Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 08 Desember 2009

Membongkar Mafia Bilderberg

Selasa, Desember 08, 2009 0
Dimuat di SINDO, Minggu 05 Desember 2009

Oleh: Mohamad Asrori Mulky

Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Judul Buku : The Bilderberg Group

Penulis : Daniel Estulin

Penerbit : Daras Book, Jakarta

Edisi : I, Juni 2009

Tebal : 412 halaman

Beberapa tahun lalu,dunia internasional sempat dihebohkan oleh beredarnya buku yang cukup kontroversial,Confession of An Economic Hit Man, karya John Perkins.


Dalam buku tersebut,Perkins membeberkan konspirasi jaringan multinasional Barat yang bertujuan menjajah ekonomi dunia, terutama negaranegara dunia ketiga, termasuk di dalamnya adalah Indonesia. Kelompok ini tidak hanya menanamkan benih korupsi, kolusi, dan nepotisme di negara-negara yang menjadi targetnya, tapi juga mengendalikan ekonomi dunia di bawah kendalinya. Apa yang dilaporkan Perkins dalam bukunya itu merupakan bagian dari sebuah mozaik konspirasi penguasaan dunia yang dilakukan Barat.


Pada sisi lain, kita juga dikejutkan oleh informasi yang tidak kalah berbahayanya dari laporan Perkins bahwa ternyata ada sekelompok orang sedang melakukan skenario konspirasi yang jauh lebih besar.Tidak hanya mencakup skenario penguasaan ekonomi, melainkan juga penguasaan politik dan keamanan. Inilah yang disebut oleh kelompok itu dengan gagasan “internasionalisasi”; menjadikan dunia satu kekuasaan politik, satu lembaga keamanan, dan satu kekuatan ekonomi. Ini artinya, nasib dan masa depan dunia sangat ditentukan oleh kelompok tersebut.


Kelompok itu berjuluk Bilderberg Group.Menurut keterangan, kelompok ini sudah mengendalikan dunia selama lebih dari setengah abad dan tersimpan rapi.Tak ada yang tahu, meskipun para wartawan, bagaimana mereka menentukan nasib dunia,kecuali anggota dan partisipannya saja. Mereka tak segansegan menjatuhkan pemimpin negara yang dianggap menentang skenario yang mereka susun. Mereka menciptakan bonekaboneka di berbagai negara dan lembaga demi mewujudkan gagasan yang mereka usung itu.


Dalam buku The True Story of The Bildeberg Group, karya Daniel Estulin, seorang wartawan investigatif Kanada, kita diajak mengorek informasi yang lebih mendalam dari Bilderberg Group.Buku yang dalam penulisannya membutuhkan waktu sekitar 15 tahun ini, secara vulgar mengupas habis agenda konspirasi jahat mereka. Nama kelompok ini (Bilderberg Group) merujuk pada pertemuan pertama mereka.Pada 1954, yang dipelopori Pangeran Bernhard dari Belanda dan penguasa besar Amerika, David Rockefeller, sekelompok tokoh berpengaruh di dunia untuk pertama kalinya bertemu dan menggelar rapat rahasia.


Tempatnya di Hotel Bilderberg yang sangat terkenal mewah, yang terletak di kota kecil di Negeri Belanda, Oosterbeck. Pertemuan yang ketika itu dihadiri sejumlah petinggi dan orang berpengaruh di dunia Barat tersebut semula bertujuan menjalin hubungan kerja sama dan saling pengertian antara Eropa Barat dan Amerika Utara. Pertemuan informal itu akhirnya dikukuhkan menjadi konferensi tertutup yang digelar setiap tahun dan dihadiri undangan terbatas, maksimal 100 tokoh. Lokasi pertemuannya pun berpindah-pindah setiap tahun dan yang pasti di hotel super mewah yang dapat menjamin privasi peserta pertemuan.


Namun, lama kelamaan, sesuai dengan penyelidikan dan penelusuran Daniel, kiprah kelompok itu berubah tidak sekadar hubungan Eropa Barat dan Amerika Utara. Gagasan dasar yang diusung berubah total menjadi membangun sebuah dunia dengan satu kekuasaan politik, kesatuan ekonomi, dan kesatuan keamanan.Istilah yang diusung pun lebih halus menjadi “Internasionalisasi” dunia. Dalam arti lain, mereka ingin membangun “satu pemerintahan dunia” atau perusahaan dunia dengan pasar tunggal dan global, yang dijaga satu pasukan dunia, dan secara finansial diatur satu bank sentral dunia, yang menggunakan satu mata uang dunia.


Niat kelompok itu secara rinci meliputi upaya menciptakan identitas internasional, mengontrol populasi dan opini dunia secara tersentral, dan sebuah tatanan dunia baru tanpa kelas menengah. Dengan begitu, yang ada hanya tuan dan pelayan atau majikan dan budak. Lebih jauh lagi adalah pengawasan terpadu terhadap kebijakan dunia, bahkan mendesakkan sebuah sistem hukum universal. Karena mereka menjalankan proyek-proyek internasional demi mengeruk kekayaan dunia dan mengokohkan kekuasaan mereka hingga bangsa-bangsa di negara berkembang menjadi budak.Maka dengan segera mereka sebar politisi- politisi dan para ekonom kawakkan ke seluruh penjuru dunia untuk bergerak.


Tak segan-segan mereka menebar suap,korupsi dan pengaruh kepada organisasiorganisasi wadah berhimpunnya beberapa negara. Dengan begitu, mereka memberi iming-iming imbalan kepada para pemimpin dunia berupa keuntungan yang sangat besar dan menggiurkan, tapi sebenarnya itu jeratan semata. Sebagai contoh,mereka pernah menjebak Uni Soviet dengan iming-iming bantuan finansial. Jumlahnya sangat menggiurkan: miliaran dolar.


Kompensasi yang harus dibayar adalah Uni Soviet menyerahkan sumber daya alam kepada mereka dengan harga sangat rendah.Tipu daya ini tidak saja pernah dialami Uni Soviet, tapi juga dialami negara-negara dunia ketiga khususnya hingga sekarang. Mereka menjerat negara-negara berkembang dengan pinjaman Dana Moneter Internasional (IMF) berbunga mencekik. Jebakan ini adalah cara mereka merusak tatanan ekonomi dunia.Tujuan mereka agar negara-negara dunia ketiga lumpuh dan bergantung total kepada mereka.


Setelah mendapat pinjaman dana dari IMF; penduduk negara-negara berkembang menjadi hamba sahaya abadi untuk melayani kepentingan mereka. Setiap tahunnya, anggota inti Bilderberg “menebar jala” demi melokalisir orang-orang ambisius baru untuk bergabung. Wajahwajah baru itu adalah mereka yang diberi jabatan politik strategis, tetapi ia akan segera didepak setelah tak lagi diperlukan.Douglas Wilder misalnya,saat karier politiknya meroket sebagai gubernur kulit hitam pertama AmerikaSerikat,diundang menghadiri pertemuan ini.


Tapi padatahun1984,saat gagal memperoleh satu persen suara pemilihan presiden sebagai wakil Partai Demokrat, namanya dicoret dari daftar tamu pertemuan Bilderberg. Karena itu, untuk mengetahui lebih rinci sepak terjang Bilderberg Group, buku Daniel ini patut dijadikan rujukan.

Menolak Argumentasi Kekerasan dalam Ibadah Kurban

Selasa, Desember 08, 2009 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.


Ibadah kurban yang akan kita rayakan pada 10 Dzulhijjah 1430 H/27 November 2009 M, sebaiknya kita maknai sebagai penghormatan atas martabat dan jiwa manusia daripada sekedar ritual penyembelihan binatang kurban semata. Pemahaman seperti ini akan lebih bermakna, seiring aksi terorisme, brutalisme, dan barbarisme dengan segala bentuk dan manifestasinya sering terjadi di belahan dunia, termasuk di Indonesia beberapa waktu silam.



Jawaban atas Tuduhan

Kurban adalah bentuk penyerahan diri seorang hamba pada Tuhannya secara totalitas. Namun, dalam perkembanganya ibadah kurban justru dituduh sebagai legalisasi terhadap tindak kekerasan berbaju agama, seperti yang dilontarkan Rene Gerard, bahwa kurban adalah tanda kekerasan dalam agama. Perintah penyembelihan terhadap Nabi Ismail oleh Nabi Ibrahim adalah bukti kuat atas dugaan itu. Maka tak ayal jika aksi bom bunuh diri dan aksi kekerasan lainya yang diberi dalih agama selalu saja bermunculan di mana-mana.


Atas segala tuduhan tersebut, marilah kita melihat dahulu dudukan persoalanya secara objektif. Dalam ibadah kurban, pertanyaan krusial yang patut kita ajukan adalah mengapa Allah SWT menggati Nabi Ismail dengan seekor domba ketika Nabi Ibrahim ingin menyembelih putranya itu—padahal sebanyak 3 kali Allah SWT memberikan perintah pada Ibrahim untuk menyembelih Ismail? Lalu apa makna terdalam dari pertukaran objek kurban ini (Ismail diganti domba)? Dan apakah bentuk perintah itu merupakan ujian (amr al-Ibtila’) untuk menguji sejauh mana ketabahan Ibrahim atas kehendak Tuhan, atau sebagai perintah tasyri’ (amr al-tasyri’) yang harus dilaksanakan tanpa sebuah argumen penolakan?


Mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut, paling tidak jawabannya seperti ini. Pertama, boleh jadi dengan pertukaran objek kurban, Allah ingin mengakhiri tradisi kuno yang mengorbankan jiwa manusia untuk dipersembahkan pada dewa suci mereka. Mel Gibson dalam salah satu film garapanya, “Apocalypto” memotret bagaimana tradisi kuno (peradaban Mesir kuno) melegalkan persembahan jiwa manusia untuk kepentingan dewa mereka. Padahal dalam kenyataanya, tidak semua orang yang dipersembahkan merelakan jiwanya untuk dewa-dewa yang mereka anggap suci.


Dalam ritual persembahan, biasanya yang menjadi tumbal adalah seorang perempuan yang masih gadis (belum menikah). Karena darah seorang gadis yang belum menikah diyakini akan lebih mempercepat harapan mereka terkabul. Seseorang yang dikorbankan bisa dengan cara dipisahkan anggota tubuhnya (dipisahkan kepala dengan badanya) atau mengambil salah satu organ tubuh seperti jantung atau hati untuk dipersembahkan kepada sang dewa. Ini semuanya dilakukan agar mendapatkan kebahagiaan dan kemakmuran hidup di dunia, terhindar dari marabahaya, kelaparan, kekeringan, dan kemiskinan.


Ali Syariati, ideolog dan tokoh gerakan revolusi Islam Iran, menyatakan, tradisi kuno ini tidak saja telah menyisakan luka yang teramat mendalam bagi keluarga yang dikorbankan. Tapi lebih dari itu, bila dilihat dari kacamata hukum modern, telah melanggar hak asasi manusia untuk hidup dan bernafas di muka bumi ini.


Kedua, boleh jadi Allah ingin memberikan pesan kepada umat manusia di dunia bahwa menumpahkan darah sesama tidak pernah dibenarkan sama sekali, karena Allah tidak akan memberikan perintah yang menyalahi tasyri’-Nya. Kitab suci Al-Quran mejelaskan bahwa merenggut nyawa manusia satu orang saja di muka bumi ini sama nilainya dengan membunuh manusia seluruhnya. Ini berarti, betapa besar hukuman yang harus ditanggung si pembunuh dan betapa berharganya jiwa manusia itu.


Allah tidak pernah menginginkan setiap hamba-Nya berkurban dengan mempersembahkan manusia, dalam arti menghilangkan jiwa manusia untuk kepentingan Allah semata. Buktinya, ketika Nabi Ibrahim mendapatkan perintah Allah untuk menyembelih Ismail. Allah langsung menggantikan Ismail dengan seekor domba meskipun perintah penyembelihan terhadap Ismail itu berulang kali diperintahkan-Nya. Hal ini tentunya mengisyaratkan satu pesan yang sangat universal bahwa menumpahkan darah atas nama Tuhan-pun, membunuh dan menganiaya martabat manusia tidak dibenarkan, karena Tuhan sendiri tidak menginginkannya.


Allah tidak mungkin memerintahkan hamba-Nya untuk melakukan hal yang bertentangan dengan tasyri’-Nya. Menghilangkan nyawa manusia di muka bumi adalah hal yang paling Allah benci dan amat besar dosa yang harus ditanggung bagi si pembunuh. Itu berarti, perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih Ismail, bukan perintah yang wajib dilaksanakan (amr al-Tasyri’), tapi perintah untuk menguji (amr al-Ibtila’) sejauh mana keteguhan, kepasrahan, dan ketaatan Nabi Ibrahim kepada Tuhanya.


Dalam teologi Asyariyah sendiri dikatakan, terkadang Allah SWT memerintahkan sesuatu hal kepada hamba-Nya dengan apa yang Ia (Allah) sendiri tidak pernah menghendakinya. Membunuh sangat bertentangan dengan kemaharahmanan dan kemaharahiman-Nya sebagai Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang. Akal sehat kita pun menimbang bahwa menumpahkan darah manusia dengan alasan apapun dipandang sebagai sesuatu yang kontra-produktif.


Hakikat Kurban

Karena itu, tuduhan yang dilontarkan Rene Gerard bahwa kurban adalah tanda kekerasan tidak memiliki dasar argumentasi yang kuat. Ia hanya melihat pesan yang tersurat tanpa memahami pesan yang tersirat. Di sinilah sepertinya kekeliruan Gerard bermula.


Oleh sebab itu, munculnya aksi kekerasan dan terorisme di belahan dunia dengan mengatasnamakan agama (jihad atau perang suci), merupakan tindakan yang salah kaprah. Pelaku kekerasan harus memahami betul esensi dan hakikat dari agamanya. Sebab, agama pada dirinya tidak pernah mengajarkan umatnya untuk melakukan teror, apalagi mengorbankan nyawa manusia. Dan para Nabi diutus ke muka bumi ini untuk tujuan damai dan menciptakan kesejahteraan bagi umat manusia.


Kekerasan dan teror pada dirinya adalah kejahatan yang merugikan pihak lain. Tindakan ini tidak bisa ditolelir apalagi dilegalkan. Hukum apapun tidak bisa merestui tindakan seperti ini. Secara hukum agama hal tersebut sangat bertentangan dengan misi profetik setiap agama yang membawa kedamaian dan persaudaraan. Hukum adat/tradisi pun menolak tindak kekerasan, karena secara sosiologis masyarakat ingin hidup damai dan sejahtera. Akal sehat kita pun menimbang bahwa kekerasan dengan bentuk apapun bertolak belakang dengan fitrah manusia sebagai mahluk yang suci, pemaaf, dan berbudi pekerti.


Momentum kurban pada tahun ini sejatinya dimaknai sebagai kepasrahan, ketundukan, dan penyerahan diri kepada Tuhan secara totalitas. Di samping itu, maknanya juga sebagai penghormatan yang setinggi-tingginya pada jiwa dan martabat manusia. Bukan membinasakan jiwa manusia dan merendahkan harkat dan martabatnya. Dengan cara demikianlah hakikat ibdah kurban yang sesungguhnya akan kita capai dengan sempurna. Selamat menunaikan ibadah kurban 1430 H.

Minggu, 27 September 2009

Jihad, Teror, dan Puasa

Minggu, September 27, 2009 0

Jumat, 18 September 2009 Suara Karya

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Penulis adalah Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta


Belakangan ini, perhatian pemerintah fokus pada persoalan terorisme. Peledakan bom di Hotel JW Marriott dan The Ritz-Carlton pada 17 Juli lalu menandai betapa aksi kekerasan yang dilakukan kelompok teroris ini masih menebar ancaman bagi segenap warga, tanpa memandang siapa dan dari mana asalnya.


Terorisme pada dasarnya merupakan pembajakan terhadap nilai-nilai luhur keagamaan yang selama ini diyakini. Sikap cinta dan kasih sayang terhadap sesama telah diabaikan begitu saja, malah digantikan dengan bentuk kekerasan yang cukup menakutkan, yang tak jarang mengorbankan nyawa manusia. Secara eksplisit, bom bunuh diri yang terjadi di kedua hotel tersebut dengan jelas menunjukkan ideologi kekerasan yang dikelindankan dengan keagungan ajaran agama yang universal itu. Agama, oleh pengusung ideologi terorisme, hanya dijadikan legitimasi teologis, yang sebenarnya juga sama dengan memolitisasi dan memonopoli tafsir agama untuk kepentingan dan maksud tertentu saja.


Ironisnya, kasus bom bunuh diri, baik yang terjadi di Hotel JW Marriott dan The Ritz-Carlton maupun di berbagai wilayah Nusantara, dengan kentalnya sentimen agama beberapa tahun terakhir ini, selalu berakar pada konsep jihad dalam Islam dan pelakunya beragama Islam. Konsep jihad kerap diartikan sebagai perjuangan fisik yang berbuntut pada penghalalan atas penyerangan, kekerasan, bahkan permusuhan terhadap pihak lain. Pemaknaan jihad sebagai sikap ofensif sebagaimana dipraktikkan para teroris adalah sebuah kesalahan dan krisis keagamaan yang teramat fatal, dan bahkan bisa dikatakan sebagai krisis nurani kemanusiaan.


Distorsi makna jihad sebagai melulu fisik yang amat partikular, pada akhirnya bukan saja terus menodai citra agama (Islam) sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam, melainkan juga terus menghantui umat sebagai kekuatan laten yang destruktif dan traumatis, yang keberadaannya membahayakan pemeluk agama lain. Kalau kita cermati, perjuangan jihad yang ofensif akan membawa dampak yang merugi bagi perkembangan dan kemajuan peradaban Islam itu sendiri. Sebab, jihad sebagai ideologi kekerasan akan terus menutup egokreatif umat dan ijtihad kultural dalam pemberdayaan masyarakat madani.


Ideologi kekerasan yang digunakan untuk melawan musuh peradaban (Barat), yang menjadi alasan para teroris, bukanlah solusi yang tepat. Tuhan pun, secara teologis, selalu tidak membenarkan tindakan kekerasan sebagai perjuangan membela agama yang destruktif dan tanpa sebab. Bukankah dalam Kitab Suci disebutkan bahwa membunuh jiwa orang lain, hakikatnya sama dengan membunuh seluruh umat manusia di muka bumi ini.


Karena itu, konsep jihad selalu harus direkonstruksi sebagai sebuah ajaran yang substansial dan membawa kepada sebuah kemaslahatan bagi umat manusia. Jihad harus diletakkan sebagai sebuah pesan agama yang mengandung makna terdalam. Hermeneutika terhadap jihad adalah pencarian akar atau episteme makna yang ditujukan berdasarkan kemaslahatan umum, bukan untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu, apalagi harus mengorbankan jiwa manusia lainnya tanpa sebab.


Kalau diperhatikan secara saksama, terorisme dalam bentuk yang ultim seperti kasus bom bunuh diri di kedua hotel di atas, hanyalah sisi parsial dari ekstremisme beragama yang harus ditinggalkan. Lalu, bagaimana caranya kita meninggalkan aksi kekerasan tersebut?


Bertepatan dengan momen paling krusial dalam sejarah umat Islam, puasa yang sedang dijalankan umat Islam diharapkan dapat menekan tindak kekerasan yang belakangan ini terjadi di bumi Nusantara. Puasa yang berarti mencegah dan menahan (al-Imsak) juga bisa dijadikan pendidikan prevensi untuk mencegah dan menanggulangi aksi terorisme baik secara lokal maupun berskala internasional.


Hal tersebut sangatlah mungkin, mengingat puasa itu merupakan ibadah yang mendidik umat Islam untuk mencegah dari perbuatan yang sia-sia, apalagi tindakan brutal dan anarkis yang merugikan kemanusiaan dan jiwa. Malapetaka kemanusiaan yang sering kali terjadi di Tanah Air tidak bisa lepas dari jiwa yang kotor, hati yang membatu, dan akal yang jahat. Persoalan kebobrokan rohani ini yang dialami oleh bangsa ini, sehingga dengan mudah dan ringan tangan menghilangkan nyawa manusia tanpa alasan yang jelas.


Ibnu Katsir, ulama abad pertengahan, mengemukakan maksud dari pendidikan prevensi puasa adalah untuk menyucikan diri dari perbuatan yang jahat dan hina. Ramadhan dengan segala keistimewaannya merupakan saat yang tepat dan kesempatan yang baik bagi umat Islam untuk mereposisi perjuangan Islam melawan terorisme dan mengembalikan citra Islam dari klaim "agama teroris". Karena itu, rekonstruksi jihad dalam konteks ibadah puasa sangatlah penting. Jihad harus kita maknai sebagai reformasi moral-spiritual, sebagaimana penyebutan jihad al-akbar oleh Nabi Muhammad.


Momentum puasa adalah saat tepat memperbarui corak keberagamaan kita yang mengarah pada tindak kekerasan. Sudah saatnya corak keberagamaan yang menunjukkan teror dan kekerasan publik (wacana maupun fisik) mesti didekonstruksi sebagai religiusitas yang salah kaprah. Sebaliknya, jihad mesti dibangun sebagai militansi konstruktif ke arah toleransi nirkekerasan yang menggunakan ekspresi halus dan toleran, serta berimplikasi positif dalam memperlakukan yang lain.

Dunia Yang Melengkung dan Krisis Pasar

Minggu, September 27, 2009 0
Dimuat di Majalah Gatra 43 / XV 9 Sep 2009
Oleh Mohamad Asrori Mulky
Anggota International Interreligious Federation World and Peace, dan Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.

Judul Buku : Kiamat Ekonomi Global
Penulis : David M. Smick
Penerbit : Daras Books, Jakarta
Edisi : I, Juni 2009
Tebal : 328 halaman

Sebuah survei yang dilakukan The Wall Street Journal (2007), yang menggunakan para ekonom kelas dunia sebagai responden, mengatakan bahwa Amerika Serikat (AS) kini sedang dalam krisis keuangan. Akibatnya, ekonomi dunia pun di ambang masa kehancuran.

Krisis ekonomi global yang terjadi sekarang ini dinilai oleh sebagian pengamat ekonomi paling buruk, setelah sekitar 80 tahun terakhir pernah mengalami krisis yang sama secara global. Namun keadaan krisis ini bukan karena perang dunia yang terjadi seperti 80 tahun yang lalu, melainkan karena krisis finansial yang dialami Amerika.

Besarnya biaya pembelanjaan militer Amerika menyebabkan krisis ekonomi sejak tahun 2007 lalu. Yang lebih penting lagi, krisis subprime mortgage: kerugian surat berharga property hingga membangkrutkan Merryl Lynch, Goldman Sachs, Northern Rock, UBS, dan Mitsubishi UFJ. Akibatnya, pasar-pasar Asia dan Eropa ambruk. Seketika dunia dihadapkan pada krisis likuiditas besar 2007-2008. Dan dengan cepat pula bank-bank dan institusi finansial dunia lainya berhenti mengeluarkan pinjaman. Deal finansial pun berhenti mendadak. Bahkan kredit dunia ikut-ikutan macet karena tidak ada orang yang yakin dengan liabilitas pihak lain.

Kondisi di atas tentu saja sangat mengkhawatirkan keberlanjutan pasar finansial. Karena itu, David M Smick, mantan penasehat ekonomi para presiden AS dan menjadi CEO Johnson Smick International Inc, melalui bukunya “Kiamat Ekonomi Global” ini mengingatkan akan bahaya pasar finansial. Pasalnya, ketidakpastian dan ketidaklengkapan informasi dalam pasar finansial selalu menciptakan mispersepsi antara pedagang dan investor. Karena itu Smick menghimbau para pelaku pasar agar selalu memahami secara mendalam kebijaksanaan konvensional.

Majalah Gatra


Buku yang diterjemahkan dari bahasa aslinya “The World Is Curved” (dunia yang melengkung) ini merupakan penerus sebanding bagi buku Tom Friedman “The World Is Flat” (dunia yang datar). Dalam “The World Is Flat”, Friedman menggambarkan secara jelas bagaimana tekhnologi digital telah mempersempit jarak antar-negara dan merevolusi rantai suplai global makanan dan jasa. Menurut Friedman, tekhnologi digital membuat orang bisa terlibat dalam bisnis dengan orang lain di belahan dunia lain, dan masing-masing bangsa membawa keunggulan komparatifnya ke atas meja perdagangan dunia.

Sementara dalam “The World Is Curved”, Smick melihat dunia lebih psimistis. Menurutnya, dari sudut pandang pasar finansial, dunia ini tidak rata tapi melengkung. Tidak seperti dunia yang memproduksi barang dan jasa, dalam dunia finansial, tidak ada yang berjalan lurus. Dalam pasar finansial selalu saja dipenuhi informasi tidak pasti dan tidak lengkap, karena kurangnya transparansi. Akibatnya banyak hal yang tidak dipahami oleh para pelaku pasar—investor dan pedagang. Selamanya kita tak akan paham sistem finansial dunia yang dalam satu menit tampak indah, dan pada menit berikutnya bertingkah seakan-akan dunia akan segera berakhir.

Yang lebih menarik dari buku ini, Smick juga mengurai bagaimana manuver-manuver China bisa memperburuk dan memperparah keadaan, mengapa bank-bank sentral di seluruh dunia juga tidak bisa berbuat banyak, dan bagaimana cara para bankir dan bankir investasi yang serakah memiskinkan banyak orang. Sehingga jurang kemiskinan makin melebar dan ketidakadilan merajalela.

Sekali lagi, buku ini fokus menelaah sistem finansial internasional yang rapuh dan mengungkap bahwa sistem ini penuh sengketa dan tidak mudah diperbaiki. Alih-alih datar, dunia baru kita yang terglobalisasi ini agak bergelombang dan melengkung.

Ada tiga alasan mengapa buku ini perlu dibaca. Pertama, buku ini merupakan wawasan luar biasa terhadap isi perut keungan global. Kedua, berbicara soal kerapuhan ekonomi dunia yang sedang menggejala. Dan ketiga, buku ini memberi peta jalan realistis di tengah keporak-porandaan yang kita alami sekarang ini.

Sabtu, 29 Agustus 2009

Puasa dan Perdamaian

Sabtu, Agustus 29, 2009 0

-->
Media Indonesia, Jum’at 21 Agustus 2009
Oleh: Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta
Ali Syari’ati, sosiolog asal Iran dalam bukunya ‘On the Sosiology of I
slam’ menjelaskan, sejarah umat manusia adalah sejarah peperangan dan pertikaian antara dua kubu yang saling berkepentingan. Lebih ekstrim dari itu, Ibn Khaldun, sejarawan Muslim abad pertengahan dalam karya agungnya ‘Muqaddimah’ juga menegaskan, perang dan berbagai bentuk pertarungannya selalu akan terjadi sejak Allah menciptakan dunia”.

Konflik yang terjadi antara Qabil dan Habil, putra Adam As, pada permulaan sejarah manusia merupakan bentuk pertikaian awal dalam episode kehidupan manusia di muka bumi. Dalam rangkaian kehidupan umat manusia selanjutnya, di sini dan di bumi ini, pertarungan tersebut akan terus berkecamuk dalam segala bentuk dan wujudnya yang berbeda-beda. Hal ini semakin menta’kidkan (memperkuat) fakta ilmiah, bahwa kehidupan, manusia dan sejarah didasarkan atas kontradiksi dan pertarungan.

Sehingga dengan begitu bisa dikatakan bahwa seluruh rangkaian sejarah manusia merupakan arena pertarungan antara kelompok Qabil si pembunuh, dan kelompok Habil yang menjadi korbanya. Qabil dan Habil dalam perspektif filsafat sejarah Shari’ati merupakan aktor utama dalam panggung sejarah dunia. Setiap manusia, baik secara individu maupun kolektif akan memilih satu peran di antara dua tokoh besar itu, Qabil atau Habil. Secara tipologis, Qabil berperangai jahat, kasar, dan suka membunuh. Sementara Habil berkepribadian baik, ramah, dan pemaaf.

Media Indonesia


Kekerasan
Melalui teori di atas, kita dapat menarik kesimpulan. Bahwa kekerasan dalam berbagai bentuk dan terornya, merupakan bagian dari perjalanan hidup manusia yang mau tidak mau harus dihadapi dan diselesaikanya, bukan untuk ditinggalkan begitu saja. Karena bagaimanapun juga mahluk yang bernama ‘kekerasan’ ini akan selalu muncul dalam setiap tarikan nafas kehidupan manusia, di saat manusia tidak mampu lagi untuk menundukan dan meletakanya di bawah kuasa akal sehat dan iman kepada Allah SWT.

Sebagai mahluk ciptaan Allah yang dibekali insting, seperti rasa lapar, haus, dan juga rasa aman. Manusia sejatinya memenuhi kebutuhan instingnya itu dengan cara berinteraksi, berkomunikasi dan bersentuhan langsung dengan mahluk di luar dirinya, baik itu tumbuh-tumbuhan, binatang, ataupun manusia sejenisnya. Karena dengan melakukan interaksi keluar, manusia akan memenuhi kebutuhan instingnya itu dengan sempurna. Bukankah manusia adalah mahluk sosial.

Namun demikian, dalam melakukan interaksi ke luar setidaknya manusia akan dihadapkan pada dua pilihan yang harus dihadapinya; ‘perdamaian’ yang melahirkan kesejahteraan atau ‘permusuhan’ yang berpotensi melahirkan kekerasan dan bencana. Perdamaian dan permusuhan yang terjadi di dunia ini laksana dua mata uang yang saling menyertai manusia, sehingga batas antara keduanya sudah tidak lagi dapat diverifikasi dan dibedakan. Sekarang damai, esok maupun lusa bisa saja terjadi peperangan dan pengeboman di mana-mana, seperti yang terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton Jakarta, 17 Juli lalu.

Berkaitan dengan hal di atas tadi, Murthada Muthahari, cendekiawan Islam asal Iran menegaskan, Allah SWT memberikan pada setiap manusia dua buah kecenderungan: fujur (manifestasi kejahatan) dan takwa (manifestasi kebaikan). Dua kecenderungan ini disebut oleh Muthahari sebagai dua dimensi yang selalu berlomba dan berkompetisi untuk mengalahkan satu sama lain. Kekuatan apapun yang muncul dan mendominasi, maka ia akan menjadi cermin dari orang yang bersangkutan.

Jika dimensi Takwa lebih mendominasi dalam sikap dan perilaku seseorang, maka kebaikan, kedamaian, dan sikap saling membutuhkan akan menjadi cermin pribadinya ketika ia berinteraksi keluar. Artinya, antara manusia satu dengan manusia yang lainya memposisikan dirinya sebagai mahluk sosial yang membutuhkan kehadiran akan yang lain.

Sementara fujur akan terjadi sebaliknya, satu sama lain saling mengutamakan ego dan keakuanya, tidak berusahan untuk memahami yang lain, justru menjadikan yang lain sebagai lawan yang harus dimusuhi. Sikap seperti ini sungguh berbahaya, dan sangat berpotensi merusak ketentraman dan kedamaian yang diidam-idamkan banyak pihak. Karena itu, salah satu jalan terbaik bagi kita adalah meninggalkan fujur dan menggantinya dengan takwa.

Lalu bagaimana caranya agar kecenderungan takwa itu lebih mendominasi dalam setiap aktivitas manusia di dunia? Dan bagaimana kita menundukan ego dan kejahatan sebagai manifetasi dari fujur itu?

Berpuasa
Untuk mengarah ke arah sana—dominasi takwa (kebaikan) atas fujur (kejahatan)—ibadah puasa yang akan segera kita (muslim) lakukan pada bulan ini menjadi solusi nyata dalam menangani hal tersebut. Sebab ibadah puasa, sebagaimana al-Quran tegaskan dalam surah al-Baqoroh, ayat 183, yang pengertianya adalah agar manusia meraih derajat takwa sebagai bentuk pengabdin pada Allah SWT. Puasa tidak hanya sebagai wahana yang memediasi hubungan manusia dengan Tuhanya, tapi juga sebagai upaya untuk merajut derajat takwa yang termanifestasi dalam kebaikan dan kedamaian bagi sesama manusia di muka bumi ini.

Kenapa harus dengan puasa? Karena dengan melakukan puasa akan ditempuh sikap; pertama, menahan amarah; kedua, saling memaafkan; dan ketiga, berbuat amal kebajikan. Ketiga hal ini bagi kehidupan manusia menjadi fundamen, di mana poin pertama, kedua, dan ketiga sama pentingnya, dan tidak mungkin untuk dipisahkan.

Menahan diri untuk tidak marah pada sesama adalah suatu kebajikan dan budi pekerti yang terpuji. Tapi, jika sikap ini tidak dibarengi dengan sikap memaafkan, maka tidak bisa digolongkan pada orang yang bertakwa, tapi sebagai orang pendendam dan emosional. Sementara sifat dendam itu sendiri selalu menebarkan benih-benih permusuhan dan kekerasan antar sesama manusia. Begitu pula dengan kita memaafkan orang lain tanpa dilanjutkan dengan kebaikan dan keluhuran amal, tidak dapat digolongkan juga pada orang-orang yang bertakwa, tapi sebagai orang yang munafik. Di mulut memaafkan, tetapi tindakannya menyakitkan. Pandai berjanji, tetapi tidak bisa menepati. Orang seperti itu, hatinya masih dipenuhi dengki dan kebencian.

Puasa Ramadhan sebagai kewajiban bagi umat Islam di seluruh dunia mengandung pesan moral yang sangat luhur, di mana jika dilihat dari sisi kebahasaan puasa berarti “al-imsâk” (menahan). Maka dalam pengertian syariat puasa adalah menahan aneka keinginan pada diri, baik nafsu positif seperti makan, minum, dan bersetubuh dengan istri, maupun nafsu negatif seperti ingin mencacimaki, menggunjing, dan ghibah.

Dengan begitu, pengertian puasa bisa ditarik pada pemahaman untuk menahan diri dari amarah dan murka, memaafkan sesama, dan berbuat kebajikan sosial. Puasa akan meningkatkan kepekaan kita untuk membantu orang lain dan melatih jiwa sosial kita untuk senantiasa peduli terhadap penderitaan orang. Dengan begitu, kedamaian di dunia akan terwujud.

Duduk Perkara di Jalur Gaza

Sabtu, Agustus 29, 2009 0

Koran Jakarta, Kamis 20 Agustus 2009


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.


Judul Buku : Gelegar Gaza

Penulis : Muhsin Labib dan Irman Abdurrahman

Penerbit : Zahra, Jakarta

Edisi : I, Maret 2009

Tebal : 196 halaman


Serangan udara, dan darat yang dilancarkan tentara Israel ke Jalur Gaza selama 22 hari (27 Desember 2008--17 Januari 2009) hingga merenggut lebih dari 1.500 jiwa warga Palestina, mengundang perdebatan cukup alot di kalangan pakar dan analis politik internasional. Pasalnya, duduk perkara di Jalur Gaza tentang siapa yang melakukan serangan terlebih dahulu sampai kini masih simpang siur dan akar permasalahannya masih diperdebatkan.


Sebagian pihak menilai, agresi militer yang dilakukan Israel ke Gaza adalah reaksi atas serangan roket yang diluncurkan anggota Hamas ke pemukiman Yahudi Israel. Sementara di lain pihak menyatakan, serangan roket Hamas merupakan balasan atas serangan tentara Israel yang telah menewaskan enam anggota sayap militer Hamas di Gaza pada 4 November 2008 lalu, atau satu bulan sebelum gencatan senjata resmi berahkhir.


Buku “Gelegar Gaza” yang ditulis oleh Muhsin Labib dan Irman Abdurrahman ini, berupaya mengungkap fakta yang sebenarnya terjadi di balik serangan Israel ke Gaza. Selama ini, informasi yang kita terima lebih memihak pada Israel sebagai kelompok yang diserang dan Hamas pihak yang menyerang. Agar informasi seputar Gaza jadi seimbang, melalui buku ini, kedua penulis berkepentingan untuk meluruskan duduk perkara yang sesungguhnya terjadi di sana. Sehingga dengan begitu kita pun dapat meletakan persoalan Gaza pada proporsinya masing-masing, tidak dimanipulasi oleh pihak tertentu, apalagi dikaburkan kebenaranya.


Secara kronologis, kedua penulis menjelaskan akar persoalan di Gaza dari sejak terbentuknya kesepakatan gencatan senjata selama enam bulan (19 Juni 2008- 19 Desember 2008) hingga meletusnya perang 22 hari. Bagi penulis, serangan 4 November yang dilakukan tentara Israel adalah titik permulaan mengapa perang 22 hari di Gaza meletus.


Meski demikian, Israel tidak ingin dijadikan pihak yang bertanggungjawab dalam perang ini. Mereka tetap saja mengkambinghitamkan Hamas dengan menebar dalih yang cukup klasik, bahwa “Operation Cast Lead” yang dilakukan Israel adalah respon terhadap roket-roket Hamas yang selama bertahun-tahun telah mengganggu tidur warga Israel di wilayah Selatan. Dengan dalih ini, Israel memiliki alasan cukup kuat untuk berperang (jus ad bellum) dengan Hamas sebagai bentuk “pembelaan diri” (sef-defense).


Di atas itu semua, Norman Finkelstein, penulis buku The Holocaust Industry membeberkan motif-motif fundamental Israel di balik serangannya ke Gaza lebih didasari pada dua faktor: Pertama, Israel ingin mengembalikan pamor kekuatan militernya di mata dunia internasional yang telah dicabik-cabik milisi Hizbullah saat perang 34 hari pada tahun 2006. Dalam perang tersebut Israel mengalami kekalahan besar meski menggunakan senjata super canggih dan lengkap.


Kedua, Israel harus mengeliminasi ancaman yang dihadirkan oleh sebuah “dorongan perdamaian” yang ofensif dari pihak Palestina. Dalam konteks ini, Israel cukup khawatir terbentuknya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. Akibatnya, segala bentuk perdamaian yang ditandatangani di meja runding antara Israel dan Palestina selalu mentah, karena Israel sering melanggar kesepakatan itu.


Sekali lagi, buku ini cukup menarik karena tidak saja mengupas akar persoalan agresi Israel ke Gaza, tapi juga menyuguhkan sejarah panjang Palestina, dari sejak tahun sebelum masehi hingga meletusnya perang Gaza 22 hari. Di mana dalam perang tersebut, menurut penulis, dunia Arab seperti Mesir, Riyadh, Amman, dan lainya memberkati dan merestui serangan itu. Buktinya, sehari sebelum agresi, Kantor Berita Fars menyebutkan adanya pertemuan rahasia kepala-kepala negara Arab dengan Pemimpin Otoritas Palestina Mahmoud Abbas di Ramallah, yang tujunya, membicarakan normalisasi hubungan Arab-Israel. Benarkah demikian?


Minggu, 19 Juli 2009

Menjadi Muslim Indonesia yang Berkeadaban

Minggu, Juli 19, 2009 0

SINDO, Minggu, 5 Juli 2009


Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta
.

Judul Buku : Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan

Penulis : Ahmad Syafi’i Ma’arif

Penerbit : Mizan

Edisi : I, Juni 2009

Tebal : 388 halaman


Buku “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan” yang ditulis cendikiawan muslim Indonesia ternama, Buya Ahmad Syafi’I Ma’arif, bermula dari keresahannya melihat kondisi bangsa ini yang semakin terpuruk—bahkan boleh dibilang nyaris terjerembab ke dalam jurang kehancuran yang teramat dahsyat. Di mana janji-janji yang pernah dicita-citakan para pendulum bangsa ini, yaitu menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang adil, makmur, damai, tenteram, merdeka, berdaulat, dan bermartabat sepertinya masih jauh yang diharapkan. Tak heran jika ada yang berani mengatakan, “Indonesia is beyond help”.


Dengan menggunakan pendekatan kesejarahan, penulis mampu memberikan sejumlah informasi yang cukup kaya tentang asal-usul bangsa ini, dan harus kemana bangsa ini dibawa dan dihantarkan kepada jati diri yang sesungguhnya. Karena itu, bagi penulis, pendekatan kesejarahan adalah metode yang tepat melihat pernak-pernik bangsa Indonesia guna meraup kembli serpihan-serpihan kearifan lokal yang selama ini terkubur. Sambil mengutip pendapat Betheran Russel soal konsep sejarah, penulis berkeyakinan bahwa sejarah adalah laboratorium kearifan bagi siapa saja yang ingin mencari mutiara di dalamnya. Sejarah adalah jembatan penghubung masa lampau dengan masa kini, dan sekaligus menunjukan arah ke masa depan yang lebih baik.


Sebagai sebuah negeri yang megah dan kaya raya akan kekayaan alamnya, yang juga memiliki aneka pola budaya yang berbeda-beda. Pandangan relatifistis dan kecenderungan sinkretis yang kuat dari penduduknya, khususnya orang-orang Jawa, menjadikan budaya Indonesia paduan dari unsur-unsur budaya yang ada—animisme, Hinduisme, Budisme, Islam, Kristen, sampai modernisme atau westernisme yang paling mutakhir ini.


Karena itu, sangat sulit sekali bagi pemimpin bangsa Indonesia menggariskan suatu kebijaksanaan kultural tertentu berdasarkan suatu pola kultural tertentu yang sesuai dengan dan dapat diterima oleh seluruh rakyat yang memliki latar belakang kultur dan agama yang berbeda-beda pula. Penetapan kebijaksanaan yang tidak sesuai dan tidak mampu mengakomodir keinginan seluruh rakyat berpotensi menimbulkan gejolak dan kerawanan bertindak ekstrim yang dilakukan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.


Munculya bom Marriot, Bali I dan II, dan bom-bom lainya di bumi Indonesia ini, cukup membuktikan ada sebagian kelompok merasa keinginannya belum diakomodir, baik secara ekonomi, politik, dan keyakinan. Fenomena ini tentunya sangat memprihatinkan, apalagi pelakunya seorang muslim yang taat beragama. Ini menjadi cambuk serta kritik bagi umat Islam Indonesia untuk meluruskan makna Islam sesungguhnya sebagai “rahmatan lil alamin”. Karena itu, penulis melalui buku ini menawarkan cara kebeislaman yang santun dan beradab, yang jauh dari sifat-sifat kekerasan dan penindasan, dan sesuai dengan kondisi dan budaya bangsa Indonesia.


Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan adalah solusi yang ditawarkan penulis. Sebagai bangsa yang multi-kultur dan heterogen, penulis berkeyakinan bahwa penerapan Islam dalam bingkai keindonesiaa, dan kemanusiaan tidak saja bisa berjalan bersama dan seiring, tetapi ketiganya dapat menyatu dan saling mengisi untuk membangun sebuah taman sari yang khas Indonesia, bukan Islam ala Arab, Iran, Turki ataupun Eropa. Ketiga kekuatan nilai itu akan saling mengisi dan melengkapi. Di taman sari ini, watak universal Islam tampil dalam wujud “kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagaimana yang pernah juga diidamkan Soekarno.


Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan haruslah dianyam sedemikian elok dan asri sehingga sub-kultur yang bertebaran yang membentuk Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara merasa aman dan tentram untuk bertahan di Benua Kepulauan ini sampai masa yang tak terbatas. Untuk mewujudkan hal ini, maka bangsa ini harus bangkit kembali secara autentik dengan melahirkan karya besar dan prestasi yang bermutu tinggi dalam lingkungan suasana keadilan dan kesejahteraan yang dapat dirasakan semua. Islam jika dirasakan secara benar dan cerdas akan memberikan dorongan dan sumbangan yang dahsyat untuk mengukuhkan keindonesiaan kita dibawah naungan payung ”ke-Tuhanan Yang Maha Esa” dan “kemanusiaan yang adil dan beradab”, sebagai salah satu manifeatasi iman kita dalam kehidupan bersama sebagai bangsa.


Kelemahan kita sejak Proklamasi, kita tidak serius mengurus dan menata keindonesiaan sehingga pada periode-periode tertentu masih muncul juga ledakan-ledakan sosial yang berlatar belakang politik, ekonomi, etnis, dan sub-kultur yang selalu membawa korban. Karenanya, dalam anyaman kerangka pikir Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan diharapkan agar bangsa ini bersedia menatap dan membaca ulang masa lampaunya untuk kepentingan kekinian, dan esok hari, secara jujur, bertanggung jawab, dan rasa cinta yang mendalam. Umat Islam sebagai umat terbesar di negeri ini memiliki beban tanggung jawab untuk membela agar tetap utuh dan bersatu. Jangan sampai umat Islam Indonesia mendapat julukan mayoritas minus kualitas.


Perlu dicatat, buku ini tidak saja sebagai refleksi dan jawaban penulis terhadap kondisi Islam Indonesia modern yang hampir kehilangan jati dirinya, di samping itu juga tanggapan terhadap peta umat Islam global di dunia, seperti sedang tidak berdaya dalam mengatasi tantangan yang datang bertubi-tubi. Sebuah stagnasi kultural masih sangat dirasakan di seluruh negeri Muslim, seakan-akan prestasi besar bukan lagi menjadi milik mereka. Maka pertanyaan yang mula diajukan penulis adalah mengapa dunia Islam terlalu lama berada di buritan peradaban dan sukar sekali untuk bangkit?


Mengenai pertanyaan ini, penulis mengutip pendapat cendikiawan Muslim asal Pakista, Fazlur Rahman: we live in a different kind of Islam, not in quranic Islam. Bahwa umat Islam dalam keseluruhannya tengah hidup dalam bayang-bayang makna Islam yang semu dan menipu, bukan Islam qurani yang telah diajarkan rasulullah. Sehingga dengan begitu, sistem kehidupan untuk hidup lebih baik sebagai perwujudan diktum “rahmat bagi alam semesta” tidak dapat dipenuhi.


Penulis juga mengoreksi etos kerja umat Islam yang terlalu percaya pada nasib pasif, apatis, dan gampang menyerah. Menurut penulis, sambil mengutip pandangan Mohamad Iqbal, bahwa menyerah diri pada nasib dengan dalih ketentuan takdir (predeterminisme) telah merobek ajaran Islam tentang wajib kerja dan wajib berjuang di muka bumi ini. Karena itu, setiap muslim harus memfungsikan egonya.