Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 18 Januari 2010

Membaca Skandal Bank Century

Senin, Januari 18, 2010 0
Dimuat di Koran Jakarta, Senin, 18 Januari 2010

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Aktivis Lembaga Studi Islam dan Kultur (LSIK) Ciputat

Judul Buku : Century Gate; Refleksi Ekonomi-Politik Skandal Bank Century

Penulis : Herdi Sahrasad

Penerbit : Freedom Foundation dan YIB (Yayasan Indonesia Baru)

Cetakan : I, Desember 2009

Tebal : xiv + 336 halaman


Dalam buku yang ditulis dengan gaya jurnalisme ini, Herdi Sahrasad mencoba mendedahkan dan meletakan duduk perkara soal kasus Bank Century yang hingga kini masih saja ramai diperbincangkan.


Kasus skandal Bank Century yang terus menggelinding ke sana kemari, mengingatkan kita pada berbagai skandal masa lalu seperti Bank Duta dan BLBI era Orba (Orde Baru) dan Bank Bali era transisi BJ Habibie.


Pertanyaanya, mengapa pada kasus Century timbul gejolak antar pemegang kepentingan, terutama pemerintah dan BI? Ke mana aliran dana bailout Century itu mengalir?


Dalam buku yang ditulis dengan gaya jurnalisme ini, Herdi Sahrasad mencoba mendedahkan dan meletakkan duduk perkara soal kasus Bank Century yang hingga kini masih saja ramai diperbincangkan, baik oleh kalangan intelektual, pengamat, akademisi, LSM, pejabat pemerintah, hingga masyarakat awam, utamanya soal motif dan ke mana dana talangan itu dikucurkan.


Penulis sadar bahwa kasus Century adalah kasus kontroversial dan sangat musykil, yang melibatkan jajaran pejabat negara. Karena itu, agar kasus ini tidak hanya dikonsumsi kelas menengah ke atas, dapat dipahami oleh semua kalangan, penulis menggunakan bahasa yang mudah dan renyah—atau dalam istilah penulis sendiri menggunakan “teks jurnalisme politik” karena memang tujuanya untuk khalayak umum. Dalam buku ini, penulis melacak akar persoalan Century.


Menurutnya, gejolak itu muncul karena pemerintah melalui Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) mengeluarkan uang untuk merekap Bank Century yang sebenarnya sudah default (gagal) senilai 6,7 triliun rupiah. Padahal, tanpa ada bantuan dari negara, dalam arti jika Bank Century ditutup saat itu, tidak akan berpengaruh signifi
kan pada ekonomi nasional seperti yang dikhawatirkan selama ini.


Hal ini disebabkan, kata penulis, bank tersebut hanyalah bank kecil yang hanya memiliki aset sekitar 0,72 persen dari aset perbankan nasional saat ini. Persoalan juga muncul ketika DPR dalam kasus ini merasa dilangkahi oleh pemerintah. Karena pada awalnya pemerintah dan DPR hanya bersepakat untuk mengeluarkan uang hanya senilai 1,3 triliun rupiah, tidak lebih dari itu. Tapi dalam kenyataanya lebih besar dari itu, bahkan sekarang muncul dugaan bukan hanya 6,7 triliun rupiah, melainkan 9 triliun rupiah.


Angka yang besar ini jelas di luar kesepakatan yang telah disepakati. Sebagai langkah solutif, penulis menawarkan, agar suntikan dana segar ke Bank Century sebesar 6,7 triliun rupiah harus tetap dipertanggungjawabkan kepada publik oleh pemerintah dan BI.


Hal ini lebih penting daripada penjelasan soal krisis sistemik pada perbankan. Adapun prosesnya adalah melakukan investigasi secara tuntas oleh BPK dan kemudian diproses secara hukum. Proses ini jauh lebih penting daripada hanya sekadar meminta mundur pejabat yang bertanggung jawab seperti Menkeu Sri Mulyani. Perdebatan soal sistemik atau tidak juga tidak menyelesaikan masalah.


Minggu, 10 Januari 2010

Ternyata Atlantis Itu di Indonesia

Minggu, Januari 10, 2010 0

-->Dimuat di Jawa Pos/Indo Pos, Minggu 10 Januari 2010
Oleh Mohamad Asrori Mulky
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Judul buku : Atlantis; The Lost Continent Finally Found
Penulis : Prof Arysio Santos
Penerbit : Ufuk Press, Jakarta
Cetakan : I, November 2009
Tebal : iv + 677 halaman

CERITA mengenai keberadaan Benua Atlantis hingga kini terus menjadi misteri sejak dideskripsikan filsuf Yunani, Plato, pada ribuan tahun lalu dalam dua dialognya, ''Timaeus'' dan ''Critias". Tak hanya Plato, penulis kuno klasik lainnya seperti Homer, Hesiod, Pindar, Orpheus, Appolonius, Theopompos, Ovid, Pliny si tua, Diodorus Siculus, Strabo, dan Aelian juga ikut meramaikan soal keberadaan Atlantis.

Kenyataan ini pada akhirnya memunculkan perdebatan tak kunjung usai di kalangan saintis klasik dan modern. Bahkan, masing-masing meletakkan Atlantis di tempat yang mereka yakini sesuai dengan hasil temuannya seperti Al-Andalus, Kreta, Santorini, Siprus, Timur Tengah, Malta, Sardinia, Troya, Antartika, Australia, Kepulauan Azores, Tepi Karibia, Bolivia, Laut Hitam, Inggris, Irlandia, Kepulauan Canary, Tanjung Verde, Isla de la Juventud dekat Kuba, dan Meksiko.

Pandangan yang paling mutakhir mengenai Atlantis -dan sangat mengejutkan kita- datang dari seorang geolog dan fisikawan nuklir asal Brazil Prof Arysio Santos. Dia membantah tesis di atas dan meyakini bahwa Atlantis yang pernah digambarkan Plato sebagai sebuah negara makmur dengan kekayaan emas, batuan mulia, dan mother of all civilization dengan kerajaan berukuran benua yang menguasai pelayaran, perdagangan, menguasai ilmu metalurgi, memiliki jaringan irigasi, dengan kehidupan berkesenian, tarian, teater, musik, dan olahraga itu adalah Indonesia.

Kesimpulan Santos yang merujuk pada pandangan Plato bukan tanpa pertimbangan kuat. Selama 30 tahun ia melakukan studi dan penelitian. Selama itu pula hidupnya dipergunakan untuk mengungkap letak Atlantis yang sebenarnya. Hasil penelitiannya itu kemudian ia tulis dalam buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato's Lost Civilization. Untuk memperkuat argumentasinya, Santos juga merujuk pada tradisi-tradisi suci tentang mitos banjir besar yang melanda seluruh dunia.

Jawa Pos/Indo Pos
Dalam buku ini, secara tegas Santos menyatakan bahwa lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11.600 tahun yang lalu itu adalah di Indonesia. Selama ini, benua yang diceritakan Plato 2.500 tahun yang lalu itu adalah benua yang dihuni oleh bangsa Atlantis. Mereka memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan alamnya yang sangat kaya, yang kemudian hilang tenggelam ke dasar laut oleh bencana banjir dan gempa bumi. Itu terjadi sebagai hukuman dari Tuhan atas keserakahan dan keangkuhannya.

Dengan menggunakan perangkat ilmu pengetahuan mutakhir seperti geologi, astronomi, paleontologi, arkeologi, linguistik, etnologi, dan comparative mythology, Santos juga mengungkap sebab-sebab hilangnya Atlantis dari muka bumi. Dia pun membantah hipotesis yang menyatakan bahwa musnahnya Atlantis disebabkan tabrakan meteor raksasa yang disebabkan oleh komet dan asteroid. Menurut Santos, tabrakan di luar angkasa itu adalah order of magnitude yang lebih jarang terjadi bila dibandingkan dengan letusan gunung berapi.

Hipotesis lain yang dibantah Santos adalah tesis yang mengatakan Atlantis musnah disebabkan pergeseran kutub dan memanasnya Antartika pada zaman es. Menurut Santos, fenomena seperti itu mustahil terjadi pada masa lalu jika dilihat dari sisi fisik dan geologisnya.

Musnahnya Atlantis, menurut Santos, lebih disebabkan banjir mahadahsyat yang menenggelamkan hampir seluruh permukaan dunia, yang membinasakan 70 persen penduduk dunia -termasuk di dalamnya binatang. Yang memegang peran penting dalam bencana tersebut adalah letusan Gunung Krakatau dan Gunung Toba, selain puluhan gunung berapi lainnya yang terjadi hampir dalam waktu yang bersamaan.

Bencana alam beruntun itu, kata Santos, dimulai dengan ledakan dahsyat Gunung Krakatau, yang memusnahkan seluruh gunung itu sendiri, dan membentuk sebuah kaldera besar, yaitu Selat Sunda, hingga memisahkan Pulau Sumatera dan Jawa. Letusan tersebut menimbulkan tsunami dengan gelombang laut yang sangat tinggi, yang kemudian menutupi dataran rendah antara Sumatera dengan Semenanjung Malaysia, antara Jawa dan Kalimantan, serta antara Sumatera dan Kalimantan. Bencana besar itu disebut Santos sebagai ''Heinrich Events''.

Abu hasil letusan gunung Krakatau yang berupa fly-ash naik tinggi ke udara dan ditiup angin ke seluruh bagian dunia yang pada masa itu sebagian besar masih ditutup es (zaman es pleistosen). Abu itu kemudian turun dan menutupi lapisan es. Karena adanya lapisan abu, es kemudian mencair sebagai akibat panas matahari yang diserap oleh lapisan abu tersebut. Gletser di Kutub Utara dan Eropa kemudian meleleh dan mengalir ke seluruh bagian bumi yang rendah, termasuk Indonesia.

Banjir akibat tsunami dan lelehan es itulah yang mengakibatkan air laut naik sekitar 130 hingga 150 meter di atas dataran rendah Indonesia. Dataran rendah di Indonesia tenggelam di bawah permukaan laut, dan yang tinggal adalah dataran tinggi dan puncak-puncak gunung berapi. Tekanan air yang besar itu menimbulkan tarikan dan tekanan yang hebat pada lempeng-lempeng benua, yang selanjutnya menimbulkan letusan-letusan gunung berapi dan gempa bumi yang dahsyat. Akibatnya adalah berakhirnya zaman es pleistosen secara dramatis.

Terlepas dari benar atau tidaknya teori tersebut, atau dapat dibuktikannya atau tidak kelak keberadaan Atlantis di bawah laut di Indonesia, teori Santos sampai saat ini ternyata mampu menarik perhatian orang luar ke Indonesia. Kalau ada yang beranggapan bahwa kualitas bangsa Indonesia sekarang sama sekali ''tidak meyakinkan'' untuk dapat dikatakan sebagai nenek moyang dari bangsa-bangsa maju yang diturunkannya, ini adalah suatu proses dari hukum alam tentang masa keemasan dan kemunduran suatu bangsa.

Minggu, 03 Januari 2010

Paradoks Pemikiran George Soros

Minggu, Januari 03, 2010 0
Dimuat di Koran Jakarta, 04 Januari 2010

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramdina Jakarta


Judul : George Soros; Selalu Membaca Pasar & Menang

Penulis : George Soros

Penerbit : Daras Books, Jakarta

Tahun : I, November 2009

Tebal : 348 Halaman


Sebagai salah satu spekulan valuta asing terbesar dunia, George Soros dituduh penyebab krisis
yang menimpa ekonomi dunia, terutama di Asia Tenggara tahun 1997. Di sisi lain, ia dikenal dermawan melalui Open Society Institute yang ia dirikan, yang tugasnya membantu gerakan prodemokrasi dan mempromosikan konsep masyarakat terbuka. Pada titik inilah pemikiran Soros terlihat paradoks.

Buku ini berawal dari serangkaian wawancara dengan Soros yang dilakukan Kristzina Koene, wartawan di Frankfurter Allgemeine Zeitung, dan Byron Wien, sahabat karib Soros yang juga ahli strategi investasi untuk Morgan Stanley. Sebagai buku hasil wawancara, tentunya banyak hal yang belum sempat disampaikan Soros dalam wawancara tersebut. Karena itu, untuk melengkapi data dan informasi soal konsep, pemikiran dan riwayat hidup, Soros harus memoles kembali hingga menjadi seperti dialog Socrates.

Dalam salah satu wawancara, Soros mencoba menanggapi tuduhan yang dialamatkan kepadanya soal krisis 1997. Menurutnya, krisis yang terjadi saat itu tidak semua kesalahan harus dilimpahkan kepadanya. Justru pemerintahlah yang harus bertanggung jawab, karena mereka berurusan dengan pasar. Sementara Soros, menurutnya, adalah bagian kecil dari pasar. Sebagai spekulan ia hanya bisa menebak apa yang akan terjadi di pasar.

Karena itu, menurut Soros, konsep kapitalisme global yang diterapkan di hampir seluruh negara harus direformasi. Menurutnya, meskipun kapitalisme sudah menjadi sistem global dan dipakai oleh banyak negara dunia, namun dalam kenyataanya konsep tersebut sedang mengalami krisis, dan keberadaanya sangat membahayakan konsep masyarakat terbuka yang sedang ia perjuangkan.

Bagi Soros, kapitalisme telah menimbulkan fragmentasi anarki produksi dan ketidakstabilan dalam perkembangan ekonomi. Hal ini ditandai dengan gulung tikarnya industri kecil yang ditelan oleh industri besar dan persaingan yang saling menghancurkan dalam produk dan pemasaran. Keberadaan ini pada masa-masa tertentu dapat menimbulkan persoalan sosial yang akut, bahkan juga perang, konflik dan krisis yang berkepanjangan.

Praktik dari sistem kapitalisme menekankan persaingan dan mengukur keberhasilanya dalam terminologi uang. Sehingga apapun bidangnya, baik hukum, politik, budaya, pendidikan, bahkan hal-hal yang bersifat pribadi sekali-pun, telah dikonversi ke dalam terminologi uang. Karena itu, reformasi sistem kapitalisme yang ditawarkan Soros harus sejalan dengan konsep masyarakat terbuka, atau kapitalisme yang sejalan dengan nilai-nilai demokrasi.

Konsep masyarakat terbuka yang diajukan Soros diinsiprasi oleh Karl Popper, dosen dan profesor filsafat, ketika ia masih menjadi mahasiswa di London School of Economics. Masyarakat terbuka menurut Soros didasarkan pada pengakuan bahwa kita semua bertindak atas dasar pemahaman tak sempura. Tak seorang pun memiliki kebenaran utama seperti yang diidealkan ideologi fasisme dan komunisme (masyarkat tertutup). Dalam masyarakat terbuka dibutuhkan penjunjungan kebebasan dan hak asasi manusia, supremasi hukum, dan kesadaran tanggung jawab dan keadilan sosial. Bahwa kita semuanya bermula dari pemahaman tak sempurna.

Buku ini selain memuat materi wawancara yang mendalam mengenai konsep, pemikiran, dan riwayat hidup Soros hingga ia menjadi orang sukses di dunia, juga menyajikan halaman apendiks yang memuat tulisan-tulisan pilihan Soros.