Oleh Mohamad Asrori Mulky
“Kadang
cahaya kita lenyap dari dalam diri dan dinyalakan lagi oleh pijar dari orang
lain. Masing-masing kita punya alasan untuk memikirkan dan memberikan penghargaan
mendalam pada orang yang telah menyalakan api di dalam diri kita”, (Albert Schweitzer)
Tak
terasa dua tahun sudah gurunda kita tercinta, KH. Ahmad Maimun Alie, MA
(selanjutnya ditulis Abah), pergi ke pangkuan Illahi. Tempat
seluruh hamba akan kembali pada waktunya nanti; saat semuanya telah
menyempurnakan perjalanan hidupnya di dunia. Dari-Nya akan kembali kepada-Nya. Innalillahi
wa Innailahi Raajiun.
Hingga kini, kepergian Abah masih menyisakan ruang duka bagi kita, terutama
keluarga dan orang-orang terdekat. “Dan duka maha tuan bertahta”,
demikian Chairil Anwar menggambarkan suasana lirih akibat ditinggal pergi
orang-orang terkasih. Ada pilu yang membatin, ada perih berulang pedih.
Manakala saya
mengenang sosok Abah, seketika ingatan saya menoleh jauh ke belakang, pada
suatu masa dalam waktu, sekitar puluhan tahun yang lalu, saat saya masih
nyantri di Pondok Pesantren Modern Subulussalam, yang terletak di ujung
Tangerang, pintu masuk Kota Serang: Kresek.
Memang
seluruh hal yang mengisahkan masa lampau selalu saja hangat tiba di hati kita.
Apalagi bila kenangan itu menorehkan selaksa kisah manis yang masih tersimpan
dengan rapih. Semua ingatan tentang masa lampau itu (di pondok) bermunculan bak
album kenangan, yang memuat banyak kisah tentang satu dan lain hal. Semuanya
begitu nyata seolah baru saja terjadi seketika.
Bagi para
santri, khususnya saya pribadi, Abah laksana bintang penuntun ke arah jalan
terang. Dalam menapaki jalan hidup, siapa saja termasuk kita, bisa sempat
‘tersesat’ arah atau salah mencari jalan kembali. Dalam situasi seperti itu
diperlukan penuntun yang bisa mengantarkan kita ‘kembali’ ke jalan pulang.
Jalan yang direstui para ulama dan para nabi; jalan yang bila dilalui tidak
akan pernah memberi penyesalan.
Saya tidak
mengingkari ada banyak bintang yang telah menuntun saya dari lorong gelap, lalu
mengantarkan saya pada kesadaran akan pentingnya cahaya bernama ilmu
pengetahuan. Namun di antara bintang-bintang penuntun yang ada itu, Abah memberi pondasi
kuat dan mendasari semua tuntunan yang saya terima.
Jalan Ilmu
Pernah dalam
suatu hari saya menemui Abah di kediamannya, sekedar untuk menyimak
petuah-petuah dan nasehatnya-nasehatnya yang menenteramkan hati dan menambah
asupan gizi bagi jiwa ini. Entah mengapa sepanjang obrolan kala itu hal yang
banyak dibahas justru seputar manfaat dan keutamaan ilmu. Perkara yang
sebetulmya sudah sering kita dengar dari beliau saat memberi wejangan kepada
para santri.
“Ilmu adalah cahaya (العلم نور), yang akan menjaga dan menerangi jalan hidup kita,” kira-kira
seperti itu Abah pernah menyampaikan. Memang benar ilmu akan menjadi pelita
bagi hati yang gundah dan jiwa yang resah. Dia mampu menjaga apa yang tidak
dapat dijaga oleh harta. Silahkan saja dicek qaul ulama terdahulu
mengenai perkara ini, dipastikan semuanya mengatakan hal yang senada. Betapa
pentingnya posisi ilmu dalam Islam hingga wahyu pertama yang diterima baginda
Nabi Muhammad Saw. tidak lain adalah perintah membaca: Bacalah! (اقرأ). Dan membaca adalah salah
satu ikhtiar untuk mendapatkan tetesan ilmu dari lautan ilmu Allah yang tak
terhingga.
Ilmu adalah
pondasi bagi amal. Berapa banyak amalan ibadah seorang hamba jadi rusak—bahkan tertolak—hanya
karena dikerjakan tanpa dasar ilmu. Itulah mengapa Imam al Ghazâlî, dalam Ihyâ’
Ulûm al Dîn, menulis bab khusus mengenai fadhl ‘ilm ‘alâ al ‘amal (keutamaan
ilmu atas amal). Amal tanpa ilmu bisa cacat, bahkan bisa mengatarkan pelakunya
terperosok pada kekeliruan. Berkenaan dengan keutamaan ilmu atas amal, kita
pernah sering mendengar sebuah riwayat yang berkisah tentang syetan yang mengaku
lebih takut kepada orang berilmu yang tidur ketimbang orang bodoh yang sholat.
Apa yang
disampaikan Abah perihal keutamaan ilmu kala itu begitu meresap, masuk ke inti
hati, hingga membangkitkan semangat saya untuk terus belajar dan belajar. Sementara
saat itu—masih semester pertama di Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) UIN Jakarta—saya
kurang begitu bergairah masuk kuliah. Maklum, metode pembelajaran di fakultas
yang katanya menjalin kerjasama dengan Al Azhar Mesir itu lebih mengandalkan
ceramah satu arah (tarîqah ilqâiyyah), sebuah metode yang umumnya lazim
dipraktikan di kampus-kampus Timur Tengah.
Padahal, dalam al
tarbiyyah wa al ta’lîm yang pernah kita pelajari selama di Subulussalam, metode
pembelajaran (turuq al tadrîs) relatif banyak, sebut saja misalnya
(semoga saya tidak keliru) metode dialog (al tarîqah al tahâwuriyyah), metode
diskusi (al tarîqah al munâqasyah), metode aplikatif/penerapan (al tarîqah
al tatbîqiyyah), dan metode eksperimen/riset (al tarîqah al tajrîbiyyah).
Sehingga dengan begitu seorang pendidik harus bisa menerapkan metode-metode tersebut
secara bergantian demi kelancaran proses belajar mengajar di kelas, agar tidak
membosankan dan menjemukan anak didik.
Selama satu
semester di tahun pertama saya masih lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluyuran
ketimbang menelaah materi-materi kuliah. Namun, berkat wejangan Abah tentang
pentingnya ilmu membuat saya kembali ke kampus meski harus bosan mengikuti
model ceramah satu arah dari para dosen. Tapi itulah kenyataan yang harus saya
dan teman-teman FDI terima kala itu.
Untuk memuaskan
dahaga mencari ilmu, akhirnya saya keluar masuk forum-forum kajian yang ada di
Ciputat. Salah satunya adalah Komunitas Pintu Terbalik (Koplik). Di
forum kajian ini saya mendapat bimbingan langsung dari Miming Ismail dan Ahmad
Mahromi (keduanya alumni Subulussalam). Suhu intelektual Ciputat kala itu
memang sedang bergairah dengan diskursus tema-tema baru yang sebelumnya tak
pernah terpikirkan dan belum terpikirkan oleh saya sendiri.
Sejak itulah,
perlahan tapi pasti pengetahuan saya kian bertumbuh, pikiran ekslusif dan
literal yang saat itu masih mendominasi saya tepikan demi menerima kelapangan
ragam pengetahuan. UIN Jakarta yang menjadi tempat bertemunya aneka pemikiran,
ideologi, dan latar belakang kultural, memaksa saya harus membuka diri terhadap
segala keragaman dan perbedaan yang ada. Tanpa prinsip itu, betapapun
canggihnya perkembangan zaman yang ditopang ilmu dan teknologi, tidak akan
membuat kita bertumbuh maju.
Apa yang saya
terima di UIN Ciputat, sebetulnya fondasinya sudah saya peroleh di
Subulussalam. Metode kritis, berpikir logis, bebas dan luas sebetulnya sudah sama-sama
kita peroleh sejak di Subulussalam. Kalau kita mengingat kembali MOTTO PONDOK (poin
ketiga: Berpengetahuan Luas dan poin keempat: Berpikiran Bebas)
dan PANCA JIWA PONDOK (poin kelima: Kebebasan), semua kesadaran itu
sudah ditanamkan sejak menjadi santri, dan diharapkan bisa diinternalisasikan
dalam menapaki jalan hidup di dunia. Kita juga diperkenalkan Ilmu Mantiq
(Imu Logika dalam tradisi Aristotelian di Barat). Sebuah ilmu yang mendorong
kita berpikir kritis, sistimatis, koheren, dan lurus. Sehingga ketika kita
berpikir terhindar dari cacat logika dan gagal paham.
Belum lagi
kalau kita bicara fikih yang diajarkan di Subulussalam. Salah satu kitab yang
jadi pegangan santri adalah Bidâyah al Mujtahid wa Nihâyah al Muqtashid, karya
mujtahid ternama dan filosof terbesar di dunia Islam bernama Ibn Rusyd. Kitab
ini menjelaskan secara baik sebab-sebab munculnya perbedaan (khilâf) di
kalangan ulama tentang satu dan lain persoalan, mengapa khilâf sampai
terjadi, menyebutkan pendapat paling absah yang mungkin bisa diikuti, tanpa
harus mengarahkan pada satu klaim kebenaran sehingga menafikan pendapat yang
lain. Mencermati kitab ini kita akan mendapati kesadaran kritis yang sudah
ditanamkan sang filosof.
Selain itu,
kurikulum yang digunakan Subulussalam adalah Kulliyatul Mu’allimin Al
Islamiyyah (KMI). Saya tidak tahu persis mengapa pondok kita mesti
mengadopsi KMI. Tapi saya menduga Abah mengimajinasikan suatu proses belajar
mengajar layaknya di tempat kuliah (kampus), di mana para santri diorietasikan seperti
mahasiswa yang berpikir kritis, metodologis, dan berpandangan maju kedepan.
Memang sistem KMI diadopsi dari Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Tapi aktor
yang membawa sistem tersebut dan mengadaptasikannya sesuai dengan kurikulum dan
kebutuhan Subulussalam adalah Abah sendiri. Dari sini kita bisa mengerti kalau
Abah sebetulnya sudah membangun pondasi kuat bagi keilmuan para santri. Kelak
di kehidupan riil santri mampu menerapkannya.
Abah sendiri adalah
penjelajah ilmu yang luar biasa. Beliau telah banyak mereguk pahit-manisnya
proses mencercap ilmu pengetahuan. Beliau lewati batas-batas negara untuk tiba
studi di Madinah dan Pakistan meski jauh terpisah dari keluarga. Beliau sadar
ilmu pengetahuan mesti dicari meski harus ke negeri orang. Tak peduli berapa
jarak yang harus dilewati. Tak mengapa betapa beda budaya tempat beliau menempa
ilmu. Pahit getir menuntut ilmu adalah bagian yang harus dilewati para pencari.
Sebab “siapa yang tidak merasakan getirnya menuntut ilmu, maka nikmatilah kebodohan
sepanjang hidup.” Kira-kira seperti itu kalimat mutiara yang pernah kita pelajari.
Dalam proses
menuntut ilmu, seseorang memang dipinta untuk berkorban; merelakan segenap waktu,
tenaga, pikiran, perasaan, bahkan materi. Kesuksesan bagi penuntut ilmu adalah bilamana
dia mampu melampaui macam batu ujian yang menghampirinya, dalam bentuk dan
wujudnya yang berbeda-beda. Tapi sebaliknya, kekalahan terbesar dari hidup yang
kalah adalah menyerah di tengah proses belajar. Abah mampu melewati segala macam
batu ujian yang menghampirinya saat menimba ilmu hingga pada akhirnya memperoleh
gelar master (MA). Sebuah gelar starta dua (S2) yang kala itu di zamannya sangat jarang
dimiliki oleh banyak orang.
Sebagai pimpinan
pondok, tidak cukup sekali beliau menghimbau para santri agar tangguh dalam
menuntut ilmu walau harus melewati batas-batas negara yang jauh sekali pun.
Dalam keyakinan beliau, ilmu akan menempatkan seseorang pada derajat paling
tinggi sebagaimana janji Allah SWT dalam salah satu firman-Nya (يرفع الله
الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات).
Meski
terkadang, pada zaman yang merepih seperti pasir ini, masih banyak orang
mengukur kehormatan bahkan keberhasilan seseorang hanya dalam timbangan materi
semata.
Abah pernah berpesan: “seseorang
dihormati karena ilmunya”. Kata-kata itu masih terngiang jelas di telinga
saya. Apalagi saat itu beliau mengucapkannya dengan nada dan intonasi penuh
penekanan—suatu hal yang amat lazim beliau lakukan saat menyampaikan perkara
yang dianggapnya penting. Tentu saja pesan itu disampaikan tidak secara khusus
kepada saya, tapi juga ditujukan kepada para santri Subulussalam, dari angkatan
pertama sampai sekarang.
Sebagai penutup
dari tulisan singkat ini, sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa Abah di mata saya
bak bintang penuntun yang menyinari gelapnya lapisan malam. Meski
sinarnya tak bisa menerangi semua lorong kosong, tapi cahayanya mampu memberi
arah bagi mereka yang mau pulang ke jalan yang terang. Abah menuntun kita
melalui banyak cara; pengajaran, pembelajaran, keteladanan, dan alunan doa yang
beliau rapal dalam setiap munajat-munajatnya. Dalam sepi, dalam sunyi, dan
dalam diam, tak terbilang berapa doa dipanjatkan untuk kebaikan para santrinya.
Tak terhitung berapa laksa munajat yang dirapal untuk kita semua.
Abah ingin para
santrinya meraih bintang-bintang (cita-cita) yang pernah digantungkan di petala
langit paling tinggi, atau paling tidak setiap harapan yang pernah diletakan
tepat 3 inci di depan kening para santri bisa hasil maksud. Abah pernah bilang,
doa-doanya di persetiga malam selalu pasti menyebut nama-nama santri secara
umum. Semoga kita semua mendapat limpahan berkah dari doa-doa beliau. Amin
ya rabbal alamin.