Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Sabtu, 29 Agustus 2009

Puasa dan Perdamaian

Sabtu, Agustus 29, 2009 0

-->
Media Indonesia, Jum’at 21 Agustus 2009
Oleh: Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta
Ali Syari’ati, sosiolog asal Iran dalam bukunya ‘On the Sosiology of I
slam’ menjelaskan, sejarah umat manusia adalah sejarah peperangan dan pertikaian antara dua kubu yang saling berkepentingan. Lebih ekstrim dari itu, Ibn Khaldun, sejarawan Muslim abad pertengahan dalam karya agungnya ‘Muqaddimah’ juga menegaskan, perang dan berbagai bentuk pertarungannya selalu akan terjadi sejak Allah menciptakan dunia”.

Konflik yang terjadi antara Qabil dan Habil, putra Adam As, pada permulaan sejarah manusia merupakan bentuk pertikaian awal dalam episode kehidupan manusia di muka bumi. Dalam rangkaian kehidupan umat manusia selanjutnya, di sini dan di bumi ini, pertarungan tersebut akan terus berkecamuk dalam segala bentuk dan wujudnya yang berbeda-beda. Hal ini semakin menta’kidkan (memperkuat) fakta ilmiah, bahwa kehidupan, manusia dan sejarah didasarkan atas kontradiksi dan pertarungan.

Sehingga dengan begitu bisa dikatakan bahwa seluruh rangkaian sejarah manusia merupakan arena pertarungan antara kelompok Qabil si pembunuh, dan kelompok Habil yang menjadi korbanya. Qabil dan Habil dalam perspektif filsafat sejarah Shari’ati merupakan aktor utama dalam panggung sejarah dunia. Setiap manusia, baik secara individu maupun kolektif akan memilih satu peran di antara dua tokoh besar itu, Qabil atau Habil. Secara tipologis, Qabil berperangai jahat, kasar, dan suka membunuh. Sementara Habil berkepribadian baik, ramah, dan pemaaf.

Media Indonesia


Kekerasan
Melalui teori di atas, kita dapat menarik kesimpulan. Bahwa kekerasan dalam berbagai bentuk dan terornya, merupakan bagian dari perjalanan hidup manusia yang mau tidak mau harus dihadapi dan diselesaikanya, bukan untuk ditinggalkan begitu saja. Karena bagaimanapun juga mahluk yang bernama ‘kekerasan’ ini akan selalu muncul dalam setiap tarikan nafas kehidupan manusia, di saat manusia tidak mampu lagi untuk menundukan dan meletakanya di bawah kuasa akal sehat dan iman kepada Allah SWT.

Sebagai mahluk ciptaan Allah yang dibekali insting, seperti rasa lapar, haus, dan juga rasa aman. Manusia sejatinya memenuhi kebutuhan instingnya itu dengan cara berinteraksi, berkomunikasi dan bersentuhan langsung dengan mahluk di luar dirinya, baik itu tumbuh-tumbuhan, binatang, ataupun manusia sejenisnya. Karena dengan melakukan interaksi keluar, manusia akan memenuhi kebutuhan instingnya itu dengan sempurna. Bukankah manusia adalah mahluk sosial.

Namun demikian, dalam melakukan interaksi ke luar setidaknya manusia akan dihadapkan pada dua pilihan yang harus dihadapinya; ‘perdamaian’ yang melahirkan kesejahteraan atau ‘permusuhan’ yang berpotensi melahirkan kekerasan dan bencana. Perdamaian dan permusuhan yang terjadi di dunia ini laksana dua mata uang yang saling menyertai manusia, sehingga batas antara keduanya sudah tidak lagi dapat diverifikasi dan dibedakan. Sekarang damai, esok maupun lusa bisa saja terjadi peperangan dan pengeboman di mana-mana, seperti yang terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton Jakarta, 17 Juli lalu.

Berkaitan dengan hal di atas tadi, Murthada Muthahari, cendekiawan Islam asal Iran menegaskan, Allah SWT memberikan pada setiap manusia dua buah kecenderungan: fujur (manifestasi kejahatan) dan takwa (manifestasi kebaikan). Dua kecenderungan ini disebut oleh Muthahari sebagai dua dimensi yang selalu berlomba dan berkompetisi untuk mengalahkan satu sama lain. Kekuatan apapun yang muncul dan mendominasi, maka ia akan menjadi cermin dari orang yang bersangkutan.

Jika dimensi Takwa lebih mendominasi dalam sikap dan perilaku seseorang, maka kebaikan, kedamaian, dan sikap saling membutuhkan akan menjadi cermin pribadinya ketika ia berinteraksi keluar. Artinya, antara manusia satu dengan manusia yang lainya memposisikan dirinya sebagai mahluk sosial yang membutuhkan kehadiran akan yang lain.

Sementara fujur akan terjadi sebaliknya, satu sama lain saling mengutamakan ego dan keakuanya, tidak berusahan untuk memahami yang lain, justru menjadikan yang lain sebagai lawan yang harus dimusuhi. Sikap seperti ini sungguh berbahaya, dan sangat berpotensi merusak ketentraman dan kedamaian yang diidam-idamkan banyak pihak. Karena itu, salah satu jalan terbaik bagi kita adalah meninggalkan fujur dan menggantinya dengan takwa.

Lalu bagaimana caranya agar kecenderungan takwa itu lebih mendominasi dalam setiap aktivitas manusia di dunia? Dan bagaimana kita menundukan ego dan kejahatan sebagai manifetasi dari fujur itu?

Berpuasa
Untuk mengarah ke arah sana—dominasi takwa (kebaikan) atas fujur (kejahatan)—ibadah puasa yang akan segera kita (muslim) lakukan pada bulan ini menjadi solusi nyata dalam menangani hal tersebut. Sebab ibadah puasa, sebagaimana al-Quran tegaskan dalam surah al-Baqoroh, ayat 183, yang pengertianya adalah agar manusia meraih derajat takwa sebagai bentuk pengabdin pada Allah SWT. Puasa tidak hanya sebagai wahana yang memediasi hubungan manusia dengan Tuhanya, tapi juga sebagai upaya untuk merajut derajat takwa yang termanifestasi dalam kebaikan dan kedamaian bagi sesama manusia di muka bumi ini.

Kenapa harus dengan puasa? Karena dengan melakukan puasa akan ditempuh sikap; pertama, menahan amarah; kedua, saling memaafkan; dan ketiga, berbuat amal kebajikan. Ketiga hal ini bagi kehidupan manusia menjadi fundamen, di mana poin pertama, kedua, dan ketiga sama pentingnya, dan tidak mungkin untuk dipisahkan.

Menahan diri untuk tidak marah pada sesama adalah suatu kebajikan dan budi pekerti yang terpuji. Tapi, jika sikap ini tidak dibarengi dengan sikap memaafkan, maka tidak bisa digolongkan pada orang yang bertakwa, tapi sebagai orang pendendam dan emosional. Sementara sifat dendam itu sendiri selalu menebarkan benih-benih permusuhan dan kekerasan antar sesama manusia. Begitu pula dengan kita memaafkan orang lain tanpa dilanjutkan dengan kebaikan dan keluhuran amal, tidak dapat digolongkan juga pada orang-orang yang bertakwa, tapi sebagai orang yang munafik. Di mulut memaafkan, tetapi tindakannya menyakitkan. Pandai berjanji, tetapi tidak bisa menepati. Orang seperti itu, hatinya masih dipenuhi dengki dan kebencian.

Puasa Ramadhan sebagai kewajiban bagi umat Islam di seluruh dunia mengandung pesan moral yang sangat luhur, di mana jika dilihat dari sisi kebahasaan puasa berarti “al-imsâk” (menahan). Maka dalam pengertian syariat puasa adalah menahan aneka keinginan pada diri, baik nafsu positif seperti makan, minum, dan bersetubuh dengan istri, maupun nafsu negatif seperti ingin mencacimaki, menggunjing, dan ghibah.

Dengan begitu, pengertian puasa bisa ditarik pada pemahaman untuk menahan diri dari amarah dan murka, memaafkan sesama, dan berbuat kebajikan sosial. Puasa akan meningkatkan kepekaan kita untuk membantu orang lain dan melatih jiwa sosial kita untuk senantiasa peduli terhadap penderitaan orang. Dengan begitu, kedamaian di dunia akan terwujud.

Duduk Perkara di Jalur Gaza

Sabtu, Agustus 29, 2009 0

Koran Jakarta, Kamis 20 Agustus 2009


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.


Judul Buku : Gelegar Gaza

Penulis : Muhsin Labib dan Irman Abdurrahman

Penerbit : Zahra, Jakarta

Edisi : I, Maret 2009

Tebal : 196 halaman


Serangan udara, dan darat yang dilancarkan tentara Israel ke Jalur Gaza selama 22 hari (27 Desember 2008--17 Januari 2009) hingga merenggut lebih dari 1.500 jiwa warga Palestina, mengundang perdebatan cukup alot di kalangan pakar dan analis politik internasional. Pasalnya, duduk perkara di Jalur Gaza tentang siapa yang melakukan serangan terlebih dahulu sampai kini masih simpang siur dan akar permasalahannya masih diperdebatkan.


Sebagian pihak menilai, agresi militer yang dilakukan Israel ke Gaza adalah reaksi atas serangan roket yang diluncurkan anggota Hamas ke pemukiman Yahudi Israel. Sementara di lain pihak menyatakan, serangan roket Hamas merupakan balasan atas serangan tentara Israel yang telah menewaskan enam anggota sayap militer Hamas di Gaza pada 4 November 2008 lalu, atau satu bulan sebelum gencatan senjata resmi berahkhir.


Buku “Gelegar Gaza” yang ditulis oleh Muhsin Labib dan Irman Abdurrahman ini, berupaya mengungkap fakta yang sebenarnya terjadi di balik serangan Israel ke Gaza. Selama ini, informasi yang kita terima lebih memihak pada Israel sebagai kelompok yang diserang dan Hamas pihak yang menyerang. Agar informasi seputar Gaza jadi seimbang, melalui buku ini, kedua penulis berkepentingan untuk meluruskan duduk perkara yang sesungguhnya terjadi di sana. Sehingga dengan begitu kita pun dapat meletakan persoalan Gaza pada proporsinya masing-masing, tidak dimanipulasi oleh pihak tertentu, apalagi dikaburkan kebenaranya.


Secara kronologis, kedua penulis menjelaskan akar persoalan di Gaza dari sejak terbentuknya kesepakatan gencatan senjata selama enam bulan (19 Juni 2008- 19 Desember 2008) hingga meletusnya perang 22 hari. Bagi penulis, serangan 4 November yang dilakukan tentara Israel adalah titik permulaan mengapa perang 22 hari di Gaza meletus.


Meski demikian, Israel tidak ingin dijadikan pihak yang bertanggungjawab dalam perang ini. Mereka tetap saja mengkambinghitamkan Hamas dengan menebar dalih yang cukup klasik, bahwa “Operation Cast Lead” yang dilakukan Israel adalah respon terhadap roket-roket Hamas yang selama bertahun-tahun telah mengganggu tidur warga Israel di wilayah Selatan. Dengan dalih ini, Israel memiliki alasan cukup kuat untuk berperang (jus ad bellum) dengan Hamas sebagai bentuk “pembelaan diri” (sef-defense).


Di atas itu semua, Norman Finkelstein, penulis buku The Holocaust Industry membeberkan motif-motif fundamental Israel di balik serangannya ke Gaza lebih didasari pada dua faktor: Pertama, Israel ingin mengembalikan pamor kekuatan militernya di mata dunia internasional yang telah dicabik-cabik milisi Hizbullah saat perang 34 hari pada tahun 2006. Dalam perang tersebut Israel mengalami kekalahan besar meski menggunakan senjata super canggih dan lengkap.


Kedua, Israel harus mengeliminasi ancaman yang dihadirkan oleh sebuah “dorongan perdamaian” yang ofensif dari pihak Palestina. Dalam konteks ini, Israel cukup khawatir terbentuknya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. Akibatnya, segala bentuk perdamaian yang ditandatangani di meja runding antara Israel dan Palestina selalu mentah, karena Israel sering melanggar kesepakatan itu.


Sekali lagi, buku ini cukup menarik karena tidak saja mengupas akar persoalan agresi Israel ke Gaza, tapi juga menyuguhkan sejarah panjang Palestina, dari sejak tahun sebelum masehi hingga meletusnya perang Gaza 22 hari. Di mana dalam perang tersebut, menurut penulis, dunia Arab seperti Mesir, Riyadh, Amman, dan lainya memberkati dan merestui serangan itu. Buktinya, sehari sebelum agresi, Kantor Berita Fars menyebutkan adanya pertemuan rahasia kepala-kepala negara Arab dengan Pemimpin Otoritas Palestina Mahmoud Abbas di Ramallah, yang tujunya, membicarakan normalisasi hubungan Arab-Israel. Benarkah demikian?