Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Sabtu, 30 Agustus 2008

Sabtu, Agustus 30, 2008 0
Detektif di Biara Melk
Dimuat di SINDO (Ahamd 30 Agustus 2008)

Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.

Judul : The Name of The Rose

Penulis : Umberto Eco

Penerbit : Bentang

Cetakan : 2008

Tebal: xxix + 624 halaman


NOVEL The Name of The Rose, atau dalam bahasa Italianya Il Nome Della Rosa, merupakan kumpulan memoar masa lalu dari seorang biarawan muda (monacella) Fransiskan yang bernama Adso berkebangsaan Jerman.

Semula, Adso tak berniat menceritakan pengalaman riilnya itu.Namun setelah melalui pertimbangan dan alasan lainnya,dia menuliskan kisahnya yang dimulai ketika berada di Biara Melk selama seminggu pada 1327 akhir November. Adso, pertama kali menuliskan pengalamannya ini -dalam bahasa Latin dengan gaya patristik- skolastik-pada akhir abad ke-14 saat dia sudah menjadi seorang biarawan matang.
Lokasi Biara Melk yang menjadisetting utama dalam novel ini tinggal puing-puing tak bertuan dan menjadi kenangan saja.

Tadinya, novel ini hendak diberi judul Abbazia del Delitto (‘Biara Kejahatan’) oleh Eco karena tema utama dalam novel ini adalah kejahatan pembunuhan yang terjadi di biara. Namun, ternyata alur cerita dalam novel ini memuat begitu banyak informasi dari abad pertengahan sehingga kita tidak hanya menemukan peristiwa kejahatan,tetapi juga budaya biara (cultura dell- ’abbazia), bahkan Zeitgeist dari periode yang sering disebut akhir abad pertengahan.
Akhirnya, berhubung kayanya informasi dalam novel ini mengenai abad pertengahan, Eco menamakan novel ini dengan Il Nome Della Rosa.

Novel ini bagaikan novel detektif yang sarat akan trik dan ketegangan. Cerita makin tambah mencekam setelah ditemukannya seorang biarawan tewas mengenaskan, mayatnya ditemukan di tepi jurang. Situasi tegang menyelimuti seluruh isi biara Melk.
Padahal dalam waktu dekat,di Biara Melk itu akan diadakan pertemuan penting menyangkut konflik besar antara Fransiskan dan kelompok Paus yang sudah terjadi sejak lama. Kepala Biara Melk,Abbas, menjadi bingung bercampur cemas.Akhirnya,dia mengundang William Baskerville untuk mengusut tuntas kasus tersebut.

William adalah orang Inggris dengan tradisi intelektual Oxford,murid seorang ilmuwan terkemuka Roger Bacon.
Bersama muridnya, Adso,William berusaha mengungkap kasus pembunuhan yang terjadi di Biara Melk itu. Bersama gurunya, Adso hanya menghabiskan tujuh hari di biara tersebut, yang selain untuk mengusut kasus kematian seorang biarawan, juga ikut menyaksikan dialog antara dua kelompok yang sedang terjadi konflik. Pengusutan atas kematian biarawan itu ternyata membawa William dan Adso ke perpustakaan biara, tempat di mana ribuan manuskripmanuskrip kuno dengan berbagai bahasa dan tradisi disimpan.

Di tengah-tengah pengusutan, secara tidak sengaja mereka juga ikut menyingkapkan pelbagai intrik, pertentangan antarkelompok biarawan bahkan kebobrokan yang terjadi di dalam biara waktu itu. Untuk itulah, Eco dalam novelnya ini tidak bermaksud sedang berbicara tentang abad pertengahan,tapi berbicara dalam abad pertengahan. Dengan begitu, kata Eco, secara leluasa kita akan mendapatkan berbagai macam informasi tentang kehidupan biara pada khususnya dan kehidupan gereja pada abad pertengahan pada umumnya. Informasi- informasi ini pun akan menjadi kekuatan tekstual untuk membentuk ritme kehidupan biara dengan budayanya (cultura dell’ abbazia).

Perpustakaan biara yang menjadi pusat perhatian William dan Adso ternyata berbentuk labirin.
Di dalamnya, terdapat koleksi manuskrip yang disimpan dan sungguh mengagumkan. Karena itu, para pustakawan tertentu saja yang boleh memasukinya. Orang-orang selain mereka hanya boleh meminjam melalui katalog yang tersedia. Pertanyaannya, mengapa pengusutan itu berpusat di perpustakaan biara? Bukankah perpustakaan tempat di mana orang membaca dan berkarya? Justru karena itu, menurutWilliam dan Adso,pokok perkara yang terjadi memang berada di sana.

Biarawan yang tewas itu diduga bunuh diri setelah mencari dan menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan sederhana: Benarkah Tuhan Pernah Tertawa? Novel ini terbagi ke dalam tujuh bagian.Adso bercerita tentang tujuh hari yang telah dilalui bersama gurunya di biara tersebut. Sisi lain yang menarik dari novel ini, yang juga menjadi latar belakang dari novel ini, adalah perubahan- perubahan yang terjadi di kalangan gereja pada akhir abad pertengahan; banyak hal yang bersifat teologis diserang rasionalisme.
William sendiri banyak menafsirkannyasebagaipersonifikasisemangat keilmuan yang mulai berkembang saat itu.

Dalam novel ini,Biara Melk dibayangkan sebagai tempat bertemunya beragam tradisi keilmuan di seluruh dunia termasuk pula kepentingankepentingan politik dan agama yang menyertainya.
Apalagi, bila ditambahkan dengan kenyataan bahwa biara tersebut memiliki koleksi perpustakaan yang mengagumkan lagi tiada banding. Sekali lagi, novel ini tidak hanya menyuguhkan cerita pembunuhan yang terjadi di Biara Melk.Lebih dari itu,penulisnya dengan sangat cerdas mampu menghadirkan kehidupan biara puritan lengkap dengan tradisi pemikiran gereja abad pertengahan.

Selasa, 19 Agustus 2008

Mengenal Habibie Lebih Dekat

Selasa, Agustus 19, 2008 0
Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenagaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.

Dimuat di Koran Jakarta, 20 Agustus 2008

Judul Buku : The True Life of Habibie; Cerita di Balik Kesuksesan

Penulis : A. Makmur Makka

Penerbit : Pustakan IIMaN

Cetakan : 1, Juni 2008

Tebal : xii + 456

Untuk mengenal seseorang lebih dekat, termasuk tokoh dunia dan nasional sekali-pun, berteman atau membaca riwayat hidupnya merupakan cara yang epektif untuk dilakukan. Buku A. Makmur Makka “The True Life of Habibie; Cerita di Balik Kesuksesan” ini adalah upaya maksimal dari sang penulis untuk mengenal siapa sebenarnya Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie itu.

B.J. Habibie adalah anak ke empat dari delapan bersaudara, dari suami istri Alwi Abdul Jalil Habibie dengan R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Ia lahir pada tanggal 25 Juni 1936 di Parepare, kota yang berjarak 155 km dari Ujung-Pandang. Berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain, Habibie adalah anak yang pendiam, jujur, dan suka membaca buku. Ia mempunyai istri, yaitu Hasri Ainun Besari.

Semasa mengenyam dunia pendidikan, dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi, Habibie terhitung sebagai murid yang baik dan berprestasi. Kecenderunganya pada ilmu-ilmu eksak, seperti matematika dan mekanika, menjadikan ia makin disenangi guru dan teman-temanya. Semua orang mengakuinya sebagai anak yang pintar, jenius, enerjik, berani, ramah, dan santun. Habibie adalah figur yang memiliki cita-cita besar. Cita-cita sejak kecilnya adalah “membuat kapal terbang”—yang dikemudian hari, yaitu sekarang cita-cita itu terwujud dengan baik.

Di Indonesia, Habibie adalah tokoh nasional yang sangat fenomenal. Dari orang tua hingga anak kecil semua mengenalnya. Namanya kerap menggetarkan orang yang mendengar, kepintaran dan kejeniusannya tak jarang membuat kagum banyak orang. Hingga para orang tua selalu mengidam-idamkan agar anaknya kelak menjadi seorang B.J. Habibie yang ahli dalam bidang tekhnologi agar dapat membuat kapal terbang.

Atas kejeniusan dan keahlianya dalam bidang tekhnologi, Habibie sering mendapat penghargaan dari luar negeri. Tercatat, banyak dari lembaga-lembaga berprestasi di dunia menganugerahkan dan menerima putra Indonesia ini sebagai kehormatan, antara lain “Gesseleschaft fuer Luft und Raumfahrt” (Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar) Jerma Barat tahun 1983 yang menerimanya sebagai anggota kehormatan.

Ia juga diterima sebagai (fellow) “The Royal Aeronautical Society” London, Inggris, pada tahun 1983, angggota “The Royal Swedish Academy of Angineering Sciences” Swedia pada bulan Mei 1985, anggota “Academie Nationale de I’Air et de I’Espace”, Prancis bulan Juni 1985. Habibie juga mendapatkan Award Von Karman dari ICAS tahun 1992, setara Hadiah Nobel dalam dunia dirgantara. Edwar Warner Award dari ICAO diterima pada tahun 1994. sebelumnya, Februari 1986 ia diangkat menjadi anggota “The US Academy of Engineering” pada suatu upacara yang angung dan terhormat.

Namun demikian, kiprah Habibie tidak terbatas pada dunia ilmu dan tekhnologi saja, dalam panggung politik nasional-pun, ia juga memainkan peranan penting, yaitu pernah menjadi Wakil dan Presiden Republik Indonesia yang ke-3, menggantikan Presiden Soeharto waktu itu.

Terhitung sejak tahun 1998, Indonesia mengalami krisis ekonomi, yang mengakibatkan ekonomi Indonesia menunjuk pada titik minus 5%, dan sebulan kemudian turun drastis menjadi minus 15%. Hal ini berakibat pada melonjaknya penduduk miskin menjadi 101 juta orang. Krisis ekonomi juga berakibat pada melonjaknya nilai tukar rupian mencapai Rp 10.000 per US$, pendapatan dari sektor minyak tidak lagi menjadi sumber pemasukan, dan kurangnya persediaan beras sampai 1,3 juta ton sehingga bahan-bahan makanan yang tersedia harganya tidak terjangkau oleh rakyat.

Dalam situasi bangsa seperti itulah Habibie menjadi Presiden Republik Indonesia ke-3, tepatntnya setelah Presiden Soeharto memutuskan untuk berhenti dari jabatanya sebagai Presiden RI atas desakan mahasiswa dan seluruh lapisan masyarakat yang tergabung dalam gerakan reformasi. Kamis, 21 Mei 1998, pukul 09.10, Habibie mengucapkan sumpah sebagai Preisden RI yang disaksikan banyak pihak.

Waktu itu, tugas mendesak Presiden Habibie adalah memulihkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Maka dengan segera ia menghimbau kepada seluruh Kabinet Reformasi Pembangunan-nya untuk melakukan percepatan reformasi dalam segala bidang, politik, ekonomi, keamanan, dan juga hukum.

Demikianlah sekilas mengenai Habibie yang kita kenal. Untuk lebih dalam mengenalnya, buku ini penting untuk dikonsumsi.


Jumat, 01 Agustus 2008

Memaknai Isra dan Mikraj

Jumat, Agustus 01, 2008 0
Dimuat di Media Indonesia, 29 Juli 200
Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.

Isra Mikraj merupakan peristiwa paling agung yang pernah dialami Nabi Muhammad Saw semasa hidupnya. Ini adalah wisata rohani sebagai jamuan istimewa dari Allah SWT untuk menghibur dan menguatkan hatinya setelah ditinggalkan orang-orang yang paling ia cintai, istri (Siti Khadijah) dan pamannya (Abu Thalib).

Bagi Nabi, Isra tidak sekadar perjalanan malam hari dari Masjid al-Haram di Makkah al-Mukarramah menuju Masjid al-Aqsha di Jerusalem. Lebih dari itu, maknanya, membuka mata, hati, dan cakrawala dunia betapa luas dan besarnya ciptaan serta amanat yang diberikan Tuhan kepadanya sebagai nabi terakhir, penutup, dan penyempurna risalah Islam hingga akhir zaman nanti. Dengan begitu, Isra berarti memuat tamsil dan replika kehidupan umat manusia ke depan yang harus diantisipasi dan diprogram dengan baik dan benar. 

Sementara itu, Mikraj lebih bertendensi ritual dan spiritual. Yaitu perjalanan vertikal transendental dari Qubbah As-Sakhrah menuju ke Sidrat al-Muntaha, lalu kemudian kembali ke bumi untuk kedua kalinya. Dalam Mikraj inilah Nabi menerima perintah salat dan yang lebih penting, ia dapat berdialog dan berkomunikasi dengan Tuhan secara langsung. Ini mengandung makna bahwa tingkat pengalaman spiritual seseorang itu diukur sejauh mana ia dapat berjumpa dan berdialog dengan Tuhannya. Karena itu, dalam ritual salat, orang dituntut untuk lebih khusyuk dan konsentrasi.

Jika ditarik garis lurus dari peristiwa fenomenal ini, Isra dan Mikraj, kita dapat menemukan pesan spiritual dan sosial di dalamnya. Sebuah pesan yang tidak semata-mata berorientasi pada urusan ketuhanan belaka, tapi juga kemanusiaan seperti keadilan, kesetaraan, keadaban, kejujuran, cinta, dan kasih sayang.

Relevansinya bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat seperti sekarang ini. Pertama; para pejabat pemerintah, elite politik, konglomerat, bangsawan, dan tokoh masyarakat, hendaknya melakukan isra. Yaitu kontemplasi dan perenungan pada malam hari atas kondisi riil rakyat yang tengah dihadapi.

Media Indonesia


Mereka harus membuka mata bagaimana sengsaranya orang yang hidup dalam jurang kemiskinan, kelaparan, gizi buruk, dan busung lapar. Belum lagi bertambahnya jumlah pengangguran yang kian meningkat, tindak kriminal yang terus merajalela, dan setumpuk problem sosial lainnya yang harus dicarikan solusinya. Bagaimanapun juga problem sosial yang tengah dihadapi bangsa kita ini adalah bagian dari tanggung jawab mereka.

Dan kedua, mereka juga hendaknya melakukan mikraj. Yaitu meningkatkan ibadah formal seperti salat, puasa, dan zakat agar lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan begitu, mereka tidak lagi melakukan korupsi, merampas hak orang, dan tindak keji lainnya yang dapat merugikan orang lain.

Selama lebih dari 14 abad hingga kini, umat Islam lebih disibukkan soal apakah Isra Mikraj itu riil atau tidak. Apakah hanya khayalan Nabi Muhammad dan tipu muslihatnya saja atau memang benar-benar terjadi dan merupakan perintah dari Allah SWT?

Yang penting bagi kita, Isra Mikraj mengandung makna yang mendalam (spiritual dan sosial) dan merupakan gambaran atas realitas yang akan dihadapi umat manusia di dunia dan di akhirat nanti. Maka, yang kita perlukan ke depan adalah kesinambungan dan keseimbangan antara langit dan bumi, antara ketuhanan dan kemanusiaan, atau antara spiritual dan sosial.

Perlu diketahui, jika konsep dunia-akhirat (Isra-Mikraj) tidak dimaknai dengan baik sesuai dengan porsi dan proporsi masing-masing, akan terjadi krisis multidimensi di seluruh tatanan kehidupan berbangsa dan beragama seperti dialami Indonesia saat ini. Dalam tataran kebangsaan dan kenegaraan, orang akan lebih mudah untuk melakukan korupsi, kejahatan, penipuan, dan menindas bangsanya sendiri. Sementara itu, pada tataran keagamaan, orang akan meninggalkan norma-norma agama, dan bahkan berani untuk melecehkan perintah agama. 

Semoga dari refleksi Isra Mikraj tahun ini, 27 Rajab 1429 H, kita bisa memetik hikmah dan makna yang terkandung di dalamnya serta dapat diwujudkan dalam hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Atas segala jasanya, marilah kita haturkan salawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW.
Jumat, Agustus 01, 2008 0
Menghidupkan Roh Agama
Dimuat di Suara Karya, 27 Juli 200

Oleh Mohamad Asrori Mulky,
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.

Sebagai tata nilai yang menyeluruh, agama sejatinya tidak dipahami sebagai doktrin mati. Tapi sebagai prinsip-prinsip yang hidup, bisa dibaca, dan dilaksanakan secara kontekstual, kapan dan di mana-pun. Dengan begitu, keuniversalan dan keotentikan sebuah agama akan terus tetap terjaga, tidak termanipulasi, apalagi lapuk terkena hantaman zaman.

Pengontekstulisasian pesan keagamaan ini dianggap penting untuk diwujudkan, terutama dalam kaitanya dengan kondisi umat Islam yang sampai saat ini masih terperangkap dalam pusara dogmatisme dan fanatisme agama. Betapa tidak, kini, petuah ulama lebih dijadikan titik tolak kebenaran, dan perilakunya sebagai standar keimanan. Sementara daya kritis yang menjadi tuntutan dalam beragama dipandang sebagai yang tabu dan harus dihindari.

Maka tak heran, bila umat beragama makin terperosok ke dalam jurang taklid buta, di mana hal ini akan berimplikasi buruk pada pemahaman agama itu sendiri. Ajaran agama dianggap sesuatu yang tetap dan final, tidak bisa dirubah apalagi ditafsir kembali sesuai dengan kondisi zaman. Sebagai contoh, konsep jihad yang sejak semula berarti ‘pertahanan’ untuk menepis serangan musuh, malah dipahami sebagai ‘agresi atau perang fisik’. akibatnya, dengan dalih jihad, penyerangan, pemukulan, dan penganiayaan yang dilakukan sebagian kelompok terhadap kelompok lain dianggap sah dan benar.

Ayat-ayat jihad (perang) yang tersurat dalam alquran sering dijadikan alat legitimasi untuk menyerang umat lain. Seakan-akan alquran mengabsahkan sikap permusuhan, di mana yang satu dengan yang lainya saling diperhadapkan dan dipertentangkan. Jika demikian, berarti, umat beragama telah mengganti kemahakasihan Tuhan dan kerahmatan-Nya dengan kebengisan, kekejaman, dan kebiadaban. Maka, pada titik inilah konsep jihad harus dimaknai kembali dengan sesuatu yang manusiawi dan mengandung kemaslahatan.

Melihat kenyataan ini, kita sebagai umat yang beragama bertanggung jawab untuk menghidupkan kembali roh agama, yaitu dengan cara melakukan reinterpretasi, pengontekstualisasian pesan agama, dan ijtihad. Singkatnya pembaruan dalam tafsir agama mesti terus dilakukan.

Ijtihad

Mohamad Iqbal dalam ‘Reconstructions of Religious Thought in Islam’ menegaskan bahwa inti pergerakan dalam Islam adalah Ijtihad. Dengan melakukan ijtihad pembaruan pemikiran dalam agama dimungkinkan. Dengan ijtihad segala nilai didobrak, didekonstruksi, dihancurkan, lalu disusun dan dibangun kembali. Tak ada yang mapanan dan permanen dalam pemahaman agama. Semuanya bersifat sementara, berwaktu, dan berubah. Ijtihad membuka jalan untuk terjadinya ‘perluasan’ dan ‘pengembangan’ dalam tafsir keagamaan.

Seiring bergulirnya waktu dan berubahnya zaman, dibarengi kebutuhan manusia yang terus berkembang, bahkan lebih kompleks. Maka, hajat manusia terhadap pemahaman agamanya harus senantiasa diperbarui dan dikontekstualisasikan. Oleh karenanya, perluasan dan pengembangan dalam tafsir agama menjadi niscaya dilakukan. Sebab, tafsir yang diproduksi pada masa silam dan dianggap benar pada masanya, tidak menutup kemungkinan tidak relevan dengan masa kini.

Namun, sebagaimana dikatakan Hasan at-Turabi dalam ‘Tajdîd al-Fikr al-Islâmi’ bahwa ijtihad dalam Islam harus dilakukan dengan syarat mengkompromikan teks dengan konteksnya. Karena, tanpa adanya upaya seperti itu, agama akan menjadi doktrin mati yang tak berdaya ketika dihadapkan pada realitas di mana agama itu ada dan berkembang.

Jika cara keberagamaan kita dari masa ke masa tidak mengalami pembaharuan dan peremajaan, dalam arti, ijtihad tidak memungkinkan. Maka agama ketika itu juga akan mengalami stagnasi dan pengkerdilan. Agama tidak lagi berfungsi sebagai alat emansipatoris dan sistem yang bergerak dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan, tapi malah melorot melayani hasrat kemanusiaan yang paling primitif, biadab dan tak bertanggungjawab.

Teks dan Konteks

Memahami agama melaui teks dan konteksnya akan membawa agama pada perannya sebagai sumber inspirasi bagi manusia, bukan penjara yang mengerangkeng umatnya untuk bebas menafsir dan berpikir. Dalam tafsir agama, korelasi antara teks dan konteks harus dilakukan. Karena bagaimanapun juga teks lahir dari sebuah konteks yang kemudian membentuk hukum, keputusan, perintah dan larangan.

Munculnya segenap fatwa-fatwa ulama dari masa ke masa tidak serta merta lahir dari sebuah ruang hampa. Ia lahir dari sebuah sebab yang mendorongnya untuk muncul. Kisah yang dialami Imam Syafi’i misalnya, dengan berani ia merubah pendapatnya, qaul qadim ketika ia di Bagdad dengan qaul jadid ketika ia berada di Mesir. Ini terjadi karena perbedaan konteks dan semangat zaman yang dihadapi Imam Syafii berbeda, yaitu Bagdad dan Mesir. Dalam qaidah fikih dikatakan “Taghayur al-Hukmi bi Taghayur al-Amkân wa al-Azminati”, perubahan hukum disebabkan karena perubahan tempat dan waktu.

Berkaitan dengan hal di atas, tesis Abdullahi Ahmed An-Na’im sepertinya mendapatkan konteksnya yang tepat. Ia menegaskan bahwa syariat Islam adalah sistem yang dinamis, berkembang, dan bergerak seiring zaman dan waktu yang dihadapinya. Dengan memaknai syariat sebagai tata nilai yang dinamis, maka dengan sendirinya ia (syariat) akan menyesuaikan dirinya dengan realitas (konteks) yang tengah dihadapi umat manusia. Ini berarti, dinamika syariat terletak pada bagaimana kita dapat mengkompromikan teks dengan konteksnya, tanpa ada yang mengungguli dan mendominasi. Sebab, dominasi teks atas konteks akan membuat agama menjadi kaku, kering, dan kehilangan makna sosialnya. Begitu juga sebaliknya, dominasi konteks atas teks akan menjadikan agama profan dan kehilangan dimensi spiritualitasnya.

Tak dapat dipungkiri, dengan mengkompromikan teks dan konteksnya dalam seluruh perwujudan pemahaman agama dan kebudayaanya, Islam akan selalu menjadi agama yang menyejarah dan fenomenal dari masa ke masa. Hal ini sesuai dengan semboyan yang menyatakan ‘al-Islam Shalihun likulli Zamanin wa Makanin’, Islam adalah agama yang sesuai dengan setiap zaman.

Karena itulah, para cendikiawan muslim ternama seperti; Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Nasr Hamid Abu Zaed, Fazlurrahman, Hassan Hanafi, Muhammad Said al-Asymawi, Hasan at-Turabi, Mohammad Arkoun, Adonis, Muhammad al-Ghazali, Yusuf al-Qardhawi, dan sejumlah ulama yang lainya mencoba merekonstruksi ajaran agama yang bersifat dogmatis dan statis. Mereka merubah ajaran yang memberikan jarak dengan zamanya, dengan cara mengkompromikan teks dengan konteksnya. Bagi mereka, munculnya dogmatisme agama disebabkan karena efek dari tekstualisme dan skriptualisme yang mengabaikan konteks zamanya. Dan ini akan membawa umat Islam kepada kemandegan berpikir, menghilangkan elan vital gerak, dan mengikis semangat untuk berkarya.

Sebagai umat yang beragama dan bertanggung jawab dalam memajukan agamanya, kita harus segera memperbaharui kekeliruan ke arah yang lebih baik. Sebab jika dogmtisme dibiarkan berlarut-larut, maka akan mengarah pada kezumudan berpikir, ketergantungan dan selalu bersikap apatis. Tanpa adanya upaya kontekstualisasi pesan keagamaan, agama akan semakin mengasingkan manusia dari kenyataan hidupnya. Agama akan mengalami pembusukan dari dalam dan dengan sendirinya akan terlibat ketegangan dengan perkembangan zaman. Kita tidak menginginkan agama memasung umatnya sendiri, hanya karena hukum-hukum agama mengabaikan konteks zamanya. Begitu pula kita tidak menginginkan agama yang melulu tekstual, dan skriptual hingga membuat agama terasa berada di atas awan yang tak menyentuh bumi.

Singkatnya, dalam memahami agama mengkompromikan teks dengan konteksnya merupakan keniscayaan yang harus dilakukan. Sehingga dengan demikian pemahaman agama akan lebih menzaman dan menyejarah. Dan dengan demikian pula dogmatisme agama yang selalu membawa pada kekerasan dan anarkisme akan dengan sendirinya hilang berubah menjadi agama yang cinta damai, santun dan beradab. Dengan mengkompromikan teks dan konteks, akhirnya perluasan dan pengembangan dalam ruang tasir keagamaan semakin dimungkinkan. Hanya dengan cara itulah roh agama akan kembali hidup.

Resensi Buku

Jumat, Agustus 01, 2008 0
Lesbumi di Antara Lekra dan Manikebu

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, Jakarta

Judul Buku : Lesbumi; Strategi Kebudayaan Politik

Penulis : Choirotun Chisaan

Penerbit : Lkis Yogyakarta

Cetakan : I, Maret 2008

Tebal : xvi + 247

Harga : Rp. 27.000

LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) merupakan lembaga seni-budaya yang lahir dari rahim Nahdhatul Ulama (NU) pada tahun 1962. Melalui lembaga ini para seniman dan budayawan muslim NU berkumpul, berdiskusi dan bertukar pikiran mengenai agama, politik dan budaya.
Sejak itu, NU berani mengambil perjuangan seni dan budaya sebagai bagian dari tanggung jawab dan komitmenya.

Perlu diketahui, dalam konteks sejarah kebudayaan Indonesia, terdapat relasi yang sangat erat antara seni-budaya dan politik, di mana satu sama lain saling membutuhkan. Pada satu kesempatan, seni-budaya dipandang sebagai produk sebuah proses politik di masanya, begitu juga sebaliknya. Hal ini bisa kita temukan ketika terdapat beragam lembaga kesenian dan kebudayaan berafiliasi dengan partai politik.

Sebut saja misalnya, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) dengan PNI, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan PKI, Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) dengan Masyumi, Lembaga Kebudayaan Indonesia Katolik (LKIK) dengan Partai Katolik, Lembaga Kebudayaan dan Seni Muslim Indonesia (PSII) dengan PSII, Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam (Leksi) dengan Perti, dan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) sendri dengan NU (halaman 15).

Ini mengisyaratkan bahwa seni-budaya pada tahun 60-an sangat berpengaruh di dunia perpolitikan bangsa Indonesia. Tak ayal, hubungan keduanya (seni-kebudayaan dan politik) telah memberikan energi progresif bagi masa depan bangsa Indonesia hingga kini, di mana peranya diperlukan sebagai political act.

Tentunya kita masih ingat perseteruan sengait antara Lekra dan Manikebu (Manifes Kebudayaan), di mana, Lekra yang berhaluan realisme sosialis mengusung jargon “politik adalah panglima”. Sementara Manikebu yang beraliran humanisme universal menolak jargon Lekra dan menjadikan “seni untuk seni”. Waktu itu, ketegangan antara Lekra dan Manikebu memberi dampak pada suhu politik Indonesia.

Pada saat itulah, Lesbumi yang berhaluan NU mengambil sikap di antara keduanya dengan menolak jargon “politik adalah panglima” dan “seni untuk seni”. Bagi Lesbumi, seni harus memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan kepentingan Islam. Pada titik ini, Lesbumi sebenarnya memberikan alternatif baru dalam berkesenian dengan memberikan tempat bagi unsur keagamaan (Islam) setara dengan kebudayaan melalui sebuah kontestasi seni budaya ketimbang sebuah pertarungan politik. Sikap tengah-tengah (moderat) nampaknya coba ditempuh oleh Lesbumi senada dengan garis ideologi Ahlussunnah wal Jama’ah yang menjadi landasan politik NU.

Melalui ketiga tokohnya, Djamaludin Malik, Asrul Sani, dan Usmar Ismail Lesbumi coba menampilkan diri sebagai role model seniman muslim pada masanya. Mereka mengolah gerakan Lesbumi sebagai gerakan yang humanis dan religius. Inilah yang menjadikan Lesbumi tidak dapat digempur oleh PKI lewat Lekra di dalam lembaga kesenian.

Namun, kini Lesbumi hilang tanpa jejak, lenyap dari perbincangan sejarah seni-budaya dan politik Indonesia. Padahal, ia lahir pada masa yang krusial, era Soekarno dan menjadi salah satu lembaga yang mendorong perkembangan sejarah politik kebudayaan Indonesia. Tapi, kelahiran Lesbumi ini nampaknya dapat disebut sebagai, meminjam ungkapan Foucault, discountinuity yang hanya bisa dijelaskan dengan melihat perkembangan kontemporer NU pasca 1965 hingga pasca Soeharto. (halaman: viii).

Buku “Lesbumi, Strategi Politik Kebudayaan” karya Choirotun Chisaan ini menguak fenomena Lesbumi serta perkembangannya dalam sejarah politik kebudayaan di Indonesia. Bagi penulis buku ini, Lesbumi tidak saja dijadikan sebagai tempat seni-budaya, tapi juga sebagai lembaga pemersatu umat, dan cinta akan kebersamaan. Buku ini mempertanyakan, mengapa Lesbumi yang menjadi ikon pemberantas kebudayaan PKI, lenyap begitu saja?

Menurut penulis, Lesbumi menjadi lenyap karena kurangnya masyarakat santri memaknai arti seni-kebudayaan yang terkandung di dalamnya. Selain itu, kebudayaan modern ikut berperan dalam menutup wadah seni-kebudayaannya. Ironisnya lagi, identitas khas Lesbumi dijadikan alat untuk memenuhi kepentingan individu. Sejatinya, di tengah carut-marut suhu politik bangsa yang makin tidak menentu, peran dan keberadaan Lesbumi menjadi krusial untuk dioptimalkan kembali.