Senin, 21 Oktober 2024

Menjadi Bangsa Pemberani


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Kepemimpinan negeri ini boleh saja datang dan pergi silih berganti. Tetapi masa depan bangsanya tidak boleh mewarisi sifat penakut apalagi pengecut. Indonesia adalah bangsa pemberani yang gagah menghadapi setiap ancaman dan bahaya yang tiba di depan mata.

Spirit keberanian dan penuh optimisme ini disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato pertamanya usai dilantik, Minggu (20/10/2024) lalu. Ia sepertinya ingin menularkan semangat tersebut kepada semua anak bangsa, terutama kepada mereka yang akan mendampinginya dalam lima tahun ke depan.

Sebagai mantan prajurit. Sikap patriotisme Prabowo kembali muncul. Seolah ia ingin menegaskan bahwa seorang patriot harus rela dan berani mengorbankan apa saja demi kemajuan dan kemakmuran tanah air yang dicintainya. Darah ptriotnya tiba-tiba saja deras mengalir, menyaksikan bangsanya, yang menurutnya, tidak memiliki keberanian.

Publik pun menaruh harapan besar di tengah gersangnya keberanian yang dimiliki pemimpin negeri ini. Semoga saja pidato yang berapi-api dan nada penuh heroik yang keluar dari lisan Prabowo itu mendapat pijakannya di dunia nyata. Tidak sekedar wacana dan permainan kata-kata semata.

Pemimpin baru punya semangat baru, harapan baru, dan agenda baru. Demikin pada umumnya  seorang pemimpin yang baru saja dilantik. Ia perlu mengeluarkan kalimat yang memberi optimisme untuk semua eleman bangsa yang akan dipimpinnya. Setiap kalimat yang terlontar harus menghidupkan darah para penakut agar lebih berdaya dan berguna bagi kepentingan bangsa.

Keberanian seorang pemimpin adalah mata air keteladanan, yang bila direguk akan membasahi dahaga jiwa-jiwa para penakut. Prabowo mengajak seluruh anak bangsa agar tidak memiliki sikap seperti burung unta, yang bila melihat sesuatu yang tidak enak langsung menjerembabkan kepalanya ke dalam tanah, alias penakut atau pengecut.

Berani bukan asal berani, tapi berani yang terukur dan penuh pertimbangan. Orang bijak mengatakan, bangsa yang besar tidak hanya diukur dari kekuatannya, tetapi juga dari keberaniannya untuk berdiri melawan ketidakadilan. Dan kekuatan yang sejati adalah keberanian mengakui dan mengoreksi kesalahan diri sendiri.

Ada banyak pemimpin negeri enggan mengakui kesalahan yang pernah diperbuatnya meski telah menyengsarakan masyarakat. Ia malah menutupinya dengan berbagai macam topeng kepalsuan. Apa yang ditampilkannya seolah mulia, demi, dan untuk kepentingan bersama. Padahal semunya itu penuh dengan kepura-puraan dan kemunafikan.

Hidup di dunia politik penuh dengan kepalsuan dan kepura-puraan. Serba berbalut topeng. Rakyat kerap dijadikan dalih dan alat propaganda. Seolah apa yang diperjuangkan untuk kepentingan rakyat. Padahal yang sebenarnya untuk mengantarkan seseorang duduk di kursi kekuasan.

Itulah mengapa Syaikh Muhammad Abduh dari Mesir, enggan terlibat dalam urusan politik yang serba kepura-puraan itu. Ia sempat berucap: “aku berlindung kepada Allah dari politik, dari kata politik, dari makna politik, dari setiap huruf yang terucap dari kata politik, dari setiap angan-angan yang terlintas dalam benakku tentang politik, dan dari setiap orang yang berbicara, belajar, menjadi gila, atau berpikir tentang politik”.

أعوذ بالله من السياسة, و من لفظ السياسة, و من معنى السياسة, و من كل حرف يلفظ من كلمة السياسة, و من كل خيال يخطر ببالي من السياسة, و من كل شخص يتكلم أو يتعلم, أو يجن أو يعقل فى السياسة.

Pesimisme Abduh seperti tergambar dalam kalimat di atas, tentu saja sangat beralasan. Yaitu ketika dunia politik hanya menjadi arena saling sikut, saling jegal, dan saling sandera. Bukan untuk memberi keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Lorong gelap politik yang disaksikan Abduh, ternyata masih menyimpan secercah cahaya di mata Prabowo. Lorong gelap itu akan ia singkirkan, dan menggantinya dengan cahaya keberanian. Keberanian itu, kata Mahatma Gandhi, adalah jalan menuju kebebasan. Dan Prabowo sepertinya menyadari hal itu. Semoga!!!

Minggu, 06 Oktober 2024

Dunia yang Dilipat


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Era digital dengan segala kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, telah membuat dunia mengalami transformasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Keadaan ini menciptakan apa yang sering disebut sebagai “dunia yang dilipat”, di mana interaksi sosial kita terjadi secara global dan dimungkinkan terhubung dengan orang-orang di seluruh dunia dalam waktu sekejap mata.


Arus deras informasi melalui dunia maya juga memudahkan kita mengakses segalanya dengan begitu cepat, bebas tanpa batas. Akibatnya perbedaan ruang dan waktu tidak lagi menjadi penghalang. Seolah tidak ada lagi batas dan garis tegas yang memisahkan. Ruang dan waktu dilipat. Diringkas menjadi lebih efektif dan efisien.


Pelipatan waktu tindakan ke dalam satuan waktu tertentu dalam rangka memperpendek jarak dan durasi tindakan, membuat kita mudah melakukan banyak hal dalam satu waktu tindakan. Dahulu kita melakukan satu hal dalam satu waktu tertentu. Kini, kita dapat melakukan banyak hal dalam satu waktu bersamaan; menyetir sambil menelepon, mendengarkan musik, makan dan sambil bicara.


Dunia yang dilipat muncul sebagai akibat dari kehadiran berbagai penemuan teknologi mutakhir terutama transportasi, telekomunikasi dan informasi. Jarak ruang semakin kecil dan semakin sedikit waktu yang diperlukan dalam pergerakan di dalamnya. Inilah pelipatan ruang dan waktu. Kecepatan pesawat mampu melipat jarak menjadi lebih singkat dan padat.Begitu juga dengan perkembangan telekomunikasi dan informasi membuat segala macam berita langsung dapat dinikmati tidak lama setelah peristiwa itu terjadi.


Kita mesti menyadari bahwa kita sekarang hidup seperti berada dalam “rumah kaca”yang begitu terbuka dan transparan. Dengan mata telanjang kita bisa menyaksikan segala peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain. Semuanya tersaji di hadapan mata dengan begitu jelas. Kita bisa mengintipnya kapan saja. Tapi kita juga bisa diintai oleh masyarakat dunia yang ada di seberang sana. Era digital membuat kita terasa begitu dekat sekaligus jauh. Membuat kita berdaya dan digdaya sekaligus terperdaya.


Era digital benar-benar mengubah cara kita hidup, bersikap, berinteraksi, belajar, dan berbagi pengetahuan. Dalam keadaan seperti ini, Islam, sebagai agama yang mengedepankan nilai-nilai universal, juga tidak luput dari pengaruh dan tantangan yang ditawarkan oleh teknologi mutakhir. Siapa yang tidak memiliki pertahanan kuat akan mudah terperdaya, tertipu, gampang termakan fitnah,adu domba, dan berita hoaks yang dapat menjerumuskan kita.


Akbar S. Ahmed, seorang antropolog dan pemikir terkemuka, dalam buku “Islam Today: A Short History of the Muslim World”, membahas berbagai isu kontemporer yang mungkin bisa dihadapi umat Muslim dewasa ini, termasuk di dalamnya dampak era digital. Dalam buku tersebut, dia memperingatkan bahwa dunia digital bisa menjadi tempat penyebaran ideologi ekstremis. Dia menekankan pentingnya umat Muslim untuk menciptakan narasi yang moderat dan toleran di tengah tantangan ini.


Dalam banyak kesempatan ideologi ekstremisme disusupi melalui media sosial sehingga dengan mudah memerangkap para target.Mereka mengalami indoktrinasi dan kemudian menjadi pendukung gerakan ISIS misalnya setelah membuka situs-situs jihad yang tersebar di media sosial. Era digital selain memberi keuntungan bagi manusia modern, juga menyimpan potensi kerusakan yang besar.

Rabu, 02 Oktober 2024

Nun A Wening Hyun


Namaku
Nun A Wening Hyun. Aku dilahirkan 3 Oktober 2023 lalu, melalui ayah yang berwatak bumi dan ibu yang bersifat air.Tapi aku bukan bumi dan juga bukan air. Bukan ayah dan juga bukan ibu. Aku adalah jelmaan dari keduanya.

Aku adalah Nun (نون), yang menurut Ibnu Arabi, menyimpan makna paling tersembunyi. Aku hanya dapat dipahami melalui pengalaman spiritual dan pemahaman yang mendalam. Aku bukanlah apa yang tampak. Dan apa yang tampak pada diriku berasal dari Yang Tak Tampak.


Wujud lahirku mudah dimengerti. Setiap muslim pernah menyebut namaku. Bahkan ketika aku belum dilahirkan, mereka telah mengejaku dengan cara seksama. Sebab aku adalah salah satu huruf hijaiyyah di antara Mim dan Waw.


Aku (Nun/ن) seperti bahtera Nuh yang menyelamatkan ribuan mahluk dari banjir bandang yang menenggelamkan sebagian isi bumi. Aku mampu menahan terjangan air bah dan gelombang laut yang siap melumat apa dan siapa saja.


Aku seperti tinta yang darinya dituliskan banyak ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Sebab aku disebut Tuhan bersama Qolam-Nya (ن و القلم وما يسطرون).


Aku adalah Wening, yang berarti hening dan bening. Dalam keadaan hening, pikiran akan terasa lebih bening dalam menilai, lebih jernih di saat memilah--clara et distincta dalam istilah Rene Descartes.


Wening itu ilmu mengheningkan diri dari segala hasrat duniawi,untuk membuka mata batin agar dapat menyaksikan keaguangan Gusti Allah Kang Amurba Jagat.


Wening itu perjalanan rohani tingkat tinggi yang dilakoni para raja, ningrat, ksatria, dan pendekar Jawa di masa silam. Fokusnya menyerap kekuatan positif dari semesta.


Aku adalah Hyun, yang berarti arif, budiman, dan bijaksana.Aku mencintai kebenaran. Tapi bukan kebenaran itu sendiri.Aku hanyalah sang pencari (kebenaran) yang tak akan pernah memperolehnya.


Setiap kebenaran yang dicari, kata Rumi,seperti menaiki anak tangga menuju langit tertinggi. Semakin kita jauh mendaki, menaiki tiap anak tangga, langit kebenaran itu semakin menjauh tak bertepi.


Kebenaran seperti cermin yang hancur berkeping-keping karena terlempar dari tangan Tuhan. Kita hanya mampu memungut sebagian kecil saja. Dan tak akan pernah mampu menyusunnya seperti sedia kala.


Aku adalah aku yang otonom (merdeka). Aku adalah anak yang punya tujuan hidup sendiri. Bukan sekedar perpanjangan orangtua. Meski aku dilahirkan melalui mereka. Aku bukan berasal dari mereka berdua. Aku punya hak atas kebebasan dan identitas yang aku pilih sendiri.


"Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka datang melalui dirimu tetapi bukan dari dirimu. Meskipun mereka bersamamu, mereka bukanlah milikmu," kata Kahlil Gibran.


Ibarat anak panah yang melesat dari busurnya. Demikianlah anak yang meluncur mencari masa depannya sendiri.Dalam proses pencarian jati diri itu, anak dihadapkan pada lapisan realitas yang tidak semuanya mudah dilalui.


Kadang terpaan angin kehidupan itu begitu kencang hingga memaksaku memilih dimana aku harus berlabuh, padahal orangtuaku telah mengarahkanku pada tujuan hidup yang menurut mereka paling benar.


Orangtuaku selalu mengingatkan, bahwa betapapun kehidupan ini perih dan penuh dukha, hidup harus tetap berjalan. Aku harus haus darah segar. Aku harus lapar daya hidup.Sebab aku adalah Nun A Wening Hyun.