Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Rabu, 24 September 2008

Rabu, September 24, 2008 0

Peran Kalla dalam Perdamaian Aceh

Dimuat di Koran Jakarta (24 Sep 2008)


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Judul Buku Kalla dan Perdamaian Aceh

Penulis Fachry Aly, Suharso Monoarfa dan Bahtiar Effendy

Penerbit Lspeu Indonesia

Cetakan I, Juli 2008

Tebal xiii + 313 halaman


Perjanjian damai Helsinki pada 15 Agustus 2005 antara pemerintah Jakarta dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) akhirnya dapat tercapai dengan sempurna, setelah Indonesia berada di bawah pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, sebagai Presiden dan wakil Presiden.


Pernyataan ini tentunya tidak mengada-ada. Terhitung sejak pemerintahan Baharuddin Jusuf (BJ) Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wahid (1999-20001) hingga Megawati Soekarnoputri (2001-2004), pintu dialog penyelesaian damai untuk Aceh memang sudah dibuka lebar-lebar. Namun, hasil yang sempurna belum tercapai.


Pertanyaanya, mengapa beragam upaya yang coba dilakukan para presiden pendahulu sebelum SBY-JK—dari Bavois Agreement yang melahirkan “Jeda Kemanusiaan” hingga “Darurat Militer”—tidak membawa hasil yang maksimal?


Buku “Kalla & Perdamaian Aceh” ini memberikan gambaran lengkap tentang bagaimana proses perdamaian Aceh dapat terlaksana dengan nyata. Kuncinya hanya satu, pemerintahan SBY-JK lebih menggunakan pendekatan persuasif ketimbang kekuatan militer. Sebab, menempuh jalan militer bukan solusi tepat, apalagi dalam situasi konflik seperti Aceh. Karena itu, hemat penulis, buku ini penting untuk dijadikan referensi, terutama bagi negara-negara yang masih mengalami perang saudara.


Lebih lanjut, buku ini juga memetakan dengan gamblang bagaimana para presiden sebelum SBY-JK mencari solusi damai di tanah Rencong itu. Pada pemerintahan Habibie misalnya, memang kekuatan-kekuatan sosial-politk di pusat (Jakarta) hampir semuanya terkonsilidasikan untuk mendukung penyelesaian konflik Aceh secara damai. Namun, proses ini terhambat, karena pergulatan politik di Jakarta sendiri. Alhasil, hingga akhir pemerintahanya, Habibie hanya mampu meletakan dasar struktur wacana, bahwa jalan damai bagi konflik Aceh merupakan cara terbaik daripada jalan militer.


Optimisme struktur wacana perdamaian itu kian memuncak ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi presiden. Untuk menyelesaikan persoalan Aceh, Gus Dur meminta bantuan Henry Dunant Centre (HDC) sebagai mediator. Hasilnya adalah terbentuknya Bavois Agreement, sebuah resultante perundiangan Republik Indonesia dengan GAM yang berlangsung di Bavois, Swiss pada 27 Januari 2000. “Jeda Kemanusiaan”—sebuah upaya mengakhiri penderitaan rakyat dengan menghentikan konflik besenjata antara RI dan GAM—yang menjadi bahasa politik Gus Dur juga tidak membawakan hasil.


Sementara pada masa pemerintahan Megawati, kebijakan yag ditempuhnya lebih mengarah pada titik ektriem lagi, kekuatan militer. Melalui keputusan Presiden Nomor 28 tahun 2003 yang ditandatangani pada 19 Mei, Presiden Megawati telah menggunakan pendekatan militer dengan “bungkus” Darurat Militer. Hal ini ia lakukan, karena segera setetelah disadari bahwa “jalan damai” tak lagi dimungkinkan, maka pendekatan cara militer, sebagaimana telah menjadi wacana dominan dalam penyelesaian konflik Aceh waktu itu, adalah sesuatu yang tak dapat dielakan.


Namun, hasil yang konklusif mengenai perdamaian Aceh baru terlaksana dengan baik ketika SBY-JK diberikan mandat untuk memimpin negeri ini. Buku ini lebih banyak menyoroti peran Kalla ketika proses damai itu terjadi. Dengan wewenang puncak sebagai wakil presiden, kekuatan kata atau kalimat yang tepat serta logika kalkulatif yang selama ini menjadi prinsip kerja Kalla, ditransformasikan menjadi kekuatan dahsyat.


Melalui cara di atas, Ia menawarkan empat hal ketika proses damai itu dilakukan; Pertama, perundingan harus dilakukan dengan rahasia. Kedua, dalam memilih dan menetapkan juru runding dari pihak Jakarta, Kalla memilih orang yang tidak berasal dari kaum diplomat profesional, melainkan mereka yang berpengalaman mengatasi konflik kemasyarakatan dan mengenal seluk beluk Aceh. Ketiga, perundingan tersebut harus bersifat langsung dengan menghadirkan dua belah pihak. Dan keempat, agar perundingan itu terpantau dengan ketat dan sesuai dengan tujuan yang ditargetkan, Kalla sendiri mengambil tongkat komandan dari Jakarta.


Dan tampaknya pengawasan kalla begitu detail dan baik sehingga membawakan hasil yang memuaskan, terciptanya jalan damai di Aceh.

Jumat, 12 September 2008

Agama Menjunjung Martabat Perempuan

Jumat, September 12, 2008 0
Dimuat di Media Indonesia (Jum’at, 05 September 2008)

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta


DALAM
karya agungnya, Fushus al-Hikam, Ibnu Arabi menjelaskan laki-laki dan perempuan diciptakan semartabat dan sederajat, sebagai manusia yang diciptakan secitra dengan Allah SWT. Allah tidak membedakan keduanya. Hanya keimanan dan takwanya yang menjadi kriteria penilaian-Nya. Karena itu, sejatinya, antara laki-laki dan perempuan bisa hidup saling memberi, mengasihi, dan melindungi, demi terciptanya kehidupan yang damai dan harmonis di muka bumi ini.

Namun, bila kita amati dalam realitas sosial-kultural-agama, di antara keduanya sering terjadi ketidakadilan yang berujung pada tindak kekerasan, terutama terhadap perempuan. Isu perbedaan gender yang menguasai realitas sosial kultural kita sekarang ini menjadi bukti nyata dari ketidakharmonisan di antara keduanya. Ironisnya lagi, pembedaan itu telah banyak merugikan dan memojokkan pihak perempuan atas kondisi dan posisinya, baik di kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Bahkan, agama dituduh sebagai arus utama yang menyebabkan perempuan itu menjadi tertindas. Benarkah demikian?

Di masyarakat, kita kerap menyaksikan kekerasan terhadap perempuan dengan berbagai bentuk dan manifestasinya. Kekerasan fisik, emosional, psikologi, entah secara domestik (dalam rumah) maupun publik (dilakukan oleh masyarakat, agama, media massa, kekuatan ekonomi, politik, dan negara) kerap menjadi tontonan gratis yang membuat hati kita teriris sedih dan perih. Lalu, langkah apa yang harus kita perbuat? Dan bagaimana kita melakukannya?

Teologi Feminis
Sampai detik ini, agama sering dituduh sebagai biang keladi lahirnya kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan terhadap perempuan. Kaum agamawan, dari dulu hingga kini, dianggap telah menyalahtafsirkan doktrin, ajaran, bahkan teks-teks kitab suci yang cenderung meminggirkan peran perempuan dalam agama.

Kenapa perempuan tidak boleh menjadi imam? Mengapa pembagian harta warisan cenderung tidak adil (perempuan 1/4, sementara laki-laki 1/2)? dan kenapa dua saksi dari perempuan dianggap kurang akurat jika dibandingkan dengan laki-laki? Demikianlah pertanyaan yang sering dilontarkan kaum hawa.

Media Indonesia

Dalam pandangan teologis Abrahamic Religions (Kristen dan Islam) misalnya, kedua agama itu memiliki kisah yang sama mengenai Hawa, perempuan yang 'dituduh' sebagai sumber 'dosa asal' karena terbujuk iblis untuk memetik dan makan buah terlarang, dan kemudian memberikannya kepada Adam. Beberapa kalangan agamawan menganggap kisah itu sebagai peminggiran terhadap nasib perempuan. Bahkan, beberapa pihak menafsirkan tradisi Kristen dan Islam telah mengembangkan kebencian dan kecurigaan pada perempuan dalam 'doktrin dosa asal'-nya itu.

Pandangan seperti ini tentu saja sangat memojokkan pihak perempuan dan menjadikan mereka makin terisolasi. Secara substansial, agama, baik Kristen maupun Islam tidak sama sekali mengajarkan kekerasan dan penindasan pada perempuan. Justru agama pada dirinya ingin mengubah paradigma lama itu dan menggantinya dengan paradigma baru yang melihat kaitan antara perempuan dan agama secara lebih positif dan objektif. Dan kita sebagai umat beragama harus mendukung perubahan paradigma itu demi terwujudnya kehidupan perempuan yang lebih layak dan semestinya. Paling tidak, dari kandungan keprihatinan atas kekerasan terhadap perempuan, melahirkan gerakan aliansi yang berjuang mengembalikan martabat perempuan.

Dalam perspektif agama, gerakan aliansi ini mendapat tempatnya dalam teologi feminis sebagai teologi pembebasan. Sebagaimana teologi pembebasan berorientasi pada refleksi-aksi demi pemerdekaan dan pembelaan terhadap harkat kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial yang tertindas oleh 'pemiskinan', demikian pula dengan teologi feminis. Teologi ini ingin mengembalikan harkat dan martabat perempuan pada posisinya sebagai manusia merdeka dan bermartabat.

Lebih jelasnya, bahwa secara khusus, teologi feminis menanggapi masalah-masalah kemiskinan dalam kaitannya dengan ketimpangan gender, diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan.

Agama dan Jaringan Pembebasan
Bila kita melihat kembali teks-teks utama agama (Alquran salah satunya), kita akan menemukan betapa perempuan mendapatkan perhatian dan perlindungan yang penuh dari agama. Dalam tradisi agama Islam, peran itu diakui secara istimewa dalam diri Maryam, ibunda Nabi Isa, yang namanya kemudian diabadikan menjadi nama surah dalam Alquran (Surah Maryam). Bahkan, Maryam--atau Maria dalam agama Kristen--diakui juga sebagai sosok perempuan yang memiliki peranan penting dan istimewa.

Dalam posisi seperti itu, martabat perempuan di mata agama mendapatkan perhatian yang cukup istimewa dan diangkat ke tempat yang tinggi. Selain Maryam, dalam Alquran juga kita mengenal nama-nama perempuan yang berperan penting dalam sejarah peradaban Islam, seperti Khadijah, Aisyah, dan Fatimah Az-Zahra. Mereka diakui sebagai wanita yang perkasa, yang mampu memberikan segala hal untuk kebaikan dan perkembangan agama Islam.

Dalam sejarah perempuan dan agama di dunia Kristen misalnya, kita juga mengenal Bunda Theresa dari Calcutta, India. Dia merupakan simbol perempuan yang menjalin harmoni dengan agama dalam melawan kekerasan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Sebelum Bunda Theresa, di kalangan agama Katolik terdapat para santa yang merelakan hidup dan kekudusan mereka untuk membela iman (dan agama) berhadapan dengan kekerasan budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Dan, agama (Katolik) menerima korban kekerasan itu bukan sebagai pesakitan yang harus dijauhi, melainkan sebagai mutiara, para santa. Dalam tradisi itulah perempuan mendapat posisi sederajat, tanpa subordinasi, kekerasan, marginalisasi, maupun ketidakadilan dalam agama.

Sejatinya, kekerasan (terhadap perempuan) telah menjadi fenomena kontrabudaya. Oleh karena itu, sinergi antara agama dan perempuan dalam melawan kekerasan dapat menjadi gerakan kultural melawan kekerasan, bukan saja terhadap perempuan, melainkan juga terhadap martabat kemanusiaan manusia. Dalam konteks ini, kita mencita-citakan alangkah indahnya bila jaringan-jaringan yang membela perempuan terhadap kekerasan dapat bekerja sama dengan agama.

Kita mengenal tokoh-tokoh feminis muslim seperti Rif'at Hasan, Aminah Wadud, dan Fatimah Mernisi. Mereka mencoba menyinergikan antara agama dan jaringan pembebasan perempuan yang menjadi konsentrasi mereka hingga kini. Karena mereka meyakini, bahwa secara normatif, semua agama adalah antikekerasan. Maka, normativitas ini cukup menjadi alasan untuk jalinan kerja sama dengan jaringan-jaringan pembela perempuan yang ada. Seandainya dapat terjadi demikian, efektivitas dan efisiensi gerakan itu akan semakin kuat dan kokoh dalam melawan kekerasan terhadap perempuan dan kemanusiaan.

Tak hanya itu, sinergi antara agama dan jaringan pembela perempuan juga akan memaksimalkan usaha untuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan gender. Penegakan keadilan gender dan pembelaan korban ketidakadilan gender akan semakin teberdayakan. Kesempatan ini harus kita optimalkan dengan sebaik-baiknya, terutama sekali oleh para kaum perempuan yang menginginkan kesetaraan dan keadilan dalam tata nilai kehidupan. Kaum perempuan harus mulai bangkit memperjuangkan dan membela hak-haknya yang selama ini terampas.

Bila kesempatan ini tidak segera kita raih, kapan kita akan mampu menciptakan ruang yang adil, damai, dan cerah bagi kehidupan sehingga kekerasan dapat kita lawan dengan kelembutan hati, kepekaan nurani perempuan, dan asah-asih-asuh keibuan? "Percayalah wahai perempuan, kelembutan dan kasih sayang adalah kekuatan yang kalian miliki. Maka gunakanlah kekuatan itu," kata Mohamad Iqbal.

Kamis, 11 September 2008

Kamis, September 11, 2008 0

Tokoh Islam Bicara Universalisme

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Dimuat di Koran Jakarta (Jum'at 05 September 2008)

Judul Buku : Islam & Nilai-Nilai Universal;

Sumbangan Islam dalam Pembentukan Dunia Plural

Penulis : Nurcholis Madjid, Shirin Ebadi, Soheib Bencheikh, dkk

Pengantar : M. Syafi’I Anwar

Penerbit : International Center for Islam and Pluralism (ICIP)

Cetakan : I, Juli 2008

Tebal : xxxiv + 113 halaman

Harga : Rp. 26000


Setelah tragedi mengerikan 11 September 2001, konflik antara Islam dan Barat semakin meruncing dan mendapatkan momentumnya. Barat menuduh Islam sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas peristiwa itu, yang telah menelan ribuan nyawa manusia tak berdosa. Sementara Islam, melalui Al-Qaeda dan gerakan radikal Islam lainya, menyebarkan pesan ke seluruh dunia yang menyetankan Barat sebagai musuh Islam dan menuduhnya sebagai penyebab semua penderitaan di dunia Muslim.


Retorika kebencian Barat terhadap Islam, dan juga sebaliknya, seakan meneguhkan tesis Samuel P. Huntington tentang ‘Benturan Peradaban’ yang terjadi antara Islam (Timur) dan Kristen (Barat). Dalam “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order” (1996), Huntington dengan tegas menyatakan, bahwa konflik antara dunia Barat dan dunia Islam adalah suatu hal yang tak dapat dihindari. Tarik menarik kepentingan antara kedua peradaban besar itu akan selalu menciptakan ketegangan dan kekerasan, kapan dan dimana pun.


Pasca 11 September 2001, Islam menjadi agama yang tertuduh, kata Akbar S. Ahmed. Islam dianggap sebagai agama teror, tempat di mana para teroris di seluruh dunia dapat mengaktualisasikan kehendaknya dengan cara kekerasan. Islam dianggap sebagai agama yang tidak berpihak pada demokrasi, di mana setiap kebijakan yang dikeluarkan negara-negara Muslim selalu mengarah pada otoriterianisme dan totaliterianisme. Islam juga dianggap sebagai agama yang tidak membela Hak Asasi Manusia (HAM), di mana harkat dan martabat perempuan selalu dinistakan dan harga dirinya kerap dicampakan.


Pertanyaanya, apakah Islam seburuk yang Barat bayangkan, bahwa Islam agama teroris, tidak sesuai dengan demokrasi, dan tidak membela HAM?


Tentunya, Islam tidak sekeji yang mereka bayangkan. Untuk membuktikan itu, Gallup World Poll melakukan riset terhadap warga yang tinggal di lebih dari 25 negara berpenduduk mayoritas muslim. Riset paling akbar yang dilakukan Gallup terhadap Muslim kontemporer ini telah menghabiskan waktu bertahun-tahun, antara 2001 hingga 2007. Hasilnya menyatakan, bahwa Islam bukan agama teroris, Islam sesuai dengan demokrasi, dan menjunjung harkat dan martabat manusia.


Senada dengan itu, buku “Islam dan Nilai-Nilai Universal” ini, juga ingin memberikan jawaban terhadap tuduhan Barat yang cenderung memojokan umat Islam. Dikatakan, bahwa Islam adalah agama universal (rahmatan lil ‘alamin). Keuniversalan Islam terletak pada nilai-nilai pluralitas seperti; kesetaraan, keadilan, kebebasan, kelembutan, kasih-sayang dan cinta-kasih. Ini berarti, Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk melakukan kekerasan, terorisme, dan pembunuhan terhadap manusia. Cinta dan kasih sayanglah yang menjadi prinsip dasar dari ajaran Islam itu sendiri.


Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari beberapa tokoh Muslim ternama, seperti A. Syafi’i Ma’arif, Azyumardi Azra, Franz Magnis-Suseno, Lily Zakiyah Munir, Nurcholish madjid, Shirin Ebadi, dan Soheib Bencheikh, pada seminar internasional “Islam and Universal Values: Islam’s Contribution to the Contruction of a Pluralistic World”, yang diselenggarakan oleh International Center for Islam and pluralism (ICIP) bekerja sama dengan keduataan Swiss, di Jakarta pada maret, 2004.


Masing-masing pembicara memberikan pandangan mengenai Islam dan nilai-nilai universal dengan tema dan pembahasan yang berbeda-beda, sesuai dengan kapasitasnya. Shirin Ebadi misalnya, menguraikan isu hak asasi manusia dan dunia Islam. Ia menunjukan bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan hak asasi manusia. Lebih lanjut ia menyatakan, Islam adalah agama persahabatan dan kesetaraan, mengingat bahwa dalam ajaran Islam, semua manusia sama di mata Allah.


Nurcholish Madjid (cak Nur) memaparkan toleransi dalam Islam. Baginya Islam adalah agama yang toleran dan ramah. Prinsip ini diyakininya sebagai modal utama untuk dilakukanya dialog antar agama dan peradaban. Sementara itu, Syafi’I Ma’arif, untuk mengembalikan keutuhan dan keharmonisan dunia, khusunya antara Islam dan Barat, ia ingin menghapuskan paradigma lama ‘kami’ melawan ‘mereka’ (us vs them). Baginya, paradigma ini merupakan akar dari segala ketegangan dan permusuhan yang terjadi antara dunia Islam dan Barat.