Sabtu, 22 Februari 2025

Fazlur Rahman dan Simfoni Kalam: Antara Firman dan Ujaran


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Di langit pemikiran Islam yang terhampar luas, dengan segala bentuk khazanah yang ada, nama Fazlur Rahman dari Pakistan berkilau bak bintang terang, meski sering redup ditelan awan gelap kontroversi. Ia, seorang pemikir yang berani melintasi samudra wacana, terbang-menantang arus pemikiran konservatif yang menahbiskan dogma sebagai kebenaran absolut.

 

Dan dari penjelajahan intelektualnya yang tak biasa itu, muncul satu gagasan yang mengguncang, bahkan dianggap telah merontokkan dogma yang lama dianut: bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, adalah firman Tuhan sekaligus ujaran Nabi Muhammad. “The Qur’an is entirely the Word of God and, in an ordinary sense, also entirely the word of Muhammad” [Rahman: Islam, 1979].

 

Bagi kaum konservatif, pernyataan ini laksana petir di tengah kemapanan tafsir yang berabad-abad kokoh menjulang tinggi. Bagaimana mungkin Kalam Ilahi yang tak berhingga itu, yang turun dari langit ke tujuh, bersatu dalam raga manusiawi seorang Rasul? Bukankah wahyu adalah sesuatu yang transenden, sakral, murni, dan tidak tercampur oleh nalar serta diksi manusia?

 

Di sinilah Rahman, dengan kebijaksanaan seorang pemikir-filosof, membentangkan argumennya: bahwa wahyu Ilahi, sebelum menjadi teks yang tertulis, telah melebur dalam diri Nabi sebagai seorang insan pilihan. Wahyu bukanlah huruf yang beku yang terpisah dari pengalaman dan kepribadian Rasul. Sebaliknya, ia adalah gema Ilahi yang menyusup dalam sanubari Nabi Muhammad, melahirkan kata-kata yang sarat dengan makna ketuhanan, namun terjalin dalam jalinan bahasa manusiawi. Dengan kata lain, Al-Qur'an adalah refleksi dari pengalaman wahyu dalam diri Nabi, yang kemudian menjelma dalam bahasa yang dapat dimengerti umatnya [bi lisân qaumihi].

 

Namun, pandangan ini tidaklah tanpa tantangan. Para pemegang teguh ortodoksi melihatnya sebagai pintu masuk kedalam pemahaman relativisasi wahyu dan berakibat pada penanggalan sakralitasnya. Jika Al-Qur'an adalah ujaran Nabi yang menyerap ilham Tuhan, apakah itu berarti terdapat unsur subjektivitas dalam kalam suci? Apakah ini bukan langkah menuju reduksi wahyu menjadi sekadar pemikiran seorang manusia, betapapun agungnya Nabi Muhammad itu?

 

Gelombang penolakan pun deras menerjang, menghantam Rahman dan gagasannya, menuduhnya sebagai pelopor sekularisasi wahyu. Ia dihujat, dicaci, dianggap penebar bid’ah, sesat, dan akhirnya, terusir dari tanah kelahirannya. Namun, dalam bentangan samudra intelektual yang luas, gelombang kontroversi hanyalah riak kecil dalam arus pemikiran besar.


Rahman, dengan keteguhan seorang pemikir-filsuf, menjelaskan bahwa gagasannya justru hendak memperdalam pemahaman tentang Al-Qur'an. Ia tidak menafikan keilahian wahyu yang transenden, tetapi justru menegaskan bahwa wahyu tidak hadir dalam ruang hampa, melainkan menyentuh hati, pikiran, dan lisan seorang manusia utama—Muhammad, Sang Rasul. Gagasan Rahman ini di kemudian hari dikembangkan Nasr Hamid Abu Zaed dalam Mafhûm al Nâsh dengan adagium terkenal Muntaj Tsaqafi (al Qur’an adalah produks budaya).

 

Bagi Rahman, memahami Al-Qur'an tidak cukup dengan membaca teksnya secara harfiah, tetapi harus menelusuri semangat dan konteks yang melahirkannya. Wahyu adalah ruh yang hidup, bukan huruf yang mati dan membeku. Ia turun untuk membimbing manusia, dan dalam kebijaksanaan-Nya, Tuhan memilih bahasa dan ekspresi manusiawi agar wahyu dapat menjadi petunjuk bagi seluruh umat. Pewahyuan adalah peristiwa di mana Tuhan berkomunikasi dengan manusia. Dan komunikasi itu bisa dipahami bila menggunakan media bahasa yang dapat dimengerti.

 

Maka, dalam kontroversi ini, sesungguhnya terhampar pertanyaan yang lebih dalam: apakah kita memahami Al-Qur'an sebagai kitab yang beku, atau sebagai teks yang hidup, yang terus berbicara kepada setiap generasi? Fazlur Rahman, dalam jejak intelektualnya, mengajak kita untuk melihat Al-Qur'an bukan hanya sebagai teks yang dibaca, tetapi sebagai pesan yang direnungkan, dihayati, dan direalisasikan dalam kehidupan.

 

Rahman bukanlah intelektual kacangan.  Ia dibesarkan dalam tradisi keilmuan yang mapan, yang banyak menapaki jalan yang jarang dilalui: memadukan warisan Islam klasik dengan semangat modernitas. Hafal Al-Qur'an sejak kecil, ia tidak hanya mengakrabi teks, tetapi juga menggugat bagaimana teks itu dipahami. Dari Punjab hingga Oxford, dari Lahore hingga Chicago, ia membangun dirinya sebagai jembatan yang menghubungkan Timur dan Barat, masa lalu dan masa depan. Ia adalah intelektual yang diperhitungkan di dunia.

 

Dalam “Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition”, Rahman merumuskan metodologi baru—double movement—dalam memahami Islam. Baginya, Islam bukanlah batu yang beku, melainkan sungai yang terus mengalir, menyesuaikan diri dengan zaman tanpa kehilangan esensinya. Ia mengusung gagasan tentang living Sunnah, bahwa sunnah bukanlah sekadar hadis yang tertulis, melainkan tradisi hidup yang berkembang dalam masyarakat muslim.

 

Ia menafsir ulang hukum Islam dengan perspektif kontekstual. Riba, yang oleh banyak ulama dipandang sebagai kejahatan mutlak, baginya perlu dikaji ulang dalam kerangka ekonomi modern. Hukuman hudud, seperti potong tangan bagi pencuri, ia anggap lebih sebagai representasi nilai ketertiban sosial ketimbang aturan mutlak yang harus diterapkan dalam semua kondisi. Pendekatannya yang kritis terhadap hukum Islam menjadikannya musuh bagi mereka yang menganggap syariah sebagai sesuatu yang tak boleh digugat.

 

Fazlur Rahman wafat pada 26 Juli 1988, meninggalkan jejak pemikiran yang tak bisa dihapus oleh waktu. Ia adalah suara yang menembus batas, mengguncang fondasi yang rapuh, dan menyalakan obor pemikiran di tengah kegelapan dogma. Ia tahu bahwa kebenaran harus diperjuangkan, bahkan jika perjuangan itu berakhir dengan pengasingan. Ia telah memilih jalannya: menjadi seorang pencari kebenaran, bukan penjaga tradisi yang kaku.


Dalam pergulatan Islam dengan modernitas, gagasan Rahman masih nyaring menggema. Mereka yang berani berpikir, yang menolak tunduk pada otoritas tanpa kritisisme, menemukan dalam dirinya seorang guru. Dan bagi mereka yang masih memeluk dogma tanpa bertanya, bayangan Rahman tetap menjadi pengingat bahwa Islam bukanlah kitab yang tertutup, melainkan kisah yang terus ditulis oleh setiap generasi.

 

Dan demikianlah, pemikir besar itu melangkah dalam arus zaman, meninggalkan warisan pemikiran yang terus berdebur dalam samudra wacana Islam. Bagi mereka yang berani menyelami, pemikirannya bukanlah badai yang menghancurkan, melainkan angin segar yang membawa perahu pemahaman menuju cakrawala yang lebih luas.

 

Jumat, 21 Februari 2025

Darah yang Menjadi Tinta

 


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Sejarah selalu mencatat nama-nama yang menolak tunduk pada tirani kuasa dan pemikiran. Dalam pusaran zaman yang sering kali mengaburkan batas antara kebenaran dan dogma, seperti pasir yang merepih ini, muncul seorang pemikir bernash bernama Farag Fouda.

 

Ia adalah pejuang kata yang tajam bak pedang yang membelah gelap masa silam sejarah Islam. Dengan pena di tangan sebagai senjata, ia meretas kabut mitos dan menguak kenyataan yang telah lama terpendam rapih dalam benak kebanyakan umat Islam.

 

Namun, keberanian itu harus ia bayar dengan nyawanya sendiri. Ia gugur sebagai martir, ditembus peluru fanatisme yang keji dan tak kenal kompromi. Pada suatu siang yang penuh ironi, tepatnya 8 Juni 1992, di Madinat al Nasr, Kairo, ia ditembak mati, tubuhnya roboh, rebah bersimbah darah.

 

Dalam al-Haqîqah al-Ghâibah (Kebenaran yang Hilang), Fouda membuka lembaran sejarah yang selama ini dilapisi kabut ilusi. Ia mengisahkan tentang era keemasan Islam yang ternyata berselimut darah, tentang para khalifah, tentang para pemimpin muslim yang lebih sering bertikai sambil menyelipkan belati di balik jubah kebesaran.

 

Sejarah Islam, dalam pandangannya, bukanlah taman indah yang layak dipandang mata, melainkan hutan belantara di mana kepentingan beradu intrik, ambisi saling menerkam, saling intai, dan kekuasaan lebih sering diperoleh dengan pedang ketimbang kebijaksanaan.

 

Mengenai masa silam Islam itu, Fouda mengisahkan sejarah kelam umat Islam dengan penuh kegetiran. Tapi ia segera menyadari bahwa apa yang ditulisnya akan mendapat reaksi hebat dari kelompok pemuja sakralitas pemikiran (taqdîs al afkâr al islâm), yang hanya ingin mendengar dari apa yang mereka kehendaki, bukan dari kebenaran yang menjadi fakta sejarah yang sebenarnya.

(Buku al Haqîqah al Ghâibah) ini memuat perbincangan yang mungkin sekali ingin dihindari banyak orang. Kebanyakan orang hanya ingin mendengarkan apa yang mereka sukai. [Farag Fouda, 1988]

 

Menjangkarkan pada prinsip “sejarah harus diungkap”, Fouda menolak romantisme sejarah yang hanya menampilkan kejayaan tanpa melihat sisi gelapnya. Ia mengkritik keyakinan banyak orang yang mengidealisasikan masa lalu Islam tanpa menyentuh fakta perpecahan, perang saudara, serta kekejaman politik yang mewarnai perjalanan kekhalifahan.

 

Baginya, kebangkitan peradaban Islam di masa modern tidak akan terwujud jika umat tidak berani menghadapi sejarahnya dengan jujur. Ini mengingatkan kita pada Soekarno tentang Jas Merah [jangan sekali-kali melupakan sejarah], yang sering ia ucapkan. Kebesaran sebuah bangsa, kata Soekarno, terletak pada sejauh mana generasinya mengingat sejarah masa lalu dengan jujur.

 

Fouda tidak sedang menggugat Islam seperti selama ini disalahpahami. Ia tidak pernah bermaksud merobohkan sendi-sendi agama—hal yang sebetulnya tidak pernah ia bicarakan. Apa yang ia lakukan murni mengajak umat untuk berpikir wening, bening dan jernih, dalam menimbang masa lalu dengan timbangan yang adil, bukan dengan romantisme buta tanpa bukti.

 

Ia tidak menentang agama, tetapi menolak perbudakan berpikir. Ia tidak membenci sejarah, tetapi menuntut kejujuran dalam membacanya. Warisannya adalah pengingat bahwa pemikiran tidak boleh dikorbankan di altar fanatisme, dan bahwa kebenaran, betapapun pahitnya, harus terus diperjuangkan.

Perbincangan kita adalah perbincangan tentang sejarah, politik, dan pemikiran, bukan perbincangan tentang agama, keimanan, dan keyakinan. Ini alah perbincangan tentang umat Islam, bukan tentang Islam itu sendiri. [Farag Fouda, 1988]

 

Islam adalah cahaya yang memberi terang di kala gelap. Cahaya ilmu dan rasionalitas yang pernah mengantarkan umat ke puncak kejayaan, kini terjebak dalam lingkaran konservatisme yang menolak kritik dan perubahan. Mereka tidak peduli walaupun apa yang mereka lakukan sebenarnya pengkhianatan terhadap sejarah dan akal budi.

 

Berulang kali Fouda menyeru umat untuk melihat masa lalu dengan pijakan rasional, kenyataan yang berbasi data. Tetapi seruan dan kritik tajamnya terhadap kelompok pemuja kemapanan tafsir keagamaan membuatnya menjadi musuh bagi mereka yang menolak akal sebagai bagian dari agama.

 

Peluru yang menembus tubuhnya adalah jawaban brutal bagi gagasannya yang berani. Kematian Fouda bukan hanya tragedi bagi dirinya sendiri, tetapi juga menjadi simbol bagaimana kata-kata yang jujur sering kali dibungkam oleh mereka yang takut pada kebenaran. Darahnya mengalir di tanah, tetapi tulisannya tetap hidup, menjadi tinta yang terus menginspirasi mereka yang berani berpikir.

 

Farag Fouda telah tiada, tetapi jejak pemikirannya tak akan pernah pudar. Ia mengajarkan bahwa sejarah harus dibaca dengan kritis, bukan sekadar dihafal dan diulang tanpa makna. Jika darahnya telah mengering di tanah, maka tintanya tetap basah di lembaran sejarah, menjadi saksi bahwa pemikiran tak akan mati meski raga telah tiada.

 

Mereka mungkin bisa membungkam suara, tetapi tidak bisa membungkam gagasan. Seperti yang pernah dikatakan Fouda, "Mereka yang takut pada sejarah adalah mereka yang takut pada masa depan." Fouda tidak rela sejarah dikaburkan demi kepentingan kemapanan. Ia terus melawan dengan tinta kendati berubah menjadi darah.



Selasa, 18 Februari 2025

Reformasi Abdullahi Ahmed An-Na’im: Meninjau Ulang Hukum Islam


Oleh Mohamad Asrori Mulky
 

Dalam diskursus panjang tak kunjung usai di kalangan akademisi dan pakar mengenai hubungan antara Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM), cendikiawan asal Sudan yang menetap di Amerika Serikat (AS) dan mengajar di Universitas Emory, Abdullahi Ahmed An-Na’im, tidak bisa dikesampingkan. Dia adalah pemikir Islam kontemporer yang punya pandangan progresif dan liberatif tentang tema tersebut.

 

Dalam karyanya yang berjudul Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law, yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, di antaranya Indonesia dengan judul Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, An-Na’im menggagas pentingnya reinterpretasi hukum Islam. Upaya ini  menurutnya agar hukum Islam lebih sesuai dengan prinsip-prinsip modern seperti kebebasan sipil, hak asasi manusia, dan hukum internasional.

 

Dengan pandangan yang mendalam dan berani, ia mengusulkan reformasi Islam yang lebih humanis, mengedepankan keadilan sosial, dan tidak terjebak dalam dogma yang kaku. An-Na’im mengawali gagasannya dengan menyoroti bagaimana hukum Islam atau syariah yang dipraktikkan di banyak negara-negara Muslim saat ini masih bersumber dari interpretasi klasik yang berkembang dalam konteks sejarah tertentu. Menurutnya, hukum Islam perlu dibaca ulang agar dapat menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan esensi spiritualnya.

 

Dalam bukunya, An-Na’im menegaskan bahwa hukum yang berbasis agama seharusnya tidak dijadikan dasar kebijakan negara secara absolut, karena dapat memunculkan ketidakadilan terhadap kelompok minoritas serta kaum perempuan. Bagi An-Na’im, Islam harus memberikan kebebasan kepada individu dalam menjalankan keyakinannya tanpa paksaan dari negara. Dengan melibatkan negara dalam proses penegakan hukum Islam akan mengerangkeng kebebasan warga negara, sehingga mereka terpasung dan tidak memiliki kemerdekaan.

 

Salah satu poin kontroversial dalam bukunya adalah kritiknya terhadap hukum pidana Islam tradisional. Ia berpendapat bahwa penerapan hukuman seperti rajam, potong tangan, dan qisas sudah tidak lagi relevan dalam dunia modern yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Dalam pandangannya, Islam tidak boleh menjadi justifikasi untuk pelanggaran Hak Asasi Manusia atas nama tradisi. Oleh karena itu, ia mendorong umat Muslim untuk mengadopsi sistem hukum yang lebih sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan.

 

Lebih jauh, An-Na’im mengusulkan bahwa Islam harus dipraktikkan berdasarkan persuasi, bukan paksaan. Ia menolak gagasan bahwa negara harus menegakkan hukum Islam secara legal-formal, karena menurutnya agama seharusnya hadir dalam kehidupan individu sebagai pilihan sadar, bukan kewajiban yang dipaksakan oleh otoritas negara. Hal ini menjadi landasan bagi gagasannya tentang pemisahan antara agama dan negara, meskipun ia tetap menekankan bahwa nilai-nilai Islam bisa menjadi inspirasi dalam kehidupan sosial dan politik.

 

Gagasan-gagasan An-Na’im mendapat berbagai tanggapan dari para pemikir Islam kontemporer. Khaled Abou El Fadl, misalnya, melihat bahwa pendekatan An-Na’im memang menarik, tetapi tetap menghadapi tantangan besar dalam penerapannya, terutama karena banyak masyarakat Muslim masih melihat syariah sebagai hukum ilahi yang tidak bisa diubah. Abou El Fadl adalah cendikiawan asal Kuwait keturunan Mesir yang pakar dalam bidang hukum Islam, punya ambisi ingin membebaskan hukum Islam dari otoritarianisme yang dikendalikan otoritas terntentu, baik oleh kuasa negara maupun oleh kuasa ulama. Ini bisa kita simak dari karyanya yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif.

 

Selain Abou El Fadl, Mohammad Hashim Kamali, cendikiawan asal negeri konflik, Afghanistan, juga memberikan mengapresiasi tentanga apa yang sudah diupayakan An-Na’im dalam membangun jembatan antara Islam dan hak asasi manusia. Kendati begitu, Hashim Kamali menekankan bahwa reformasi Islam harus tetap berakar dalam Maqashid Syariah agar dapat diterima secara luas oleh umat Muslim. Dalam konteks kebebasan sipil dan hak-hak individu, Kamali berargumen bahwa Islam mengakui kebebasan beragama dan kebebasan berpikir, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an: "Tidak ada paksaan dalam agama" (QS. Al-Baqarah: 256).


 

Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebebasan ini harus tetap berada dalam kerangka etika Islam dan tidak boleh digunakan untuk merusak tatanan sosial. Di sinilah letak perbedaan Hasani dengan An-Nai’m. Dalam soal ini, An-Na’im menekankan perlunya pemisahan agama dan negara, sementara Kamali lebih memilih pendekatan yang mempertahankan relevansi syariah dengan melakukan reinterpretasi hukum Islam dari dalam tradisi Islam itu sendiri, bukan dengan mengadopsi nilai-nilai sekuler. Ia mengkritik pendekatan yang mengesampingkan syariah secara keseluruhan dan justru menekankan perlunya reformasi hukum Islam yang tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip inti Islam.

 

Sementara itu, Amina Wadud yang konsisten memperjuangkan hak-hak perempuan, asal Bethesda, Maryland, Amerika Serikat, menyambut baik ide kesetaraan gender yang dikedepankan An-Na’im. Amina Wadud adalah seorang pemikir feminis Muslim yang fokus pada kesetaraan gender dalam Islam. Pandangannya tentang hak asasi manusia dan kesetaraan perempuan berakar pada reinterpretasi teks-teks Islam, khususnya Al-Qur’an, dengan pendekatan yang lebih adil terhadap perempuan.

 

Menurut Wadud, selama ini tafsir Islam cenderung didominasi oleh laki-laki dan memiliki bias patriarki yang menghambat hak-hak perempuan. Dalam karyanya, seperti Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective, ia menegaskan bahwa Islam pada dasarnya mendukung kesetaraan gender, tetapi praktik dan interpretasi hukum Islam sering kali mencerminkan norma sosial yang patriarkal daripada nilai-nilai asli Islam. Ia berpendapat bahwa perempuan Muslim harus memiliki hak yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam kepemimpinan keagamaan. Salah satu pandangan kontroversialnya adalah bahwa perempuan boleh menjadi imam salat berjamaah, termasuk untuk laki-laki.

 

Secara keseluruhan, Toward an Islamic Reformation adalah karya yang sangat berharga dalam perdebatan mengenai Islam dan modernitas, terutama mengenai isu Islam dan Hak Asasi Manusia. An-Na’im menawarkan pandangan yang tajam dan sistematis tentang bagaimana Islam dapat berkembang dalam dunia kontemporer tanpa kehilangan nilai-nilai fundamentalnya. Meskipun mendapat kritik dari berbagai kalangan, gagasannya tetap menjadi referensi utama bagi mereka yang tertarik pada diskusi mengenai Islam, hak asasi manusia, dan hukum internasional.

 

Buku ini bukan hanya sebuah kajian akademik, tetapi juga sebuah ajakan untuk berpikir ulang tentang bagaimana Islam dapat menjadi agama yang lebih inklusif dan relevan dalam menghadapi tantangan zaman.

Senin, 10 Februari 2025

Khalil Abdul Karim dan Historisitas Syariah

 

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Nama Khalil Abdul Karim tidak bisa dikesampingkan dari pergulatan pemikiran pembaruan dalam Islam. Dia bisa ditempatkan sejajar dengan sejumlah pemikir raksasa seperti Mohamad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaed, Sayed Mahmud al Qimni, Muhammad Said al Asymawi, dan Abdullahi Ahmed Al Na’im.

 

Dia adalah pemikir yang berani menantang narasi dominan dalam hukum Islam dengan pendekatan historis-kritis. Gagasannya tentang historisitas syariah, kritik terhadap relasi kuasa, dan pentingnya kontekstualisasi hukum Islam memberikan kontribusi besar dalam wacana reformasi Islam. Meski banyak menuai kontroversi, pemikirannya tetap relevan dan terus menjadi bahan diskusi dalam dunia akademik dan keislaman.

 

Saya sendiri mulai bersentuhan dengan pemikiran Khalil Abdul Karim sekitar lima tahun lalu. Agak terlambat memang. Kala itu saya masih menempuh pendidikan master di Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam suatu waktu, secara tidak sengaja saya melihat buku berjudul Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya, Kekuasaan di perpustakaan. Sekilas saya membaca dan langsung terpikat. Lalu saya meminjamnya untuk lebih mendalami ide-ide brilian dari penulisnya.

 

Hegemoni Quraisy mengisahkan dominasi suku Quraisy dalam menguasai Ka’bah dan Jazirah Arab sejak Qushoy bin Kilab hingga imperium Islam. Khalil Abdul Karim menunjukkan kepada kita bagaiman seluruh pemimpin Islam pasca-Nabi berasal dari Quraisy. Hasrat hegemonik suku Quraisy bahkan kembali terlihat di hari di mana Nabi Muhammad wafat, yang kemudian umat Islam berselisih soal suksesi. Alhasil kelompok Anshor harus merelakan kepemimpinan umat Islam kepada Muhajirin hanya karena mereka bukan suku Quraisy.

 

Hasrat Hegemonik Quraisy ini, menurut Ibnu Khaldun seperti terurai dalam karya agungnya, Muqodimah, merupakan pantulan dari budaya tribalistik (‘ashabiah) yang mengakar dalam dalam kehidupan mereka. Bahkan hingga kini hasrat kesukuan itu masih tertanam dalam kehidupan masyarakat Arab modern. Hal ini bisa kita saksikan dari penamaan rezim kekuasaan Arab modern selalu merujuk pada kebesaran klan tertentu.

 

Khalil Abdul Karim melanjutkan proyek intelektualnya dengan menulis buku Daulah Yatsrib: Basâ’ir fî ‘Âm al Wufûd (Negara Madinah: Politik Penaklukan Masyarakat Suku Arab). Buku ini bisa dikatakan lanjutan dari Hegemoni Quraisy. Buku Negara Madinah mengisahkan realitas masyarakat Madinah pada zaman Nabi, di mana orang Arab berduyun-duyun datang ke Madinah hanya untuk mengagungkan suku Quraisy bukan Islam.

 

Tidak lama Nabi Muhammad wafat suku-suku Baduy Arab melepaskan diri satu persatu sebagai wujud pembangkangan mereka terhadap kekuasaan Islam  yang dipimpin Abu Bakar. Mereka memilih kembali ke agama nenek moyang masa lalu mereka dengan meninggal Islam. Dan karena itu mereka tidak mau membayar zakat. Lalu Abu Bakar bereaksi dengan memerangi mereka karena dianggap sudah membelot.


Meninjau Ulang Syariah

Khalil Abdul Karim (1930-2002) lahir di Mesir dan tumbuh dalam lingkungan yang kental dengan tradisi Islam. Dia menempuh pendidikan dalam bidang hukum dan syari’ah, yang kemudian membawanya pada kajian mendalam mengenai sejarah Islam. Sebagai seorang akademisi dan penulis progresif, dia dikenal aktif dalam meneliti serta mengkritisi peran kekuasaan dalam pembentukan hukum Islam dan syariah.

 

Gagasan Khalil Abdul Karim tentang historisitas syariah yang mustahil dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan ekonomi, menuai reaksi hebat dari kalangan Islam tradisionalis-konservatif. Pandangannya itu dianggap telah menggetarkan bangunan dogma agama yang sebelumnya dipandang kokoh tegak berdiri. Dan kini, banguan itu tidak sekedar bergetar. Malah telah roboh. Porak bersama reruntuhan dogma agama.

 

Syariah Islam yang dianggap mapan dan sempurna oleh Khalil Abdul Karim mulai ditinjau kembali. Dia menekankan syariah bukanlah sesuatu yang turun dari langit tanpa campur tangan manusia, melainkan produk sejarah yang terbentuk dalam konteks sosial dan politik tertentu. Sehingga sulit melepaskan syariah sebagai teks yang statis dari konteksnya yang terus dinamis.

 

Upaya Khalil Abdul Karim meninjau ulang pemaknaan syariah sebagai reaksi dari problematika yang dihadapi umat Islam dewasa ini. Umat Islam kini tengah menghadapi tantangan dinamika kontemporer yang sangat kompleks. Respon yang kerap muncul di permukaan adalah devensif-apologetik dan tindakan yang kontra-produktif. Akibatnya, sebagian umat Islam semakin terkungkung dalam kondisi yang memprihatinkan. Sebagian telah melakukan ijtihad, tetapi belum semaksimal umat dan bangsa lain.

 

Sebenarnya, umat Islam bukannya tidak melakukan ijtihad sama sekali. Mereka telah melakukannya, tetapi sebatas pembacaan yang berulang-ulang (al qira’ah al mutakarrirah), mereka kurang atau tidak berani melakukan ijtihad yang baru (al qira’ah al muntijah). Inilah yang menjadi motivasi Khalil Abdul Karim melakukan peninjauan ulang terhadap syariah yang kadung dianggap ahistoris yang banyak menyumbang kemunduran umat Islam.

 

Apa yang diijtihadkan Khalil Abdul Karim mendapat apresiasi dari Mohammed Arkoun. Filsuf Aljazair ini menegaskan apa yang telah dilakukan Khalil Abdul Karim merupakan upaya dekonstruksi terhadap otoritas hukum Islam klasik yang dianggap sakral dan abadi. Khalil Abdul Karim berusaha mengembalikan ruh syariah yang bersifat dinamis dan progresif sebagaimana kemunculannya di awal permulaan Islam.

 

 Al ‘Arabu Mâdatul al Islâm (Arab adalah bahan baku Islam). Demikian Khalil Abdul Karim mengatakan dalam al Judzûr al Târîkhiyyah li al Syarî’ah al Islâmiyyah. Kitab tersebut menuai reaksi hebat dari kalangan tradisionalis-konservatif. Melalui karya pertamanya itu, Khalil Abdul Karim memosisikan syariah tidak lahir dalam ruang hampa, tetapi dalam konteks tertentu yang sangat dipengaruhi dinamika kekuasaan.

 

Paling tidak ada empat hal yang hendak disampaikan Khalil Abdul Karim dalam karyanya tersebut. Pertama, suka tidak suka konsep syariah telah menjadi arena perdebatan berbagai kelompok dalam Islam. Celakanya, beragam pemaknaan terhadap hukum Islam itu sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik dan sosial yang berbeda.

 

Kedua, kekuasaan punya andil dalam menentukan pemaknaan syariah. Demi melestarikan posisi penguasa tidak jarang menggunakan tafsir tertentu. Dan itu dilakukan dengan cara menekan oposisi agar legitimasi kekuasaannya tetap aman. Ketiga adalah bahwa pemahaman terhadap syariah tidak dapat dilepaskan dari perkembangan masyarakat. Setiap zaman memiliki tantangan dan kondisi sosial tersendiri yang menyebabkan perubahan dalam tafsir hukum Islam.

 

Dan keempat adalah kritik terhadap pendekatan tekstualis yang cenderung mengabaikan konteks sejarah dalam memahami syariah. Dalam hal ini, Khalil Abdul Karim menekankan pentingnya pendekatan historis dalam melihat bagaimana hukum Islam diterapkan dan ditafsirkan sepanjang sejarah.

 

al Judzûr al Târîkhiyyah li al Syarî’ah al Islâmiyyah memberikan wawasan luas mengenai bagaimana syari’ah dipahami dan diperdebatkan sepanjang sejarah. Dengan pendekatan historis dan kritisnya, Khalil Abdul Karim berhasil mengungkap dinamika pemaknaan syari’ah yang terus berubah seiring waktu dan diperebutkan oleh banyak kekuatan yang berkepentingan. Buku ini memotret kompleksitas tafsir hukum Islam dalam berbagai konteks sosial dan politik.

 


Dengan melakukan pendekatan kritis dan historis terhadap hukum Islam dan syariah, Khalil Abdul Karim menantang pandangan tradisionalis-konservatif yang menempatkan syariah sebagai yang ajeg dan konstan. Pemikirannya banyak menuai kontroversi, terutama di kalangan tradisionalis-konservatif, tetapi juga membuka ruang dialog yang lebih luas dalam memahami Islam secara benar dan holistik.

 

Dalam kajian kritis dan mendalam, Khalil menemukan bahwa begitu banyak aspek religi atau peribadatan dari masyarakat jahiliyah diadopsi Islam. Sebut saja misalnya haji, umrah, pengkultusan Ka’bah, pengagungan Ramadhan, kesucian bulan-bulan Haram, tradisi jum’at, perbudakan, poligami, potong tangan, rajam hingga persoalan qishas. Semua itu adalah warisan Islam dari peninggalan bangsa Arab.

 

Lalu kita bertanya, adakah Islam otentik jika kenyataannya ia berasal dari tradisi lokal Arab pra-Islam?

  

“Dalam soal ini, Islam mengadopsi sebagian sistem Jahiliah dan mencampakkan sebagian sistem yang lain. Terkadang Islam memodifikasi sistem tersebut dengan pola penambahan atau pengurangan. Tetapi pada saat yang lain Islam memakainya secara utuh tanpa modifikasi, melainkan hanya sekedar mengganti nama semata”.


Apa yang disimpulkan Khalil dengan sendirinya mengusik kelompok Islam konservatif yang berpendirian tekstualis dan dogmatis. Bagi mereka, syariah itu suci sebab berasal dari Yang Suci, yaitu Allah SWT. Dan karena syariah berasal dari Allah SWT maka (syariah) sempurna dan abadi meski telah masuk dalam dimensi ruang dan waktu yang pofan.

 

Di sinilah letak kekeliruan kelompok Islam konservatif dalam melihat syariah. Menurut Khalil, ketika syariah dianggap abadi dan telah sempurna akan berdampak pada terhambatnya lapangan ijtihad bagi umat Islam. Dan ini akan menyulitkan umat Islam sendiri untuk menjadi umat yang ideal yang bisa bersaing dengan umat lain.

 

Pada mulanya watak dasar syariah adalah progresif dan dinamis, bahkan revolusioner. Tapi sejak zaman keterpakuan (taqlîd) ia berpaling menjadi alat untuk membatasi akal dan membekukan kretivitas umat dalam berijtihad. Kegagalan umat Islam dalam ijtihad, disimpulkan futurolog Islam asal Inggris, Ziauddin Sardar, karena menyakralkan syariah sebagai yang permanen dan abadi. Sardar menyebutnya sebagai “malapetaka metafisis”.

 

Historisitas syariah yang diupayakan Khalil Abdul Karim saya kira dalam upaya melepaskan umat Islam dari belenggu “malapetaka metafisis” seperti yang dikatakan Ziauddin Sardar itu.