana pun yang menegakkan, melindungi, dan memperjuangkan hak-hak di atas, dengan demikian bisa disebut “islami”, atau tunduk pada syariat secara substansial.

Ketiga, bahwa ke-Islam-an dan ke-Amerika-an bukan bersifat substitutif (saling menggantikan), melainkan komplementer (saling melengkapi). Seorang muslim yang taat bisa menjadi warga negara Amerika yang loyal. Dengan adanya kesamaan nilai substansial pada ajaran Yahudi, Kristen, dan Islam; dan kesamaan tujuan dalam Deklarasi Amerika dan Hukum Syariat Islam sebagaimana disebutkan pada poin satu dan dua. Ini mengandung arti bahwa Islam dan Barat (Amerika) sama, tidak ada yang harus menjadi musuh dan lawan. Keduanya saling melengkapi dan mendukung.

Sekali lagi, saya ingin mengatakan bahwa kehadiran buku ini penting dibaca dan bahkan untuk ditindak lanjuti dalam kehidupan beragama dan bernegara, karena buku ini mengandung pesan yang begitu luhur berdasarkan pengalaman Umat Islam Amerika yang hidup di sana dan melakukan interaksi dengan warga Amerika sendiri. Ini membantu orang-orang muslim dan masyarakat Barat mencari jalan keluar dari kebuntuan masa kini, dari kekejaman yang mengarah pada upaya pembalasan dendam.


*Dipublikasikan Media Cetak SINDO Minggu, 10/02/2008

 


Jumat, 08 Februari 2008

‘Islam Yang Mapan’ Versus ‘Islam Yang Berubah’

Jumat, Februari 08, 2008 0
‘Islam Yang Mapan’ Versus ‘Islam Yang Berubah
Oleh: Mohamad Asrori Mulky
Penulis adalah peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina Jakarta.

Judul Buku : Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam
Penulis : Ali Ahmad Said (Adonis)
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Cetakan : Pertama, September 2007
Tebal : XC + 403 halaman

Membaca buku ‘Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam’ yang diterjemahkan dari buku aslinya Ats-Tsâbit wa al-Mutahawwil: Bahts fî al-Ibdâ’ wa al-Ittibâ’ ‘inda al-‘Arab, buah karya Ali Ahmad Said yang akrab dipanggil dengan Adonis, seorang penyair Arab kontemporer dan budayawan besar Arab masa kini sungguh inspiratif dan menakjubkan.

Buku ini tidak saja memetakan watak nalar masyarakat Arab-Islam ke dalam dua kategori, watak imitatif (ittiba’) sebagai kelompok yang menghendaki kemapanan (ats-tsâbit) dan watak kretif (ibda’) sebagai kelompok yang menghendaki perubahan (al-mutahawwil) dalam keseluruhan perwujudan budaya dan peradaban mereka.

Tapi juga membongkar kedok keduanya dalam pertentangan dan pertarungan yang begitu hebat hingga tak jarang melahirkan benturan dan gesekan yang keras lagi mematikan. Di samping itu, buku ini memuat seluruh aspek dari sejarah-pemikiran Arab-Islam, baik politik, sosial, ekonomi, filsafat, teologi, fiqh, sufisme, bahasa dan sastra.

Begitu kritisnya Adonis—penulis yang pernah diusulkan meraih nobel di negerinya—melihat dan membaca setiap informasi yang ada. Maka tidak heran jika kritik dan cacian banyak dialamatkan kepada buku ini dan juga penulisnya. Kata-kata kafir dan murtad merupakan label yang sering disematkan kepadanya.

Ironisnya, kritikan tersebut lebih sering muncul dari tokoh-tokoh yang sebenarnya tidak paham dan bahkan sama sekali belum pernah membaca karya Adonis ini. Sebagaimana dilakukan oleh Prof. Shalih Judat yang menjuluki Adonis sebagai salah satu “berhala kejahatan” dan menuduhnya sebagai musuh bangsa dan nasionalisme Arab.

Padahal sikap seperti ini sudah dikhawatirkan Imam al-Ghazali dalam salah satu kitabnya “Maqâsidh al-Falâsifah”. Ia menegaskan bahwa fa Inna al-Wuqûf ‘alâ Fasâd al-Mazhâhib qabla al-Ihâthati bi Madârikihâ Muhâlun bal Huwa Ramâ fî al-‘Imâyati wa adz-Dzhalâlati, bahwa memberikan penilaian atas suatu kelompok tanpa mengkaji dan menganalisisnya terlebih dahulu sungguh merupakan kezholiman dan kejahatan yang mengerikan. Sikap ini harus dijauhkan dari kehidupan kita.

Yang Mapan dan Yang Berubah
Peradaban Islam adalah peradaban pertentangan dan pertarungan antara pihak yang menginginkan ‘kemapanan’ (ats-tsâbit) dengan pihak yang menginginkan ‘perubahan’ (al-mutahawwil) dalam segala lini kehidupan, baik dalam bidang teologi, politik, budaya, hukum, bahkan bahasa dan sastra. Di mana masing-masing kelompok merasa dirinya sebagai pihak yang paling benar dan sempurna.

Klaim kebenaran dalam setiap diskursus sosial dan keagamaan seperti ini lebih sering terjadi, dan bahkan sudah terlanjur mengendap dan menubuh dalam kesadaran umat manusia dewasa ini. Fenomena ini tidak saja terjadi di negeri-negeri lain, tapi juga di Indonesia. Kasus yang menimpa kelompok Ahmadiyah yang dianggap sesat dan patut diperangi adalah bukti nyata betapa fenomena truth claim telah mewabah dan mengakar di negeri ini.

Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa tarik menarik kepentingan dan juga perebutan klaim kebenaran itulah yang membuat gerak sejarah-kebudayan Arab-Islam menjadi berkembang dinamis, meskipun di sisi yang lain terkadang justru memunculkan anomali dan bahkan tidak jarang juga menelan korban harta dan jiwa yang cukup banyak.

Fakta yang tak terbantahkan bahwa asal usul peradaban Arab tidaklah tunggal, tapi plural. Asal-usul itu mengandung benih-benih dialektis antara menerima dan menolak, yang pasti dan yang mungkin, atau dapat kita katakan antara yang mapan (ats-tsâbit) dengan yang berubah (al-mutahawwil).

Dalam buku ini, ‘Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam’ Adonis mendefinisikan yang mapan (ast-tsâbit) dalam bingkai kebudayaan Arab sebagai pemikiran yang berdasar pada teks, dan yang menjadi sifat kemapananya (ats-tsâbat) sebagai dasar bagi kemapanan, baik dalam memahami maupun mengevaluasi. Selain itu, yang mapan (ats-tsâbit) menegaskan dirinya sebagai makna satu-satunya yang benar bagi teks tersebut, dan berdasarkan hal itu, ia menjadi otoritas epistemologis.

Sementara, yang berubah (al-mutahawwil) dapat dipahami dengan dua pengertian: pertama, sebagai pemikiran yang berdasarkan pada teks, namun melalui interpretasi yang membuat teks dapat beradaptasi dengan realitas dan perubahan. Kedua, sebagai pemikiran yang memandang teks tidak mengandung otoritas sama sekali, dan pada dasarnya pemikiran tersebut berdasarkan pada akal, bukan pada naql (wahyu).

Bagi Adonis, pertentangan dan pertarungan antara pihak yang menghendaki kemapanan (ats-tsâbit) dan pihak yang menghendaki perubahan (al-mutahawwil) yang terjadi dalam sejarah pemikiran Arab-Islam tidak bersifat dialektis, tetapi kontradiktif. Sehingga sering melahirkan represi dan tragedi, yang karenanya sisi ats-tsâbit lebih mendominasi sisi al-mutahawwil dan dia menghancurkan segala upaya yang dilakukan oleh kecenderungan gerakan kreatif dan dinamis.

Bagi kelompok ini, masa lalu adalah kesempurnaan yang paripurna dan tidak perlu ditafsir dan ditambah lagi, sementara yang kini tidak mungkin mencapai derajat yang lalu. Umat Islam kapan dan di mana pun harus kembali kepada teks lahiriah al-Quran dan as-Sunnah sebagai kebenaran yang tuggal dan menyeluruh. Mereka menganggap bahwa carut-marutya kehidupan umat Islam sekarang ini disebabkan karena sikap dan perilaku umat Islam yang tidak mau lagi menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai rujukan utama dalam menjalankan kehidupannya.

Oleh karena dominasi kecenderungan terhadap kemapanan melebihi dari segalanya, maka tidak mengherankan, kata Adonis, jika kebudayaan Arab-Islam hingga kini kering dari kreativitas, jumud, statis, dan terbelakang. Sementara kreativitas itu sendiri sebagai sistem pergerakan dalam Islam merupakan faktor terpenting dalam pengembangan kehidupan umat Islam sampai kapanpun.

Hingga pada akhirnya, tidak aneh pula bila kebudayaan Arab-Islam dalam pertarunganya dengan kebudayaan lain, secara eksternal selalu mengalami kekalahan yang menyeluruh, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, politik, ekonomi dan sebagainya. Dan kekalahan ini pada giliranya memunculkan kompleksitas secara psikologis dalam diri masyarakat Arab-Islam.

Munculannya beberapa pemikir Islam modern garda depan yang terdapat di berbagai belahan dunia dan memiliki kecenderungan kepada perubahan marupakan respon balik untuk meng-counter serangan dari pihak luar yang sesekali membahayakan dan mengancam eksistensi kebudayaan Islam. Di samping itu kemunculan mereka tidak lain untuk meremajakan dan menyegarkan kembali pemahaman keagamaan Arab-Islam yang terjebak ke dalam kejumudan dan keterbelakangan yang akut.

Sebut saja misalnya, Muhammad Abed al-Jabiri melalui proyek “Naqd al-Aql al-‘Arabi”-nya, Nasr Hamid Abu Zaid dengan “Mafhum an-Nas”-nya, Hassan Hanafi dengan “at-Turast wa at-Tajdid”-nya, dan juga Mohammad Arkoun dengan “Naqd al-Aql al-Islami”-nya. Mereka mencoba meretas kembali struktur pemikiran Arab-Islam dengan cara menengok tradisi yang kemudian dihubungkan dengan realitas kekinian. Kesemuanya berusaha membangun persoalan-persoalan perubahan sosial secara alami dan dalam perspektif kesejarahan

Mereka berkeyakinan dan juga Adonis, bahwa masyarakat Arab-Islam tidak mungkin bangkit dari ketertinggalanya dan terbebas dari segala macam bentuk penjajahan dan penindasan yang dialaminya, apabila struktur konservatif, kemapanan (ats-tsabît) yang selama ini masih mendominasi pemikiran Arab-Islam itu sendiri tidak dihancurkan dan ditinggalkan.

Singkatnya, hanya dengan mengkaji keseluruhan peradaban Arab-Islam yang tersusun ke dalam yang mapan (ats-tsâbit) dan yang berubah (al-mutahawwil), dan memberikan interpretasi kritis-analitis atas keduanya, maka kita akan dapat memahami pandangan Arab-Islam terhadap manusia dan alam semesta. Karena menurut Adonis bahwa dalam sejarahnya, yang mapan (ats-tsâbit) tidak selalu mapan dan statis, dan yang berubah (al-mutahawwil) tidak selalu berubah dan dinamis. Sebagian dari yang berubah dan dinamis tidak berubah dalam dirinya sendiri, tetapi berubah sebagai oposisi dengan satu atau lain bentuk, dan berada di luar kekuasaan dengan satu atau lain bentuk pula. Dengan demikian, kita dapat mengetahui dan memahami posisi orang Arab-Islam terhadap ilmu pengetahuan, serta persoalan-persoalan kebudayaan dan kemanusiaan secara umum.
Jumat, Februari 08, 2008 0
Mengkaji Ulang Rencana Kunjungan Presiden ke Iran
Dimuat di Suara Pembaharuan (26 Desember 2007)

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Penulis adalah peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Dalam pertemuan empat mata antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla di ruang kerja Presiden di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta (31/10), tersingkap kemudian oleh para wartawan bahwa isi pertemuan itu yang paling penting adalah keinginan Presiden untuk berkunjung ke Iran pada Desember 2007.

Kepada Wapres, Presiden menjelaskan pentingnya kunjungan ke Iran di tengah memanasnya situasi di Timur Tengah. Kini, keinginan kunjungan itu sudah tidak relevan lagi karena isu Timur Tengah tidak lagi memanas. Oleh karena itu, para analis politik menyatakan agar rencana kunjungan ke Iran sebaiknya ditunda atau bahkan dibatalkan karena kehilangan relevansinya.

Namun, berbagai sumber politik di istana menyingkapkan kemungkinan lawatan presiden ke Teheran akan dilaksanakan karena konon akibat desakan inner circle presiden berhubung ada ''agenda'' lain. Agenda itu menyangkut kemungkinan rencana pembangunan kilang minyak di Banten, dimana pengusaha Iran dan konglomerat RI akan berpatungan bersama membangun kilang tersebut Di sini, muncul pertanyaan lagi, apakah kunjungan Presiden ke Iran itu riil untuk kepentingan rakyat atau justru untuk kepentingan sesaat oleh para konglomerat yang cuma bisa memanfaatkan kunjungan presiden untuk mencari keuntungan?

Iran adalah negeri yang pendapatan nasionalnya tinggi. GDP per kapita US$ 8.900 (2006) dengan pertumbuhan ekonomi 5 persen pada 2006. Republik Islam Iran dengan ibu kota Teheran itu terdiri dari 30 provinsi dengan luas wilayah 1.648 km2 dan penduduk 65.397.521 jiwa (Juli 2007). Potensi pertanian Iran utamanya gandum, beras, serealia lainnya, biang gula, buah-buahan, kacang, kapuk, produk gandum, wool, dan caviar.

Total perdagangan Indonesia-Iran (untuk semua sektor) pada 2005 sebesar US$ 368.756.200, dengan ekspor Indonesia sebesar US$ 289.540.200 dan impor US$ 79.216.000, sehingga Indonesia mengalami surplus sebesar US$ 210.324.200. Jumlah perdagangan pada 2005 merupakan yang tertinggi selama lima tahun terakhir di mana pada 2005 telah terjadi peningkatan sebesar 42 persen dari 2004.

Perdagangan antara RI dan Iran pada 2006 sampai September mencapai US$ 293.486.200, naik sekitar 8.75 persen, dibandingkan 2005.

Produk pertanian Indonesia yang diekspor ke Iran utamanya sawit dan karet. Beberapa komoditas lain yang juga diekspor, yaitu kopi, teh kakao, buah- buahan (pisang, nanas), namun pangsa produk tersebut cukup kecil dibanding nilai impor Iran. Beberapa peluang pasar yang belum dimanfaatkan oleh Indonesia adalah peluang pasar produk mete, kayu manis, jahe dan rempah lainnya, produk susu, serta tanaman hias.

Teka-teki
Sejauh ini, memang masih ''teka-teki'' mengenai jadi tidaknya presiden berkunjung ke Teheran karena tidak adanya transparansi dan kejelasan informasi dari pihak istana. Dalam hal ini, sesuai iklim demokrasi, publik boleh meminta informasi selengkapnya mengapa presiden ingin berkunjung ke Teheran. Adakah pesan penting yang ingin disampaikan kepada Presiden Iran Ahmadinejad, misalnya? Ataukah hanya sekadar kunjungan sesaat yang hanya menguntungkan konglomerat?

Publik belum lupa bahwa sikap pemerintah yang mendukung Resolusi DK PBB No 1747 tentang persoalan nuklir Iran menuai protes keras dari berbagai kalangan di Indonesia. Bahkan di DPR, Oktober lalu, lebih dari seratus orang telah menandatangani interpelasi mempertanyakan keputusan tersebut, meskipun kalau dikaji lebih jauh, resolusi yang didukung RI itu cukup berimbang dan adil. Bahkan, negara-negara Arab ikut mendukung, termasuk Qatar, yang menjadi anggota DK-PBB.

Mengapa mereka mendukung? Sebab, atas tekanan RI dalam resolusi tersebut berhasil dimasukkan klausul yang menyerukan dibentuknya wilayah Timur Tengah yang bebas senjata pemusnah massal berikut alat pengirimnya, yang otomatis termasuk bebas dari senjata nuklir Israel. Akibatnya, Amerika sempat meminta klausul tersebut dihapuskan dan memang sempat hilang sehari sebelum disahkan. Hanya, berkat kerja keras para diplomat RI di PBB, klausul itu masuk lagi.

Prinsip dasar dalam soal nuklir bagi RI adalah mendukung pengembangan nuklir untuk tujuan damai, tetapi menolak pengembangan nuklir untuk tujuan militer. Indonesia mendukung penuh posisi Iran yang ingin menguasai teknologi nuklir untuk tujuan damai. Namun, nyatanya, Iran tidak transparan terhadap IAEA, yakni Badan Pengawas Atom Internasional, yang memonitor perkembangan nuklir.

Iran adalah salah satu negara yang meneken perjanjian NPT (Non Proliferation Treaty) atau negara yang berjanji tidak akan menyebarkan senjata nuklir. Fakta bahwa Iran tidak tunduk dan tidak menurut atas inspeksi yang dilakukan IAEA, telah memaksa RI tidak punya alternatif lain kecuali mendukung Resolusi 1747. Mungkin, Presiden Yudhoyono ke Iran mau menjelaskan soal ini, sesuatu yang tidak urgen lagi.

Selain isu nuklir, masih ada isu lain, yakni soal tekanan para aktivis perburuhan RI terhadap Teheran agar berbagai organisasi serikat buruh di Iran tidak dikekang. Selain itu, media internasional sering menyingkapkan represi Teheran terhadap para aktivis HAM dan demokrasi di Iran. Masalah ini mungkin tidak akan disinggung presiden jika berkunjung ke Iran karena bisa dianggap mencampuri urusan dalam negeri Teheran.

Kembali kepada keinginan Presiden untuk berkunjung ke Teheran, penulis melihat urgensinya amat lemah dan tidak mendesak. Apalagi masih banyak masalah dalam negeri yang harus dibenahi dan diselesaikan, seperti, kemiskinan massal, pengangguran, korupsi, penuntasan skandal BLBI, diversifikasi dan konversi energi, melambungnya harga sembako, ketidakpastian hukum, buruknya infrastruktur, dan birokrasi yang lamban.

Mengenai isu korupsi, sungguh masalah ini merupakan yang paling pelik di era SBY-JK. Hasil survei Transparency International Indonesia (TII) 2007 menunjukkan, institusi kepolisian (4,2) merupakan lembaga paling korup di Indonesia. Disusul lembaga peradilan (4,1) serta parlemen dan partai politik (4,0). Dalam hal ini, Transparency International (TI) juga mengeluarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2007 untuk Indonesia yang justru mengalami penurunan sebesar 0,1 dari IPK 2,4 tahun lalu menjadi 2,3. Meski bukan penurunan yang signifikan, hasil survei itu merupakan rapor merah pertama yang harus diberikan kepada SBY-JK karena reformasi birokrasi ternyata belum berjalan baik. Survei itu juga membuktikan masyarakat tidak puas dengan penegakan hukum selama ini.

Belum efektif dan maksimalnya pemberantsan korupsi itu sungguh telah mengganjal pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, upaya pemberantasan korupsi acap terjegal oleh perilaku "ujung tombak" presiden sendiri, yakni kepolisian dan lembaga peradilan, yang notabene inner circle atau lingkaran dalam kekuasaan.

Oleh karena itu, presiden sebaiknya berkonsentrasi di dalam negeri untuk memimpin reformasi ekonomi, politik, hukum, dan sosial di semua lini dengan inovasi dan kreasi agar tidak terus dituding hanya pintar tebar pesona oleh Megawati/PDI-Perjuangan dan oposisi lainnya.

Semua itu membutuhkan konsentrasi total presiden untuk memimpin perubahan agar taraf hidup rakyat minimal tidak terpuruk lagi, kalaupun tidak bisa lebih baik lagi, di tengah sempitnya waktu karena tinggal setahun (2008) masa jabatan yang efektif bisa didayagunakan.

Dengan melihat uraian di atas, maka kunjungan presiden ke Iran sangatlah tidak urgen dan tidak relevan. Pada akhirnya, keputusan Presiden soal kunjungan ke Iran ini bergantung pada hati nuraninya. Dan itu merupakan keputusan moral yang niscaya berdampak terhadap kepemimpinannya sebagai seorang negarawan di negeri yang rakyatnya menderita dirundung dampak gejolak harga minyak bumi.
Jumat, Februari 08, 2008 0
Makna Kritik Paus terhadap BushDimuat di Media Indonesia
Oleh Mohamad Asrori MulkyPeneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina
Akhir-akhir ini, kebijakan politik luar negeri Presiden Amerika Serikat (AS) George Walker Bush selalu menuai kritik dan perlawanan keras dari berbagai pihak, baik pihak internal maupun eksternal seperti sejumlah negara-negara Uni Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Latin terkait perang di Irak.

Fenomena ini telah memperlihatkan kepada kita bahwa dunia saat ini telah hilang kepercayaan kepada AS bahkan meragukan setiap kebijakan yang dicapainya. Secara otomatis akan menimbulkan persoalan baru yang amat rumit dan efek negatif bagi AS sendiri dalam melangkah, sekaligus menyulitkan usahanya untuk mencapai misinya, menghegemoni dan mendominasi kekuasaan di dunia.

Kondisi AS saat ini, benar-benar dalam posisi dilematis dan mengkhawatirkan. Sebab, tidak hanya negara-negara Timur Tengah (Islam) yang memusuhi terhadap AS--yang secara historis negara-negara Timur Tengah dan AS sering terjadi ketegangan dan pertikaian--, tetapi juga negara-negara Uni Eropa dan Amerika Latin pun yang secara historis memiliki kedekatan emosional, saat ini mempropagandakan sikap permusuhannya.

Kini giliran Paus Benediktus XVI pada pertemuan dengan Bush, Sabtu (9/6) di Vatican City menyatakan kekhawatirannya situasi di Irak 'tidak ada yang positif di Irak'. Pasalnya Irak pascaeksekusi Saddam Hussein yang sejak awal diharapkan dapat menjadi negara yang demokratis, damai, dan sejahtera. Justru sebaliknya, Irak menjadi kubangan darah yang merambah dengan kepingan mayat yang tersayat dan menjadi bara api yang tak kunjung padam.

Penyataan Paus, merupakan tamparan keras bagi Bush, yang selama ini kerap mengatakan keadaan di Irak mengalami kemajuan dan perkembangan yang signifikan.

Kritik Paus itu tidak hanya kritik pedas semata, tetapi mempertegas posisi Vatikan terhadap Perang Irak yang secara terang-terangan menentang invansi militer AS dan sekutunya terhadap Irak dengan berbagai dalih; menyingkirkan otoritarianisme Presiden Saddam Hussein, menumpas jaringan Al-Qaeda dan menghancurkan program nuklir Irak.

Singkatnya, bagi Paus upaya penyelesaian masalah yang dilakukan AS dan sekutunya dengan menggunakan cara-cara yang intoleran, diskriminatif, dan mendorong munculnya konflik tidak akan bisa memberikan hasil ke arah yang lebih baik.

Media Indonesia


Masa Krisis Bush
Dalam melihat gejala meluasnya sikap permusuhan dan perlawanan terhadap AS, para ahli politik seperti Paul Kennedy, Samuel Huntington, Henry Kissinger, Robert Giplin, dan Brezinski menyimpulkan, pada titik momen tertentu AS akan mengalami penurunan derajat kekuasaan dan kehancuran. Apa yang kini menjadi kekuatan AS menjadi makin melemah dan tidak berdaya bila dihadapkan dengan perkembangan pesat yang tengah terjadi di berbagai belahan dunia lainnya seperti, Uni Eropa, Rusia, China, dan Jepang.

Jika demikian yang terjadi, bisa diprediksikan bahwa masa-masa krisis kejayaan rezim Bush beserta jajarannya akan segera tiba dan tinggal menunggu waktu saja. Apalagi kondisi dalam negeri AS saat ini--sebagaimana yang dikatakan para ahli ekonomi dan strategi bahwa AS--sedang dalam mengalami defisit anggaran yang kronis akibat perang di Irak. Sehingga membuat hegemoni AS di pentas global sangat terancam dan bisa jadi tersaingi oleh negara-negara lainnya yang maju dan berkembang.

Oleh karena itu, dapat dimaklumi upaya masyarakat dunia untuk memusuhi, memarginalisasikan, dan melawan setiap kebijakan AS dimungkinkan untuk dilakukan. Karena sejak awal sepak terjang AS terhadap dunia telah melampaui batas-batas kemanusiaan, bersikap arogan, tidak demokratis, dan selalu melanggar HAM, etika dan hukum internasional yang sering digembor-gemborkan AS.

Dunia, Paus, dan KemanusiaanInvansi pasukan gabungan pimpinan AS ke Irak, empat tahun lalu, bukan saja menjadi perang yang tidak adil, tetapi menorehkan ketegangan dan kengerian global bagi rakyat yang tidak bersalah.

Perang juga telah melecehkan hati nurani manusia dan kemanusiaannya. Sebab ketika perang berkobar, ada beberapa aspek yang cenderung ditelantarkan dan bahkan diabaikan, yakni aspek moral, budaya dan peradaban manusia yang seharusnya dijaga dan dilestarikan. Perang meninggalkan sejumlah persoalan dan masalah bagi rakyat Irak salah satunya adalah menghilangkan sisi kemanusiaan manusia.

Dalam kondisi seperti ini, masyarakat dunia juga Paus kembali meneriakkan seruan moral agar perang di Irak segera diakhiri sehingga kedamaian segera tercapai dan Irak menjadi negara yang asri kembali.

Kritik dunia dan Paus seharusnya menjadi bahan renungan dan pelajaran bagi Bush dalam mengambil kebijakan politik luar negerinya. Apa pun bentuk kebijakan dan keputusan itu, seharusnya di dasarkan pada kata sepakat melalui keputusan bersama dan memikirkan hajat hidup orang banyak, tidak merugikan pihak-pihak lain apalagi membuat keresahan dan ketidaknyamanan masyarakat dunia.

Artinya, Bush dalam setiap kebijakan politiknya harus menggunakan perspektif kelemahan dan keramahan bukan perspektif kekuatan, menggunakan perspektif damai bukan badai. Karena bagaimanapun juga resolusi militer yang ditempuh AS dalam mengambil keputusan apapun juga pada akhirnya tidak akan menyelesaikan masalah, malah akan menambah masalah yang baru dan berkepanjangan.

Pendeknya, kritik yang dilontarkan masyarakat dunia dan Paus Benediktus XVI patut menjadi pertimbangan Bush. Jika tidak, keruntuhan AS akan segera tiba.

Selasa, 05 Februari 2008

Selasa, Februari 05, 2008 0
Tugas Intelektual Menuntaskan Reformasi
Dimuat di Suara Karya (
Senin, 3 September 2007)

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, Jakarta

Tak terasa sudah sembilan tahun usia reformasi di negeri ini. Namun sampai detik ini belum terlihat tanda-tanda yang dapat dibanggakan masyarakat dari cita-cita ideal reformasi '98.

Masih segar dalam ingatan kita beberapa agenda reformasi yang telah ditawarkan para tokoh elite bangsa kita sejak tahun 1998, seperti pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), amendemen UUD 45, penghapusan dwifungsi ABRI, kesejahteraan rakyat, pengadilan Soeharto, penegakan hukum, dan penuntasan krisis di berbagai bidang. Akan tetapi, sejauh ini agenda reformasi tersebut telah mengalami kegagalan, karena pemerintah kita belum melaksanakan egenda reformasi tersebut secara tuntas, berarti, dan tepat guna.

Bila kita perhatikan, masih banyak masalah sosial yang kian hari kian menghimpit kehidupan bangsa kita. Kadar dan intensitasnya semakin menyesakkan dada hingga memperkecil palung harapan untuk menggapai masa depan yang lebih cerah. Mulai dari krisis ekonomi yang sampai saat ini belum jelas kapan terselesaikan, konflik horizontal yang terus memanas, meningkatnya tingkat korupsi dan kurangnya stabilitas politik dan keamanan dalam negeri kita. Semua itu menambah daftar kelam bangsa ini sebagai bangsa yang tak becus mengurusi rumah tangganya sendiri.

Parahnya, konflik sosial yang merebak di berbagai daerah sulit dideteksi, dan berada di luar jangkauan nalar. Bahkan, konflik dan kekerasan itu sulit diurai dan rumuskan secara jelas. Belum lagi soal KKN yang hampir tak tertangani oleh para aparat dan pemerintahan kita. Sejak reformasi, pemberantasan korupsi tak lebih hanya menjadi jargon populis lagi populer. Tapi, bukannya berkurang, korupsi malah merebak di sendi-sendi kehidupan. Fenomena sosial demikian ini meski sulit dicerna akal sehat, faktanya memang demikian, sulit untuk diungkap dan disingkap.

Kehidupan karut-marut politik juga menjadi tantangan berat bagi negeri ini. Dinamika politik yang dibingkai dalam kerangka modern sebagaimana yang telah dikumandangkan kebanyakan ilmuwan sosial, ternyata banyak membuahkan perilaku politik aneh dan membingungkan. Simak saja saat hari-hari menjelang pemilu akan dimulai, keanehan dalam fenomena dunia perpolitikan kita makin jelas dan nyata. Sulit dibayangkan dalam format politik modern dan rasional, masih ada sekelompok orang rela berdarah-darah dan mempertaruhkan nyawa untuk sebuah partai dan tokoh politik yang diidamkannya. Sulit dicerna akal sehat jika berpartai bagaikan memeluk sebuah agama, sehingga pindah partai bagai bentuk kemurtadan yang mencemaskan.

Dalam kodisi negeri tak karuan, sebagai buah dari kegagalan reformasi '98, diperlukan figur yang dapat meretas kemelut tersebut sekaligus menguak misteri di balik fenomena asal kejadiannya. Dengan demikian, dengan kehadiran dan perannya negeri yang berada di ujung kehancuran ini bisa pulih kembali, paling tidak ada secercah harapan kita bisa menghirup udara segar kembali.

Figur tersebut adalah kaum intelektual. Karena merekalah yang mampu mengemban amanah berat ini: menuntaskan agenda reformasi yang kehilangan momentumnya ke arah kebangkitan, sekaligus meminimalisasi problem-problem sosial bangsa yang terus menggumpal.

Kaum intelektual bagaikan seorang dokter, ia akan mampu mendiagnosa "penyakit sosial" bangsa ini, mampu melacak penyebab penyakit itu timbul, apa risikonya bila hal itu dibiarkan dan bagaimana seharusnya penyakit itu dapat disembuhkan. Mereka paham betul bagaimana penyakit itu harus dicegah dan diobati agar tidak merambat dan merasuk ke sekujur tubuh dan tidak menimbulkan komplikasi yang akhirnya sulit dicegah. Andaipun komplikasi itu terjadi dan harus dicegah, seorang intelektual mengerti obat apa yang secara proporsional harus diberikan kepada pasien bersangkutan atau obat mana dulu yang diberikan, sehingga satu persatu atau dalam waktu yang hampir bersamaan penyakit itu dapat disembuhkan.

Namun demikian, upaya kaum intelektual di negeri ini tidaklah semudah membalikkan kedua telapak tangan.

Hal ini karena pasien yang bernama Indonesia ini sudah terserang penyakit yang amat akut dan kronis, sehingga dengan sendirinya kaum intelektual akan mengalami kesulitan dalam mendiagnosa dengan cermat penyakit apa yang sesungguhnya dalam tubuh bangsa ini. Akibatnya mereka mengalami kesulitan untuk memberikan obat yang paling mujarab.

Dalam kenyataannya, tidak dapat dimungkiri, kaum inteletual kita sering mendapati penyakit yang kadang sulit dicerna akal sehat yang kedatangannya tak terduga sebelumnya, dan tak terdiagnosa dengan baik penyebabnya, maka wajar bila kemudian tidak ditemukan solusi akhirnya. Karena itu, jalan yang mungkin untuk dilalui kaum intelektual dalam kondisi seperti ini adalah menggandeng para penguasa negeri. Dalam perjalanan sejarahnya, bangsa ini lebih banyak dikendalikan oleh penguasa-penguasa negeri dan masih didorong oleh keinginan untuk memperkaya diri, mencari popularitas, jabatan, keserakahan diri serta tidak memikirkan nasib hidup orang banyak. Akibatnya, keadilan, kemerataan, dan kesejahteraan bersama yang merupakan janji-janji pemilu mereka menjadi terabaikan.

Dengan cara menggandeng penguasa bangsa dan menundukannya di bawah kendali kaum intelektual diharapkan para penguasa negeri dalam mengambil keputusannya tidak semata-mata berdasarkan pada pertimbangan subjektif kekuasaan itu sendiri, yang selalu berdimensi pendek dan berorientasi kekuasaan semata. Sebaliknya, dengan koalisi kaum intelektual dan penguasa, mereka dapat terus-menerus bernalar secara objektif dan bernalar secara kalkulasi ilmiah. Dengan demikian, pilihan-pilihannya memiliki justifikasi ilmiah, bukan justifikasi politis. Mementingkan kehidupan rakyat, bangsa dan negara.
Bukan malah sebaliknya, kaum intelektual takluk di hadapan penguasa. Idealismenya runtuh dan lebih tunduk pada tahta, jabatan dan iming-iming kekuasaan. Inilah pengkhianatan intelektual yang paling keji.

Dalam rangka memperingati sembilan tahun reformasi yang sampai saat ini dianggap telah kehilangan momentumnya, kaum intelektual harus menjadi juru bicara publik selama penguasa masih tak berdaya dan negara belum menjalankan fungsinya sebagai welfare state (negara kesejahteraan) dalam menuntaskan agenda besar reformasi. Dengan segala kapasitas dan kejeniusannya, mereka harus mampu mengartikulasikan kepentingan publik dan menerjemahkannya ke dalam kehidupan sosial dan berbangsa. Karena akal, pikiran, teori dan konsep sudah saatnya untuk berkaki dan berpijak di atas Bumi Pertiwi untuk menuju jejak langkah masa depan bangsa yang lebih baik.

Mungkinkah AS Menyerang Iran?

Selasa, Februari 05, 2008 0
Mungkinkah AS Menyerang Iran?
Dimuat di Republika (Rabu, 20 Juni 2007)

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaran (PSIK) Universitas Paramadina

Meski Presiden Amerika Serikat, George Walker Bush berulang kali menyatakan tak akan menginvasi Iran, namun tanda-tanda ke arah sana semakin jelas untuk dibuktikan. Pasalnya, perubahan sikap AS terhadap Iran semakin lebih ofensif dan agresif dalam menyikapi keputusan politik luar negerinya terhadap Iran.

Berdasarkan pengamatan para kritikus perang bahwa pernyataan Presiden AS Selasa (30/1) bahwa Gedung Putih tidak akan segan-segan mengambil tindakan tegas dan keras jika Iran bertindak ‘macam-macam’ di Irak dan membahayakan pasukan keamanan AS. Akhirnya medan perang pun barangkali terbuka lebar siap untuk menjadi kubangan darah yang merambah dan menjadi saksi jutaan mayat terkapar tersayat.

Menurut Francis Fukuyama dalam ‘America at the Crossroads; Democracy, Power, and the Neoconservative Legacy’, 2006, ada tiga alasan utama rezim otoriter Bush untuk melancarkan serangannya terhadap Irak pimpinan Saddam Husein. Akan tetapi menurutnya sebagian besar alasan itu palsu. Pertama, Irak dituduh memiliki senjata pemusnah massal. Kedua, Irak dituduh memiliki kaitan erat dengan jaringan Alaidah dan organisasi teroris lainnya. Ketiga, Irak dituduh sebagai rezim diktator tiranik yang harus dimusnahkan.

Berdasarkan fakta tersebut, tanda-tanda AS ‘mengajak perang Iran’ sepertinya mirip ketika mereka akan menginvasi Irak tahun 2003. Hal tersebut setidaknya bisa dibuktikan dengan beberapa alasan. Pertama, AS menuduh Iran sedang mengembangkan senjata nuklir sebagaimana yang pernah dikembangkan Irak. Kedua, AS menuduh Iran telah menyebar aksi teror di Irak untuk memerangi tentara keamanan koalisi AS dan Inggris, sehingga mengakibatkan sejumlah tentara mereka terbunuh sia-sia. Ketiga, AS menuduh Iran telah membantu kelompok pejuang di Irak terutama dalam hal penyediaan senjata dan bahan peledak yang membahayakan.

Pada tahun 2002-2003 Bush mungkin bisa dengan mudah meyakinkan Kongres AS yang hawkish maupun komunitas internasional yang masih trauma dibayangi tragedi 11 September dengan menunjukkan ‘bukti-bukti’ bohong bahwa Saddam Hussein sedang mengembangkan nuklir pemusnah massal. Namun, bila alasan ini kembali digunakan untuk menyerang Iran, adakah pihak yang masih percaya?

Rasanya masyarakat internasional tidak mau masuk jurang yang sama untuk kedua kalinya. Karenanya, sebagian pengamat mengatakan bahwa sikap AS terhadap Iran selama ini bagai melempar batu sembunyi tangan. Mereka menuduh tanpa didasarkan pada bukti-bukti yang jelas yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Bersamaan dengan itu Khalid Al Dakhil, penulis dan akademisi Arab Saudi mengatakan bahwa sikap AS tersebut merupakan refleksi atas kegagalan misinya di kawasan Irak. Di kancah dunia internasional wajah mereka terasa dicoreng. Mereka merasa malu atas kegagalannya sehingga untuk mengobati rasa malunya AS menfitnah Iran dengan alasan-alasan irasional.

Republika


Atas semua tuduhan itu, pemerintah Iran membantah keras tuduhan tersebut. Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad mengatakan bahwa, tuduhan AS selama beberapa bulan terakhir ini tidak berdasarkan fakta. Tuduhan itu sebenarnya hanya untuk propaganda. Dan dia berjanji jika AS menyerang, Iran akan melakukan tamparan sejarahnya kepada AS dan membuatnya malu di hadapan masyarakat dunia sehingga iblis pun tak mau mengingat kejayaan dan kedigdayaan AS kembali yang pernah dialaminya.

Maka, besar kemungkinan Iran akan melakukan serangan balik pada setiap kepentingan AS di seluruh dunia bila Iran diserang. Sehingga sampai saat ini Iran yakin bahwa tak akan ada seorang pun membuat langkah yang demikian irasional sampai menyulitkan langkah mereka ke depan. Musuh-musuh Iran harus mengerti bahwa Iran akan memberikan balasan komprehensif terhadap para agresor maupun kepentingan mereka di seluruh dunia. Politisi AS dan para analisnya juga harus tahu bahwa rakyat Iran tak akan tinggal diam bila diserang.

Sikap Naif AS
Andaikan benar AS dan sekutunya menyerang Iran sebagaimana yang perna dilakukannya terhadap Irak beberapa tahun lalu, hal tersebut tentunya akan menyulitkan AS mewujudkan tujuannya. Kesimpulan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yang harus dilakukan AS. Pertama, sebuah serangan udara terbatas yang targetnya hanyalah fasilitas nuklir Iran, seperti yang terdapat di Natanz dan Isfahan. Kedua, serangan militer yang lebih luas dan menyeluruh, yang targetnya bukan hanya menghancurkan fasilitas nuklir Iran, tetapi juga melumpuhkan angkatan bersenjata negara itu.

Dengan demikian AS harus melumpuhkan seluruh sistem pertahanan Iran, memperkuat pasukan darat, udara, dan laut di Irak dan Afganistan, serta memindahkan kapal-kapal perang AS ke Teluk Persia untuk melindungi jalur perdagangan. Jet-jet tempur AS harus diluncurkan dari pangkalan Diego Garcia di Samudera Hindia, sementara pesawat-pesawat pengebom stealth bisa langsung diterbangkan dari AS. Washington juga harus membujuk Turki untuk memberi izin bagi penggunaan pangkalan militer di Incirlik.

Berdasarkan foto-foto satelit hasil pemantauan yang dilakukan pesawat pengintai AS terhadap fasilitas nuklir Iran sejak tahun 2004, setidaknya ada 400 target yang harus dihantam melalui serangan udara. Di antaranya rudal-rudal balistik jangka menengah yang ditempatkan mendekati perbatasan Irak, 14 lapangan terbang beserta pesawat-pesawat tempurnya, kapal-kapal selam Iran, dan bangunan-bangunan yang terkait dengan kepentingan intelijen maupun dengan Garda Revolusi.

Langkah selanjutnya, AS membutuhkan senjata nuklir penghancur bungker (bunker-buster tactical nuclear weapon), seperti B61-11, untuk menghancurkan fasilitas-fasilitas yang terdapat di bawah tanah. Target utamanya adalah fasilitas nuklir Iran di Natanz yang diperkirakan memiliki 50 ribu mesin pemutar (centrifuge), laboratorium, dan ruangan kerja di kedalaman 25 meter di bawah tanah.

Dari semua keterangan tersebut, sepertinya upaya-upaya yang harus dilakukan AS untuk menaklukan Iran cukup berat dan secara material harus mengeluarkan biaya yang cukup banyak juga. Maka berdasarkan analisis subjektif upaya ke arah sana tidak mungkin dilakukan AS. Walhasil, upaya AS untuk menaklukan Iran hanya akan menjadi angan-angan dan cemoohan dunia internasional belaka. Sehingga buah yang akan dipetik adalah kenaifan dan kemustahilan untuk memenangkan peperangan dengan Iran, yang secara historis-sosiologis telah memiliki pengalaman perang dengan Barat (Imperium Romawi).

Semestinya AS lebih memikirkan hubungan baik dengan Iran dalam politik luar negerinya demi kemaslahatan bersama terutama menyangkut nasib warga kedua negara, AS dan Iran. Sebaiknya permasalahan ini diselesaikan dengan jalan diplomatik bukan melalui jalur militer yang akan memakan korban jiwa dan harta benda yang banyak pula. Karena bagaimanapun juga perang tidak akan menyelesaikan masalah akan tetapi hanya akan memperuncing masalah.

Sabtu, 02 Februari 2008

800 Tahun Maulana Jalaluddin Rumi

Sabtu, Februari 02, 2008 0

Mohamad Asrori Mulky 
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina.
Dimuat di Sinar Harapan (12 Nopember 2007) 

Maulana Jalaluddin Rumi dikenal tidak saja sebagai penyair-mistik, tapi juga sebagai tokoh humanis terbesar sepanjang masa. Ia lahir pada tahun 604 Hijriah (30 September 1207) di Kota Balkhan, salah satu kota kecil yang dulu merupakan bagian dari Provinsi Khurasan di Iran, dan kini telah menjadi bagian dari Afganistan.

Seorang ulama terkenal di Nishafur, Fariruddin Attar, penulis buku Mantiq at-Thair yang bercerita tentang sekelompok burung yang mencari tuhannya, pernah meramalkan bahwa pada suatu saat nanti Maulana Rumi akan menjadi orang terkenal. Ramalan ini menjadi kenyataan, kini siapa yang tidak pernah mengenal Rumi. Ia adalah tokoh humanis-toleran yang selalu menebarkan cinta kasih dan perdamaian untuk manusia. UNESCO menetapkan tahun ini sebagai tahun Maulana Rumi. 6 September 2007 lalu, badan PBB itu merayakan kelahiran Rumi yang dihadiri oleh Dirjen UNESCO, Koichiro Matsura, dan tiga orang menteri yang mewakili Afghanistan, Iran, dan Turki.

Disusul kemudian Negeri para Mullah, Iran menggelar Konferensi Internasional peringatan Maulana Rumi pada 28-30 Oktober 2007. Dan pada 25 Oktober 2007 lalu, beberapa kedutaan untuk Indonesia seperti Iran dan Turki juga menggelar acara yang sama di Taman Ismail Marzuki. Selama hidupnya, Rumi memiliki banyak guru yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan pengetahuan tahapan kenabian dan ketuhanan. Syamsi Tabriz adalah salah satu guru Rumi yang paling memberikan kesan dalam hatinya. Syam adalah orang yang mengenalkan kepada Rumi tarian sufi, Sama’. Tarian ini biasanya dibawakan oleh para darwis, orang-orang yang mempelajari ajaran sufi. Bagi Rumi, Tabriz adalah pembakar api, sedangkan Rumi sendiri sang penangkap api.

Pertemuan keduanya telah mengubah Rumi menjadi seorang tokoh mistik terbesar sepanjang sejarah. Maka untuk berterima kasih kepadanya (Syam), Rumi membuat bait-bait syair cinta yang dikumpulkannya dalam sebuah buku tebal berjudul Diwan-Syamsi-Tabriz.

Seruling Perdamaian 
Sebagai tokoh humanis terbesar, Maulana Rumi mengabdikan seluruh hidupnya untuk kepentingan kemanusiaan. Pada setiap karyanya, terutama Matsnawi dan Fihi Ma Fihi terkandung pesan yang begitu berharga bagi kehidupan manusia di dunia, yaitu terciptanya “perdamaian abadi”.

Buku ini, khususnya Matsnawi bagi masyarakat Iran dianggap sebagai “kitab suci kedua” setelah al-Quran, karena mengandung petunjuk dan ajaran mulia bagi umat manusia yang dapat mengantarkan mereka ke tujuan paripurna.

Kini kita hidup 800 tahun setelah Maulana Rumi, namun pesan damai yang sempat ditorehkannya dalam lembaran-lembaran kitab dan petuah-petuah nasehat rasanya masih relevan dengan kehidupan manusia zaman ini. Zaman di mana pertikaian sering terjadi, kebencian dan kemurkaan dipeliha-ra, kekerasan dan penindasan ditanamkan, serta kejujuran dan kebenaran selalu diabaikan.

Pada zaman seperti itu, damai adalah kata yang teramat mahal bagi setiap orang, bangsa, dan kelompok. Damai menjadi kata yang terus diperjuangkan dan dipertaruhkan. Setiap usaha untuk menggapainya tak jarang menelan korban harta dan jiwa yang begitu banyak. Hingga kini, betapa jurang pemisah di antara bangsa-bangsa dunia semakin menganga lebar, ditambah kemudian dengan sikap intoleransi, dan pupusnya solidaritas sosial semakin membangkitkan sikap egoisme dan individualisme. Konflik yang saat ini masih terjadi di Irak dan Afghanistan, serta ratusan konflik yang pernah melanda Indonesia semakin membenarkan hal itu semua.

Untuk menyelesaikan konflik yang kian menyambang kehidupan manusia dari masa ke masa, Maulana Rumi mencari akar penyebabnya, sekaligus menawarkan sebuah solusi yang dapat menghantarkan mereka kepada kedamaian dan perdamaian abadi. ”Seruling Bambu” bagi Rumi adalah simbol perdamaian. Menurutnya, seruling merupakan analogi yang tepat bagi bangsa dunia yang mendambakan perdamaian. Karena, darinya lahir berbagai lagu yang coba diekspresikan melalui kekuatan angin yang keluar dari mulut seseorang saat meniup alat musik itu.

Bila setiap bangsa, dan juga komunitas dunia meniup seruling itu dengan penuh kesadaran dan dalam kesatuan yang padu, maka akan mengeluarkan suara yang merdu dan menggugah setiap pendengarnya hingga menyejukan hati dan mendamaikan jiwa. Dengan cara memadukan seruling yang satu dengan seruling yang lainnya akan tercipta perdamaian dan kedamaian abadi. Kesadaran inilah yang harus diciptakan masyarakat dunia.

Humanisme-toleran
Kehadiran Rumi di tengah kepenatan hidup dan kebekuan berpikir seperti sekarang ini sungguh sangat diperlukan dan dinanti. Ia tidak saja mampu melantunkan bait-bait syair yang merdu di tengah kebisingan dunia, tapi juga memiliki ajaran-ajaran mulia yang dibutuhkan manusia modern saat ini. Sebagai guru sejagat, Rumi laksana lautan tak bertepi dan bumi tak terjejaki. Ia selalu mengajarkan kepada murid-muridnya untuk bersikap toleran dan solider terhadap sesama, peduli akan penderitaan nasib orang, menerima kelompok lain untuk hidup berdampingan sambil bergandengan tangan tanpa pertentangan dan perselisihan, serta memiliki tanggung jawab untuk mengabdikan hidupnya demi kemanusiaan.

Sikap egois, ingin menang sendiri, dan merasa dirinya paling suci dan benar seperti yang terjadi dan bahkan mewarnai kehidupan dunia ini menjadi kritikan dan perhatian Rumi. Baginya, sikap-sikap seperti itu tidak akan dapat menyelesaikan masalah dalam hubungannya dengan orang di luar diri kita dan kelompok yang berbeda pandangan dengan kita.

Hal demikian justru hanya akan memperuncing masalah, mempertajam perselisihan, menyulut api peperangan, menanamkan kebencian, dan sesekali akan melahirkan tragedi yang berdarah-darah.

Untuk itu, selama hidupnya, Rumi bergaul dan memiliki banyak murid yang berasal dari berbagai kalangan, agama, suku, budaya, dan tradisi. Mereka semua diperlakukan Rumi dengan penuh cinta dan kasih sayang, tanpa pandang bulu. Baginya sikap seperti ini akan melahirkan kedamaian dalam diri seseorang dan kedamaian untuk alam semesta. Setelah memberi pelajaran hidup yang sangat bermakna, Rumi berpulang ke pangkuan Illahi dalam usia 68 tahun. Ia wafat pada 5 Jumadil Akhir 672 H. Kepergian Rumi untuk selamanya mengundang kesedihan banyak orang. Tak terhitung jumlah orang yang berkerumun untuk mengantarkannya ke peristirahatan terakhir, baik dari agama Yahudi, Kristen, dan juga Zoroaster. Mereka sangat kehilangan orang yang selama ini mensabdakan nilai-nilai persaudaraan, kedamaian, dan menjunjung tinggi harkat martabat manusia.