Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Rabu, 10 Maret 2021

Mendialogkan Isra dan Mikraj


Oleh Mohamad Asrori Mulky
 
Ini bukan sekedar perjalanan spiritual-individual di waktu malam demi sebuah titah Tuhan berupa sholat yang harus didapat. Tapi tentang sebuah misi kenabian yang menyeluruh, yang meniscayakan hubungan harmonis dalam perjalanan empat arah Nabi Muhammad Saw pada peristiwa isra dan mikraj: dari bumi ke bumi, dari bumi ke langit, dari langit ke bumi, dan dari bumi ke bumi.

 

Sejarawan semisal Ibnu Hisyam mencatat, isra dan mikraj merupakan peristiwa paling agung yang pernah dialami Nabi Muhammad semasa hidupnya. Betapa agungnya peristiwa itu, sampai-sampai sejumlah pemikir ternama telah diilhaminya. Sebut saja misalnya, Dante Alighieri dalam The Divine Comedy, Mohamad Iqbal dalam Javid Namah, dan mistikus besar Fakhruddin Atthâr dalam Mantiq At-Thair.

 

Isra dan mikraj adalah jamuan istimewa (undangan) dari Allah SWT untuk Nabi agar ia datang menghadap-Nya. Mula-mula momen penghadapan ini dimengerti sebagai bagian dari bentuk penghambaan Nabi secara spiritual lantaran sangat bersifat personal. Namun juga sebetulnya mengisyaratkan penyapaan yang bermakna sosial kemanusiaan. Perjalanan arah kembali yaitu dari langit ke bumi dan dari bumi ke bumi, adalah dalam rangka menggenapi misi Nabi sebagai pembawa risalah bagi manusia.

 

Relasi Empat Arah

Akan ada suatu masa dalam waktu di bagian hidup manusia sebuah peristiwa yang diliputi kesedihan amat berat akibat batu ujian yang membeban di atas pundak. Seperti halnya pernah dialami Nabi Muhammad ketika ditinggal pergi (wafat) istri terkasih (Siti Khadijah) dan pamannya (Abî Thâlib). Sementara tanggung jawab profetik sebagai penyampai risalah kala itu belum terpenuhi semua. Inilah ‘Âm al Huzni—tahun duka cita baginda kita.

 

Pada keadaan seperti itu, Allah SWT perlu menguatkan hati Nabi dengan memperjalankannya (Isra’) di waktu malam dari Masjid al-Haram di Makkah al-Mukarramah menuju Masjid al-Aqsha di Jerusalem. Dalam pengembaraan tersebut, Allah mengajak Nabi untuk membuka mata, hati, dan pikirannya mengenai cakrawala dunia yang begitu luas dan besarnya ciptaan Tuhan yang tak terbatas. Isra merefleksikan perjalanan arah mendatar (dari bumi ke bumi) yang sebetulnya memuat kesadaran akan pentingnya penyaksian terhadap realitas emperik yang ada di dunia. Di mana kemelut hidup yang mendekap dalam diri tidak boleh mengabaikan kemungkinan masa depan yang bisa saja diraih lebih gemilang.

 

Perjalanan tahap kedua, mikraj lebih merefleksikan perjalanan menanjak (dari bumi ke langit). Dimulai dari Qubbah As-Sakhrah menuju Sidrat al-Muntaha, Nabi menembus petala langit untuk mendapat perintah sholat. Pada saat itulah Nabi bisa berdialog dengan Tuhan secara langsung, suatu momen yang dilukiskan oleh kaum sufi sebagai pertemuan penuh rindu antara pecinta dengan kekasihnya. Dan di dalam puncak ‘Arsy paling subtil, tak ada satu mahluk, bahkan malaikat pun, dapat ditemukan. Yang ada hanyalah Sang Kekasih dalam penyatuan paling akhir. Manunggal.

Hanya saja, pertemuan sakral dan personal di alam tanpa warna, tanpa aksara ala para sufi itu telah membuat mereka terlena. Kenikmatan spiritual pada level penyatuan (ittihâd) membuat mereka enggan menjejakkan kakinya kembali ke bumi. Satu situasi yang sebetulnya mengundang reaksi keras dari Mohamad Iqbal. Baginya, pengalaman spiritual sufi tidak boleh melenyapkan khudi (ego/diri) dari tanggungjawabnya sebagai mahluk sosial yang bereksistensi di bumi.

 

Atas dasar itulah perjalanan arah kembali dari langit ke bumi yang dilakukan Nabi Muhammad pada peristiwa isra dan mikraj menjadi sangat penting maknanya. Ibarat sinar matahari memberi terang bagi semesta, begitu juga dengan peran Sang Nabi pasca memperoleh pencerahan spiritual paling esensial, memberi kesadaran pada umat manusia. Perjalanan arah kembali ke alam bumi, tiada lain, kecuali untuk menggenapi misi Nabi sebagai pembawa risalah yang harus disampaikan, tablîgh. Lagi pula seluruh risalah yang dibawanya, tanpa kecuali, untuk kemaslahatan masyarakat bumi. Bukan masyarakat langit.

 

Sesampainya di bumi, Nabi kembali menjadi manusia yang menyejarah, yang terikat dengan ruang dan waktu. Dan itu berati momen pencerahan yang diperolehnya harus mengisi ruang-ruang kebudayaan dan kehidupan manusia melalui nilai-nilai keadilan, persamaan, kesetaraan, persaudaraan umat, dan kemanusiaan. Perjalanan tahap akhir (dari bumi ke bumi) ini pada akhirnya melahirkan peradaban maju yang berkeadaban, al Madînah al Munawwaroh (Kota Madinah), yang berarti peradaban yang cerah-mencerahkan.

 

Masyarakat yang Berkeadaban

Nabi Muhammad tak pernah bermaksud membuat Kota Madinah (tadinya Yasrib) tanpa tujuan. Madînah yang berarti “kota” berasal dari akar kata yang sama dengan “madaniyah” dan “tamaddun” yang artinya peradaban. Civilization dalam bahasa Inggris. Dan karena itu secara harfiah “madînah” adalah tempat peradaban atau suatu lingkup hidup yang ber-adab (kesopanan, “civility”), tidak “liar”.

 

Nurcholish Madjid (Cak Nur) tidak cukup sekali mengagumi nilai-nilai keadaban dalam Piagam Madinah yang dibuat Nabi. Sebagai sebuah konstitusi yang disepakati kala itu, juga telah dipandang oleh Robert N Bella, terlampau mendahului zamannya dan teramat modern di masanya. Madinah adalah kota yang diimajinasikan Nabi untuk menjadi antitesa dari pola kehidupan masyarakat baduy yang hidup “liar” dan jauh dari peradaban.

 

Di tengah kemelut hidup berbangsa, bernegara dan beragama dengan sejumlah persoalannya—korupsi yang belum teratasi, kemiskinan yang makin bertambah, hukum yang masih bermasalah, ekonomi nasional yang terus melemah, politik identitas yang mencederai takdir keragaman, perilaku elite yang kian jauh dari harapan, kemunculan populisme Islam yang bernada sumbang demi tujuan politik kekuasan, dan dampak wabah COVID 19 yang melumpuhkan hampir semua sektor kegiatan, maka semangat Isra dan Mikraj tahun ini memperoleh momentumnya.

 

Semua elemen masyarakat, mulai elite pemerintah, politisi, konglomerat, agamawan, hingga warga negara biasa, mesti melakukan Isra. Yaitu kontemplasi dan perenungan pada malam hari atas kondisi riil masyarakat yang tengah dihadapi. Dan dalam pada waktu itu juga, upaya Mikraj perlu dilakukan. Yaitu meningkatkan ibadah formal agar lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan memohon pertolongan kepada-Nya.

 

Sekali lagi, spirit Isra dan Mikraj harus kita terjemahkan kedalam kehidupan nyata. Sebab ikhtirah nyata mendialogkan keduanya akan melahirkan manusia yang unggul dan berkemajuan. Perenungan yang mendalam (Isra) terhadap realitas emperik sangat mungkin melahirkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang baru, yang bermanfaat bagi bangsa ini. Dan penyucian batin melalui ibadah-ibadah formal (Mikraj) bisa jadi akan menyelamatkan kita dan bangsa ini dari segala macam bencana dan musibah. Selamat Isra dan Mikraj 1442 H.

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar: