Kamis, 20 Maret 2025

Puasa Topeng


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Di dunia yang dilapisi kepura-puraan, manusia berjalan dengan wajah yang tertutupi, bukan oleh debu atau waktu, tapi oleh kedok dan kepalsuan. Seperti bait lagu yang dilantunkan Raja Dagdut Rhoma Irama: Topeng...//Membuat Orang Pandai Berdusta//Hidup Penuh dengan Pura-Pura//Yang Penting Diri Tampak Seolah Mulia.

 

Lagu ini bukan sekadar alunan nada, tetapi cermin yang memantulkan kenyataan getir yang menggambarkan realitas manusia pada umumnya. Dunia di mana kita hidup saat ini benar-benar telah menjadi panggung sandiwara, tempat manusia memakai topeng demi menjaga citra lahir, menutupi kepalsuan, atau kekosongan batin yang bersarang dalam jiwa.

 

Topeng adalah simbol kepura-puraan yang kita pakai untuk bertahan dalam tuntutan zaman yang merepih seperti pasir, yang berdebur seperti buih di lautan. Kita berpura-pura suci, berpura-pura bijaksana, berpura-pura berbudi luhur. Tapi di balik topeng itu semua, tersembunyi wajah yang sesungguhnya—yang mungkin penuh cela, penuh luka, penuh dusta dan tipu daya.

 

Dalam lanskap sosial yang bertukar tangkap dalam kepalsuan, hal yang spiritual, seperti puasa yang sekarang kita jalani ini, tak luput dari polesan topeng. Ada yang berbalut kesalehan, yang lisannya menuturkan kebajikan, penampilannya mencerminkan ketaatan, tetapi hatinya kering kerontang, gersang, penuh dengki dan kejahatan. Kesalehan dalam berpuasa kadang hanya menjadi kedok bagi mereka yang membutuhkan panggung pujian.

 

Betapa banyak manusia menahan lapar dan dahaga di siang hari hingga menjelang maghrib, namun tidak dari hawa nafsunya. Mulut mereka terkatup dari makanan, tetapi lepas bebas dalam mengucap dusta. Mata mereka terjaga dari nikmat dunia, tetapi sibuk mengintai celah-celah kesalahan saudaranya. Puasa, yang semestinya merundukkan keangkuhan, justru menjadi topeng yang dipakai untuk menutupi kehampaan batin.

 

Jauh sebelum fenomena puasa topeng ini terjadi, Nabi Muhammad Saw. telah menangkap gejala seperti itu melalui sabdanya, "Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga" (HR. Ahmad). Puasa bukanlah sekadar ritual, melainkan madah kejujuran yang menggema dalam jiwa. Sebab yang dicari bukanlah tepuk tangan manusia, melainkan tatapan kasih dari Yang Maha Melihat.

 

Al-Ghazali, sang Hujjatul Islam, telah mengingatkan manusia akan bahaya riyaa’, kesalehan yang dipertontonkan demi tepuk tangan dunia, demi pamrih, demi pujian manusia. Dalam Ihya’ Ulum al-Din, ia mengajarkan bahwa ketulusan adalah nyawa dari ibadah, dan tanpa itu, setiap sujud hanyalah gerakan tanpa makna, setiap doa hanyalah angin yang berhembus tanpa tujuan. Sehingga puasa yang dijalankan tidak memperoleh apa-apa selain menahan lapar dan dahaga semata.

 

Di era digital ini, puasa topeng menjadi semakin genting. Dunia maya adalah panggung tanpa ujung, tempat manusia menari dengan bayangan, melukis diri dalam warna-warna yang tak selalu sejati. Kita bisa menjelma siapa saja, lebih indah, lebih baik, lebih saleh—tapi apakah dalam semua kepalsuan itu, masih ada kita yang sejati? Ataukah kita telah tenggelam dalam citra yang kita ciptakan sendiri?

 

Puasa bukan sekadar dogma agama, tetapi nyanyian sunyi bagi jiwa yang merindu kejujuran. Ia adalah perlawanan terhadap dunia yang menggoda manusia untuk menyembah rupa dan melupakan makna. Ia adalah perjalanan pulang ke hakikat, menuju manusia yang utuh, yang tak lagi terbelenggu oleh fatamorgana dunia. Dengan menanggalkan topeng, kita kembali menjadi diri yang sesungguhnya—bukan bayangan, bukan citra, tetapi cahaya yang sejati.

 

Puasa topeng adalah tirai yang menyembunyikan dusta, menyamarkan kerakusan, dan memoles wajah-wajah angkuh agar tampak suci. Puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi tentang bagaimana menahan diri dari kerakusan dunia. Puasa bukanlah tentang mengundang pujian manusia, tetapi tentang merayu Tuhan dengan ketulusan yang tak bertopeng.

 

Selasa, 18 Maret 2025

Islam Tanpa Mazhab: Solusi atau Kekacauan?


 

Esai ini adalah refleksi awal dari penulis sekaligus narasumber utama dalam sebuah kajian atau diskusi publik yang diselenggarakan Almash (aliansi masjid) Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang, Kamis, 13 Maret 2025.


oleh Mohamad Asrori Mulky 

Mazhab-mazhab yang lahir dari rahim pemikiran para ulama telah menjadi pilar-pilar yang menyangga kokohnya bangunan syariat. Namun kini, gema zaman mengguncang sendi-sendi lama, melahirkan pertanyaan yang menggetarkan: haruskah Islam berjalan tanpa mazhab, ataukah itu langkah menuju kehancuran?

 

Islam tanpa mazhab bukan sekadar terminologi akademik yang dingin, melainkan gelombang pemikiran yang mendamba kebebasan dari kungkungan tekstual yang dianggap membatasi. Ia lahir dari keinginan untuk kembali kepada fitrah agama, mencelupkan diri langsung ke samudra wahyu tanpa perantara. Namun, di manakah batas antara kebebasan dan kebingungan? Adakah ini jalan menuju kesatuan atau malah jurang perpecahan umat yang lebih dalam?

 

Muhammad Abduh, seorang reformis yang benderangnya menyapu kabut pemikiran jumud, berujar bahwa Islam harus dibersihkan dari belenggu taqlid, agar cahaya ijtihad menyala kembali. Hal demikian ia torehkan dalam Risâlah al Tauhîd, sebuah kitab yang didaras banyak sarjana dunia dan memengaruhi alam pikiran kaum modernis. Kitab ini bukan sekadar untaian kata, melainkan sulaman filsafat dan tauhid yang dirajut dengan benang rasionalitas.

 

Abduh menolak keterpurukan akal dalam jeruji taklid buta. Baginya, tauhid bukan sekadar dogma yang diwariskan tanpa nalar, melainkan fajar yang mesti disaksikan dengan mata jernih dan hati yang terbangun dari lelap. “Agama adalah cahaya yang menyinari akal, bukan bara yang menghanguskan kebebasan berpikir,” demikian suara Abduh begitu kencang dan menggelegar dalam halaman-halaman kitabnya.

 

Dalam gerakan pembaharuannya, Abduh ingin menghidupkan kembali logika dalam tauhid, seraya menafikan segala tahayul yang membungkus kesadaran umat dari zaman ke zaman. Tuhan, dalam kaca mata Abduh, bukanlah sekadar entitas transenden yang jauh dari jangkauan, melainkan realitas yang paling hakiki yang dapat dikenali oleh akal yang bersih dari karat kejumudan.

 

Bagi kaum modernis seperti Muhammad Abduh, mazhab telah menjadi tembok tinggi yang menghalangi umat untuk berpikir mandiri dan kritis, melahirkan fragmentasi dan perpecahan hingga berdampak pada kemunduran umat secara menyeluruh. Mereka beranggapan bahwa dengan kembali langsung pada Al-Qur'an dan Hadis, umat akan menemukan Islam dalam kemurniannya, sebagaimana fajar yang tak terselubungi awan.

 

Namun, pandangan ini mendapat perlawanan dari para penjaga tradisi. Syekh Yusuf al-Qaradawi, dengan kebijaksanaan seorang ulama yang menatap jauh ke depan, menegaskan bahwa mazhab bukanlah belenggu, melainkan jembatan yang menghubungkan zaman Rasulullah dengan realitas umat hari ini. Para imam besar—Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal—bukan sekadar pencari kebenaran, tetapi juga penjaga agar syariat tetap berkelindan dengan logika dan maslahat.

 

Dalam kebebasan yang didamba, sering kali tersembunyi bahaya. Tanpa kerangka mazhab, umat bisa terombang-ambing di lautan dalil yang luas dan dalam. Layaknya musafir tanpa peta, mereka bisa salah arah, tersesat dalam samudra perbedaan penafsiran. Tanpa rambu-rambu metodologi yang ditetapkan para ulama, ayat suci bisa dijadikan alat legitimasi bagi kepentingan individu atau kelompok.

 

Namun, di sisi lain, sistem mazhab yang kaku dan membelenggu juga dapat menumpulkan daya pikir. Jika mazhab dijadikan dogma yang tidak boleh dipertanyakan, maka agama kehilangan dinamikanya. Bukankah Islam mengajarkan ijtihad dan pembaruan? Dalam ketegangan antara tradisi dan pembaruan ini, umat Islam mesti bersikap arif, memilih jalan tengah yang tidak menanggalkan akar, namun tetap mampu merentangkan sayap menuju langit.

 

Dunia terus berputar, dan pemikiran manusia pun terus berevolusi. Islam tanpa mazhab bisa menjadi gerbang menuju kesatuan, atau justru pintu masuk bagi kehancuran yang lebih besar. Jika tanpa mazhab berarti membebaskan diri dari belenggu kebekuan, maka ia adalah rahmat. Namun, jika ia menciptakan generasi yang enggan menapaki jejak ulama, maka ia adalah bencana.

 

Bermazhab itu penting sejauh tidak melahirkan permusuhan, truth claim (klaim kebenaran), dan saling lempar tuduhan sesat di antara mazhab yang ada. Dalam samudra luas pemikiran Islam, mazhab diibartkan seperti perahu yang kokoh, mengantarkan mereka yang awam menuju tepian keselamatan. Ia adalah peta di tengah kabut zaman, mercusuar yang menjaga langkah dari gelombang kebingungan. Tanpanya, umat mudah hanyut dalam arus tanpa arah, terombang-ambing di antara keraguan dan kebingungan.

 

Namun, sebagaimana perahu dibuat bagi mereka yang belum menguasai lautan, ia bukan penjara bagi mereka yang telah menyelam ke dasar hikmah. Bagi yang telah menguasai angin dalil dan memahami arus nash, lautan terbentang luas untuk dijelajahi, dan perahu tidak lagi menjadi batas gerak. Mereka yang memiliki kemampuan melepaskan mazhab lama dan melahirkan mazhab baru sangat dimungkinkan.


Imam Syafi’i, yang pada mulanya berpegang pada mazhab gurunya, Imam Malik, akhirnya menancapkan layar baru, membangun sebuah istana ijtihad yang disebut al-Madzhab al-Jadid. Demikian pula Abu Hanifah, yang berani melawan tradisi dan menyusun fiqh dengan ketinggian nalar dan kelembutan dalil. Mereka bukan penghuni perahu, tetapi nahkoda yang mengukir jalur baru di samudra hukum.

 

Namun, melahirkan mazhab bukanlah tugas para pengelana biasa. Ia bukan sekadar menampik mazhab lama atau menggantinya dengan kilatan gagasan sesaat. Ia adalah tugas bagi mereka yang telah menempuh jalan panjang, memahami nash dengan hati yang jernih, menimbang dalil dengan akal yang tajam, dan mendengar detak zaman dengan telinga kebijaksanaan.

 

Bagi mereka yang awam, meniti mazhab adalah bentuk ketundukan pada hikmah. Sebagaimana seorang buta yang menggenggam tangan penuntunnya, demikian pula orang yang tak mendalam ilmunya bersandar pada warisan ulama. Tiada cela dalam ketundukan kepada yang lebih mengetahui, sebagaimana tiada hina dalam mengikuti cahaya di tengah gelap.

 

Tetapi bagi yang telah menemukan cahaya dalam dirinya, yang telah meneguk dari sumber hikmah yang jernih, ia tidak lagi hanya mengikuti—ia mencipta. Ia tidak sekadar mendengar, tetapi berkata. Bagi mereka, mazhab bukanlah batas, tetapi batu loncatan menuju cakrawala yang lebih luas.

 

Sebagaimana air yang terus mengalir, ilmu pun tak boleh beku. Zaman berubah, peradaban berkembang, dan hukum harus tetap hidup, mengikuti detak nadi umat. Di sinilah para pemikir besar lahir, mereka yang mampu menjahit teks dengan realitas, menghidupkan hukum dengan hikmah, dan melahirkan mazhab yang sesuai dengan denyut zaman.

 

Di puncak semua itu, satu hal tak boleh dilupakan: Mazhab bukan sekadar produk akal, tetapi juga gema wahyu. Siapa pun yang ingin membangun jembatan baru, haruslah berdiri kokoh di atas fondasi keilmuan yang tak tergoyahkan, agar ia tak mencipta istana di atas pasir yang rapuh.

Senin, 17 Maret 2025

Ayah


Oleh Mohamad Asori Mulky

Kematian, kata Albert Camus, adalah absurditas yang tak terelakkan. Ia datang seperti bayangan senja yang merayap perlahan, tanpa suara, tanpa isyarat. Namun bagi seorang anak laki-laki yang kehilangan ayahnya, kematian bukan sekadar absurditas, melainkan sebuah kehilangan yang terus bergema, seperti denting lonceng yang menggantung di udara.

 

Seorang ayah adalah akar bagi pohon yang menjulang tinggi. Ia tak selalu terlihat, namun kehadirannya menyusup dalam setiap helai daun yang menari ditiup angin. Dalam masa kecilnya, anak lelaki itu menggenggam erat tangan ayahnya, berjalan di atas jejak kaki yang lebih besar, berusaha menyesuaikan langkah demi langkah.

 

"Seorang pria sejati," kata Ernest Hemingway, "bukanlah yang tak pernah jatuh, melainkan yang selalu bangkit." Dan ayah adalah bukti dari itu: sosok yang jatuh berkali-kali namun bangkit dengan kepala tegak. Seolah ingin membuktikan pada anaknya bahwa ia sanggup bertahan walau dunia tidak berpihak kepadanya.

 

Tapi kini, ayahnya telah pergi jauh. Dunia tetap berputar, tetapi ada sesuatu yang tak lagi utuh. Bayang-bayangnya masih ada di sudut ruang tengah rumah, di setiap inci bangunan yang kini sudah berbeda tak seperti dulu, dan dalam wangi kemeja lusuh yang tergantung tanpa pemilik. "Tak ada kematian bagi orang yang kita cintai," tulis Antoine de Saint-Exupéry, "sebab cinta adalah keabadian." Namun mengapa kehilangan tetap terasa sepi, meski namanya masih terbisik di dalam doa?

 

Anak lelaki itu kini berjalan sendiri, membawa beban yang dulu dipikul bersama. Setiap keputusan terasa lebih berat, karena tak ada lagi suara yang menuntunnya. Orang bijak berkata, "seorang ayah memberi dua hal kepada anaknya: akar dan sayap." Akar itu telah tertanam dalam-dalam, tapi ia masih belajar untuk terbang, untuk menemukan jalannya sendiri dalam dunia yang kini terasa lebih sunyi dan sepi.

 

Lalu suatu hari, di antara hiruk-pikuk kehidupan yang seolah percuma ini, ia menyadari bahwa ayahnya tak pernah benar-benar pergi. Ia ada dalam cara anak itu mengikat tali sepatu, dalam keteguhan yang diajarkan tanpa kata, dalam keberanian untuk berdiri meski lutut gemetar. Ayahnya ada dalam dirinya—dalam darah yang mengalir, dalam kisah yang terus hidup, dalam bayang-bayang yang tak pernah benar-benar lenyap.

 

Maka ia melangkah, bukan untuk melupakan, tetapi untuk meneruskan. Sebab cinta seorang ayah tidak mati—ia hanya berubah wujud, menjadi cahaya yang membimbing di jalan yang panjang dan tak berujung. Ia terus memberi kekuatan dan harapan meski keduanya berada dalam alam yang berbeda.

Minggu, 16 Maret 2025

Tugas Sarjana NU di Era Post Truth



Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Di tengah lautan informasi yang terhampar bebas dan tak terkendali, kita menyaksikan dunia yang kita huni ini tak lagi berlandaskan fakta. Era post-truth telah datang, menjauhkan manusia dari kejelasan, memburamkan garis antara kenyataan dan kebohongan. Post-truth bukan sekadar zaman yang memudarkan batas antara fakta dan fiksi, tetapi juga sebuah pentas besar tempat emosi menjadi raja, sementara akal tersingkir ke sudut-sudut yang sunyi.

 

Dalam situasi seperti itu, kebohongan bukan lagi sesuatu yang tersembunyi dalam gelap, tetapi ia menari di ruang-ruang maya, menghipnotis para penonton yang tak lagi mencari kebenaran, tetapi hanya mendengar apa yang ingin didengar. Jean Baudrillard menyebut situasi itu dengan hyperreality, yaitu zaman di mana kebenaran tak lagi bermahkota, apa yang kita anggap sebagai kenyataan hanyalah konstruksi media semata.

 

Namun, di tengah pusaran badai ini, para intelektual dan kaum cerdik pandai bangsa ini seharusnya hadir bukan sebagai nabi yang berteriak lantang dari menara gading, tetapi sebagai lentera yang menembus pekatnya kabut zaman. Mereka bukan sekadar pemungut serpihan-serpihan kebenaran yang tercecer, tetapi penjaga kewarasan bangsa dari meluasnya banjir hoaks yang kian deras memenuhi kesadaran setiap orang.

 

KH. Ma’ruf Amin, Wakil Presiden Republik Indonesia ke-13, menyebut era post-truth sebagai Iltibas. Istilah itu beliau sampaikan di hadapan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kota Tangerang dalam perjamuan batin dan jasmani, buka puasa bersama di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tangerang, 15 Maret 2025.

 

Beliau mengibaratkan Iltibas, seperti kabut yang menyelimuti hakikat, menjadikan yang hak tampak batil, dan yang batil menyaru dalam paras kebajikan. Di layar-layar yang berpendar, kata-kata dipelintir, fakta diburamkan, dan dusta menjelma kebenaran semu. Beliau meminta para sarjana NU untuk tetap berdiri tegak di hadapan ombak tipu daya, diwajibkan untuk berpegang teguh pada tali ilmu yang berpijak pada iman. Di tengah badai yang menyelimuti akal itu, ISNU harus teguh. Menjadi mercusuar dalam samudra digital, memandu umat menuju tepian yang selamat.


Para sarjana NU harus menjaga api rasionalitas tetap menyala ketika dunia terbuai dalam ilusi. Mereka adalah penjaga batas antara fakta dan fiksi, antara akal dan emosi, antara kebenaran dan kebohongan. Mereka harus berani melawan arus, menantang propaganda, menolak tunduk pada kebisingan yang memabukkan. Sebab jika mereka bungkam, jika mereka menyerah, maka yang tersisa hanyalah kehampaan, dan bangsa ini akan kehilangan arah dalam labirin yang dibangun dari kebohongan.

 

Dunia digital adalah pisau bermata dua: ia bisa menjadi taman ilmu yang menumbuhkan kebijaksanaan atau rimba belantara yang menyesatkan. Post-truth adalah bayang-bayang yang mengintai, siap melahap akal sehat kapan saja. Di tengah pertarungan ini, para intelektual adalah benteng terakhir yang menjaga negeri ini dari tenggelam dalam samudra kegelapan. Mereka bukan sekadar penjaga kata, tetapi penjaga jiwa bangsa. Dan selama mereka tetap tegak, masih ada harapan bahwa fajar kebenaran akan kembali menyingsing, menggantikan malam panjang kepalsuan yang menyesakkan.

 

Ribuan tahun lalu, Plato dalam The Republibc-nya, melukiskan manusia dewasa ini sebagai makhluk yang terperangkap dalam gua, melihat bayang-bayang di dinding, percaya bahwa itulah realitas sejati. Seperti para tawanan dalam alegori gua, kita kini hidup dalam era post-truth, terjebak dalam ilusi media dan narasi yang dibentuk penguasa. Kebenaran bukan lagi cahaya yang membebaskan, tetapi sekadar refleksi yang dikendalikan. 

Maka, apakah kebenaran masih memiliki tempat? Ataukah kita telah menyerah pada arus manipulasi? Kaum bijak bestari mengajarkan kita untuk tidak pasrah, melainkan menggali lebih dalam, mempertanyakan, dan menyalakan kembali cahaya rasionalitas. Post-truth bukanlah takdir yang tak terhindarkan, tapi tantangan intelektual yang harus kita hadapi. Dengan daya kritis, akal sehat, kita dapat menyingkap tabir ilusi, dan menemukan kembali hakikat kebenaran. Dan itu semua harus dinyalakan oleh para sarjana NU yang tergabung dalam Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU).

Sabtu, 15 Maret 2025

Bukan Kasih di Batas Senja


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Angin malam membawa nyanyian lembut, membelai wajah seorang ayah yang duduk termenung di hadapan meja kerja sambil ditemani sepotong roti dan segelas kopi. Hingga sisa sepertiga malam tiba, melalui daun jendela yang sejengkal terbuka, matanya menatap langit yang mulai meredup seperti akan segera turun hujan.

 

Dalam gemuruh diamnya itu, ada suara hati yang tak pernah terucap, tetapi mengalun lirih dalam dada. Siapa pun tak akan mampu menyelaminya sebab hanya ia seorang diri saja yang merasakan debur ombaknya. Dengan kelembutan dan keteguhan, cinta dan kasih sayang, ia menyebut nama putri pertamanya: Nun A Wening Hyun.

 

Cinta seorang ayah tidak selalu terucap dalam kata, tetapi terukir dalam setiap tatapan, dalam setiap genggaman, dan dalam setiap langkah yang ia jaga. Di pucuk tebing gunung paling tinggi cinta seorang ayah tulus menjulang: tiada tanding, tiada banding.

 

Dari detik pertama kelahirannya, ia adalah cahaya yang menyelinap lembut ke dalam relung jiwa sang ayah: menerangi dan menghangatkan. Ia memberi daya dalam setiap langkah untuk tetap bertahan betapapun dunia kadang tidak berpihak. Dalam pelukannya, putrinya tertidur, dalam genggamannya, ia belajar berjalan, dan dalam nafasnya, ada doa yang tak pernah putus.

 

Tetapi seorang ayah harus sadar, bahwa ia bukan pemilik, melainkan penjaga. Seperti yang diungkapkan Khalil Gibran, "Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah putra-putri kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri." Ayah hanya mengarahkan, kemana akan berlabuh anaklah yang menentukan.

 

Ketika putrinya tumbuh, ia menjadi saksi bagaimana dunia menggoda dengan segala gemerlapnya. Ada ketakutan dalam hati seorang ayah—takut jika dunia merenggut kepolosannya, takut jika luka menghampiri sebelum ia siap menghadapinya.

 

Namun, cinta seorang ayah tidak mengurung; ia membentangkan sayap, membimbing dengan segala kebijaksanaan. Seperti kata Victor Hugo, "Seorang ayah memiliki hati yang tidak terlihat, tetapi memancarkan cahaya dalam kegelapan." Maka, ia menjadi mercusuar bagi putrinya, menunjukkan arah tanpa memaksakan langkah.

 

Ada saat ketika putrinya belajar mengeja kehidupan di luar genggaman tangannya. Hari itu, saat putrinya melangkah menuju dunia, ia hanya bisa berdiri di ambang pintu, menyembunyikan air mata di balik senyum. Ia ingin berkata, "Pergilah dengan keberanian, tetapi jangan lupakan rumah tempat hatimu berlabuh." Namun, ia tahu, cinta sejati tidak pernah menahan, melainkan merelakan dengan doa yang mengiringi setiap langkah.

 

Seorang ayah mungkin tidak selalu bisa berkata manis, tetapi dalam diamnya, ia mencintai dengan cara yang paling dalam. Shakespeare pernah menulis, "Cinta itu bukan tentang melihat satu sama lain, tetapi melihat bersama ke arah yang sama." Dan demikianlah seorang ayah, yang meskipun kelak langkah mereka akan berpisah, matanya akan selalu tertuju pada kebahagiaan putrinya.

 

Pada akhirnya, cinta seorang ayah adalah bahasa sunyi yang abadi. Ia tidak meminta balasan, tidak menuntut pengakuan. Ia hanya ingin melihat putrinya berdiri tegak, mencintai hidupnya, dan tetap membawa serpihan cinta yang pernah ia tanamkan. Di dalam hatinya, putrinya selalu menjadi gadis kecil yang dulu ia timang, dan di dalam doa-doanya, ia selalu menyebut namanya dengan penuh kasih.

 

Ketahuilah, cinta seorang ayah adalah cahaya yang tak pernah padam, meski dunia beranjak dalam gelap sekalipun. Cinta seorang ayah bukan kasih di batas senja tapi melampaui waktu dan keadaan.


Kamis, 06 Maret 2025

Tan Malaka: Pemikir Revolusi yang Berjalan dalam Sunyi


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Di antara lorong-lorong sejarah yang remang, nama Tan Malaka terpatri sebagai nyala api yang tak kunjung padam. Ia adalah nyanyian perlawanan yang menggema dari zaman ke zaman, lelaki yang menulis takdirnya dengan tinta keberanian dan getir pengasingan. Di panggung revolusi, ia bukan aktor yang berpidato lantang sebagaimana Soekarno sang orator, melainkan pujangga pemikiran yang meramu gagasan dalam pergulatan aksi massa sebagai motor perjuangan menuju revolusi.

 

Tan Malaka lahir dengan nama Ibrahim Datuk Tan Malaka pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Dari tanah Minangkabau yang kental dengan filsafat adat dan syair keagamaan, ia menempa diri dalam pendidikan kolonial yang membukakan matanya terhadap tirani dan ketimpangan. Seperti sungai yang tak bisa dibendung, pikirannya mengalir deras, mencari muara di mana keadilan bisa ditegakkan, dan kebebasan menjadi nadi kehidupan.

 

Keberangkatannya ke Belanda untuk menimba ilmu di Rijks Kweekschool, Haarlem, bukan sekadar perjalanan akademik, melainkan awal dari pencarian panjang menuju makna revolusi sejati: revolusi tanpa kompromi dan negosiasi. Di sana, ia bersentuhan dengan gagasan sosialisme dan marxisme, dua arus besar yang kelak membentuk tulang punggung pemikirannya. Namun, tak seperti pemikir dogmatis yang beku oleh teks dan terjerat dalam batas-batas teori, Tan Malaka membangun tafsirnya sendiri: sosialisme yang berakar pada realitas Nusantara, bukan sekadar cerminan dari dunia Barat.

 

Di Negeri Kincir Angin, Tan Malaka melahap buku-buku aliran kiri dari para penulis utama seperti Friedrich Nietzsche, Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Kelak di masa depan, pemikiran mereka mengiringi perjuangannya mencari kebebasan dan mengguratkan api perlawanan di cakrawala negeri. Ia mengunyah gagasan revolusi hingga serupa bara yang membakar jiwanya, menjadikannya mercusuar bagi mereka yang tersesat di samudra penindasan. Baginya, revolusi bukan permainan kata, melainkan aksi murni yang tak mengenal basa-basi.

 

Dalam gemuruh zaman yang menuntut aksi nyata, Tan Malaka memilih senjata yang tak lekang oleh waktu, tak lapuk oleh musim—kata-kata dan aksi massa, intelektualisme dan aktivisme. Pemikirannya yang terangkum dalam  Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika) adalah bintang kejora yang menuntun kesadaran bangsa menuju kebebasan sejati. Ia mengajarkan bahwa kemerdekaan bukan sekadar pengusiran penjajah dari bumi pertiwi, melainkan pembebasan pikiran dari belenggu mistisisme dan fatalisme yang membius bangsa dalam kepasrahan yang membeku.


Baginya, revolusi harus bertumpu pada kecerdasan, bukan sekadar amarah yang digelorakan oleh kerumunan massa. Madilog bukanlah kitab dogma, apalagi setumpuk aturan yang membelenggu, melainkan cetak biru bagi manusia merdeka yang berpikir jernih, bergerak dalam kesadaran, dan menolak tunduk pada mitos yang mengaburkan kebenaran. Dalam guratan kalimatnya, Tan Malaka bukanlah seorang teoretikus; ia adalah penyair kebebasan yang menulis dengan tinta darah dan derita. Ia ingin membebaskan bangsa ini dari belenggu kebodohan dan makna hidup yang mati tanpa arti.

 

Di antara gelegar revolusi, dua nama menjulang bagai raksasa sejarah: Soekarno, sang orator api yang menghidupkan bara kemerdekaan, dan Tan Malaka, bayangan abadi yang berkelebat di lorong-lorong gelap perjuangan. Keduanya mencintai tanah air, namun dengan bahasa yang berbeda; mencumbui revolusi, namun dengan irama yang tak seirama. Soekarno menari dalam diplomasi, sementara Tan Malaka menggeretak dengan konfrontasi: perlawanan tanpa kompromi. Sejarah pun mengabadikan ironi: yang satu duduk di singgasana istana, yang lain mati di pengasingan, dilupakan dan tertutup debu zaman. Ia dihukum mati oleh bangsanya sendiri tanpa proses pengadilan. Tragis!

 

Namun, Soekarno dan Tan Malaka ibarat tiang dari rumah yang sama: rumah revolusi, rumah Indonesia. Tanpa Soekarno, revolusi Indonesia akan kehilangan gairah dan cahaya. Tanpa Tan Malaka, revolusi akan kehilangan keberanian dan kemurnian. Dua langit dalam revolusi, berbeda warna namun sama meneduhi bumi pertiwi. Hingga kini, dalam riuh gelombang zaman, nama mereka tetap menggema: satu dalam terang, satu dalam bayangan, tetapi keduanya abadi dalam sejarah.

 

Seorang pejuang sejati adalah mereka yang berani berjalan sendiri, teguh dalam pendirian meski harus hidup dalam sepi, dan Tan Malaka adalah arketipe dari kesunyian itu. Di tengah hingar-bingar revolusi yang melahirkan pahlawan instan, ia memilih jalan terjal penuh liku, berpindah dari satu pengasingan ke pengasingan lain, menghindari jebakan politik pragmatis yang membajak idealisme perjuangan. Dari Penjara ke Penjara mengisahkan hidup yang ia ukir dengan derita, menggambarkan pengembaraannya dari gelapnya sel hingga tajamnya pertarungan politik.


Tan Malaka dikenang sebagai "Bapak Republik Indonesia," meski namanya tak selalu terpatri dalam arus utama sejarah. Pemikirannya, kata Harry A Poeze dalam Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi, menghujam dalam benak Soekarno dan Hatta, mengendap dalam suluh revolusi, menjadi bara yang membakar semangat para pemimpin bangsa. Ia tidak sekadar menulis teori, tetapi bergerak, mengibarkan panji perlawanan melalui organisasi politik dan Partai Murba, yang ia dirikan demi membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan.

 

Di masa kelam, ia bersanding dengan revolusi proletar, menyusuri jalan sunyi dalam perjuangan tanpa kompromi. Ia pernah bersandar pada bahu Partai Komunis Indonesia (PKI), namun tatkala arus ideologi menyimpang dari cita-citanya, ia melepaskan diri pada tahun 1921, memilih jalan sendiri yang lebih puritan, lebih berbatu. Bagi Tan Malaka, kemerdekaan bukanlah buah diplomasi belaka, melainkan hasil dari tempaan jiwa yang tak kenal menyerah, tak kenal kompromi dan negosiasi. Tan Malaka ingin Indonesia merdeka secara purna sebagaimana ia kemukakan dalam Merdeka Seratus Persen.

 

Namun, sejarah bersifat culas. Ia yang seharusnya dielu-elukan, justru dilenyapkan dalam bayang-bayang kekuasaan. Keputusan Presiden RI No. 53 tahun 1963 mengukuhkannya sebagai Pahlawan Nasional, tetapi namanya tetap terkurung dalam senyap, dikaburkan oleh rezim yang menjadikannya hantu di tanah yang ia perjuangkan. Seperti daun yang jatuh tanpa sempat dikenang angin, ia ditelan sunyi, hingga hanya mereka yang mencari akan menemukan jejaknya di lembar-lembar yang terlupakan.

 

Ia diasingkan, ditolak, bahkan oleh mereka yang mengaku sebagai kawan seperjuangan. Dalam drama politik yang berliku, Tan Malaka menjadi hantu yang menggentayangi revolusi Indonesia—disebut, tetapi dihindari; dikagumi, tetapi ditakuti. Kesetiaannya pada cita-cita membawanya ke akhir yang tragis: dieksekusi tanpa pengadilan pada 21 Februari 1949, tubuhnya terkubur tanpa nisan, namanya tenggelam dalam riuhnya kemenangan yang tak pernah sepenuhnya ia percayai.


Betapapun kejamnya arti pengorbanan, sejarah tak dapat menghapus nama yang telah ditorehkan dengan gagasan. Seperti nyala api yang menyelinap dalam gelap, pemikiran Tan Malaka tetap hidup menyala, merasuk ke dalam denyut bangsa yang terus mencari makna kebebasan. Ia bukan sekadar tokoh, melainkan semangat yang tak mengenal batas waktu—seorang pemikir yang menolak tunduk pada takdir, seorang pejuang yang tetap melangkah meski sendirian.

 

Maka, di antara lorong-lorong sunyi, di balik riuhnya pidato-pidato kenegaraan, nama Tan Malaka tetap menggema. Bukan sebagai bayang-bayang yang terlupakan, tetapi sebagai suluh yang terus menerangi mereka yang berani berpikir dan berjuang tanpa pamrih. Ia adalah angin yang berbisik di sela-sela dedaunan revolusi, suara yang tak akan pernah benar-benar padam meski kepingan waktu terus berubah silih berganti. Tan Malaka adalah pemikir revolusi yang berjalan dalam sunyi.

Selasa, 04 Maret 2025

Gus Dur: Islam dalam Pelukan Nusantara


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Pribumisasi Islam, sebagaimana digagas oleh Abdurrahman Wahid—Gus Dur, adalah sulaman halus antara keyakinan dan kearifan lokal, antara agama dan nusantara. Ia menempatkan Islam dalam pelukan budaya, bukan sebagai arus yang menghanyutkan, melainkan sebagai sungai yang menyuburkan tanah yang dilaluinya.

 

Dalam pandangannya, Islam bukan pedang yang mencabik tradisi, tetapi cahaya yang menyinari tanpa menyilaukan. Ia membiarkan agama ini berlayar di samudra kebudayaan, berbaur tanpa kehilangan jati diri, meresapi tanpa menenggelamkan. Islam, dalam tafsirnya, adalah hikmah yang menyesap dalam ruh kehidupan, menyatu dengan nafas bumi tempatnya berakar.

 

Gus Dur memahami Islam bukan sebagai ajaran yang hadir untuk menggusur apa saja yang sebelumnya tumbuh subur, melainkan untuk membaurkan antara prinsip-prinsip universal dengan nilai-nilai lokal. Islam, baginya, bukanlah entitas asing yang mesti meniadakan kearifan Nusantara, melainkan ia harus berakar dalam tanah peradaban yang telah lama tumbuh.

 

Pribumisasi Islam adalah upaya mengharmoniskan ajaran Islam dengan budaya lokal tanpa harus kehilangan esensi dan substansi ajaran wahyu. Pribumisasi adalah jembatan yang menghubungkan pesan langit dengan budaya yang ada di bumi. Ini bukanlah sinkretisme, bukan pula akomodasi yang menggadaikan nilai-nilai tauhid, melainkan cara Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam.

 

Gus Dur membiarkan Islam bertumbuh dalam kebudayaan tanpa tercerabut dari akar syariahnya, sebagaimana air yang mengisi bejana sesuai dengan bentuknya. Islam yang tumbuh di tanah Arab tak serta-merta bisa diterapkan secara kaku di bumi pertiwi, sebab Islam adalah ruh yang harus menyatu dengan gerak zaman dan kehidupan.

 

Pribumisasi Islam bukan sekadar jargon, melainkan dialektika panjang yang diperjuangkan Gus Dur dalam lintasan sejarah. Ia menolak arabisasi yang membelenggu dan menolak puritanisme yang menafikan keragaman. Baginya, Islam harus hadir sebagai spirit yang menyejukkan, bukan palu godam yang menghancurkan khazanah kebangsaan.

 

Gus Dur lahir pada 7 September 1940 di Jombang, dari rahim keluarga ulama besar. Ia tumbuh dalam asuhan pesantren yang mengajarkannya keluasan berpikir dan kebebasan jiwa. Ia melanglang buana ke berbagai negeri, menyerap ilmu dari Timur dan Barat, hingga menjelma menjadi cendekiawan yang melampaui sekat-sekat dogma.

 

Sebagai pemimpin, Gus Dur adalah oase di tengah padang pasir politik yang kering oleh intrik. Dalam setiap tutur katanya, ada kebijaksanaan yang menyerupai hujan yang menyuburkan nurani. Ia membela kaum tertindas yang dipaksa oleh sistem dan keadaan, membela pluralisme sebagai fakta dan sunatullah, dan memperjuangkan Islam sebagai jalan kasih, bukan jalan pedang yang membabat sana sini.

 

Saat menjadi presiden, ia tetap menjadi seorang resi yang berjalan di koridor kekuasaan tanpa kehilangan pijakan moral. Ia dicerca, ditertawakan, bahkan dijatuhkan, tetapi tetap teguh dalam prinsip. Baginya, Islam bukan alat untuk berkuasa, melainkan kendaraan menuju keadilan dan kesejahteraan. Dalam prinsipnya, ia tidak perlu mempertahankan kekuasaan bila harus menumpahkan darah sesama anak bangsa.

 

Pemikiran Gus Dur tentang pribumisasi Islam mendapat perhatian luas dari banyak intelektual, salah satunya Greg Barton. Dalam bukunya Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Barton menyebut Gus Dur sebagai pemikir yang berani menantang ortodoksi Islam konservatif dengan membawa Islam dalam kebudayaan yang lebih luas dan inklusif. Baginya, Gus Dur adalah jembatan yang menghubungkan nilai-nilai tradisi Islam dengan modernitas.

 

Barton menegaskan bahwa konsep pribumisasi Islam adalah strategi yang menghindarkan Islam dari keterasingan di tanahnya sendiri. Dengan cara ini, Islam tetap menjadi kekuatan spiritual dan sosial tanpa terjebak dalam konservatisme yang kaku. Bahkan ketika awal kemunculannya di tanah Arab, Islam mampu berbaur dengan budaya setempat.

 

Sementara itu, Azyumardi Azra menilai bahwa pemikiran Gus Dur merupakan antitesis dari arabisasi yang cenderung menghilangkan identitas lokal. Islam Nusantara yang diperjuangkan Gus Dur, menurut Azra, adalah bentuk Islam yang sejati, yang mampu berdialog dengan kebudayaan tanpa harus kehilangan substansinya. Arabisasi bukan spirit Islam yang hakiki yang diperjuangkan baginda Nabi.

 

Seperti daun yang jatuh tidak pernah membenci angin, Gus Dur telah meninggalkan kita dengan kebijaksanaan yang tak lekang oleh waktu. Pemikirannya tentang pribumisasi Islam terus bersemayam dalam sanubari bangsa, menjadi mercusuar bagi mereka yang mencari jalan tengah antara iman dan tradisi.

 

Kini, meskipun jasadnya telah kembali ke tanah, pikirannya tetap hidup, berdesir dalam angin, berpendar dalam cahaya. Gus Dur bukan sekadar nama, ia adalah gagasan yang terus berdenyut dalam nadi peradaban.

Senin, 03 Maret 2025

Cak Nur: Menjernihkan Air yang Keruh


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Ketika agama menjelma sungai yang keruh, tertimbun endapan kepentingan dan prasangka, maka diperlukan mata air pemikiran yang bening, yang mengalir tenang namun tak terbendung, meresap ke relung terdalam, dan mengembalikan kejernihan makna.

 

Gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid (Cak Nur) tak pernah dimaksudkan memisahkan agama dan dunia secara mutlak seperti yang dituduhkan kebanyakan orang, apalagi mengasingkan iman dari kehidupan.

 

Sekularisasi adalah upaya menanggalkan kesakralan semu dari sesuatu yang sejatinya profan dan keruh (Cak Nur, 2005; Greg Barton, 1999). Sebab, tidak semua yang mengatasnamakan agama itu suci, dan tidak semua yang berembus dari dunia itu nista.

 

Ketika kekuasaan membungkus diri dengan jubah ketuhanan, dan kepentingan duniawi yang berselimutkan ayat-ayat suci, Cak Nur muncul ingin mengembalikan agama ke singgasananya yang luhur dan hakiki: sebagai petunjuk moral yang melampaui kepentingan duniawi, bukan alat legitimasi bagi kekuasaan manusia.

 

Meski aliran sungai pemikran Cak Nur mengalir begitu jernih, tetap saja ada jeram yang ditakuti, ada pusaran yang dianggap berbahaya. Gagasan sekularisasi Cak Nur tak diterima. Ia dihadang, dipersoalkan, dicerca oleh mereka yang menganggapnya sebagai perusak tradisi, sebagai penyulut api yang bisa membakar sendi-sendi keyakinan.

 

Sekularisasi dianggap momok yang menyeret Islam menuju lembah kehancuran. Padahal, Cak Nur hanya ingin membebaskan agama dari belenggu-belenggu yang justru mempersempit maknanya. Ia ingin Islam hadir sebagai cahaya yang tak tertutupi oleh bayang-bayang ambisi dunia, ingin menjauhkan Islam dari upaya politisasi dan kapitalisasi umat berwatak kotor.

 

Dalam pandangan Greg Barton, Cak Nur adalah pemikir besar yang mampu menjembatani dunia Islam dan modernitas, seorang yang berani melawan arus tanpa kehilangan akar spiritualnya. Bagi Barton, sekularisasi yang ditawarkan oleh Cak Nur bukanlah ateisme terselubung, melainkan bentuk tertinggi dari pemurnian iman (Greg Barton, 1999).

 

Karena itu, jargon Islam Yes, Partai Islam No, bukan ingin menceraikan Islam dari politik, tetapi ingin melepaskan agama dari eksploitasi kekuasaan dan kepentingan yang menjijikan. Islam tidak boleh menjadi topeng bagi kepentingan pragmatis. Islam harus tetap wening dan bening, tetap bercahaya, tetap menjadi rahmat bagi semesta.

 

Sekularisasi Cak Nur bukanlah penghapusan nilai-nilai Islam, melainkan penegasannya dalam ruang yang lebih jujur. Sebab, agama yang sejati tidak butuh tameng kekuasaan untuk tetap bercahaya. Iman yang murni tidak akan pernah takut pada dunia, karena ia tumbuh dari keyakinan yang tak tergoyahkan oleh waktu.

 

Untuk menjernihkan air sungai yang keruh, Cak Nur berani menantang badai tuduhan. Ia dituduh sebagai pembelot dan merapuhkan sendi-sendi iman. Tetapi, sebagaimana mata air yang jernih, Cak Nur tetap teguh pada suluh pikirannya. Ia percaya, Islam yang sejati bukanlah Islam yang membangun dinding pemisah antara dirinya dan dunia, melainkan Islam yang menjadi pelita bagi semua, dalam segala zaman dan segala peradaban.

 

Kini, jejaknya tetap hidup, meski ia telah lama berlalu. Kata-katanya masih bergema di antara lembar-lembar keilmuan, dalam perdebatan dan pencarian. Dan sungai yang ia alirkan, tak akan pernah kering. Ia akan terus mengalir, menjangkau mereka yang dahaga akan kebebasan berpikir, kejujuran beragama, dan kelapangan jiwa dalam memahami hakikat Islam yang sesungguhnya.