Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Rabu, 13 September 2017

Godfather Menggenggam Asia

Rabu, September 13, 2017 1
Asian Godfathers/SINDO
Oleh: Mohamad Asrori Mulky* 
Seputar Indonesia | Minggu, 29 Maret 2009 | 

Istilah "godfather" pertama kali diperkenalkan oleh Mario Puzo dalam novelnya, The Godfather, yang berkisah tentang seorang tokoh Vito Corleone.

Tokoh ini sangat dihormati, dicintai, sekaligus ditakuti dan dibenci oleh kawan maupun lawan-lawannya. Meski sebagai mafia penguasa New York, Vito dari Sisilia-Italia ini menolak tradisi balas dendam. Kenyataan seperti itu tentu tidak lazim dilakukan dalam dunia mafia yang identik dengan aksi barbarisme, anarkisme, dan brutalisme terhadap kelompok di luar mereka.

Berbeda dengan buku The Godfather karya Mario Puzo, buku Asian Godfathers karya Joe Studwell lebih menggambarkan tradisitradisi paternalisme, kekuasaan laki-laki, penyendirian, dan mistik yang benar-benar menjadi bagian dari kisah para taipan Asia dari dulu hingga kini.

Karya ini bermaksud menunjukkan pada pembaca bahwa ada mitologi lain yang tumbuh di antara para taipan-taipan Asia, yang besar dan tak tersentuh. Dalam buku ini, Studwell tidak menilai keseluruhan taipan Asia (godfather) sebagai spesies yang benar-benar berhati dengki dan terlibat dalam sejumlah kejahatan terorganisas--meski kenyataannya ada sebagian dari mereka terlibat kejahatan terorganisasi tersebut.

Karena itulah para taipan Asia ini sulit dijangkau dan diverifikasi. Bila kita perhatikan lebih mendalam, seluruh rangkaian legenda yang terjadi di Asia, khususnya kawasan Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Indonesia, Hong Kong, dan Filipina mengandung sejumlah submitos tentang ras, budaya, genetika, entrepreneuralisme, dan keseluruhan dasar dari kemajuan ekonomi kawasan ini sejak akhir kolonialisme.

Koran Sindo


Maka, dalam pengertian seperti inilah buku Asian Godfathers merupakan kebalikan dari The Godfather-nya Mario Puzo. Dalam sejarah Asia Tenggara, seluruh perekonomian di kawasan ini sepenuhnya dikendalikan oleh segelintir konglomerat atau taipan. Umumnya mereka itu dikenal sebagai godfather Asia.

Menurut Studwell, pada 1990-an, mereka termasuk delapan dari 25 orang terkaya di dunia. Sebut saja misalnya Li Ka-shing, sang miliuner Hong Kong; Stanley Ho, bandar kasino di Macau; Lim Goh Tong, pemilik Genting Highland Resort yang sangat besar di Malaysia; Lucio Tan, miliuner tembakau di Filipina; atau para konglomerat Indonesia, dari Achmad Bakrie, Haji Kalla, Eka Tjipta Widjaya, hingga Tommy Winata.

Dalam buku ini, Studwell memberi analisa yang menarik tentang awal kemunculan para godfather Asia. Menurutnya, lanskap ekonomi kontemporer Thailand, Malaysia, Indonesia, Filipina, Singapura, dan Hong Kong dibentuk oleh interaksi antara dua kekuatan sejarah, yaitu migrasi dan kolonialisme.

Kehadiran kaum imigran ke daerah-daerah Asia ini, seperti India, China, dan Arab, mendahului kaum kolonial Eropa. Mereka datang ke kawasan Asia tidak saja melibatkan diri dalam urusan perdagangan, tapi juga dalam kegiatan- kegiatan lainnya. Di Thailand, sejak abad ke-16 kaum imigran dipekerjakan dalam berbagai pekerjaan yang disetujui oleh pengadilan.

Orang-orang Persia dan China mengoperasikan monopoli- monopoli perdagangan dan jasa pengumpulan pajak. Hingga abad ke-18, orang-orang China tercatat bekerja untuk pengadilan Thailand sebagai administrator dan akuntan. Fenomena ini juga tak jauh berbeda terjadi di Pulau Jawa di Indonesia.

Tercatat dengan jelas bahwa para pengusaha China memasuki manajemen administratif dan pengelolaan monopoli bersama kaum aristokrat Jawa sebelum kedatangan orang-orang Eropa pada abad ke-16. Sementara itu, kedatangan kaum kolonial Eropa, yang muncul pada abad ke-16, namun tidak ekspansionis secara agresif hingga abad ke-19, memperkuat kecenderungan yang sudah tampak.

Kaum kolonial berusaha berkuasa melalui elite-elite yang ada, baik secara politik maupun ekonomi. Mereka merepresentasikan diri sebagai penguasa tertinggi sehingga para pemimpin politik dan ekonomi lokal mau tidak mau membutuhkan mereka dan begitu pula sebaliknya. Bagi para imigran yang ambisius, baik dari China, Arab, dan Persia, kehadiran orang Eropa merupakan momentum tepat untuk mengakulturasi diri mereka dengan para penguasa baru itu yang merepresentasikan diri sebagai kekuatan dominan.

Di Indonesia, para taipan China mendapat perlakuan yang istimewa dari Belanda sehingga lama kelamaan orang China menjadi godfather di negeri ini. Perlu diketahui, terutama di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, perkembangan ekonominya merupakan produk dari kekuatan politik dan ekonomi yang berkembang di era kolonial dengan setumpuk karakter yang berbeda pascakolonial.

Dalam hubungan ini, elite politik memberikan kepada elite ekonomi konsesi-konsesi monopoli ekonomi. Para taipan di setiap kawasan Asia Tenggara, secara keseluruhan cenderung melayani kepentingan politik dan para elitenya. Mereka—godfatehr—mendapatkan kekayaan personal yang besar dari hubungan itu, namun mereka tidak banyak memberikan kemajuan ekonomi secara keseluruhan. 

Maka, pada titik inilah kawasan Asia Tenggara memiliki kelemahan besar dalam pembangunan politik dan institusional, yang membuat kawasan ini mengalami kehancuran yang sangat akut. Sebagian besar dari problem itu belum bisa teratasi dalam satu dekade sejak krisis melanda seluruh kawasan itu.(*)

* Mohamad Asrori Mulky, Deputi Direktur Freedom Foundation Jakarta dan peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina.

_________________________________
Judul      : ASIAN GODFATHERS (Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa)
Penulis          : Joe Studwell
Genre            : Ekonomi
Penerjemah   : Yanto Musthofa
Editor             : Julie Indahrini
Cetakan         : I, Maret 2009
Ukuran           : 15 x 23 cm (plus flap 8 cm)
Tebal              : 432 halaman
ISBN              : 978-979-3064-63-5


Harga             : Rp. 85.000,-

Kisah Penaklukan Bandar Terbesar

Rabu, September 13, 2017 0



Oleh: Mohamad Asrori Mulky

Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, Jakarta 

Judul: 1453: DETIK-DETIK JATUHNYA KONSTANTINOPEL KE TANGAN MUSLIM
Penulis:  Roger Crowley

Penerbit: Alvabet, Jakarta, April 2011, 385 halaman

_________________________________________________

Kokohnya benteng pertahanan Konstantinopel, Theodosius, menciutkan nyali para penakluk untuk merebutnya. Inilah cerita penaklukan Sultan Mehmet II yang kesohor itu.


Konstantinopel adalah kota yang dibangun Kaisar Romawi Timur (Byzantium), bernama Constantine I, pada tahun 330. Kota ini sangat strategis. Letaknya di antara batas Eropa dan Asia, baik di darat sebagai salah satu Jalur Sutera maupun di laut, antara Laut Tengah dan Laut Hitam. Ia juga dianggap sebagai titik terbaik sebagai pusat kebudayaan dunia, setidaknya pada kondisi geopolitik pada saat itu.

Tak mengherankan bila Konstantinopel selalu menjadi kota rebutan bangsa-bangsa dunia, baik dari Eropa, Rusia, Afrika, Persia, Arab-muslim, bahkan Kesultanan Turki. Kekhalifahan Islam sendiri, dalam rentang 800 tahun, sudah mencoba merebutnya, tapi selalu gagal. Dimulai dari Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan (44 H), Sulaiman bin Abdul Malik (98 H), Harun al-Rasyid (190 H), hingga masa Kesultanan Turki Utsmani --sejak Sultan Bayazid I (796 H) hingga Sultan Murad II (1451 M). 

Buku ini mengisahkan kembali keberhasilan Sultan Mehmet II (Mahmud II), putra Sultan Murad II, dalam membebaskan Konstantinopel dari tangan Kaisar Constantine XI Paleologus. Sebuah prestasi besar yang tak pernah bisa dilakukan para khalifah Islam sebelumnya.

Peristiwa ini menandai terbukanya dunia Timur Tengah menuju dunia modern yang, menurut Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi dalam bukunya, Madza Khasira al-Alam bi Inhithath al-Muslimin, telah membangkitkan kembali semangat kaum muslimin untuk mengembalikan kejayaan dan kewibawaan Islam di mata dunia pasca-keruntuhan Bani Abasyiah oleh tentara Tartar Mongol.

Majalah Gatra



Konstantinopel merupakan kota laut dengan pertahanan tembok tebal berlapis dua setinggi 10 meter dan dikelilingi parit sedalam 7 meter, yang tidak mungkin bisa dikepung kecuali menggunakan armada laut. Menyadari itu, Sultan Mehmet II membawa 400 unit kapal perang, meriam-meriam penghancur, dan peralatan berat canggih lainya, dengan jumlah pasukan 150.000 personel.

Tepat pada Jumat 6 April 1453, Sultan Mehmet II bersama gurunya, Syaikh Aaq Syamsudin (keturunan Abu Bakar Shiddiq), beserta dua tangan kanannya, Halil Pasha dan Zaghanos Pasha, menyerbu benteng kota Konstantinopel. Diiringi hujan panah, tentara Islam Turki maju dalam tiga lapis pasukan. "Irregular" di lapis pertama, "Anatolian Army" di lapis kedua, dan terakhir pasukan khusus "Yanissari".

Meski segala kemampuan dengan bantuan teknologi canggih dikerahkan, Konstantinopel sulit ditaklukkan. Banyak tentara Sultan tewas dan hampir saja membuatnya frustrasi. Hingga akhirnya sebuah ide yang terdengar bodoh harus dilakukan hanya dalam semalam: memindahkan kapal-kapal tempur melalui darat untuk menghindari rantai penghalang. Usaha ini berhasil memasukkan 70 kapal ke wilayah Selat Golden Horn hingga mengejutkan pihak musuh.

Hampir dua bulan pasukan Sultan menggempur pertahanan Konstantinopel. Hingga Selasa 20 Jumadil Ula 857 H/ 29 Mei 1453 M, hari kemenangan itu tiba. Melalui pintu Edirne, pasukan Sultan memasuki kota dan mengibarkan bendera Daulah Utsmaniyah di puncak kota sebagai tanda runtuhnya kejayaan Konstantinopel. Dalam pertempuran hebat itu, Kaisar Constantine XI dikabarkan tewas, walau sampai saat ini jasadnya tidak pernah ditemukan.

Di antara reruntuhan benteng dan bangunan megah, Sultan Mehmet II membangun kota Konstantinopel kembali dan memberi perlindungan kepada penduduk taklukan untuk hidup semestinya. Sultan mengganti nama Konstantinopel menjadi Islambol. Kini nama itu diganti Mustafa Kemal Ataturk menjadi Istanbul. 

Karya Roger Crowley ini berhasil membangun versi cerita yang begitu memikat tentang penaklukan Konstantinopel. Selama ini, peristiwa berdarah itu diceritakan para sejarawan berdasarkan asumsi terkait detail dan pertentangan di antara dua kubu yang berseteru. Karena itu, Roger berusaha menjauhkan kata "barangkali", "mungkin saja", "bisa jadi", dan istilah sejenisnya.