Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 14 Juli 2008

Senin, Juli 14, 2008 0

Kepentingan di Balik Krisis Tibet

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.

Judul Buku: Revolusi Tibet;
Fakta, Intrik dan Politik Kepentingan Tibet-China-Amerika Serikat

Penulis : Nurani Soyomukti

Penerbit : Garasi, Yogyakarta

Cetakan : I, Mei 2008

Tebal : 136 halaman

Tibet adalah negeri para biksu yang kerap mengajarkan kedamaian dan cinta-kasih. Namun, kali ini, dunia dikejutkan oleh sikap anarkisme para biksu, 10 Maret 2008 lalu. Para biksu yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan kedamaian, malah justru membuat onar di negeri yang mendapat julukan ”negeri atap dunia” itu.

Fenomena tersebut akhirnya mengundang pertanyaan besar, ada apa di balik aksi para biksu Tibet? Apakah aksi mereka murni untuk memperjuangkan nasib dan kepentingan rakyat Tibet sendiri, yang selama ini tunduk di bawah kekuasaan pemerintahan Cina? Atau memang, aksi mereka sepenuhnya ditunggangi kepentingan pihak lain, seperti AS dan Cina, di mana keduanya sejak lama berhasrat memiliki kekayaan dan keasrian bumi Tibet?

Buku Revolusi Tibet: Fakta, Intrik, dan Politik Kepentingan Tibet, Cina, dan Amerika Serikat” karya Nurani Soyomukti ini menganalisa berbagai kekuatan politik dan kepentingan yang bermain di negeri para biksu itu, khususnya AS dan Cina sendiri. Oleh karenanya, buku ini memberikan analisa yang objektif dan menyeluruh mengenai kasus Tibet, yaitu dengan cara melihat Tibet dari berbagai aspek, kepentingan dan kekuatan politik yang bermain di sana.

Sejak peristiwa 10 Maret 2008 lalu, bahkan 49 tahun sebelumnya (1959) tarik menarik kepentingan antara AS dan Cina terlihat begitu jelas dan memanas. Ketika terjadi demonstrasi peringatan Pemberontakan Tibet yang dilakukan sebagian besar biksu, secara spontan Cina memberikan reaksi yang cukup keras. Pada saat itulah AS membesar-besarkan perlakuan Cina dan menganggapnya bentuk ”represif” dan ”melanggar HAM”.

Selain itu, AS juga diduga telah mempelopori kampanye ”Boikot Olimpiade Beijing” 2008. Hal ini dilakukan agar Olimpiade 2008 Beijing gagal hingga mencoreng reputasi Cina di hadapan masyarakat internasional. Dengan begitu, Cina akan mendapat cemoohan dan kritikan.

Dalam kasus Tibet ini, media juga ikut memblow-up secara besar-besaran. Dalam pemberitaanya, Cina lebih ditempatkan sebagai pihak tertuduh, sementara pihak demonstran Tibet mendapatkan simpati dari berbagai pihak. Padahal, para demonstran sendiri dalam aksinya melakukan tindakan anarkis; pembakaran, penganiayaan, dan pengrusakan terhadap sejumlah rumah dan toko milik non-etnis Tibet. Bahkan aksi tersebut berujung pada penyerangan etnis non Tibet pada tanggal 14 Maret.

Dalam konteks ini, peran media dalam pemberitaan sangat merugikan pihak Cina. Sehingga muncul keyakinan dogmatis bahwa dalam sejarah Tibet, mereka selalu ditindas dan diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Cina. Bila citra ini yang muncul di permukaan, maka AS dengan sendirinya mendapat keuntungan. Seakan-akan AS dengan sepenuh idealismenya membantu dan membela HAM di Tibet. Padahal dalam sejarah perjuangan HAM AS selalu bermakna standar ganda. Pasti teselip kepentingan yang keji di dalamnya.

Sebagai negara yang menjadi raksasa di kawasan Asia, Cina dianggap sebagai negara yang mengancam mada depan AS. Maka kasus tibet ini dijadikan momen oleh AS untuk menggulingkan pamor Cina dalam kancah dunia. Karenanya, AS sejak awal berusaha berada di pihak Tibet dan tak henti-hentinya membantu perjuangan rakyat Tibet melepaskan diri dari Cina, mungkin kalau Tibet merdeka AS akan dapat masuk ke wilayah itu untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya alamnya.

Yang menjadi kekhawatiran penulis buku ini, bahwa hak menentukan nasib sendiri (self-determination) yang diupayakan rakyat Tibet adalah harga mati dalam politik pergaulan antar bangsa. Tetapi apakah setelah Tibet merdeka akan terjadi pemenuhan hak-hak rakyat Tibet. Atau jangan-jangan setelah Tibet lepas dari Cina, modal AS akan masuk sehingga segala kandungan bumi Tibet menjadi milik modal internasional, aset medis tradisional Tibet akan menjadi hak paten kapitalis farmasi, atau kedepannya pandangan ekologis Buddhisme akan enyah oleh ideologi ekploitatif kapitalisme neoliberal yang akan dipaksakan Amerika Serikat.

Singkatnya, kemungkinan-kemungkinan terburuk inilah yang harus diwaspadai masyarakat Tibet. Jangan sampai keluar dari mulut macam, masuk mulut buaya.

Selasa, 08 Juli 2008

Riyadh Undercover

Selasa, Juli 08, 2008 0
Riyadh Undercover
Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, Jakarta
Judul Buku: The Girls of Riyadh
(Kisah Email Empat Gadis Saudi Arabia yang Menghebohkan)

Penulis: Rajaa Al Sanea
Penerbit: Ufuk Press
Cetakan: Januari, 2008
Tebal 408 halaman
Di tengah gemericik arus globalisasi dan informasi yang terus menerjang setiap inci kehidupan manusia, tradisi tidak sekedar dianggap sebagai warisan nenek moyang belaka, tapi juga sebagai nilai-nilai luhur yang harus tetap dijaga dan dilestarikan. karena, dalam keyakinan sebahagian orang hanya dengan mematuhi tradisi kemulyaan dan kebahagiaan hidup akan dicapai.
Pertanyaannya, apakah tradisi atau warisan nenek moyang kita itu akan selalu menguntungkan dan relevan bila dibenturkan dengan nilai-nilai kekinian dan kemodernan, di mana keterbukaan, kebebasan, dan hak-hak individu dikedepankan?
Novel The Girls of Riyadh buah karya Rajaa Al Sanea, alumnus King Saud University dan kini menyandang gelar Donter Gigi, mencoba mendobrak tradisi kelam di Riyadh yang dianggapnya sudah tidak lagi relevan. Menurutnya, tradisi yang tidak menghargai kebebasan dan hak-hak individu harus dilawan dan dihapuskan, karena itu tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan keadilan.
Atas dasar itu, Al Sanea (waktu itu namanya disamarkan) harus membeberkan kisah kelam keempat sahabatnya; Qamrah El Qashmany, Shedim El Harimly, Lumeis Jadawy, dan Michelle El Abdul Rahman, sebagai bahan pertimbangan untuk direnungkan dan diperhatikan masyarakat Riyadh. Melalui kisah nyata ini, penulis mengirimkan email setiap Jum’at siang kepada sebagian besar pengguna internet di seluruh Saudi.
Dalam emailnya dikatakan bahwa Qamrah, Shedim, Lumeis, dan Michelle adalah wanita-wanita semi ekslusif di tengah pergulatan masyarakat Riyadh, dan sering kali mereka tidak mendapatkan informasi yang lengkap tentang masyarakat dan budaya kecuali yang kebetulan mereka dengar dan saksikan. Kehidupan mereka cenderung diekslusi dari hal-hal yang berbau modern dan inklusif. Ketaatan pada tradisi harus selalu mereka utamakan apapun resikonya.
Sehingga, dalam soal pernikahan, keempat sahabat ini harus tunduk pada tradisi keluarga calon suami mereka masing-masing. Michelle misalnya, harus menggagalkan pernikahanya dengan Faishal, lelaki pujaanya, hanya karena keluarga Faishal tidak menerima Michelle yang memiliki darah campuran (Amerika-Saudi).
Begitu pula dengan Shedim harus membatalkan pernikahanya dengan Walid hanya karena dianggap tidak sederajat dengan keluarga Walid. Sementara Qamrah harus hidup sebatang kara dengan anak laki-lakinya, Soleh, hanya kerana Rasyid (suami Qamrah) menuduh istrinya tidak bisa menjadi pendamping impianya dan tidak taat pada tradisi yang berlaku di Riyadh.
Dan masih banyak lagi kisah-kisah memilukan dari keempat gadis Riyadh itu. Singkatnya, mereka harus menanggung rentetan penderitaan hanya karena terbentur oleh tradisi yang berlaku. Mereka harus berpisah dengan laki-laki pujaanya dan meratapi cintanya yang kandas di tengah jalan. Hingga pada akhirnya, apa yang terjadi? Untuk mendapatkan seorang suami, mereka harus menerima laki-laki yang mereka tidak cintai. Sungguh tragis dan memilukan jalan hidup yang harus mereka lalui.
Kisah ini cukup menggemparkan jagat Saudi. Sehingga di setiap Sabtu pagi, fenomena heboh ini telah mengubah kantor-kantor pemerintahan, aula perguruan tinggi, teras rumah sakit, dan tempat-tempat lainya menjadi ruang diskusi mempersoalkan email itu. Setiap orang melibatkan diri dalam diskusi ini, dari para dosen, guru, sastrawan, intelektual, mahasiswa, pejabat pemerintahan, hingga masyarakat biasa.
Pro-kontra pun terjadi. Ada yang mendukung dan ada pula yang menentang perbuatan keempat gadis itu. Bagi yang pro, apa yang dilakukan keempat gadis itu merupakan kewajaran dan alami saja sifatnya. Sementara bagi yang kontra, kemarahan dan kejengkelan dialamatkan kepada keempatnya atas perbuatan bodoh yang telah melanggar tradisi masyarakat yang selama ini dijaga dan dilestarikan.
Novel ini dibilang menggemparkan, karena untuk pertama kalinya muncul di Riyad yang isinya gugatan terhadap tradisi yang selama ini dianggap sudah mapan dan kebal hukum. Kehadirannya telah memukul banyak pihak, lantaran peristiwa yang terungkap di dalamnya tidak saja dianggap sebagai sebuah pencemaran tetapi juga dianggap sebagai upaya merobek dan mencabik-cabik moral sebuah bangsa.
Bagaimanapun, novel ini nampaknya berhasil menggugah pembacanya untuk merespon secara lebih proporsional dan objektif, di tengah serbuan arus budaya kosmopolitan dan global. Keistimewaan novel ini berlanjut bak nyala api di seantero pasar gelap Saudi dan menggemparkan hingga ke belahan Timur-Tengah lainnya. Hingga kini, hak terjemahan atas buku ini telah terjual ke lebih dari dua puluh lima negara.
Selasa, Juli 08, 2008 0
Kembalikan Kemandirian Bangsa!
Oleh Mohamad Asrori Mulky
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Judul Buku: Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia!

Penulis: Mohammad Amien Rais

Penerbit: PPSK Press (Yogyakarta)

Cetakan: 2008

Tebal: XV + 298 halaman

Di usia 10 tahun Reformasi dan 100 tahun Kebangkitan Nasional, Mohammad Amien Rais, tokoh reformasi menerbitkan buku ‘Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia!’ yang isinya gugatan atas seluruh kinerja pemerintahan SBY-Kalla yang dinilainya pro-asing. Mantan Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah ini sadar bahwa kritik pedasnya tentu akan membuat gerah pemerintah. Walau demikian ia siap menerima segala konsekuensinya.

Sebagai intelektual sejati, Amien tak rela melihat nasib bangsa berada dalam ketimpangan, kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, dan praktek penyelewengan kekuasaan yang makin parah. Melalui buku ini, Amien mencoba menjawab persoalan di atas dengan harapan dapat membuka mata hati dan pikiran pemerintah mengenai fenomena tragis yang sebenarnya terjadi di dalam negeri ini.

Mantan Ketua MPR RI ini dengan berani membeberkan sejumlah persoalan kebangsaan kita, seperti tumpukan hutang mencapai 148 miliar dollar AS, jumlah penduduk miskin menurut Biro Pusat Statistik mencapai 39,05 juta atau 109 juta orang versi Bank Dunia, 12 juta orang pengangguran, 4,1 juta anak terkena gizi buruk, 72 persen hutan Indonesia rusak, penanaman modal yang pro-asing, dan cengkeraman kekuatan asing yang menguasai aset-aset nasional (46,8 % laut dan lebih dari 50 % perbankan nasional dikuasai pihak asing, pembajakan telekomunikasi, dan Perjanjian Kerjasama Pertahanan dengan Singapura yang telah merugikan Pertahanan Keamanan Indonesia).

Pembajakan aset negara yang dilakukan pihak Asing ini mengingatkan kita pada sejarah kolonialisme VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) tiga abad lalu yang berhasil mengeruk seluruh kekayaan alam bangsa Indonesia (waktu itu masih bernama Nusantara). Kini, sejarah itu seakan terulang kembali dalam bentuk dan wujudnya yang berbeda, dengan apa yang disebut sebagai imperialisme modern atau VOC modern yang dikemas dengan isu-isu globalisasi.

Amien menganalogikan VOC modern saat ini dengan tiga lembaga internasional yang dianggapnya sebagai imperialis negara-negara dunia ketiga, yaitu IMF (International Monetary Fund), Bank Dunia (World Bank), dan WTO (World Trade Organization). Tiga institusi pilar dunia ini nantinya akan menopang gerak laju globalisasi dengan berideologikan Washington Consensus (Konsensus Washington). Amerika, menurut Amien, dengan tiga tangan globalisasinya itu ingin melihat integrasi semua ekonomi nasional—sekalipun tidak sama rata—ke dalam satu sistem pasar bebas tunggal (hlm 16).

Mereka membuat kontrak ekonomi dengan negara-negra berkembang yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, salah satunya adalah Indonesia, untuk diperas dan dieksploitasi. Di bawah kekuatan korporasi yang ditopang kekuatan politik internasional, mereka mampu mengendalikan dan menundukan negara-negara berkembang, di mana ketika ada negara yang masuk akan terasa sulit untuk ke luar dari kekuatan cengkeramanya.

Atas dasar itu, pemerintah Indonesia harus melakukan renegosiasi atas perjanjian kontrak pengelolaan pertambangan yang telah ditandatanganinya. Karena kontrak ini dinilai merugikan Indonesia dan menguntungkan para korporasi asing. Karena bagaimana-pun juga setiap perjanjian yang menghisap kekayaan negara demi kepentingan segelintir orang saja, hakikatnya adalah mental penjajah.

Agar bangsa ini terlepas dari jerat pihak asing, Amien menyeru seluruh bangsa Indonesia untuk menemukan kembali nasionalismenya yang hilang. Jangan sampai nasionalisme kita hanya bergelora pada penampilan luarnya saja, tanpa menyentuh persoalan inti dari sebuah bangsa. Amien menyontohkan nasionalisme olah raga, yaitu ketika PSSI melawan kesebelasan asing di Kejuaraan Piala Asia tahun 2007 lalu. Gemuruh riuh teriakan dan tepuk tangan pendukung tim Merah Putih seolah-olah akan meruntuhkan Stadion Istora Bung Karno.

Tapi di saat bersamaan kita lupa, mengabaikan nasionalisme politik, ekonomi, pertahanan-keamanan, pendidikan, dan nasionalisme bidang kehidupan lainya. Karena tanpa mengintegrasikan seluruh nasionalisme ini, kita akan kehilangan rasa kemandirian, kebangsaan, dan jati diri kita sebagai bangsa yang besar. Nasionalise olah raga bukan nasionalisme yang sebenarnya, ia bersifat simbolik dan hanya dapat dilihat orang dari luarnya saja.

Oleh karena itu, Amien mengibaratkan bangsa ini laksana rumah besar di pinggir jalan raya. Agar kelihatan cantik dan nyentrik kita malah berpikir bagaimana pagar rumah kita selalu terlihat bersih, mengkilat, dan tak berdebu. Namun ketika seluruh perabotan rumah tangga, bahkan istri dan anak-anak kita dicuri, kita malah diam saja. Begitulah sikap bangsa kita yang merelakan kekayaan alamnya diambil oleh pihak asing.

Maka, langkah mendesak untuk menyelamatkan Indonesia menurut Amien, pertama, mencari pemimpin alternatif yang bebas dan independen, berwawasan nasional dan internasional, serta diisi oleh kaum muda. Dan kedua, pemerintah seharusnya berani bertindak untuk melepaskan diri dari kekuatan korporasi asing dan membangun hubungan dengan negara-negara lainnya sebagai partner, bukan sebagai budak.

Di akhir buku ini, Amien mengingatkan seluruh elemen bangsa Indonesia untuk tetap merujuk pada nilai-nilai dasar kebangsaan yang telah disepakati sejak awal berdirinya negara Indonesia. Yang kesemuanya telah disusun dalam lagu kebangsaan, simbol bendera Merah Putih, Bhineka Tunggal Ika, sumpah Sapta Marga bagi kalangan Polri dan TNI, serta nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila.

Buku ini penting dibaca, terutama oleh para pemerintah, politisi, birokrat, mahasiswa, dan seluruh anak bangsa Indonesia. Karena memberi penyegaran dan membuka lebar-lebar mata hati dan pikiran kita mengenai persoalan kebangsaan yang selama ini mungkin kita belum mengetahuinya. Dengan memahami buku ini, moga nasionalisme kita tetap bergelora hingga dapat mengembalikan kemandirian bangsa yang hilang.

Selasa, Juli 08, 2008 0
Memaknai Relasi Manusia dan TuhanDimuat di Media Indonesia (Jumat, 27 Juni 2008)
Mohamad Asrori Mulky,
Analis Religius Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.

DALAM teologi Islam, relasi antara manusia dan Tuhan adalah dinamika terpenting dalam seluruh perwujudan diri manusia sebagai hamba dan Tuhan sebagai Sang Pencipta. Hubungan keduanya, tentu saja, terjalin untuk saling memberi dan menerima, bukan saling menindas dan mendominasi.

Toshiko Ishuzu, ahli semantik asal Jepang, dalam tesisnya memaparkan hubungan 'manusia dengan Tuhan' dimaksudkan dapat mendekatkan dan menundukkan diri di hadapan Tuhannya. Sementara itu, hubungan 'Tuhan dengan manusia' agar Tuhan mendapatkan legitimasi dan pengakuan diri (Tuhan) dari hamba-Nya. Mengenai hal itu, dalam salah satu hadis qudsi-Nya, Tuhan mengatakan, "Aku (Tuhan) adalah harta yang tersembunyi, Aku ingin dikenal. Sebab itu, Ku ciptakan dunia." 

Sejauh ini tidak ada perbedaan pandangan di kalangan umat Islam, baik yang mengklaim diri sebagai kelompok puritan maupun kelompok modernis, bahwa Tuhan adalah kekal, abadi, tak terbagi, dan tunggal. Sementara itu, manusia sendiri adalah makhluk yang lemah, punah, binasa, dan serbakekurangan, dari itu, manusia harus tetap tunduk dan patuh pada ketentuan dan kehendak Tuhannya.

Pada titik ini, Alquran berulang kali mengingatkan manusia agar tidak menundukkan Tuhan di atas hawa nafsunya sendiri dan menyembah selain-Nya. Manusia harus memahami Tuhan sebagai Tuhan itu sendiri 'sebagai Yang Maha Kekal, Sempurna, dan Abadi' bukan memberlakukan Tuhan sebagaimana yang manusia kehendaki yaitu mengikuti hawa nafsu.
Lalu, bagaimana pola hubungan manusia dengan Tuhannya? Bagaimana kaum puritan dan moderat memahami hubungan antara keduanya? Itu penting untuk dijawab tidak saja untuk memetakan pandangan dua kelompok tersebut, lebih dari itu, karena sikap keduanya dalam memahami hubungan manusia dan Tuhan akan berimplikasi pada tindakannya dalam beragama. 

Media Indonesia


Puritan dan moderat
Kata mufakat yang ditempuh umat Islam dalam memahami Tuhan adalah zat yang mahasempurna dan manusia adalah makhluk yang serbakekurangan, tidak berarti mereka juga bersepakat dalam soal bagaimana pola hubungan manusia dan Tuhan itu sendiri. Apakah hubungan keduanya bersifat kaku, formal, dan matematis, atau dinamis, etis, dan bermoral. Dalam soal ini, kaum puritan dan moderat memiliki pandangan masing-masing.

Sejauh ini, kaum puritan memaknai pola hubungan antara Tuhan dan manusia cukup sederhana dan mudah dipahami. Bagi mereka, manusia diciptakan untuk tunduk dan patuh pada Tuhan melalui ibadah formal. Kata-kata li ya'budûn (untuk menyembah-Ku) dan "la'allakum tattaqûn (agar kalian bertakwa kepada-Ku) dalam Alquran, dipahami sebagai bukti konkret yang menunjukkan perintah untuk melakukan ibadah formal itu, seperti haji, puasa, salat, dan zakat. Mereka berasumsi kesempurnaan praktik ritual adalah tujuan paling tinggi dalam agama.

Karena ketundukan kepada Tuhan hanya bergantung pada praktik ritual, ketundukan dan keselamatan tidak mungkin diterima seseorang jika tidak menerima Islam sebagai agamanya secara sah. Bagi kelompok itu, jalan ke arah ketundukan hanya dapat dilalui lewat syariat Islam sehingga orang yang di luar Islam dan tidak melakukan syariatnya tidak mendapatkan kesempatan untuk tunduk pada Tuhannya, apalagi menerima keselamatan di akhirat nanti. Karena itu, syariat harus terperinci dan pasti sehingga ketika seorang muslim menaatinya, dengan begitu ia akan mendapatkan keselamatan di akhirat nanti, masuk ke surga yang telah dijanjikan. 

Mengomentari konsepsi kaum puritan, mengenai hubungan Tuhan dan manusia, hemat penulis, tampaknya lebih bercorak 'matematis' dan 'hitung-hitungan', siapa yang tunduk ia akan mendapatkan pahala, dan siapa yang mengingkari Tuhan akan mendapatkan dosa dan siksa. 

Di lain pihak, pendekatan kaum moderat dalam memahami hubungan antara manusia dan Tuhannya secara substansial sangat berbeda dengan kelompok di atas. Dalam pandangan kaum moderat, Tuhan itu bermoral dan etis. Karena itu, mereka mengkritik kaum puritan yang memahami sifat-sifat Tuhan dengan tidak masuk akal, dikatakan bahwa Tuhan itu adil, tetapi keadilan adalah apa pun yang Tuhan inginkan menjadi keadilan. Karena itu, ketika di hari akhirat nanti Tuhan ingin memasukkan seluruh manusia ke neraka, itu akan dinilai adil dan baik karena semata-mata lantaran Tuhan menginginkannya. Pandangan seperti ini, bagi kaum moderat, jelas, telah menempatkan Tuhan pada wilayah tidak etis dan tak bermoral.

Tuhan tidak seperti itu karena itu akan sangat mustahil bagi Tuhan sendiri. Dikatakan, Tuhan itu bermoral dan etis karena Tuhan juga memiliki penilaian, pengalaman, dan perasaan yang sama dengan manusia menyangkut standar objektif kebaikan, moralitas, dan keindahan. Maka Tuhan tidak akan semena-mena memasukan seluruh manusia ke dalam surga atau neraka-Nya. Tuhan juga pasti mempertimbangkan nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan untuk hamba-Nya. Bukankah Tuhan Mahapengasih dan Penyayang? Dan bukankah kasih sayang Tuhan melebihi murka-Nya? Keagungan kasih Tuhan tidak akan menjadikan hamba-Nya menderita di dunia dan di akhirat. 

Moralitas Tuhan tidak selalu tertuju pada sesuatu yang berbau vertikal atau illahiyah, tapi juga pada persoalan sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan. Maka, di sini dapat dipahami bahwa untuk membangun peradaban di dunia tidak berarti harus membangun gedung-gedung yang tinggi dan menjulang atau menyulap perumahan kumuh menjadi istana. Tapi, bagaimana kita dapat mengimplementasikan sifat-sifat Tuhan seperi adil, kasih sayang, baik, ramah, dan seterusnya ke seluruh muka bumi ini. Apalagi dunia yang tengah kita hadapi sekarang ini penuh dengan gejolak kekerasan.

Karena itu, bagi kaum moderat, dengan membuat kerusakan di muka bumi seperti kekerasan, anarki, membabat hutan, melumpuhkan gunung, menghancurkan lautan, dan membajak kekayaan alam lainnya dengan tidak manusiawi dapat dikategorikan sebagai dosa besar yang harus dijauhi. Karena, itu berarti telah merusak citra dan ciptaan Tuhan dan itu dianggap sebagai penghujatan terburuk pada Tuhan itu sendiri.

Di sini dapat dipahami bahwa orang yang menghujat Tuhan dan agama-Nya tidak sebatas mereka yang meninggalkan salat, puasa, zakat, dan ibadah formal lainnya saja. Tapi juga, mereka yang telah melakukan perusakan, penghancuran, dan mengeksploitasi alam ini hanya untuk kepentingan kelompok dan diri sendiri.

Implikasi logis
Mengenai pandangan kaum puritan di atas, soal hubungan manusia dan Tuhan, dapat kita simpulkan bahwa hubungan keduanya (manusia-Tuhan) bersifat formal dan berjarak, hubungan yang terjalin kaku antara yang superior dan inferior. Karena itu, mendekati Tuhan hanya dapat dilalui dengan perasaan takut, gemetar, dan penuh kengerian, bukan cinta dan kelembutan.

Ketika agama dipandang sebagai antagonis, setiap pemeluknya tak segan-segan meneriakkan perang atas nama Tuhan. Terhadap agama dan kelompok lain, mereka akan mengklaim sesat, murtad, dan kafir. Pemukulan, penganiayaan, pembakaran rumah ibadah, bahkan pengusiran jemaah akan sering terjadi di mana-mana. Itulah fakta sosial yang banyak terjadi di sekeliling kita.

Ketundukan dan ketaatan pada Tuhan melalui cinta dan kasih sayang akan lebih berarti bagi kita sebagai umat Islam Indonesia yang plural dan beragam.

Subtansialisasi Pesan Agama

Selasa, Juli 08, 2008 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Dimuat di Media Indonesia (Jumat, 06 Juni 2008)

 

Beberapa dekade terakhir ini, melalui televisi, radio, dan surat kabar cetak, tak henti-hentinya kita disuguhkan sejumlah berita memilukan mengenai aksi kekerasan berlatar agama.

Kenyataan ini seakan-akan memperteguh anggapan orang yang sinis terhadap agama, bahwa agama tak lebih sebagai penyulut api perang dan pengobar bara dendam antarumat beragama dan intra-agama sendiri. Agama sudah tak lagi berfungsi sebagai medium dalam perjumpaannya dengan agama dan kelompok lain. Ia lebih menjadi alat provokasi dan destruksi untuk menghancurkan kelompok di luar dirinya.

Padahal, dalam catatan sejarah agama-agama dunia, sejatinya agama membawa misi kedamaian dan kerukunan, bukan perselisihan dan pertarungan (Karen Amstrong, The History of God). 

Munculnya fenomena kekerasan agama ini tentunya melahirkan pertanyaan besar bagi seluruh umat beragama, baik Islam, Kristen, Yahudi, Buddha, Hindu, dan lainnya. Apakah agama untuk saat ini sudah kehilangan perannya sebagai alat penyemai damai? Lalu bagaimana sikap setiap umat beragama agar agamanya tetap relevan dengan zamannya dan tidak menimbulkan asumsi negatif pada agama?

Tentunya kita sepakat bahwa ketika agama menjadi pemicu aksi kekerasan, terorisme, brutalisme, dan barbarisme, maka saat itu agama menjadi candu umat. Dan pada saat bersamaan pula ia berada di ujung tanduk kepunahan, akan dicibir dan ditinggalkan pemeluknya, cepat ataupun lambat.

 

Substansi Agama

Menanggapi hal di atas, sebagai umat beragama kita harus menangkap substansi agama dalam memahami pesan yang terkandung di dalamnya. Jangan sampai kita memahami agama hanya pada bentuknya saja, berhenti pada ritual keagamaan, dan menghamba pada ucapan ulama. Sekali lagi, hakikat terdalam dari agamalah yang harus kita tangkap.

Jika selama ini umat beragama menghamba dan memuja sabda para ulama dan teks literal dari sebuah kitab suci. Maka, sesungguhnya mereka telah terjebak ke dalam apa yang disebut dengan praktik bibliolatry, yaitu sebuah sikap di mana para pemeluk agamanya hanya memuja 'aksara', tanpa ada proses kritis dan analitis untuk menyibak hakikat di balik aksara itu sendiri. Bila ini terjadi maka agama akan menjadi monster yang menakutkan bagi pemeluknya dan kekerasan atas nama agama akan selalu muncul di permukaan.

Media Indonesia

Oleh karena itu, Muhammad Said Al-Asymawi, cendekiawan asal Mesir, menyeru seluruh umat beragama untuk kembali pada apa yang ia sebut dengan Jauhar ad-Din (substansi agama). Menurutnya, substansi agama adalah cinta, kasih, dan damai. Tiga elemen ini lazim terkandung di dalam setiap agama-agama dunia. Tradisi saling memaafkan di Hari Raya Idul Fitri (dalam Islam), misalnya, merupakan momen penting di mana setiap muslim saling bertegur sapa, berkunjung, berbagi, dan mengasihi.

Artinya, ketika agama diejawantahkan dalam ruang lingkup kehidupan sosial kemasyarakatan, di mana setiap individu dan kelompok saling bertemu dan berinteraksi, maka penegakan spirit penghormatan akan yang lain dan penghargaan terhadap kelompok di luar dirinya harus dikedepankan. Karena pesan substantif agama tidak melulu terpusat pada yang transenden (Tuhan), tapi juga tertuju pada yang imanen (manusia). Atau dalam istilah Hassan Hanafi, agama tidak hanya Illahiyah, tapi juga Insaniyyah.

Keterpusatan agama pada yang transenden lebih menitikberatkan pada hubungan personal hamba dengan Tuhannya. Sehingga, hubungan itu hanya terbatas pada ritual formal saja, seperti salat, haji, dan puasa. Pada titik ini keimanan dan spiritualitas manusia, kata Goenawan Mohamad, coba diabadikan dengan sesuatu yang kukuh, yang sebenarnya fantasi tentang Yang Kekal. Atau yang menjulang, yang sebenarnya fantasi tentang Yang Mahaluhur dan Bijaksana. Tuhanlah yang berhak menilai ritual seseorang itu benar atau salah. Dan Ia juga yang berhak untuk memvonis seseorang itu sesat atau tidak.

Sementara itu, ketertujuan agama pada yang imanen merupakan refleksi manusia atas seluruh keimanan dan kenyataan hidup yang ia alami untuk menyapa dan merangkul sesamanya. Karena agama adalah tindakan dan perbuatan yang bersifat sosial. Pada tahap ini agama sudah berpijak pada takhtanya di bumi, tidak menjulang dan mengawang-awang di langit yang hampa.

Begitu penting relasi manusia dengan manusia lainnya dalam menjalankan hidup, maka Allah SWT dalam sebagian besar firman-Nya lebih memusatkan perhatian-Nya pada kepentingan dan kebaikan umat manusia di muka bumi. Perintah saling mengasihi antarsesama, membela kaum lemah/tertindas (mustadh'afin), tolong-menolong, persahabatan, saling menghargai dan cinta kasih selalu Ia (Allah) ulang-ulang.

Bahkan, demi tercipta kerukunan yang abadi, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: Irham' Man fî al-Ardh Yarhamukum Man fii as-Samaa, kasihilah yang ada di bumi, maka kalian akan dikasihi oleh Dia yang ada di langit (Tuhan). Senada dengan itu, Nabi Isa as juga pernah mengatakan hal yang serupa: kasihilah orang di sekelilingmu sebagaimana kalian mengasihi keluargamu sendiri.

Mencermati pesan substantif agama sebagaimana diuraikan di atas tadi, maka dapat dipahami bahwa munculnya fenomena kekerasan seperti bom bunuh diri, terorisme, dan kekerasan berlatar agama lainnya tidak harus sepenuhnya dialamatkan pada agama, lebih dari itu, pada umat beragama yang keliru memahami hakikat agama itu sendiri. Mereka lebih mengedepankan bentuk bukan isi, asumsi bukan substansi.

Dalam tasawuf parenial, agama adalah cinta, sebagaimana ditegaskan Maulana Jalaluddin Rumi dan Rabi'ah Adawiyah. Sehingga dalam mengamalkannya pun kita harus menggunakan cara-cara yang santun, ramah, dan beradab. Bukan melalui teror, kebengisan, dan kebiadaban.

 

Agama dan Paham Agama

Untuk lebih memperjelas lagi, agar tidak terjadi kebingungan yang mendalam dalam tubuh umat, kenapa agama lebih diasumsikan sebagai sumber kekerasan. Maka, langkah yang harus kita lakukan adalah membedakan agama dan paham agama. Karena terkadang kita terkecoh dalam memahami keduanya, padahal satu sama lain memiliki maknanya sendiri-sendiri.

Agama bersifat kekal, abadi, dan permanen karena ia langsung datang dari Tuhan. Ia (Tuhan) mengajarkan hamba-Nya untuk bertauhid, berbuat baik, cinta dan kasih. Sementara paham agama bersifat temporal, punah, dan berwaktu. Karena ia datang dari nalar dan pemahaman manusia dalam menangkap substansi agama. Oleh sebab itu, kemungkinan benar dan salah menjadi niscaya, sejauh mana kemampuan nalar/watak manusia memahami pesan agama.

Oleh karenanya, hemat penulis, beragam aksi kekerasan yang berlatar agama dengan segala bentuk teror dan horornya lebih mengarah pada paham agama. Umat agamalah yang salah memahami substansi agama itu sendiri. Sampai kapan pun agama tak akan pernah mengajarkan kekerasan. Watak retak umatlah yang menjadikan kekerasan agama itu muncul. Dan watak umatlah yang menjadikan agama seperti monster yang menakutkan pemeluknya.

Akhirnya, dalam merefleksikan agama yang kita anut, substansi dan makna terdalam dari agamalah yang harus kita tangkap. Sehingga upaya untuk mewujudkannya dalam sebuah tatanan yang penuh damai, cinta, dan kasih, dalam konteks keberagamaan di Indonesia yang plural, bukanlah keinginan yang utopis apalagi mengada-ada. Justru, ini akan menjadi sumbangan yang berharga untuk masa depan agama-agama di negeri yang mendapat julukan negeri zamrud khatulistiwa ini. Tanpa menangkap substansinya dan membedakan mana agama dan paham agama, maka keretakan-keretakan dalam tubuh umat akan terus terjadi.

Bahaya Tafsir Tunggal Agama

Selasa, Juli 08, 2008 0
Bahaya Tafsir Tunggal Agama
Dimuat di Suara Karya (Kamis, 3 Juli 2008)

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Islam adalah agama setiap zaman, kata Tariq Ali. Dengan begitu, pemahaman terhadapnya harus sesuai dengan konteks dan kondisi yang sedang dihadapi umat manusia. Sebab, tanpa upaya kontekstualisasi pesan keagamaan, agama akan menjadi kaku, dicibir dan tak menutup kemungkinan ditinggalkan banyak pemeluknya.

Pernyataan Tariq Ali di atas menurut hemat penulis dimaksudkan bahwa tafsir dan pemahaman terhadap agama dimungkinkan sampai kapan pun. Islam tidak akan sesuai dengan zamannya bila tafsir atas realitas yang tengah dihadapi umat Islam tidak dimungkinkan. Sebaliknya, jika tafsir atas paham agama terus diperbarui, maka agama akan menjadi tetap kontekstual dan relevan sampai kapanpun (sholihun likulli zamanin wa makanin).

Kemungkinan tafsir agama atas zamannya tidak saja menjadikan agama tetap relevan, tapi juga menginginkan tatanan sosial yang lebih harmonis, dinamis, berkembang, dan terus berevolusi. Karena itu, sejatinya tafsir tidak bersifat tunggal, monolitik, dan seragam, akan tetapi plural, beragam dan multitafsir.

Munculnya keragaman dan perbedaan dalam pemahaman agama selama ini: ada Islam fundamental, moderat, revivalis, liberal, dan beragam mazhab keagamaan dalam fikih seperti mazhab Abu Hanifah, Maliki, Hambali, Syafii, dan Ja'fari, semuanya menunjukkan bahwa tafsir melekat pada diri agama itu sendiri.

Oleh karena itu, obsesi sebagian kelompok untuk menunggalkan tafsir merupakan upaya yang mustahil untuk dilakukan. Parahnya lagi, penunggalan tafsir yang mereka inginkan tidak sekadar pada wilayah keagamaan, tapi juga dalam ilmu pengetahuan, seni, politik, ekonomi, dan budaya.

Yang lebih berbahaya, kata Fazlurrahman, cendekiawan Muslim asal Pakistan, tafsir yang bersifat tunggal akan mengarah pada pengekangan terhadap kebebasan berpikir, penyempitan makna, dan kejumudan. Sehingga, klaim-klaim kebenaran, sikap "sok suci", dan paling benar sendiri akan sering bermunculan. Kata-kata kafir dan murtad akan sering dialamatkan pada kelompok lain. Dan, pada akhirnya, sikap ekslusif seperti inilah yang akan mengarahkan pemeluknya pada aksi-aksi kekerasan dan anarkisme.

Kekerasan antarsekte di Irak misalnya, yaitu antara Sunni dan Syiah di mana tak jarang mengakibatkan ratusan korban jiwa melayang dari kedua belah pihak, merupakan akibat dari sikap ingin menang dan benar sendiri. Begitu juga sikap pemerintah Taliban yang memaksakan penerapan syariat Islam secara radikal pada penduduk Afghanistan.

Dalam konteks Indonesia, dapat kita perhatikan beberapa kasus kekerasan yang berlatar keagamaan, seperti pemukulan yang dilakukan massa Front Pembela Islam (FPI) terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AK-KBB) di Tugu Monas, 1/06/08, yang lalu, makin membuktikan dari bahaya tafsir tunggal.

Sekali lagi, hal demikian bisa terjadi diakibatkan karena perbedaan tafsir. Tafsir-tafsir keberagamaan yang muncul di masyarakat kita lebih banyak berasal dari satu arah, yaitu tafsir dari lembaga keagamaan tertentu yang bersifat tunggal dan mengikat. Perlu diketahui, tafsir yang bersifat mengikat akan melemahkan kreativitas umat untuk berkarya, mencipta, dan melahirkan pemahaman baru.

Selain itu, tafsir keagamaan yang ada juga terlalu berorientasi pada pemahaman keagamaan yang bersifat vertikal dan legal-formal. Artinya pemahaman keagamaan yang dipupuk adalah yang berhubungan dengan ibadah ritual, doktriner, dogmatis, dan berhubungan dengan kesadaran langit (ketuhanan) belaka. Sehingga model tafsir seperti ini kerap melupakan problematika sosial yang sedang dihadapi umat manusia. Kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan penyelewengan lainya dianggap bukan tanggung jawab agama.

Sementara itu, tafsir-tafsir lain yang dilakukan secara radikal dan kreatif kadangkala sering ditolak kemunculannya dengan berbagai alasan yang dipaksakan. Padahal, sebuah kebenaran tafsir keagamaan tidak serta-merta muncul dari satu sisi, namun harus digali dari berbagai segi dan perspektif.

Sebuah tafsir tunggal akan mengakibatkan terjadinya penyelewengan pada pesan agama yang awalnya bertujuan mulia, yaitu sebagai pembawa kedamaian, kerukunan, cinta-kasih, dan persaudaraan.

Umat beragama harus menyadari, apalagi dalam konteks Indonesia yang plural ini, bahwa memaksakan tafsir tunggal pada seluruh masyarakat Indonesia yang plural dan majemuk ini tidak mungkin dilakukan sampai kapan pun. Tafsir yang bersifat plural, inklusif, dan beragamlah yang cocok untuk bangsa kita ini.***