Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Jumat, 25 April 2008

Jumat, April 25, 2008 0
Mendahulukan Ahmadiyah atau Kemiskinan?
Oleh Mohamad Asrori Mulky
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Di tengah fenomena kemiskinan yang terus melanda bangsa kita, secara bersamaan pula pemerintah dihadapkan pada persoalan Ahmadiyah yang keberadaanya dianggap meresahkan warga, khususnya Umat Islam Indonesia.

Untuk saat ini, kasus Ahmadiyah dan kemiskinan menjadi persoalan yang sangat krusial untuk segera mendapatkan solusi. Mengingat persoalan Ahmadiyah terkait erat dengan keyakinan dan keimanan seseorang, sementara kemiskinan menyangkut kelangsungan hidup warga Indonesia secara keseluruhan.

Dua fenomena di atas mau tidak mau harus menjadi tanggungjawab pemerintah. Mereka harus memutar otak untuk dapat menyelesaikan kedua persoalan tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan kita kemudian, persoalan mana yang harus mereka (pemerintah) dahulukan, menuntaskan kemiskinan atau meluruskan keyakinan Ahmadiyah? Karena dua kasus itu sangat mendesak dan butuh penyelesaian.

Sepertinya cukup sulit bagi pemerintah untuk dapat menyelesaikan dua persoalan tersebut secara bersamaan. Karena satu sama lain memiliki ruang lingkup yang berbeda, kemiskinan adalah persoalan sosial-kemasyarakatan sementara kasus Ahmadiyah adalah persoalan teologis. Tapi paling tidak pemerintah dalam hal ini harus berbuat tegas, cerdas dan bijak dalam menanganinya.

Pemerintah Harus Tegas
Menghadapi dua kasus di atas, ketegasan dan kecerdasan dari pemerintah sangat dibutuhkan. Karena dua kasus itu sangat berpotensi melahirkan stabilitas keamanan yang buruk dan mengganggu kenyamanan bangsa kita. Jangan sampai gara-gara dililit kemiskinan, kasus pembunuhan terhadap anak kandung kembali terulang sebagaimana yang pernah terjadi di Bekasi dan Pekalongan. Atau gara-gara kasus Jama’ah Ahmadiyah seluruh Ormas Islam berkoalisi melakukan tindak anarkhisme, barbarisme, dan bentuk kekerasan lainya sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini.

Bila kita kaji lebih mendalam, tindakan di atas tidak saja merugikan orang lain, tapi juga mengancam wibawa bangsa kita di hadapan bangsa-bangsa dunia lainya. Mereka akan menaruh asumsi negatif mengenai Indonesia sebagai bangsa yang brutal, biadab, dan tak beradab. Sehingga tidak menutup kemungkinan akan berimplikasi pada menurunnya hubungan bilateral Indonesia kedapan. Maka pemerintah harus segera mengantisipasi sebelum semuanya terlanjur menjadi bubur.

Dalam kasus Ahmadiyah misalnya, pemerintah harus segera menetapkan apakah keberadaan Ahmadiyah sah secara hukum untuk dapat berkembang di Indonesia atau tidak? Karena sejauh ini pemerintah belum bersikap tegas mengenai keabsahan mereka. Pemerintah baru menunda-nunda keputusan yang seharusnya keputusan itu segera diambil.

Bila kelompok Ahmadiyah dianggap tidak sah secara hukum negara dan agama, dalam arti tidak diterima di Indonesia, maka pemerintah harus memberikan solusi yang tidak merugikan akidah dan hak asasi mereka. Mungkin pemerintah bisa mengirim mereka ke negara di mana kelompok Ahmadiyah bisa berkembang sehingga mereka dapat mengekpresikan keyakinan mereka dengan bebas tanpa gangguan apapun. Namun sebelumnya pemerintah harus memberikan pemahaman kepada kelompok Ahmadiyah dengan jalan damai dan bijak. Bahwa mereka harus menerima segala keputusan pemerintah, tidak saja demi keselamatan dan kenyamanan mereka dalam beribadah tapi juga demi menjaga perasaan umat Islam Indonesia secara keseluruhan.

Dan bila kelompok Ahmadiyah dianggap sah menurut hukum negara dan agama, maka tugas pemerintah adalah memberikan pemahaman kepada Umat Islam Indonesia akan keabsahan mereka. Di samping itu pemerintah harus menjamin keselamatan kelompok Ahmadiyah dengan cara melindungi mereka dari hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti aksi penyerangan, pengrusakan, dan tindak kekerasan lainya yang dilakukan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab..

Adapun soal penanganan kasus kemiskinan, pemerintah juga harus bersikap tegas, arip dan bijaksana. Mereka harus segera merealisasikan janji-janji pemilu, tidak sekedar diucapkan lewat mulut dan dituliskan dalam lembaran buku. Menimbang keadaan rakyat Indonesia sampai saat ini makin memperihatinkan; kita sering menyaksikan fenomena kelaparan, busung lapar dan gizi buruk. Melihat kenyataan seperti ini, kemiskinan membutuhkan penyelesaian yang cepat dan tepat.

Mungkin solusi yang harus dilakukan pemerintah adalah memberikan subsidi yang maksimal kepada mereka yang hingga saat ini masih dalam kesulitan. Upaya ini harus dilakukan secara intensif dan berkala sebelum rakyat mendapatkan hidup yang layak dan normal.

Yang harus menjadi catatan pemerintah adalah pengentasan kemiskinan tidak kalah pentingnya dengan kasus pelurusan akidah Ahmadiyah. Karena kemiskinan tidak saja akan menambah jumlah pengangguran semakin banyak dan tindak kriminal yang makin merajalela. Tapi kemiskinan juga sangat berpotensi menjadikan seseorang kafir dan tidak lagi mempercayai agamanya.

Oleh karenanya pemerintah dalam menangani dua kasus ini harus segera memberikan solusi terbaik dengan bersikap tegas, cerdas, dan bijak. Menetapkan hukum yang berlaku dan mendahulukan kepentingan bersama dengan tidak melanggar hak-hak asasi manusia. Hanya dengan cara ini pemerintah akan mendapat wibawa dari rakyatnya. Semoga pemerintah kita dapat menyelesaikan dua kasus ini, disamping kasus-kasus lainya.

Menimbang Lima Tahun Invansi AS ke Irak

Jumat, April 25, 2008 1

Tepatnya pada tanggal 20 Maret 2003, Amerika Serikat (AS) melalui perintah Presiden George Walker Bush melancarkan seranganya ke Irak tanpa ampun.

 

Invasi tersebut dilakukan berdasarkan tiga alasan; pertama, menggulingkan rezim otoriter Saddam Husein. Kedua, menghancurkan senjata pemusnah massal. Dan ketiga, merendam gerakan jaringan teroris al-Qaeda.

 

Hingga 20 Maret 2008 kemarin, invasi AS sudah berjalan lima tahun. Menurut catatan Iraq Body Count, invasi AS yang dimulai 20 Maret 2003 hingga 17 Maret 2008 telah menewaskan 1,2 juta warga sipil Irak tak berdosa dan menyebabkan 4 juta lainya kehilangan tempat tinggal, hidup terlunta-lunta dan terlantar di pengungsian. 

 

Sementara itu, dari kalangan AS sendiri sudah lebih dari 3.990 tentaranya tewas sia-sia dan lebih dari 29.000 lainya terluka dalam perang yang memakan biaya hingga USD 500 miliar. Setiap hari pasti ada yang tewas mengenaskan akibat terkena serangan bom bunuh diri atau terperangkap ranjau bom yang dipasang para milisi Irak. 

 

Dalam tahun kelima inilah, invasi AS mendapatkan perhatian lebih dari berbagai media massa di seluruh dunia dan para pengamat politik. Mayoritas berisi kritikan dan kecaman terhadap kebijakan perang Gedung Putih yang telah mengakibatkan jutaan rakyat Irak menderita dan kehilangan masa depannya. 

 

Politik Hegemoni AS

Jutaan nyawa manusia melayang sia-sia di Irak akibat kebengisan tentara AS, hal ini menimbulkan tanda tanya besar. Kenapa negara yang disebut-sebut sebagai negara yang gencar mengumandangkan HAM, justru dengan tegak merampas kebebasan hidup rakyat Irak dengan melancarkan sejumlah serangan yang amat mematikan? Lalu, ada apa dengan AS? 

 

Sebagian pengamat mengatakan, salah satunya Riza Shihbudi, pakar pengamat politik Timur Tengah, bahwa AS dalam menjalankan politik luar negerinya, terutama sekali yang berhubungan dengan dunia Timur Tengah selalu menggunakan politik hegemoni. 

 

Keinginan untuk menghegemoni dunia, terutama sekali Timur Tengah mengakibtakan segala kebijakanya merugikan dan menyengsarakan bangsa-bangsa Arab. Karena, dalam pandangan AS, Timur Tengah, khusunya Irak adalah negara yang berpotensi akan mengancam kepentingan nasional AS. Oleh karenanya, sebelum Irak lebih jauh dapat mengganggu kondisi dalam negerinya, AS terlebih dahulu harus melancarkan seranganya ke Irak. Dan slogan yang selalu dipakai AS adalah pertahanan yang paling ampuh adalah menyerang dan mendominasi.

 

Hegemoni politik AS di Timur Tengah juga terlihat dari penyelenggaraan KTT Ekonomi Timur Tengah dan Afrika Utara yang pertama di Casablanca, Maroko (Oktober 1994) yang berlangsung tidak lama sesudah pendandatanganan perjanjian damai Yordania-Israel. Konferensi yang dihadiri semua negara Arab sekutu AS dan Israel ini resminya memang membahas prospek kerjasama ekonomi regional. Namun, pesan politis dari KTT MENA I sebenarnya adalah penegasan bahwa Israel sejak saat itu “suda diterima” oleh para tetangga Arabnya. 

 

Tembok Besar AS

Peringatan lima tahun invasi AS ke Irak seharusnya dijadikan bahan renungan bagi bangsa-bangsa dunia. Bahwa solusi damai merupakan cara dan satu-satunya jalan yang epektif untuk mengakhiri penderitaan bangsa Irak. Namun, upaya untuk menemukan solusi damai itu selalu menghadapi tembok besar yang teramat kuat dan kokoh untuk dirobohkan, yaitu dominasi dan egoisme AS. 

 

Bahkan badan dunia sekelas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun tidak mampu berbuat sesuatu demi kebaikan masa depan rakyat Irak, demi kemanusiaan, dan demi martabat umat manusia. Padahal otorisasi PBB kepada AS pada Agustus 2002 hanya untuk mengahancurkan senjata pemusnah massal, bukan untuk menjatuhkan Saddam Husein, apalagi menduduki negara seribu satu malam itu. 

 

Sikap Arif

Melihat kenyataan di atas, amat sulit bagi Irak untuk menghancurkan tembok besar AS yang semakin kuat dan kokoh itu. Kecuali dengan cara menolak segala kebijakan politik luar negerinya, terutama sekali kebijakan yang dapat mengusik ketentraman manusia. 

 

Upaya ini harus dilakukan oleh seluruh masyarakat dunia termasuk rakyat AS sendiri. Sebab dengan menolak segala kebijakan politik luar negerinya secara otomatis AS akan mendapatkan tekanan, baik secara materi dan psikologis. Dan yang lebih penting dari itu adalah sikap arif dan bijak dari seluruh jajaran pemerintahan AS, termasuk Bush untuk menghentikan dan menarik seluruh pasukanya dari Irak. Karena sikap arif ini sesungguhnya akan membawa kedamaian dan ketentaraman bagi rakyat Irak khususnya dan rakyat dunia pada umumnya. 

 

Dalam peringatan lima tahun invasi AS ke Irak ini, Bush beserta jajarannya harus melihat segi-segi negatif akibat invasinya itu. Atas penderitaan yang dialami rakyat Irak, Bush harus menimbang dengan hati nuraninya dan atas nama kemanusiaa harus bersikap arif dan bijaksana, yaitu mengentikan perang dan mengadakan dialog damai dengan pemerintahan Irak. Dengan demikian, masa depan rakyat Irak akan kembali pulih. Jika tidak, rakyat Irak akan kehilangan masa depan bangsanya.

 

Selasa, 08 April 2008

Selasa, April 08, 2008 0
Di mana Peran Negara?
Dimuat di SINDO (Senin 31 Maret 2008)

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Disadari atau tidak, bahwa kesenjangan sosial merupakan musuh bangsa sejak negeri ini tertimpa krisis moneter. Namun, ternyata kita semuanya lebih sibuk berpolitik, membangun keseteraan sepihak dan kepentingan yang memihak.

Kita lupakan cita-cita besar bangsa, memberikan kesejahteraan yang merata pada seluruh elemen masyarakat dengan berasaskan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Tapi kenapa cita-cita itu kita abaikan begitu saja hingga menciptakan jurang pemisah yang begitu terjal antara rakyat dan negara.

Coba perhatikan, kemiskinan semakin menganga di mana-mana; kelaparan, busung lapar, dan gizi buruk. Selama ini rakyat belum mendapatkan perhatian dan kesejahteraan yang maksimal dari pemerintah. Mereka hanya bisa menjanjikan, namun tidak pernah diwujudkannya dalam bentuk nyata dan dalam wujudnya yang paling sempurna. Walhasil, janji-janji itu hanya isapan jempol belaka, hanya mampu menjelma menjadi mitos, legenda, dan cerita usang bagi rakyat saja. Kapan dan sampai mana-pun juga tidak akan pernah terwujud.

Padahal, kemiskinan merupakan problem sosial yang harus segera mendapat penanganan yang serius dari pemerintah. Karena problem kemanusiaan yang satu ini bisa membawa petaka yang amat dahsyat bagi kelangsungan hidup manusia, yaitu kematian atau tragedi ngiris lainya.

Kasus yang terjadi di Pekalongan dan Bekasi misalnya, dengan alasan terhimpit ekonomi dua ibu rumah tangga, Yuli (25 tahun) asal Pekalongan dan Ismawati (32 tahun) asal Bekasi, tega menghabisi dua anak kandungnya masing-masing dengan cara menenggelamkan mereka ke dalam bak mandi. Yang lebih mengejutkan lagi dua peristiwa itu terjadi hanya dalam satu minggu saja.

Tragedi ini cukup menggemparkan kita semua hingga melahirkan tanda tanya besar. Kenapa seorang ibu yang memiliki sifat dasariah, cinta dan kasih sayang justru dengan tega membunuh anaknya tanpa belas kasih? Apakah cinta sudah tidak lagi memiliki perasaan kasih dan sayang atau memang zaman sudah semakin edan hingga merobohkan sendi-sendi norma dan susila yang seharusnya tetap tegak berdiri?

Dalam kasus pembunuhan ibu-ibu ini, kita tidak seharusnya langsung menuduh dan menyalahkan sang pelaku. Mengaitkan kondisi kehidupan sang pelaku dengan lingkungan di sekitarnya dan bagaimana peran negara saat ini juga dianggap perlu. Jangan-jangan justru sang ibulah yang tidak bersalah.

Kemunculan sejumlah kasus ibu-ibu rumah tangga yang tega membunuh anaknya, jika dicermati secara seksama, terkait pula dengan kegagalan negara dalam memperdayakan fungsinya sebagai pengayom dan pelindung bagi masyarakat lemah. Sebagai payung masyarakat, negara seharusnya bisa memberikan yang terbaik bagi rakyatnya. Ia harus bisa memberikan harapan bagi masyarakat lemah untuk tetap bisa menjalani hidupnya sebagaimana manusia lainya yang hidup normal dan berkecukupan.

Dalam kondisi seperti ini, pemerintah juga harus bertanggungjawab dan terlibat secara langsung dalam menangani kasus tersebut. Jangan sampai pemerintah malah lepas tangan dan menyerahkan semua persoalan ini kepada masyarakat. Untuk melepaskan tanggungjawab ini kepada masyarakat secara penuh tidaklah mudah. Karena sejauh ini, masyarakat kita belum bisa hidup mandiri dan belum mampu mengurusi dirinya sendiri. Artinya, masyarakat masih memerlukan bantuan pemerintah dalam mengurusi kasus seperti ini. Apalagi ini masih ada kaitan dengan kesenjangan sosial yang diciptakan oleh negara sendiri.

Bila pemerintah melepaskan tanggungjawabnya satu persatu atau secara keseluruhan dalam hubunganya dengan persoalan rakyat, utamanya dalam kasus pembunuhan yang dilakukan ibu-ibu rumah tangga baru-baru ini. Maka ketika itu juga negara sudah tidak lagi ada. Negara sudah hilang di hadapan rakyatnya. Lalu kepada siapa lagi masyarakat lemah harus berlindung dan meminta pengayoman?

Ketika negara sudah tidak lagi berperan maksimal atau tidak ada sama sekali sementara tekanan hidup semakin berat, maka ketika itu juga masyarakat kehilangan harapan dan tempat mencari bantuan, sehingga mereka lebih memilih untuk menyelesaikan masalahnya dengan cara mereka sendiri. Jalan apapun harus mereka lalui sekalipun harus menghabisi anak kandungnya sendiri.

Apalagi kalau kita perhatian, betapa ikatan sosial di antara masyarat sendiri sudah menghilang, bahkan sudah tidak terjalin lagi. Sehingga dengan sendirinya tercipta “kesendirian” di tengah-tengah beban yang mereka pikul. Hidup sendiri-sendiri menjadi akibatnya. Sosiolog dari Universitas Airlangga Surabaya, Bagong Suyanto mengatakan, bahwa kalau seandainya masyarakat lemah masih mempunyai tempat bergantung dan mendapatkan solusi, maka keputusan yang berujung pada pembunuhan tidak akan terjadi.

Atas dasar itu semua, belajar dari pengalaman yang sekarang, mulai saat ini pemerintah harus lebih memahami perannya dalam masyarakat, mengerti kebutuhan mereka, dan memenuhi keinginan mereka. Artinya, pemerintah harus memberikan seluruh tanggungjawabnya untuk masyarakat dan mengabdikan dirinya demi kepentingan rakyat.