Oleh Mohamad Asrori Mulky
Proyek kebangkitan Islam yang digagas para pembaharu generasi awal seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad 'Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal, Muhamma 'Ali Jinah, Muhammad 'Ali Pasha, dll, dianggap belum mengangkat martabat umat Islam. Islam masih terpuruk. Belum mampu keluar dari problem laten yang dihadapinya.
Keadaan umat Islam dulu dan kini masih
diselimuti awan mendung. Begitu banyak kejadian, begitu banyak persoalan yang
membebani pundak umat; sengkarut politik di negara-negara Islam masih kusut, perang
saudara yang tak kunjung usai, fanatisme agama, korupsi yang terus bertambah,
wajah pendidikan yang muram, distribusi keadilan yang belum merata, kebodohan,
dan kemiskinan yang terus bertumbuh.
Belum lagi cara berpikir umat yang dogmatis,
beku, dan anti-kritisisme. Semua itu menambah ‘pekerjaan rumah’ yang kian
menumpuk dan harus dicarikan solusinya. Mustafa Akyol dalam Reopening Muslim
Minds, mengajak umat Islam keluar dari keterbelakangan dan kebekuan
berpikir dengan cara kembali kepada nalar kritis sembari membuka ruang
kebebasan dan toleransi dalam keragaman.
Kesadaran ilmiah, berpikir kritis dan sikap inklusif
terhadap keragaman, menurut Akyol, sudah lama hilang dari umat Islam. Dan itu
bermula ketika teologi Asy’ariyah di hampir seluruh negara-negara Islam di
dunia mendominasi dan dijadikan rujukan. Padahal teologi populer ini kurang
menempatkan akal pada posisi yang terhormat. Akal masih dicurigai. Dan perannya
dipinggirkan.
Maka, tidaklah heran bila para pembaharu
generasi kedua seperti Mohamad Arkoun, Hassan Hanafi, ‘Ali Harb, Muhammad
Syahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, Zaki Najib Mahmud, Thayyib Tizini, ‘Ali Ahmad
Said (Adonis), dan Muhammad ‘Abid Al Jabiri, lebih banyak mengarahkan proyek
kebangkitan Islam pada kritik nalar. Kebudayaan Islam, demikian kata Nasr Hamid
Abu Zayd, adalah kebudayaan teks. Islam akan menjadi teks yang mati bila akal
dibiarkan tidak terlibat dalam memahami sebuah teks.
Tentu saja tulisan ini tidak bermaksud
mengulas pemikiran semua tokoh yang terlibat dalam proyek kebangkitan Islam
generasi kedua. Ulasan singkat ini difokuskan membahas Muhammad ‘Abid Al Jabiri
dan kritiknya terhadap epistemologi masyarakat Arab yang cenderung retoris (bayani)
dan mistis (irfani).
Dalam proyek intelektualnya itu, Al Jabiri
menawarkan sebuah pandangan kritis dengan menempatkan nalar demostratif (burhani),
yang menurut Ibn Rusyd, kedudukannya lebih tinggi ketimbang dua nalar lainnya: bayani
dan irfani. Al Jabiri menyadari kecenderungan nalar Arab yang
berorientasi pada nalar bayani dan irfani itu perlu
didekonstruksi dan memberikan tempat yang memadai untuk nalar burhani.
Dalam dunia pemikiran siapa yang tak mengenal
Muhammad ‘Abid Al Jabiri. Dia adalah penulis prolifik asal Maroko. Ide
pembaruannya banyak dirujuk anak-anak muda progresif di banyak belahan dunia,
tak terkecuali di Indonesia. Dia merupakan seorang muslim kontemporer yang
kreatif, sangat kritis dan sekaligus provokatif. Di kalangan pemikir Arab, Al Jabiri
memang dikenal sebagai seorang filosof kontemporer Arab yang memiliki ide-ide
brilian dan mengagumkan.
Al Jabiri dilahirkan di Figuig, sebelah Selatan
Maroko pada tahun 1936. Perhatiannya pada pemikiran Ibn Khaldun begitu intens
dan mendalam. Gelar masternya diraih setelah menulis Filsafat Sejarah Ibn
Khaldun, Falsafah al Tarikh ‘inda Ibn Khaldun. Sementara gelar doktornya
juga menulis tokoh yang sama, yakni Fikr Ibn Khaldun: Al ‘Asyabiyyah wa al
Dawlah, Ma’alim Nazariyyah Khalduniyyah fi al Tarikh al Islami.
Karir inteletualnya dimulai dengan
menerbitkan buku Nahnu wa al Turâts pada tahun 1980. Disusul dua tahun
kemudian dengan al Khitâb al ‘Arabi al Mu’âsir: Dirâsât Naqdiyyah Tahlîliyyah.
Kedua buku tersebut sepertinya sengaja dipersiapkan Al Jabiri sedemikian rupa
sebagai pengantar kepada grand projek intelektualnya, Naqd al ‘Aql al ‘Arabi
(Kritik Nalar Arab). Inilah nanti di kemudian hari yang membedakan dirinya
dengan Mohamad Arkoun (Naqd al ‘Aql al Islâmi).
Projek ini bertujuan sebagai upaya untuk
membongkar formasi awal pemikiran Arab-Islam dan mempelajari langkah apa saja
yang dapat diambil dari pemikiran Islam klasik tersebut. Untuk projek pemikiran
ini Al Jabiri telah menerbitkan Takwin al ‘Aql al ‘Arabi, Bunyah al ‘Aql al
‘Arabi, al ‘Aql al Siyâsi al ‘Arabi, dan al ‘Aql al Akhlâq al ‘Arabiyyah: Dirasâh
Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzum al Qiyâm fi Tsaqafah al ‘Arabiyyah.
Kritik atas Proyek Kebangkitan
Islam
Melihat keadaan umat Islam yang masih
terpuruk dan tertinggal, beku dan jumud dalam berpikir, Al Jabiri punya
ambisi membangun sebuah epistemologi baru yang sesuai dengan perkembangan
masyarakat dewasa ini. Sebuah epistemologi yang bisa mendukung kerja-kerja
ilmiah, berpikir kritis dan anti dogmatisme. Sejauh ini, Al Jabiri memang tidak
puas dengan proyek kebangkitan Islam yang telah dan sedang dilakukan para
intelektual muslim.
Al Jabiri misalnya mengkritik usaha pembaruan
yang telah dilakukan Muhammad Abduh. Bagi Al Jabiri, gerakan pembaruan Abduh
masih jauh dari apa yang diharapkan. Al Jabiri mengakui keberhasilan Abduh
dalam mengubah cara berpikir masyarakat muslim yang sebelumnya sangat kaku
dalam melakukan inovasi-inovasi pemikiran dalam menjawab tantangan zamanya.
Abduh juga berhasil dalam memerangi khurafat
dan taqlid serta mengembalikan prinsip ijtihad dalam kerangka pembaruan Islam.
Namun demikian Jabiri menilai, pemikiran Abduh masih berkutat dalam paradigma
lama. Konsep akal yang diagungkan Abduh dalam proyek pembaruannya masih berpusat
pada konsep akal abad pertengahan, yaitu akal yang berputar-putar dalam tataran
teosentris.
Semestinya akal manusia Arab kontemporer,
meminjam pemikiran Hassan Hanafi, harus berpijak pada akal antroposentris.
Yaitu akal yang berpusat pada manusia. Seluruh daya dan kemampuan akal harus
diarahkan pada kebutuhan, kepentingan, dan kebaikan hidup manusia di dunia. Dan
seluruh penjelasan Al Jabiri mengenai Kritik Nalar Arab-nya, saya kira, sejalan
dengan apa yang diteorisasikan oleh Hassan Hanafi.
Kritik Nalar Arab Al Jabiri dengan tegas
menyasar nalar Salafi. Dia mengkritik gerakan salafi, karena dalam penilaiannya
kelompok ini tidak historis (la tarikhiyyah) dalam membaca turats
atau tradisi. Hal demikian bisa diperhatikan dalam karyanya, Nahnu wa al
Turats. Mereka kalangan Salafi, kata Al Jabiri, terlalu mengagungkan
pencapaian masa silam Islam sehingga cenderung mengabaikan realitas empiris yang
tengh dihadapi umat. Cara berpikir ahistoris seperti ini, justru akan makin
menghambat Islam untuk maju dan perkembang.
Dalam urusan politik, kelompok Salafi ini
mengidealkan sistem khilafah yang sebetulnya tidak lagi relevan diterapkan
dalam konsep negara bangsa (nation state). Cita-cita mendirikan negara
khilafah itu sangat utopis. Tidak masuk akal. Apalagi rujukannya realitas masa
lalu Islam yang keadaannya jauh berbeda dengan problem yang dihadapi umat Islam
dewasa ini.
Di Indonesia sendiri, dan beberapa negara
Islam di Timur Tengah, tidak menjadikan khilafah sebagai sistem pemerintahan. Bukan
karena sistem itu tidak lagi relevan. Tapi juga akan mendatangkan kesulitan
bagi umat Islam, terutama soal penentuan kepemimpinan tunggal yang akan
memimpin umat Islam dunia.
Cara berpikir ahistoris kelompok Salafi ini
juga bisa kita lihat dalam menyikapi teks-teks keagamaan yang terlalu literal. Sementara
untuk memahami sebuah teks tidak boleh meminggirkan sisi lain dari teks itu
sendiri, yaitu konteksnya. Setiap teks pasti ada konteksnya. Melepaskan konteks
dari teksnya secara sepihak akan mengaburkan makna dan signifikansinya secara
sekaligus. Inilah yang tidak dikehendaki oleh Al Jabiri.
Al Jabiri juga tidak ragu mengkritik model
pembaruan kelompok liberal yang secara membabibuta mengadopsi peradaban Barat
untuk membangun peradaban umat ini. Kelompok liberal ini sangat terpukau dengan
capaian peradaban Barat hingga mereka lupa jati diri mereka sendiri. Bagaimana
mungkin, kata Al Jabiri, kita dapat mencangkok seluruh elemen yang datang dari
Barat, sementara setting sejarah kedua komunitas ini sangat jauh berbeda. Apa yang
baik dan cocok bagi Barat belum tentu revelan diterapkan di dunia Arab.
Kelompok liberal selalu berdalih bahwa keberhasilan
Barat melakukan modernisasinya setelah berhasil melakukan pemutusan hubungan
dengan masa pra-modern mereka sendiri. Andaikan pola pemutusan ini dilakukan
oleh masyarakat Arab-Islam, kata Al Jabiri, maka yang menjadi pertanyaannya
adalah periode sejarah mana yang harus diputuskan bangsa Arab sehingga mereka
bisa maju seperti Barat. Padahal masa silam mereka tidak sama seperti sejarah
masa lalu Barat, dan problem yang dihadapi bangsa Arab tidak sama dengan bangsa
Eropa. Oleh sebab itu menurut Al Jabiri, tidak mungkin mengadopsi seluruh budaya
Barat hanya untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa Arab.
Kritik atas Kritik
Menurut Al Jabiri, problem yang dihadapi
bangsa Arab adalah salah satunya problem epistemologi. Untuk bisa keluar dari
epistemologi bayani dan irfani yang kini mendominasi dan
membatasi kreativitas akal, diperlukan epistemologi burhani yang kritis
dan rasional. Model epistemologi burhani sebetulnya pernah dikembangkan dengan
baik oleh Umat Islam terdahulu, terutama masyarakat Islam di Cordoba (Spanyol).
Adapun masyarakat Arab Islam yang hidup di
bagian Timur, menurut Al Jabiri, lebih berpikir retoris (bayani) dan
mistik (irfani). Demarkasi semacam ini sengaja dibuat Al Jabiri untuk
memetakan model epistemologi yang cocok diterapkan bagi masyarakat Arab Islam
saat ini. Al Jabiri mengelompokkan Ibn Sina, Al Farabi, Al Kindi, Al Ghazali,
kedalam pemikiran filsafat Arab Islam bagian Timur. Sementara Ibn Rusyd, Ibn
Thufayl, dan Ibn Khaldun masuk kedalam filosof rasional dari bagian Barat (Cordoba)
yang dijadikan percontohan.
Secara tegas Al Jabiri mengklasifikasi
pemikiran Arab Timur dalam kategori irrational (alla-ma’qul al dini),
dan Arab Barat dalam kategori al ma’qul al dini. Al Jabiri menegaskan,
untuk melihat pemikiran Islam berkembang dan maju seperti yang dicita-citakan,
umat Islam, kata dia, perlu melakukan
apa yang disebut dengan al qati’ah al ibistimulujiyyah (epistemic
rupture). Sebab keberhasilan Barat, kata Al Jabiri, dalam membangun
pemikirannya dan mencapai kemajuannya disebabkan oleh keberhasilannya melakukan
epistemic rupture ini.
Meski demikian, seluruh gagasan brilian
dengan segala kritiknya terhadap kebudayaan Arab Islam, tidak lepas dari
kritik. Tidak sedikit buku dan artikel dari kalangan kritikus dan intelektual yang
secara tajam mengkritisi pemikiran Al Jabiri, terutama kajian epistemologinya
sebagaimana disebutkan di atas. Di antara kritikus tajam yang mengkritik Al
Jabiri adalah George Tarabisi dalam Nazariyyah al ‘Aql dan Wihdah al
‘Aql al ‘Arabi al Islami. Kedua buku tersebut merupakan rangkaian dari
projek Tarabisi dalam Naqd Naqd al ‘Aql al ‘Arabi.
Dalam kritiknya, George Tarabisi menyebut kalau
Al Jabiri bukanlah orang pertama pengusung proyek Kritik Akal Arab. George Tarabisi
kemudian merujuk tulisan Zaki Najib Mahmud di majalah Ruz al Yusuf yang terbit
pada tahun 1977 dengan judul al ‘Aql al ‘Arabi Yatadahwar. Dari kajian yang
dilakukan George Tarabisi secara intens dan mendalam, sampai pada kesimpulan
bahwa ide Al Jabiri tidak orosinil dan bahkan secara implisit dia menyebut Al Jabiri
telah melakukan plagiat, karena tidak menyebutkan sumber rujukan ide-idenya,
meskipun secara jelas sumber itu dari orang lain.
Selain George Tarabisi, adalah Ali Harb pemikir
asal Lebanon yang juga melakukan kritik tajam terhadap gagasan-gagasan Al Jabiri.
Menurut penulis Naqd al Nash (Ali Harb) ini, kajian turats Al Jabiri
penuh dengan muatan ideologis, Arab Maghribi Centris, bahkan secara
khusus Sunni Arab Maghribi Minded. Jadi menurut Ali Harb, Al Jabiri tidak
lain adalah seorag ideolog, yang telah memiliki pola berpikir dan ideologi
tertentu, yang kemudian dia gunakan untuk menelaah tradisi Islam.
Kritik dalam dunia pemikiran dan ilmu
pengetahuan adalah hal yang wajar terjadi. Sebab kritik itu, apapun bentuk dan
wujudnya, selama masih dalam batasan konstruktif, bisa menjadi energi dan
semangat ilmiah untuk terus dikembangkan. Karena itu, segala kritik ilmiah yang
dialamatkan kepada Al Jabiri akan ‘menyehatkan’ masa peradaban Arab Islam di
kemudian hari. Wallahu’alambisshawab.