Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Minggu, 30 Mei 2010

Meruntuhkan Budaya Patriarkhi Lewat Ilmu Medis

Minggu, Mei 30, 2010 0

BUDAYA patriarkhi meyakini laki-laki sebagai mahluk superior daripada perempuan. Namun, Marianne J. Legato, professor dari Colombia University membantah tesis itu lewat buku ini. Ia menyimpulkan, laki-laki secara medis tidak lebih superior daripada perempuan. Sebab sifat alamiah laki-laki rapuh dan sebagian besar meninggal lebih cepat dibandingkan dengan perempuan.

Penyakit jantung yang diderita laki-laki lanjut usia merupakan salah satu penyebabnya. Namun, pada usia muda-pun, “pintu” kematian datang lebih cepat melalui beberapa penyakit, seperti kanker, depresi, stres, dan penuaan dini.

Salah satu penyebab biologisnya adalah gen. Kaum hawa memiliki dua kromosom X, sedangkan laki-laki hanya satu. Akibatnya, cacat bawaan yang terkandung dalam mutasi salah satu kromosom bisa di-cover oleh kromosom yang lain.

Hasil penelitiannya juga membuktikan betapa sistem kekebalan tubuh pada mereka sangat rentan. Laki-laki memiliki kemungkinan terserang penyakit jantung koroner pada pertengahan usia 30-an tahun, 15, sampai 20 tahun lebih awal daripada perempuan. Kaum adam juga memiliki kemungkinan meninggal akibat penyakit dua kali lebih besar dibandingkan dengan perempuan.

Penelusuran William R. Hazzard, Ketua Department of Internal Medicine di Bowman Gray School of Medicine of Wake Forest University, Winston-Salem, North Carolina, menyimpulkan hal sama. Cuma, penelitianya tidak semata fokus pada manusia, melainkan juga pada binatang (zoologi). Terbukti, umur jantan pada kera, burung kenari, katak, dan lainya jauh lebih pendek dari betina. William mengklaim, temuanya itu juga merupakan hal yang universal dalam zoologi.

--------------------------------------------------------------------

 

Dimuat di MAJALAH GATRA, edisi 20-26 Mei 2010 

 

Oleh Mohamad Asrori Mulky, Anggota International Interreligious Federation World and Peace, dan Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.


 

Judul : Why Men Die First

 

Penulis : Marianne J. Legato

 

Penerbit : Daras Books

 

Tahun : I, Januari 2010

 

Tebal : 282 halaman

 

Minggu, 16 Mei 2010

Tragedi Pemusnahan Etnis 1740

Minggu, Mei 16, 2010 0

Tahun 1740 merupakan tahun paling kelam bagi warga Tionghoa di Batavia (Jakarta) waktu itu. Tidak kurang dari 10 ribu warga Tionghoa—pria, perempuan, lansia hingga bayi yang baru lahir— dibunuh VOC secara kejam tanpa belas kasihan.

Semua orang Tionghoa, baik bersalah maupun tidak, dibantai dalam peristiwa tersebut. Tragedi kemanusiaan itu akhirnya memaksa seorang akademisi dari Belanda, Johannes Theodorus Vermelulen, meneliti lebih lanjut akar persoalan meletusnya peristiwa 1740 itu.

Buku Tinghoa di Batavia dan Huruhara 1740 merupakan hasil penelitian Vermelulen tersebut. Ketajaman analisis dan keakuratan datanya telah menjadikan buku ini rujukan utama, terutama bagi siapa saja yang ingin mendapatkan kajian akademis terlengkap dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai tragedi kemanusiaan yang menimpa warga Tionghoa di Batavia.

Penelitian Vermelulen dianggap berhasil menggambarkan tragedi berdarah yang menimpa warga Tinghoa bukan sekadar pada objektivitas peristiwanya, tetapi juga pada penyebab, jalan peristiwa, orang-orang, dan lembaga-lembaga yang terlibat, kondisi psikologis zaman, dampak dan sebagainya.

Deskripsi dan data akurat yang diungkap Vermelulen menunjukkan bahwa peristiwa itu memang layak dicatat sebagai lembaran hitam dalam pengalaman sejarah kehidupan orang Tionghoa di Indonesia. Tragedi 1740 bermula ketika pemerintah VOC dan imigran Tionghoa di Jakarta saling menyalakan bara api.

Tepatnya ketika dengan tiba-tiba harga gula di pasaran internasional menurun drastis akibat membeludaknya gula Malabar (India). Hal itu membuat pabrik-pabrik gula yang ada di Batavia mengalami kebangkrutan besar-besaran sehingga banyak warga Tionghoa yang sedang mencari peruntungan di Batavia kesusahan.

Dari jumlah 80 ribu orang, sebagian besar menjadi pengangguran dan gelandangan. Dampaknya, jumlah kriminalitas di Batavia makin meningkat tajam.

Kemudian, VOC membuat peraturan baru, yaitu membatasi kedatangan warga Tionghoa ke Batavia. Mereka yang tinggal di Batavia harus memiliki izin tinggal, berusaha, atau berdagang.

Tapi, bagi para pejabat VOC, hal itu justru dijadikan kesempatan untuk melakukan pungli besar-besaran. Akibatnya, muncul perlawanan dari warga Tionghoa di Batavia dan sekitarnya.

Mereka lantas membentuk kelompok-kelompok terdiri dari 50 sampai 100 orang dan mempersenjati diri untuk melawan Belanda. Perlawanan itu menjadi alasan bagi tentara dan pegawai-pegawai VOC untuk melakukan tindakan semenamena terhadap etnis Tionghoa. Pada 10 Oktober 1740, Gubernur Jenderal Adrian Volckanier mengeluarkan surat perintah untuk membunuh dan membantai orang-orang Tionghoa.

Buku ini membuktikan bahwa ternyata Jakarta sebagai kota yang berumur lebih dari 400 tahun pernah menjadi saksi bisu terjadinya pembantaian berdarah terhadap warga Tionghoa yang dilakukan VOC.

----------------------------------------------------------------------------

 

Dimuat di Koran Jakarta, Jumat, 14 Mei 2010

Mohamad Asrori Mulky, peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta


Judul : Tionghoa di Batavia dan Huru Hara 1740 Penulis : Johannes Theodorus Vermeulen Cetakan : I, Januari 2010 Penerbit : Komunitas Bambu Tebal : xxx + 146 hlm