Selasa, 24 Desember 2024

Harapan di Tahun Yubileum


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Perayaan Natal dan pergantian tahun 2024 kali ini begitu istimewa karena bertepatan dengan Tahun Yubileum. Umat Kristiani memaknainya sebagai tahun penyucian dosa dan pembebasan.

 

Dalam khotbah Misa Malam Natal di Basilika Santo Petrus, Paus Fransiskus menyampaikan pesan yang menggugah tentang hope, tentang sebuah harapan yang bernada dinamis dan optimis.

 

"Pengharapan tidak mati, pengharapan hidup dan memeluk hidup kita selamanya," ucapnya tegas. Harapan mesti dipahami seperti api semangat yang terus menyala dan dipastikan tidak pernah padam.

 

Meski kadang kita merasakan hidup ini begitu absurd seperti klaim Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus, tetapi pencarian makna dalam dunia yang tampaknya tidak memiliki makna dan tujuan ini, harus tetap dilakukan.

 

Kita, kata Camus, harus menerima absurditas ini dan tetap memilih untuk hidup dengan penuh kesadaran dan keberanian, meskipun tidak ada jaminan akan adanya harapan atau tujuan yang lebih tinggi.

 

Natal mengajak seluruh umat manusia untuk melangkah bersama sebagai peziarah cahaya, membawa harapan bagi dunia yang gelap, yang masih dilanda perang dan persaingan global yang berdaya destruktif.

 

Perang yang terlanjur digelar di Palestina, dan di beberapa negara-negara Timur Tengah, telah menghancurkan tata dunia. Kemanusiaan hilang, empati sirna, yang tersisa adalah watak binal dari sifat manusia yang purba.

 

Sementara persoalan di “rumah bersama” kita yang bernama NKRI ini masih menumpuk. Mulai dari distribusi keadilan yang belum merata, pendidikan nasional yang masih tanpa arah, kemiskinan yang terus meningkat, penegakkan hukum yang tumpul, ekonomi yang timpang, hingga watak koruptif yang masih menguasai naluri para pemimpin kita.

 

Dalam nestapa keadaan seperti itu, Tahun Yubileum adalah momen untuk menemukan kembali harapan yang sejati, dan memperbarui komitmen kita sebagai pembawa damai dan kasih Tuhan bagi dunia yang dilanda ketidakpastian. Tahun (Yubileum) yang memberi harapan tentang pembebasan yang dicita-citakan umat manusia.


Kamis, 19 Desember 2024

Membedah Sejarah Tuhan

 

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Tuhan tidak punya sejarah. Sebab Dia tidak terikat dengan ruang dan waktu. Dia bukan ini, juga bukan itu. Tidak di sini, juga tidak di sana. Dia melampaui semuanya. Seluruhnya.


Dan karena itu, yang dimaksud dengan Sejarah Tuhan (History of God) dalam karya ‘keren’ Karen Armstrong, adalah Tuhan yang dapat dipahami, dimengerti, dan dipirkan oleh manusia.


Sejak dulu hingga kini, dan bahkan pada masa yang akan datang nanti, Tuhan hanya bisa dihampiri melalui apa yang dapat dipersepsi manusia.Sejarah Tuhan melacak sejarah persepsi dan pengalaman umat manusia tentang Tuhan.

 

Begitulah Tuhan, yang menurut Ibn‘Arabi disebut al Illah fi al Ma’rifah (Tuhan dalam Pengetahuan Manusia). Sementara Tuhan yang Hakiki nan Sejati, melampaui semua definisi dan kategori. Nirguna (tanpa sifat), Nirakara (tanpa bentuk), menurut doktrin Advaita Vedanta (Hindu).

 

Karen Armstrong menyadari pemahaman tentang Tuhan sedemikian kompleks, ruwet, berubah seiring perjalanan waktu. Mulai dari agama-agama politeistik yang menganggap Tuhan sebagai entitas yang bisa didekati secara langsung (imanen/tasybih), hingga monoteistik yang menjauhkan Tuhan dari manusia (transenden/tanzih).

 

Di masa lalu, tepatnya pada masa kanak-kanak saya dulu, saya memahmi Tuhan sebagai yang berwujud (berjenis) laki-laki, Maha Besar, yang kebesaran-Nya melampaui gambaran tubuh raksasa. Dia (Tuhan) mengangkangi bumi dan keseluruhan semesta ini. Kapan saja, sebisa Dia mau, mampu menghancurkannya dengan sekali injakan kaki-Nya.

 

Tetapi, seiring berjalan waktu, pengalaman, dan literatur yang saya dalami, pemahaman tentang Tuha seperti saya sebutkan, telah berubah.Tuhan begitu paradoks; Dia menampilkan diri-Nya sebagai Yang Awal sekaligus Yang Akhir; Yang Nampak sekaligus Yang Tersembunyi; Yang Jauh sekaligus Yang Dekat.

 

Karen Armstrong mengajak pembaca untuk memahami evolusi pemikiran tentang Tuhan dari zaman kuno hingga era modern. Terutama evolusi pemikiran komunitas tiga agama besar dunia; Yahudi, Kristen, dan Islam.

 

Buku ini menggabungkan studi sejarah, filsafat, dan teologi untuk memberikan perspektif yang komprehensif mengenai bagaimana berbagai peradaban dan budaya memandang Tuhan. Buku ini juga mengulas berbagai konflik dan perbedaan dalam pemikiran tentang Tuhan yang sering kali memicu perpecahan dan perang, namun juga memunculkan pencarian spiritual yang mendalam.

 

Selamat membaca!

Jumat, 22 November 2024

Al Ghazali dan Tafsir Esoterik Anjing


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Masyarakat Islam Indonesia, bahkan dunia, memandang anjing masih dengan pandangan sinis. Anjing dianggap sebagai binatang menjijikan penuh najis, sehingga harus dijauhi, bila perlu dimusnahkan. Memeliharanya dianggap tabu dan dianggap telah menyimpang dari ajaran agama.


Tidak cukup sampai di situ, anjing dituduh penyebab terhalangnya malaikat masuk ke dalam rumah seseorang. Sehingga siapa saja yang memeliharanya di dalam rumah tidak akan mendapatkan rahmat Allah SWT. Penghuninya jauh dari keberkahan dan kemudahan dunia.


Tentu saja pandangan seperti di atas bukan tanpa dasar. Hujah yang mereka jadikan dasar adalah sebuah sabda dari baginda Muhammad Saw, La Tadkhulu al Malaikah Baitan fihi Kalbun (لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب), yang bila diterjemahkan secara bebas berarti: “malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah seseorang membawa berkah selama di dalamnya ada anjing”.


Kebanyakan ulama memahami hadist tersebut secara tekstual. Mereka mengambil makna zahirnya saja sebagaimana pengertian harfiahnya atau skripturalnya. Model tafsir yang ditempuh semacam itu sah-sah saja, sebab secara metodologis bisa dibenarkan.


Tetapi untuk memperoleh makna yang dikehendaki tidak cukup hanya mengandalkan pada apa yang tertulis, pada kata yang tersusun rangkaian huruf. Sebab teks, kata Nasr Hamid Abu Zaed, bukanlah satu-satunya medium memperoleh makna. Perlu upaya penyingkapan. Sebab makna biasanya tersembunyi di balik teks.


Atas dasar pemikiran tersebut, mari kita simak seperti apa Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali atau biasa dipanggil Imam Al Ghazali menafsirkan hadis yang sudah disebutkan di bagian terdahulu.


Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al Ghazali memberi penjelasan berbeda dari pemahaman ulama pada umumnya. Menurut Imam Al Ghazali, “rumah” (بيت) tidak selalu dipahami sebagai ruang secara fisik. Rumah dapat bermakna ruang batin atau ruang secara spiritual.


Demikian juga anjing. Anjing tidak selalu diartikan secara harfiah sebagai hewan peliharaan yang kita kenal. Anjing dapat bermakna simbolis yang berarti sifat-sifat tercela manusia yang mengotori batin atau ruang spiritual manusia. Oleh karena itu, kata Imam Al-Ghazali, ruang yang perlu dibersihkan dan disucikan adalah rumah secara spiritual yang tidak lain adalah batin manusia dari segala sifat-sifat tercela. Kebersihan batin ini yang menentukan kesediaan malaikat pembawa rahmat, ilmu, kearifan, dan segala bentuk kebaikan untuk singgah dan tinggal di dalamnya.


 والقلب بيت هو منزل الملائكة ومهبط أثرهم ومحل استقرارهم والصفات الرديئة مثل والغضب والشهوة والحقد والحسد والكبر والعجب وأخواتها كلاب نابحة فأنى تدخله الملائكة وهو مشحون بالكلاب ونور العلم لا يقذفه الله تعالى في القلب إلا بواسطة الملائكة

Artinya, “Batin merupakan rumah, yaitu tempat malaikat dan tempat singgah jejak mereka, dan tempat tetap mereka. Sedangkan akhlak tercela seperti marah, syahwat, dengki, hasud, sombong, ujub, dan penyakit hati sejenis merupakan anjing yang mengonggong. Bagaimana malaikat hendak masuk ke dalamnya. Sedangkan rumah itu dipenuhi anjing. Sementara cahaya ilmu tidak dimasukkan oleh Allah ke dalam batin seseorang kecuali dengan perantara malaikat,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 68).


Singkatnya, selama rumah batin seseorang yaitu rumah spiritual atau hati didiami sifat kebinatangan seperti karakter anjing yang rakus, tamak, mudah terprovokasi, gemar mencari musuh, suka mengusik ketenangan, dan lain-lain, maka cahaya Tuhan dan malaikat sulit untuk masuk ke dalam hati. Hadis ini mengajarkan kepada kita tentang bagaimana seharusnya kita membersihkan hati dari segala sifat yang tercela seperti yang dimiliki anjing.


Mengakhiri pembahasan ini, saya kutipkan penjelasan al Ghazali dalam Misykat al Anwar. Dia menjelaskan:


ليس الظاهر مرادا بل المراد تخلية بيت القلب عن كلب الغضب لأنه يمنع المعرفة التي هي من أنوار الملائكة

"Larangan itu tidak dimaksudkan secara lahiriah, tapi yang dimaksudkan ialah ‘mengosongkan rumah-rumah kalbu dari anjing kemurkaan’, sebab dialah yang meghalangi masuknya makrifat yang berasal dari cahaya-cahaya malaikat”.

 

 

Kamis, 21 November 2024

Nabi Muhammad Dua Kali Patah Hati


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Dalam sejarah Islam, bahkan dunia, Nabi Muhammad adalah tokoh yang tidak bisa dipinggirkan dalam panggung sejarah peradaban umat manusia. Michael H. Hart dalam The 100 A Ranking Of The Influential Persons In The History, menempatkannya pada urutan pertama mendahului tokoh-tokoh dunia sebelum Albert Einstein, Isaac Newton, Nabi Isa, Budha, dan tokoh besar lainnya.

 

Tapi siapa sangka di balik kebesaran nama dan kemegahan kontribusinya terhadap Islam dan peradaban manusia, Nabi Muhammad pernah mengalami patah hati. Wanita yang dicintainya tidak menyambut uluran tangannya. Nabi patah hati, bahkan sampai dua kali.

 

Peristiwa itu, kata Martin Lings, tidak membuat Nabi Muhammad larut bersedih. Dia menyadari ada lelaki yang lebih berhak karena lebih dulu meminang wanita pujaannya itu. Dia adalah Hubayroh, sosok yang baik perangainya, kaya, terhormat, dan penyair berbakat.

 

Hubayroh adalah putra saudara ibu Abu Thalib yang berasal dari Bani Makhzum. Kala itu, kekuasaan Bani Makhzum semakin meningkat di saat kekuasaan Bani Hasyim kian merosot. Lantas, siapakah wanita yang berani menolak cinta Nabi Muhammad itu?

 

Dalam buku Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, yang ditulis Marting Lings, menyebutkan, wanita itu bernama Fakhitah, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ummu Hani, putri Abu Thalib, pamah Nabi sendiri.

 

Karena cintanya yang mendalam kepada Ummu Hani, Nabi Muhammad di suatu waktu pernah mengutarakan perasaannya itu kepada sang paman untuk menjadikan putrinya sebagai istri. Tapi apa boleh dikata. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Abu Thalib lebih memilih Hubayroh ketimbang memberikan putrinya kepada Nabi.

 

Cinta Nabi Muhammad kepada Ummu Hani ternyata begitu besar. Tidak mudah bagi Nabi mengeluarkan Ummu Hani dari perasaan hatinya. Meski bulan berganti tahun, perasaan itu masih melekat di hati sang nabi. Tepatnya, saat peristiwa pembebasan Kota Makkah (Fathul Makkah), Nabi sempat bertemu Ummu Hani setelah sekian lama berpisah.

 

Dalam peristiwa pembebasan Kota Makkah banyak kaum Quraisy memilih selamat dengan masuk Islam. Sementara Hubayroh, suami Ummu Hanni, memilih kabur ke Yaman dalam keadaan masih memeluk agama nenek moyangnya yang menyembah berhala.

 

Mengetahui Hubayroh meninggalkan Ummu Hani dan beberapa anaknya, Nabi Muhammad merasa iba dan kasihan. Pada saat itulah Nabi dikisahkan sempat mau melamarnya kembali. Sayang, lamaran Nabi ditolak untuk kedua kali. Pinangan Nabi yang kedua ini dimaksudkan untuk menghibur Ummu Hani yang sudah menua dan ditinggal pergi sang suami.

 

Ummu Hani adalah kakak dari Ali bin Abi Thalib RA. Ayahnya bernama Abu Thalib, sedangkan ibunya Fatimah binti Asad. Dari Hubayroh, dia memiliki empat orang anak, di antaranya Amr, Ja’dah, Hani, dan Yusuf. Ummu Hani pertama kali mengucapkan dua kalimat syahadat kepada Rasulullah ketika terjadi penaklukan Makkah.


Ummu Hani terus hidup hingga tahun 50 Hijriyah. Namun, ia menyimpan duka yang mendalam hingga akhir hayatnya. Yaitu duka yang diakibatkan peristiwa terbunuhnya adik yang ia cintai, Ali bin Abi Thalib.

Senin, 21 Oktober 2024

Menjadi Bangsa Pemberani


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Kepemimpinan negeri ini boleh saja datang dan pergi silih berganti. Tetapi masa depan bangsanya tidak boleh mewarisi sifat penakut apalagi pengecut. Indonesia adalah bangsa pemberani yang gagah menghadapi setiap ancaman dan bahaya yang tiba di depan mata.

Spirit keberanian dan penuh optimisme ini disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato pertamanya usai dilantik, Minggu (20/10/2024) lalu. Ia sepertinya ingin menularkan semangat tersebut kepada semua anak bangsa, terutama kepada mereka yang akan mendampinginya dalam lima tahun ke depan.

Sebagai mantan prajurit. Sikap patriotisme Prabowo kembali muncul. Seolah ia ingin menegaskan bahwa seorang patriot harus rela dan berani mengorbankan apa saja demi kemajuan dan kemakmuran tanah air yang dicintainya. Darah ptriotnya tiba-tiba saja deras mengalir, menyaksikan bangsanya, yang menurutnya, tidak memiliki keberanian.

Publik pun menaruh harapan besar di tengah gersangnya keberanian yang dimiliki pemimpin negeri ini. Semoga saja pidato yang berapi-api dan nada penuh heroik yang keluar dari lisan Prabowo itu mendapat pijakannya di dunia nyata. Tidak sekedar wacana dan permainan kata-kata semata.

Pemimpin baru punya semangat baru, harapan baru, dan agenda baru. Demikin pada umumnya  seorang pemimpin yang baru saja dilantik. Ia perlu mengeluarkan kalimat yang memberi optimisme untuk semua eleman bangsa yang akan dipimpinnya. Setiap kalimat yang terlontar harus menghidupkan darah para penakut agar lebih berdaya dan berguna bagi kepentingan bangsa.

Keberanian seorang pemimpin adalah mata air keteladanan, yang bila direguk akan membasahi dahaga jiwa-jiwa para penakut. Prabowo mengajak seluruh anak bangsa agar tidak memiliki sikap seperti burung unta, yang bila melihat sesuatu yang tidak enak langsung menjerembabkan kepalanya ke dalam tanah, alias penakut atau pengecut.

Berani bukan asal berani, tapi berani yang terukur dan penuh pertimbangan. Orang bijak mengatakan, bangsa yang besar tidak hanya diukur dari kekuatannya, tetapi juga dari keberaniannya untuk berdiri melawan ketidakadilan. Dan kekuatan yang sejati adalah keberanian mengakui dan mengoreksi kesalahan diri sendiri.

Ada banyak pemimpin negeri enggan mengakui kesalahan yang pernah diperbuatnya meski telah menyengsarakan masyarakat. Ia malah menutupinya dengan berbagai macam topeng kepalsuan. Apa yang ditampilkannya seolah mulia, demi, dan untuk kepentingan bersama. Padahal semunya itu penuh dengan kepura-puraan dan kemunafikan.

Hidup di dunia politik penuh dengan kepalsuan dan kepura-puraan. Serba berbalut topeng. Rakyat kerap dijadikan dalih dan alat propaganda. Seolah apa yang diperjuangkan untuk kepentingan rakyat. Padahal yang sebenarnya untuk mengantarkan seseorang duduk di kursi kekuasan.

Itulah mengapa Syaikh Muhammad Abduh dari Mesir, enggan terlibat dalam urusan politik yang serba kepura-puraan itu. Ia sempat berucap: “aku berlindung kepada Allah dari politik, dari kata politik, dari makna politik, dari setiap huruf yang terucap dari kata politik, dari setiap angan-angan yang terlintas dalam benakku tentang politik, dan dari setiap orang yang berbicara, belajar, menjadi gila, atau berpikir tentang politik”.

أعوذ بالله من السياسة, و من لفظ السياسة, و من معنى السياسة, و من كل حرف يلفظ من كلمة السياسة, و من كل خيال يخطر ببالي من السياسة, و من كل شخص يتكلم أو يتعلم, أو يجن أو يعقل فى السياسة.

Pesimisme Abduh seperti tergambar dalam kalimat di atas, tentu saja sangat beralasan. Yaitu ketika dunia politik hanya menjadi arena saling sikut, saling jegal, dan saling sandera. Bukan untuk memberi keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Lorong gelap politik yang disaksikan Abduh, ternyata masih menyimpan secercah cahaya di mata Prabowo. Lorong gelap itu akan ia singkirkan, dan menggantinya dengan cahaya keberanian. Keberanian itu, kata Mahatma Gandhi, adalah jalan menuju kebebasan. Dan Prabowo sepertinya menyadari hal itu. Semoga!!!

Minggu, 06 Oktober 2024

Dunia yang Dilipat


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Era digital dengan segala kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, telah membuat dunia mengalami transformasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Keadaan ini menciptakan apa yang sering disebut sebagai “dunia yang dilipat”, di mana interaksi sosial kita terjadi secara global dan dimungkinkan terhubung dengan orang-orang di seluruh dunia dalam waktu sekejap mata.


Arus deras informasi melalui dunia maya juga memudahkan kita mengakses segalanya dengan begitu cepat, bebas tanpa batas. Akibatnya perbedaan ruang dan waktu tidak lagi menjadi penghalang. Seolah tidak ada lagi batas dan garis tegas yang memisahkan. Ruang dan waktu dilipat. Diringkas menjadi lebih efektif dan efisien.


Pelipatan waktu tindakan ke dalam satuan waktu tertentu dalam rangka memperpendek jarak dan durasi tindakan, membuat kita mudah melakukan banyak hal dalam satu waktu tindakan. Dahulu kita melakukan satu hal dalam satu waktu tertentu. Kini, kita dapat melakukan banyak hal dalam satu waktu bersamaan; menyetir sambil menelepon, mendengarkan musik, makan dan sambil bicara.


Dunia yang dilipat muncul sebagai akibat dari kehadiran berbagai penemuan teknologi mutakhir terutama transportasi, telekomunikasi dan informasi. Jarak ruang semakin kecil dan semakin sedikit waktu yang diperlukan dalam pergerakan di dalamnya. Inilah pelipatan ruang dan waktu. Kecepatan pesawat mampu melipat jarak menjadi lebih singkat dan padat.Begitu juga dengan perkembangan telekomunikasi dan informasi membuat segala macam berita langsung dapat dinikmati tidak lama setelah peristiwa itu terjadi.


Kita mesti menyadari bahwa kita sekarang hidup seperti berada dalam “rumah kaca”yang begitu terbuka dan transparan. Dengan mata telanjang kita bisa menyaksikan segala peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain. Semuanya tersaji di hadapan mata dengan begitu jelas. Kita bisa mengintipnya kapan saja. Tapi kita juga bisa diintai oleh masyarakat dunia yang ada di seberang sana. Era digital membuat kita terasa begitu dekat sekaligus jauh. Membuat kita berdaya dan digdaya sekaligus terperdaya.


Era digital benar-benar mengubah cara kita hidup, bersikap, berinteraksi, belajar, dan berbagi pengetahuan. Dalam keadaan seperti ini, Islam, sebagai agama yang mengedepankan nilai-nilai universal, juga tidak luput dari pengaruh dan tantangan yang ditawarkan oleh teknologi mutakhir. Siapa yang tidak memiliki pertahanan kuat akan mudah terperdaya, tertipu, gampang termakan fitnah,adu domba, dan berita hoaks yang dapat menjerumuskan kita.


Akbar S. Ahmed, seorang antropolog dan pemikir terkemuka, dalam buku “Islam Today: A Short History of the Muslim World”, membahas berbagai isu kontemporer yang mungkin bisa dihadapi umat Muslim dewasa ini, termasuk di dalamnya dampak era digital. Dalam buku tersebut, dia memperingatkan bahwa dunia digital bisa menjadi tempat penyebaran ideologi ekstremis. Dia menekankan pentingnya umat Muslim untuk menciptakan narasi yang moderat dan toleran di tengah tantangan ini.


Dalam banyak kesempatan ideologi ekstremisme disusupi melalui media sosial sehingga dengan mudah memerangkap para target.Mereka mengalami indoktrinasi dan kemudian menjadi pendukung gerakan ISIS misalnya setelah membuka situs-situs jihad yang tersebar di media sosial. Era digital selain memberi keuntungan bagi manusia modern, juga menyimpan potensi kerusakan yang besar.

Rabu, 02 Oktober 2024

Nun A Wening Hyun


Namaku
Nun A Wening Hyun. Aku dilahirkan 3 Oktober 2023 lalu, melalui ayah yang berwatak bumi dan ibu yang bersifat air.Tapi aku bukan bumi dan juga bukan air. Bukan ayah dan juga bukan ibu. Aku adalah jelmaan dari keduanya.

Aku adalah Nun (نون), yang menurut Ibnu Arabi, menyimpan makna paling tersembunyi. Aku hanya dapat dipahami melalui pengalaman spiritual dan pemahaman yang mendalam. Aku bukanlah apa yang tampak. Dan apa yang tampak pada diriku berasal dari Yang Tak Tampak.


Wujud lahirku mudah dimengerti. Setiap muslim pernah menyebut namaku. Bahkan ketika aku belum dilahirkan, mereka telah mengejaku dengan cara seksama. Sebab aku adalah salah satu huruf hijaiyyah di antara Mim dan Waw.


Aku (Nun/ن) seperti bahtera Nuh yang menyelamatkan ribuan mahluk dari banjir bandang yang menenggelamkan sebagian isi bumi. Aku mampu menahan terjangan air bah dan gelombang laut yang siap melumat apa dan siapa saja.


Aku seperti tinta yang darinya dituliskan banyak ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Sebab aku disebut Tuhan bersama Qolam-Nya (ن و القلم وما يسطرون).


Aku adalah Wening, yang berarti hening dan bening. Dalam keadaan hening, pikiran akan terasa lebih bening dalam menilai, lebih jernih di saat memilah--clara et distincta dalam istilah Rene Descartes.


Wening itu ilmu mengheningkan diri dari segala hasrat duniawi,untuk membuka mata batin agar dapat menyaksikan keaguangan Gusti Allah Kang Amurba Jagat.


Wening itu perjalanan rohani tingkat tinggi yang dilakoni para raja, ningrat, ksatria, dan pendekar Jawa di masa silam. Fokusnya menyerap kekuatan positif dari semesta.


Aku adalah Hyun, yang berarti arif, budiman, dan bijaksana.Aku mencintai kebenaran. Tapi bukan kebenaran itu sendiri.Aku hanyalah sang pencari (kebenaran) yang tak akan pernah memperolehnya.


Setiap kebenaran yang dicari, kata Rumi,seperti menaiki anak tangga menuju langit tertinggi. Semakin kita jauh mendaki, menaiki tiap anak tangga, langit kebenaran itu semakin menjauh tak bertepi.


Kebenaran seperti cermin yang hancur berkeping-keping karena terlempar dari tangan Tuhan. Kita hanya mampu memungut sebagian kecil saja. Dan tak akan pernah mampu menyusunnya seperti sedia kala.


Aku adalah aku yang otonom (merdeka). Aku adalah anak yang punya tujuan hidup sendiri. Bukan sekedar perpanjangan orangtua. Meski aku dilahirkan melalui mereka. Aku bukan berasal dari mereka berdua. Aku punya hak atas kebebasan dan identitas yang aku pilih sendiri.


"Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka datang melalui dirimu tetapi bukan dari dirimu. Meskipun mereka bersamamu, mereka bukanlah milikmu," kata Kahlil Gibran.


Ibarat anak panah yang melesat dari busurnya. Demikianlah anak yang meluncur mencari masa depannya sendiri.Dalam proses pencarian jati diri itu, anak dihadapkan pada lapisan realitas yang tidak semuanya mudah dilalui.


Kadang terpaan angin kehidupan itu begitu kencang hingga memaksaku memilih dimana aku harus berlabuh, padahal orangtuaku telah mengarahkanku pada tujuan hidup yang menurut mereka paling benar.


Orangtuaku selalu mengingatkan, bahwa betapapun kehidupan ini perih dan penuh dukha, hidup harus tetap berjalan. Aku harus haus darah segar. Aku harus lapar daya hidup.Sebab aku adalah Nun A Wening Hyun.