Minggu, 27 April 2025

Pemikiran Liberal di Gurun yang Gersang




Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Ketika sinar modernitas mengintip di gurun yang gersang, Albert Hourani menulis Arab Thought in the Liberal Age (1798–1939), sebagai sebuah karya akademik yang banyak dirujuk para sarjana dunia. Buku ini seperti kidung panjang tentang kebangkitan kesadaran, elegi tentang pertarungan ide, dan madah tentang kegelisahan intelektual di tengah badai kolonialisme yang menghimpit dunia Arab.

 

Dalam risalah yang mewakili suara dari Timur itu, Hourani memanggil kembali nama-nama besar: Rifa‘ah al-Tahtawi, Khayr al-Din al-Tunisi, Jamaluddin al Afghani, Muhammad Abduh, hingga Thaha Husein. Risalah ini benar-benar menghidupkan ruh mereka yang berani melawan gelap dengan nyala pena, yang menulis dengan tinta hasrat pembebasan. Mereka bukan imitator Barat, bukan pula pengekor yang taklid buta, melainkan penjaga gerbang Timur yang menahan bengisnya gempuran kolonialisme.

 

Hourani tidak menempatkan dirinya sebagai hakim, tetapi sebagai penyair sejarah yang tahu bahwa kebenaran bukan monolit, melainkan cahaya yang memancar dari prisma zaman. Ia mendekati sejarah Arab dengan cinta seorang anak terhadap bahasa ibunya—penuh hormat, sabar, dan ingin mengerti, bukan menghakimi. Di tangannya, sejarah liberalisme Arab bukan hanya kronik, tapi drama ruhani yang membentangkan harapan dan upaya keras dalam menyeimbangkan iman dengan akal, tradisi dengan pembaruan, masa lalu dan masa kini, demi masa depan yang lebih baik.

 

Saat dunia membangun tembok tinggi antara Timur dan Barat, Hourani membentangkan jembatan yang bisa menghubungkan keduanya. Ia bukan sekadar peneliti Oriental, tapi anak Timur yang menemukan suara Timur di dalam hati Barat. Ia lahir dari jalinan identitas yang lembut dan kompleks—darah Lebanon mengalir dalam tubuhnya, namun matanya menatap dunia dengan kritisisme Barat—Hourani bukan sekadar pengamat, ia adalah penyaksi yang lembut terhadap pergolakan ruh dunia Arab.

 

Para Pembawa Lentera:

Dari Tahtawi Hingga Taha Husein

Dalam hamparan sejarah panjang dunia Arab yang penuh liku, ada beberapa tokoh pembaharu berjalan membawa lentera di tangannya. Mereka adalah para penyeru fajar yang menantang kegelapan zaman. Dari Rifa'ah Rafi' al-Tahtawi hingga Taha Husein, terbentang sebuah jalan cahaya, jalan pembebasan akal dan penyucian jiwa, jalan di mana tradisi lama bertemu hasrat baru akan kebebasan dan pencerahan.

 

Rifa'ah al-Tahtawi (1801–1873), imam muda yang mengembara ke tanah Perancis, kembali dengan mata yang telah dicuci air kebangkitan. Ia menulis tentang "tanwir" — pencerahan — bukan hanya sebagai adopsi buta terhadap Barat, melainkan sebagai seruan untuk menggali kembali khazanah Islam sendiri dengan jiwa merdeka. Dalam Takhlis al-Ibriz, ia menulis seolah-olah membangunkan umatnya dari tidur panjang: bahwa ilmu pengetahuan, kebebasan berpikir, dan keadilan sosial adalah kewajiban syar'i, bukan pemberian asing.

 

Hourani melihat Tahtawi sebagai "pembuka gerbang" — seorang yang dengan lembut namun pasti memperkenalkan gagasan bahwa Islam dan modernitas tidaklah dua kutub yang berseteru, melainkan dua sungai yang bisa bertemu dalam samudera akal sehat dan nurani. Islam tidak menentang modernitas, malah menyambutnya dengan lapang dada. Bahkan, begitu banyak ayat-ayat Ilahiyah yang menyeru manusia untuk menggunakan daya nalar dan mendalami ilmu pengetahuan.


Lalu datang Jamal al-Din al-Afghani (1838–1897), api yang lebih liar dan menyala. Dengan retorika yang tajam, ia menyeru dunia Islam untuk tidak hanya bangkit, tetapi juga melawan. Dalam naskah-naskahnya yang penuh bara perlawanan, Afghani menuntut umat Islam untuk mengusung rasionalitas dan teknologi, menentang kolonialisme dengan bukan hanya pedang, tetapi juga pena dan pikiran yang merdeka sebagai senjata.

 

Maka, tidaklah heran bila sejarawan Nikki Keddie mencatat bahwa Afghani "adalah penggerak ideologis pertama dalam sejarah modern Islam" — sosok yang memahami bahwa pembaruan bukanlah imitasi, melainkan reaktualisasi ruh ijtihad yang telah lama dikubur. Gagasan Afghani tentang Pan-Islamisme membangkitkan hasrat umat Islam Dunia untuk bangkit dan melawan segala bentuk penjajahan.

 

Kemudian, dari bara Afghani itu, lahir Muhammad Abduh (1849–1905), murid yang lebih bijak dan memiliki daya ledak yang lebih luas. Abduh bermimpi membangun sebuah dunia di mana agama dan akal saling bersenyawa; tidak bertentangan apalagi saling mengalahkan. Dalam Risalat al-Tawhid, Abduh mempertegas: iman sejati tidak bertentangan dengan nalar; malah, nalar adalah lentera bagi jalan iman. Ia merintis reformasi pendidikan, membersihkan aqidah dari kerak taklid buta yang membelenggu, dan menanam benih rasionalisme di jantung tradisi.

 

Seperti yang ditegaskan Malcolm Kerr, Abduh adalah "sang perantara" — antara Timur dan Barat, antara masa lalu yang agung dan masa depan yang penuh kemungkinan. Ia bukan sekadar pembaharu; ia adalah penjaga jiwa Islam agar tetap hidup di tengah badai zaman. Abduh tidak sudi melihat umat Islam terperangkap dalam jurang fatalisme, pemahaman takdir yang psimistis, yang tak memiliki daya juang.

 

Dan di antara pengikut Abduh yang melanjutkan gagasan besarnya adalah Taha Husein (1889–1973). Ia memang buta, tapi melihat lebih dalam dari yang bermata. Dalam Fi al-Shi'r al-Jahili, ia meruntuhkan keangkuhan sejarah tradisional dan membuka jalan bagi kritik ilmiah yang bebas dari beban sakralitas palsu. Ia membayangkan Mesir — dan Arab — sebagai bagian dari peradaban dunia, bukan ghetto nostalgia.

 

Edward Said menyebut Taha Husein sebagai "pembebas teks" — sosok yang mengajarkan bahwa tradisi bukanlah rantai, melainkan ladang luas yang harus dibajak kembali dengan tangan berani. Ia menolak dikotomi palsu antara Timur dan Barat, seraya merangkul keduanya sebagai dua sisi dari pencarian manusia yang abadi akan makna.

 

Dari karya Hourani ini, kita bisa melihat sebuah perjalanan agung: dari cahaya kecil yang bergetar di tangan seorang alim muda, hingga api besar yang membakar belenggu pikiran kolektif. Mereka adalah para pembawa lentera — bukan untuk memadamkan malam, melainkan untuk menunjukkan bahwa dalam setiap kegelapan, selalu ada janji fajar yang menerangi lorong-lorong gelap dan sudut-sudut pengap. Dalam gema nama-nama mereka, kita mendengar bisikan abadi: bahwa kebangkitan bukan sekadar bangun dari tidur, tetapi berani menatap dunia dengan mata hati yang menyala.


Edward Said menyebut Hourani sebagai penjaga nurani Timur, dan Hamid Dabashi menyebutnya sebagai peziarah hikmah. Keduanya benar. Dalam Hourani, kita tidak membaca sejarah sebagai museum, tetapi sebagai taman dengan bunga yang bisa tumbuh kembali—jika kita cukup berani menyiraminya dengan pertanyaan.

 

Di tengah dunia Arab yang terus bergolak—dari harap Arab Spring yang gugur sebelum mekar, hingga reruntuhan Damaskus yang menyimpan sunyi berabad-abad—karya Hourani seperti jam tua di dinding masjid yang terus berdetak, mengingatkan kita bahwa waktu bukan musuh, tapi guru. Hourani tidak hanya menulis sejarah, ia mendoakan mereka yang hidup di dalamnya. Pemikir-pemikir liberal Arab dalam kisahnya bukan hanya nama dalam daftar pustaka, tetapi roh yang masih menunggu pembaca yang bersedia merasakan luka dan harapan sekaligus.

 

Dalam ketegangan antara iman dan akal, antara warisan dan kebaruan, Hourani menemukan kemungkinan: bahwa dunia Arab tidak mati dalam tradisi, dan tidak tenggelam dalam imitasi, tetapi bisa bangkit dengan akarnya sendiri, dan menjulang sebagai pohon yang bebas—berakar di bumi, tapi rindang di langit.

 

Selamat membaca!



Kamis, 17 April 2025

Dialog Imajiner: Andai Nabi Kembali di Abad Ini


Dialog Imajiner: Andai Nabi Kembali di Abad Ini

Tentang Nasab yang Dikapitalisasi dan Agama yang Dipolitisasi

Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Nabi Muhammad Saw. memang telah pergi. Ia telah menyeberang ke sisi dunia yang tak lagi bisa disentuh oleh waktu dan musim. Ia telah meninggalkan kita—bukan karena membelakangi, tapi karena tugasnya telah purna. Ia telah menyelesaikan risalah agung, menaburkan cahaya, dan membuka jalan terang bagi mereka yang ingin pulang di jalan yang benar. Dan setelah itu, ia tidak tinggal untuk disembah, tapi pergi agar kita belajar mencintainya tanpa kehadiran.

 

Kita, umatnya, tidak akan mungkin bertemu dengannya di dunia ini. Bukan karena cinta kita kurang, tetapi karena ruang dan waktu telah menetapkan batas yang tak bisa dilompati oleh kerinduan semata. Tak ada perjalanan fisik yang dapat mengantarkan kita kepadanya, tak ada pesawat, tak ada langkah, tak ada jalur diplomasi menuju Mekah-Madinah abad ketujuh dulu yang merekam seluruh perjuangannya dengan segenap suka dan dukanya.

 

Tapi justru di situlah letak keajaibannya. Ia yang telah pergi, justru paling hidup dalam hati mereka yang mencintai. Ia yang tak bisa dijumpai, justru paling dekat dengan air mata yang jatuh saat bershalawat. Tak ada jarak sejauh cinta. Dan tak ada cinta sebesar rindu yang membuncah kepada manusia yang menyinari dunia meski wajahnya tak pernah kita tatap walau sekejap mata. Seperti bait syair Taufiq Ismail yang didendangkan BIMBO: “Rindu Kami Padamu Ya Rasul/Rindu Tiada Terperi/Beradab Jarak Darimu Ya Rasul/Serasa Dikau di Sini”.

 

Kita tak akan bisa menggenggam tangannya di dunia ini. Namun kita bisa menggenggam warisannya: akhlaknya, kelembutannya, keberaniannya, dan senyum sabarnya di tengah zaman yang penuh dengan gemuruh dan kedangkalan makna. Ia memang tak lagi ada di antara kita secara jasadi. Tapi setiap kali kita memilih jujur dalam tindakan, lembut dalam kekuasaan, dan sabar dalam derita—ia hadir. Diam-diam. Dalam laku kita setiap saat.

---

Nabi Muhammad memang tak lagi ada di dunia ini. Tapi di malam-malam yang kerap didekap rasa gelisah ini, aku  kerap bertanya dalam keheningan diri yang bukan sekadar sepi: “Apa jadinya jika Nabi yang agung itu kembali hidup dan berjalan bersama kita di abad ini—abad yang canggih tapi gamang, abad yang berkilau tapi keropos oleh kegelisahan spiritual dan makna hidup yang tandus?”. Begitulah dialog imajiner yang bergejolak dalam batin ini. Aku membayangkan bertemu Rasul dan bertanya tentang beberapa hal kepadanya.

 

Nabi, dalam khayalku, andai ia hadir kembali di abad ini, ia tidak datang dengan sorak sorai atau pawai kehormatan. Karena memang ia tidak ingin dipuja. Apalagi dikeramatkan (disakralkan). Ia tidak muncul di layar kaca, tidak menghadiri forum elite, tidak berpose di konferensi pers. Ia berjalan pelan, seperti biasanya, membelah lorong-lorong kota yang riuh oleh poster-poster pemilu dan baliho-baliho bertuliskan nama-nama keluarganya—yang kini menjadi semacam merek dagang, dijual dalam diskursus keagamaan yang sudah kehilangan cahaya.

 

Di hadapannya aku ingin menyapanya, tapi lidahku kelu tak berdaya. Sebab dalam diamnya saja, aku seperti dihakimi oleh cermin yang bening sekali. Tapi entah dari mana keberanian itu datang, aku bertanya, pelan, gemetar: "Ya Rasulullah, jika engkau menyaksikan bagaimana sebagian orang kini menjadikan keturunanmu sebagai alat untuk menjual legitimasi, bagaimana mereka memperdagangkan garis darahmu untuk meraih kehormatan dan suara, apa yang akan engkau katakan?".

 

Isu nasab dalam beberapa tahun ini memang sedang jadi buah bibir di masyarakat. Ia menatapku dengan tatapan yang dulu membuat batu Mekah pun remuk oleh iba. Kemudian ia menjawab, tanpa marah, tanpa gegabah, tapi setiap katanya seperti pisau yang melucuti kepalsuan dan kebusukan, menelanjangi topeng yang dipakai mereka yang mengaku keturunan nabi.

 

"Nasab adalah amanah, bukan tiket untuk dihormati. Siapa pun yang mengangkat namaku untuk menjatuhkan orang lain, atau membungkus kerakusannya dengan sorban nasab, maka ia bukan pewarisku, tapi penjiplak bayanganku. Aku tidak meninggalkan agama untuk dijadikan panggung. Aku tidak mewariskan darah untuk dijadikan alasan menindas."

 

“Ketahuilah, nasab bukanlah mahkota yang diwariskan di atas kepala, tapi akhlak yang diwariskan lewat laku.  Siapa pun yang mencatut namaku, namun berperilaku seperti Firaun yang membungkus kekuasaan dengan doa, ia telah mengubur kecintaan umat di bawah reruntuhan kesombongan. Aku datang membawa kemanusiaan, bukan kasta.  Dan jika hari ini engkau melihat orang-orang menjual nama keluargaku seperti saham di bursa agama, ketahuilah—itu bukan risalah yang kutinggalkan, melainkan nafsu yang memakai jubah keagungan."


Dalam kebudayaan kita hari ini, nasab telah menjadi komoditas. Orang-orang mengangkat silsilah sebagai alat meraih harta benda, popularitas dan kehormatan. Nama keluarga Nabi diperdagangkan dalam iklan, dalam politik identitas, dalam proyek-proyek representasi. Seolah menjadi cucu biologis berarti menjadi wakil kebenaran mutlak. Nasab dikapitalisasi untuk memupuk materi, gengsi dan ketenaran dunia.

 

Padahal, seperti kata Ali Shariati, revolusi Islam tidak bertumpu pada garis darah, tapi pada keberpihakan kepada keadilan. Dan keberpihakan itu tidak diwarisi lewat genetik, tapi dipilih lewat keputusan eksistensial manusia. Islam bukan agama darah, tapi agama yang menjunjung ilmu dan adab (akhlak). Siapa yang menjadikan nasab sebagai alat maka ia telah menyelewengkan ajaran nabi yang suci.

 

Rasulullah—dalam khayalku yang mungkin terlalu fana untuk menyentuh hakikatnya—tidak pernah membanggakan nasab. Bahkan ia memperingatkan: bahwa keturunan tidak menjamin kemuliaan, dan siapa pun yang sombong karena silsilah, hakikatnya sedang menyembah dirinya sendiri, bukan Tuhan. Dan siapa yang membanggakan silsilah sebetulnya ia tidak memiliki apa-apa dalam dirinya: tak punya kapasitas, tak punya otoritas apa-apa dalam agama, seperti pernah disampaikan KH. Said Agil Sirraj, mantan Ketua Umum PBNU, baru-baru ini dalam sebuah Podcast bersama Akbar Faisal.

 

Aku terdiam. Tapi pertanyaanku belum selesai sampai di situ. Maka kutanyakan pula: "Lalu bagaimana dengan mereka yang memungut ayat dan hadis untuk mengukuhkan kekuasaan? Yang mengatur tafsir agar sejalan dengan kebijakan? Yang menjadikan agama sebagai alat siasat, bukan pelita batin?" Agama seringkali dipolitisasi untu kepentingan kuasa hingga kehilangan makna hakikinya.

 

Dalam imaji-ku, Nabi menjawab: "Agama," katanya dengan lirih, "bukan alat. Ia adalah jalan. Jika politik datang untuk menegakkan keadilan, maka ia adalah saudara agama. Tapi jika ia datang untuk membungkam, menjarah, dan menipu atas nama Tuhan, maka agama hanya akan menjadi topeng."

 

"Aku datang bukan membawa tahta, tapi tugas. Ketika Mekah bersujud padaku, aku memilih untuk bersujud kepada-Nya. Tapi kini, mereka mengangkat namaku di mimbar-mimbar, untuk mengangkat dirinya sendiri. Mereka berbicara seolah membawa wahyu yang pernah aku terima, padahal hanya membawa kepentingan sendiri."

 

Aku bayangkan Rasul berkata pelan, dengan nada sesal namun ia tahan: “Agama bukan panggung, dan aku bukan tokoh drama. Aku datang bukan untuk membangun kekuasaan, tapi menegakkan kesaksian. Siapa pun yang menjadikan agamaku sebagai senjata untuk merebut jabatan, ia telah mencemari sumur yang dulu kutimba dengan air air mata.”

 

Seketika suasana batin ini menjadi berat, seperti langit yang menahan hujan. Aku ingin menjawab, ingin membela zaman, tapi tak ada kalimat yang cukup bersih untuk dipersembahkan di hadapan Nabi. Maka aku hanya bisa berkata lirih: "Aku malu, Ya Rasul. Sebab nama-Mu kini dipakai untuk membenarkan kekuasaan yang menindas. Gelar keluargamu dijual dalam pasar gengsi. Dakwah berubah menjadi bisnis. Dan sunnah menjadi seleksi sosial. Kami tak tahu lagi, mana warisanmu, mana warisan mereka yang hanya mengaku-ngaku."

 

Nabi tidak marah. Ia hanya mengangkat matanya ke langit, dan berkata pelan: "Ketahuilah! Risalahku tidak diwariskan dalam nama, tapi dalam akhlak. Siapa pun yang jujur, ia dekat denganku, meski tidak satu darah. Siapa pun yang menindas, ia jauh dariku, meski mengaku ahli bait. Jangan biarkan agamaku menjadi alat dagang atau senjata politik. Bawalah ia kembali ke hati: tempat di mana ia pertama kali turun."

 

Dialog imajiner ini sungguh melegakan batin ini yang sebelumnya gusar melihat watak dan retak orang-orang yang hobi mengkapitalisasi nasab dan mempolitisasi agama dengan tujuan dunia sesaat. Tidak berapa lalu, kemudia ia berdiri, dan seperti cahaya yang kembali ke matahari, ia hilang. Tapi suaranya tinggal, menempel di dinding dadaku. Ia berkata: "Jadilah seperti pelita kecil. Jangan takut pada gelap yang besar. Jangan biarkan namaku diseret ke pasar. Bawa risalahku ke jalan yang sepi—di mana hanya keikhlasan dan cinta yang menjadi bekal." 

 

Dan kata-kata itu menggema dalam kesadaran yang paling sunyi: bahwa kita hidup dalam zaman ketika nama Nabi Muhammad Saw sering kali lebih terdengar dalam debat politik daripada dalam permenungan spiritual. Bahwa mihrab telah digeser oleh panggung, dan kalimat-kalimat suci dibungkus seperti slogan kampanye.

 

Rumi pernah menulis, “Kebenaran bukan di luar sana, tapi menunggu di dalam dirimu, seperti bulan yang malu-malu memandang laut.” Maka mungkin, jika Nabi datang hari ini, ia tidak akan menghadiri debat atau duduk di kursi kehormatan. Ia akan mengetuk pintu hati kita satu per satu, menanyakan bukan seberapa keras kita membela namanya di media sosial, tapi seberapa dalam kita meneladani akhlaknya dalam senyap.

 

Aku kembali ke dunia, setelah imaji itu perlahan mulai memudar bersama sinar pagi yang datang dengan perlahan menyapu gelapnya sisa-saia malam. Tapi aku tahu, aku tak lagi sama. Dalam dada ini kini tinggal beban yang sekaligus cahaya: untuk tidak menjadikan agama sebagai alat, tidak menjadikan nasab sebagai alasan, dan tidak menjadikan Nabi sebagai simbol kosong.

 

Sebaliknya, aku ingin menjadikannya gema di setiap laku: dalam kejujuran, dalam keberpihakan kepada yang lemah, dalam kesederhanaan yang menolak dipuja, dalam cinta yang tidak ingin menguasai, tapi membebaskan. Maka jika hari ini, aku bertanya:  “di mana Nabi?” Jawabannya bukan di garis keturunan. Juga bukan di podium politik.  Tapi di dalam diri kita sendiri: di dalam setiap langkah dan laku hidup kita.

 


Selasa, 15 April 2025

Al Hallaj: Saat Cinta Menyebut Namanya Sendiri


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Fajar belum juga sempurna menyingsing, ketika angin pagi menelusup sunyi di lorong-lorong pasar yang beku oleh ketakutan. Kota Baghdad kala itu, tepatnya 27 Maret 933 M, benar-benar hening tak bersuara, seakan waktu menahan napasnya demi menyaksikan drama agung yang akan menggetarkan langit dan bumi, kelak dicatat dalam tinta sejarah tentang nyala cinta yang menyebut namanya sendiri, namun harus dieksekusi di tiang gantungan.

 

Di antara dinding-dinding yang menghitam oleh kabut sejarah yang dikendalikan ulama ortodoks, seorang lelaki berjubah putih melangkah perlahan. Wajahnya tenang namun teduh, matanya tajam namun membara. Dialah Husayn ibn Manshur al-Hallaj, sang kekasih Tuhan yang akan dipersiapkan untuk perjamuan terakhirnya. Ia akan dihukum gantung sebagai martir oleh tuduhan yang sama sekali tidak masuk akal.

 

Ia tidak memberontak. Tidak meratap. Tidak pula berkhutbah sebagaimana lazimnya para sufi yang dituduh sesat. Ia berjalan seakan menari dalam diam, seolah langkahnya adalah ayat-ayat sunyi yang mengalir dari Lauh al-Mahfuz. Di sekelilingnya, pasukan bersenjata mendampingi tanpa kata. Umat ramai berkerumun di kejauhan, mulut mereka terkunci oleh keraguan, oleh rasa takut pada penguasa, atau mungkin oleh kekaguman yang tak sanggup mereka jelaskan.

 

Di hadapan tiang gantungan yang siap menyergap, langit menggantung kelabu. Burung-burung enggan terbang, dan waktu seakan merunduk dalam keheningan suci. Dari arah berlawanan, datanglah Abu al-Harits al-Sayyaf—algojo bertubuh kekar dan kasar, wajahnya keras bak batu karang, matanya seperti baja dingin yang tak mengenal ampun. Ia melangkah pongah, mengira dirinya akan mengeksekusi seorang durjana. Padahal ia adalah sang pecinta, kekasih Tuhan yang nyalanya kembali ke Api.

 

Namun di hadapan Al Hallaj, kesombongan dan kepongahan sang algojo ibarat debu di hadapan mahkota raja. Ia mengangkat tangannya, lalu menampar pipi sang sufi dengan kasar. Seketika darah mengucur dari hidung Al Hallaj. Jubahnya, putih seperti bulan, kini berwarna merah saga. Tapi ia tidak berseru. Tidak membalas. Ia hanya menunduk, lalu perlahan bersujud di atas tanah yang dingin dan berkata, dengan suara lirih namun mengguncang arasy:

 

اِلهِى اَصْبَحْتُ فِى دَارِ الرَّغَائِبِ أَنْظُرُ اِلَى الْعَجَائِبِ

“Tuhanku, kini aku telah berada di Rumah Idaman. Aku melihat betapa banyak keindahan yang mengagumkan”.


Lalu ia meneruskan: “Ya Ilahi, di tengah arus darah ini, aku tidak memohon keselamatan dari mereka yang menganiayaku, melainkan keselamatan bagi mereka dari murka-Mu. Sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Aku tidak melihat kecuali wajah-Mu dalam diri mereka.”

 

Langit pun tampak mengerutkan keningnya. Para saksi mencatat bahwa bumi bergetar halus kala sujud itu terjadi, seolah turut bersujud bersama tubuh yang akan dipatahkan oleh kekuasaan dan kesombongan. Dalam luka, Al Hallaj tetap bercahaya. Ia tidak gentar apalagi gemetar. Dalam cercaan, ia tetap bercinta. Ia bukan lagi tubuh yang akan digantung, melainkan nyala yang hendak kembali ke Api Asal-Nya.

 

Dan dalam bening matanya yang terakhir, para pencinta melihat cermin rahasia: bahwa dalam kematian, seorang sufi bisa lebih hidup dari seribu orang yang hidup. Bahwa dalam penderitaan, cinta kepada Tuhan bisa menemukan puncak-puncaknya yang paling murni—di tempat di mana kata-kata berhenti, dan hanya diam yang mampu berbicara.

 

Beberapa saat sebelum eksekusi mati dimulai, Al Hallaj berdo’a:

 

إلهِى هَؤُلاَءِ عِبَادُكَ قَدِ اجْتَمَعُوا لِقَتْلِى تَعَصُّبًا لِدِينِكَ وَتَقَرُّبًا اِلَيْكَ, فَاغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ لَوْ كَشَفْتَ لَهُمْ مَا كَشَفْتَ لِى لَمَا فَعَلُوا مَا فَعَلُوا. وَلَوْ سَتَرْتَ عَنِّى مَا سَتَرْتَ عَنْهُمْ لَمَا ابْتُلِيْتُ مَا ابْتُلِيْتُ. فَلَكَ الْحَمْدُ فِيْمَا تَفْعَلُ وَلَكَ الْحَمْدُ فِيْمَا تُرِيْدُ.


“O, Tuhanku, mereka adalah hamba-hamba-Mu. Mereka telah berkumpul untuk membunuhku, karena semangat yang menggebu-gebu untuk membela agama-Mu dan ingin dekat dengan-Mu. Ampunilah mereka. Andai saja Engkau singkapkan kepada mereka seperti apa yang telah Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak akan melakukannya. Andai saja Engkau membutakan mata-hatiku, seperti membutakan mata-hati mereka, niscaya aku tidak akan mengalami cobaan seperti ini. Hanya bagi-Mu lah segala puji atas apa yang Engkau putuskan, dan hanya bagi-Mu lah segala puji atas apa yang Engkau kehendaki”.

 

Nyala yang Kembali ke Api

Al-Hallaj adalah bara cinta yang menyala dalam gelap zaman. Ia bukan sekadar sufi, melainkan pecinta yang mabuk, yang rela digantung di tiang eksekusi demi cinta-Nya yang begitu dalam kepada Sang Kekasih: Allah SWT. Seperti dikisahkan oleh Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimensions of Islam, “Al Hallaj bukan hanya seorang mistikus, tapi juga martir yang menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada cinta Ilahi, sampai titik di mana identitas pribadinya lenyap dalam Ketuhanan.”

 

Dalam jerit sunyi yang menggema melampaui waktu, ia melantunkan kata-kata yang membuat langit menahan nafas: “Ana al-Haqq!” – Akulah Kebenaran. Suara itu benar-benar mengguncang ortodoksi. Sebuah konsep bernama ḥulūl, yakni penjelmaan atau "inkarnasi" Tuhan dalam diri manusia, dikenal di kemudian hari. Tapi hulul bukan sekadar teori metafisika, melainkan pengalaman ruhani seorang sufi, ketika sang pecinta menyatu dengan Yang Dicinta, hingga batas-batas lenyap, hingga "aku" menjadi "Dia".

 

Dalam syair-syairnya yang memabukkan, Al Hallaj menulis:

 

أنا من أهوى و من أهوى أنا # نحن روحاني حللنا بدنا

فإذا أبصرتني أبصرته # فإذا أبصرته أبصرتنا

 

“Aku adalah Dia yang kucinta, dan Dia yang kucinta adalah aku. 

Kami adalah dua ruh yang melebur dalam satu.

Bila kau memandangku, kau memandang-Nya.

Bila kau memandang-Nya, kau memandang Kami”

 

Para fuqaha mengutuknya, para penguasa mengkhawatirkannya, tapi para sufi meneteskan air mata: karena mereka tahu, Al Hallaj telah sampai pada maqam fana yang hakiki, ketika eksistensi pribadi luluh dalam Keberadaan Mutlak. Ibn Arabi, sang mahaguru wahdatul wujud, berkata: “Al Hallaj dibunuh bukan karena mengatakan ‘Ana al-Haqq’, tetapi karena orang-orang tidak memahaminya.” Atau, seperti dikatakan Louis Massignon, karena alasan politik yang membuatnya harus meregang nyawa.


Sahl Al Tustari, Al Junaid dan Al Syibli sahabatnya, seperti dikutip KH. Husain Muhammad dalam Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan, terpana dan shock berat. “Oh, Al Hallaj, seharusnya kau tak sebarkan rahasia Tuhan itu kepada publik semacam itu. Biarlah kata-kata itu menjadi milik hati kita saja. Mereka belum mengerti dan belum sampai.”

 

Warisan Al Hallaj bukan hanya darah yang tumpah di tiang gantungan Baghdad. Ia meninggalkan “Kitab al-Tawasin”, karya yang berlapis makna dan penuh simbol mistik. Dalam bagian "Tasin al-Azal", ia melukis kemegahan Iblis yang memilih tidak sujud karena hanya ingin menyembah satu Tuhan — tafsir cinta yang kontroversial namun menggugah.

 

Kitab ini bukan risalah logika, melainkan madah cinta yang melompat dari huruf ke langit. Seorang orientalis, Louis Massignon—yang sepanjang hidupnya mencintai Al Hallaj sebagaimana Al Hallaj mencintai Tuhan—menulis dalam The Passion of Al-Hallaj, “Setiap kata dalam karya Al Hallaj adalah luka dan doa. Ia menulis bukan dengan tinta, tapi dengan darah cintanya.”

 

Kisah Al Hallaj adalah tragedi yang agung, opera kosmik tentang manusia yang terlalu mencintai Tuhan. Ia mati dieksekusi bukan karena mengaku Tuhan, tetapi karena menelanjangi cinta yang terlalu murni untuk diterima dunia. Dalam malam-malam saat di penjara, ia masih bersyair, masih tersenyum, karena ia tahu: tiang gantungan bukan akhir, tapi gerbang menuju pelukan Kekasih.

 

Jalaluddin Rumi, sang matahari dari Balkh, berkata tentang Hallaj: “Siapa yang mengerti rahasia ‘Ana al-Haqq’ akan meletakkan kepalanya di atas palu hukum,  karena di sanalah cinta menemukan bentuk yang paling sempurna.” Bagi Rumi, “Ana Al Haqq” adalah puncak kerendahan hati seorang Al Hallaj seperti ia rekam dalam Fihi Ma Fihi berikut:

 

يقول أنا الحق: أنا عدم وهو الكل, لا وجود إلا الله, أنا بكليتي عدم, أنا لست شيئا

Ucapan “Ana Al Haqq” sama dengan “Ana ‘Adam” (aku tiada), Dialah Totalitas Absolut-Universal (Huwa Al Kulliyyah). Tak ada eksistensi kecuali Allah. Aku dengan seluruh eksistensiku adalah tiada. “Ana Lastu Syai’an” (aku bukanlah apa-apa).

 

Al Hallaj tidak pernah sekalipun menyatakan dirinya sebagai Tuhan—sebagaimana telah lama disalahpahami oleh lidah-lidah yang tergesa menafsir, dan hati-hati yang enggan menenggelamkan diri ke kedalaman samudra makna. Ia tidak pernah mengaku sebagai Rabb (Tuhan), melainkan ia larut dalam Cinta-Nya, luluh dalam Lautan Ketunggalan yang tak bertepi.

 

Apa yang diucapkannya—"Ana al-Haqq"—bukanlah teriakan kesombongan seorang manusia yang hendak menyetarakan diri dengan Sang Pencipta, tetapi rintihan makhluk fana yang telah terbakar seluruh dirinya oleh Cahaya Yang Mahasuci, hingga yang tersisa hanyalah pantulan-Nya semata. Seperti cermin yang bersinar karena menangkap cahaya matahari, bukan karena ia memiliki cahaya itu sendiri.

 

Dalam syairnya yang tenang namun mengguncang, Al Hallaj pernah berkata:

 

أنا سر الحق ما الحق أنا # بل أنا حق ففرق بيننا

“Aku adalah rahasia Yang Mahabesar, dan bukanlah Yang Mahabenar itu aku. Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami.”

 

Bagi para arif, kata-kata Al Hallaj bukan untuk diperdebatkan di ruang-ruang dingin para hakim duniawi. Ia adalah bahasa langit, yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang hatinya telah dibakar oleh rindu. Maka, jika kau mendengarnya berkata “Ana al-Haqq”, jangan buru-buru menghunus pedang fatwa. Tunggulah sejenak, dan dengarkan dengan mata batinmu. Karena bisa jadi, itu bukan suara Al Hallaj—melainkan gema dari Kekasih yang sedang berseru lewat lidah kekasih-Nya.

 

Al Hallaj kini telah tiada, tubuhnya terurai dalam debu Baghdad. Tapi kata-katanya hidup, membakar jiwa-jiwa yang merindukan Tuhan. Ia adalah martir suci dalam altar cinta, syahid dalam peperangan melawan ego dan dunia. Dalam setiap getar tasbih yang tulus, dalam setiap airmata yang jatuh saat malam sunyi, Al Hallaj hidup. Ia adalah burung yang terbakar demi terbang menuju matahari, dan justru dalam terbakar itu, ia mencapai kebebasan.

 

Minggu, 13 April 2025

Ahmad Wahib: Pribadi yang Selalu Gelisah


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Di antara gemuruh suara pembaruan Islam Indonesia, tiga sosok telah lama menjadi mercusuar yang hingga kini nama mereka sering kali dikenang: Nurcholish Madjid (Cak Nur), Djohan Effendi, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).  Namun, di lorong-lorong sunyi pemikiran, dan di antara lembaran-lembaran catatan yang lebih banyak berbisik daripada berseru, ada satu nama yang tak boleh kita hilangkan dalam renungan sejarah pemikiran Islam Indonesia, yaitu Ahmad Wahib.

 

Ia adalah nyala yang tak menyala dengan gegap, tetapi membakar dalam pribadi yang sunyi. Ia adalah anak zaman yang gelisah, yang enggan tunduk pada dogma tanpa tanya, yang merayakan setiap renungan sebagai ziarah menuju kebenaran. Ia, dengan segala kegelisahannya, menjelma menjadi potret seorang pencari yang tak pernah lelah menyusuri lorong-lorong keimanan dan rasionalitas. Ia bukan pemikir yang mengekor, melainkan api yang menyala dalam malam yang gelap, membakar sekat-sekat kebekuan berpikir yang dikultuskan.

 

Seluruh percikan pemikirannya ia catat dalam Pergolakan Pemikiran Islam, sebuah kitab renungan yang lebih dari sekadar memoar, tetapi juga jeritan dari seorang jiwa yang mendamba kebebasan berpikir. "Tuhan belum selesai didekati," tulisnya, seakan ia ingin berkata bahwa pencarian akan kebenaran adalah perjalanan yang tak berujung. Baginya, keyakinan bukanlah bangunan yang selesai dibangun, melainkan rumah yang harus terus direnovasi agar tetap hidup dalam setiap zaman. Ia mempertanyakan, menggugat, tetapi tak pernah meninggalkan jejaknya dari medan iman.

 

Dalam catatan hariannya itu, yang kemudian menjelma menjadi kitab perenungan, Ahmad Wahib menampilkan wajah Islam yang gelisah, yang tak puas pada jawaban-jawaban usang, yang terus menggali makna dari setiap serpihan wahyu. Ia menggugat ketidaktulusan, menantang kedangkalan, dan menghidupkan kembali semangat bertanya yang menjadi inti dari pencarian intelektual sejati. Baginya, iman tidak boleh membatu; ia harus berdenyut, harus berdialog dengan realitas, harus siap dipertanyakan agar tetap bernyawa. Iman harus bertegur sapa dengan akal.

 

Namun, kegelisahan yang dirasakannya itu bukanlah tanda keingkaran, melainkan cinta yang mendalam. Seperti Layla yang dipuja Majnun pada setiap waktu, Ahmad Wahib mencintai Islam dengan cara yang mungkin tak dipahami oleh mereka yang hanya ingin mengawetkan keyakinan dalam bejana kebekuan. Baginya, Tuhan bukanlah monumen yang bisu, melainkan suara yang terus berbisik dalam setiap hembusan angin, dalam setiap pertanyaan yang mengguncang batin. "Tuhan janganlah dibuat untuk kepentingan manusia," tulisnya, sebuah seruan yang mengguncang, sebuah gugatan yang menuntut kejujuran dalam beragama.

 

Greg Barton, dalam “Gagasan Islam Liberal di Indonesia”, menyebut Ahmad Wahib sebagai salah satu pemikir yang berani membongkar tembok konservatisme. Ia melihat Ahmad Wahib sebagai sosok yang menolak kemapanan berpikir, yang memaknai Islam bukan sebagai doktrin mati, tetapi sebagai ruh yang terus bergerak, menari di antara realitas sosial dan tuntutan zaman. Bagi Greg Barton, Ahmad Wahib adalah suara muda yang nyaring dalam tradisi Islam Indonesia, suara yang kadang dianggap bising, tetapi justru menjadi alarm bagi kebekuan tradisi yang dari masa ke masa jadi keyakinan yang kukuh.

 

Dalam halaman-halaman catatan hariannya, Ahmad Wahib menulis: "Kita harus berani menengok ke dalam, merobek selubung yang menghalangi kita dari kenyataan." Ia mengajarkan bahwa iman sejati lahir dari keberanian menanyakan segala hal, bahkan hal yang paling sakral sekalipun. Baginya, Islam bukanlah penjara bagi akal, tetapi kebun luas tempat pemikiran bebas tumbuh subur. Beragama haruslah dengan akal bukan menaggalkannya. Ketika para nabi diberi wahyu sebagai sumber kebenaran, maka manusia lain dianugerahi Tuhan akal sebagai pelita yang menerangi jiwa yang resah tak tau arah.

 

Para tokoh pun menatap pemikiran Ahmad Wahib dengan berbagai sorot pandang. Nurcholish Madjid atau Cak Nur, sang lokomotif Islam modern, melihat Wahib sebagai manifestasi dari Islam yang dinamis, Islam yang tak takut pada perubahan, Islam yang berani menatap masa depan dengan mata terbuka. Gus Dur, dengan kebijaksanaan khasnya, memahami Wahib sebagai anak zaman yang menghidupkan kembali semangat kebebasan berpikir dalam Islam, semangat yang telah lama ditindas oleh ketakutan akan perbedaan.

 

Seperti halnya pohon yang terus bergoyang melawan angin, demikian pula Ahmad Wahib menghadapi badai penolakan dari banyak penjuru. Ia dicemooh, dijauhi, bahkan dipandang sebagai ancaman bagi ketenangan dogma. Namun, bukankah setiap pembaharu selalu dianggap asing di tanah kelahirannya? Seperti Socrates yang harus menenggak racun, seperti Al-Hallaj yang terhukum karena ucapannya, Wahib juga berjalan di jalan sunyi yang penuh luka.

 

Tapi di sinilah keindahan seorang Ahmad Wahib. Ia adalah puisi yang tak selesai ditulis, nyala api yang tak bisa dipadamkan, gelombang yang terus bergulung tanpa akhir. Ia tidak menawarkan jawaban, melainkan membuka pintu-pintu pertanyaan. Ia tidak membawa kebenaran yang beku, tetapi mengajarkan bahwa kebenaran harus selalu diuji, direnungi, dan diselami.  Satu hal yang harus kita yakini bahwa sejarah selalu mencatat bahwa setiap kebangkitan dimulai dari kegelisahan? Bahwa setiap revolusi pemikiran lahir dari nyala api yang menolak padam?

 

Dan kini, Ahmad Wahib telah tiada, namun suaranya masih menggema dalam benak mereka yang berani berpikir. Di era ini, ketika kebebasan berpikir sering dibayang-bayangi oleh bayang-bayang ekstremisme dan dogmatisme baru, pemikirannya tetap menjadi mercusuar bagi mereka yang haus akan kebenaran yang lebih luas. Dalam era digital, di mana informasi mengalir deras namun sering kali dangkal, Ahmad Wahib mengajarkan pentingnya refleksi mendalam dan keberanian untuk mempertanyakan yang sudah mapan.


Pemikirannya adalah undangan untuk terus merajut dialog antara iman dan akal, antara tradisi dan pembaruan, sehingga Islam tetap menjadi cahaya yang membimbing, bukan sekadar warisan yang beku. Kata-katanya masih hidup dalam jiwa mereka yang menolak diperbudak oleh kejumudan. Ia adalah angin yang mengguncang, gelombang yang meruntuhkan tembok keangkuhan dogma. Dan seperti api yang berkobar di malam gelap, ia telah menerangi jalan bagi mereka yang berani mencari.

 

Maka, dalam riuh zaman yang semakin gemuruh, suara Ahmad Wahib tetap menggema. Ia mengajarkan bahwa kegelisahan adalah tanda kehidupan, bahwa iman dan akal bukanlah musuh, melainkan dua sayap yang harus terbang bersama menuju cakrawala kebenaran. Ia adalah pribadi yang selalu gelisah, dan dalam kegelisahannya itulah, ia terus mencari seperti yang ia tulis dalam catatan hariannya:

 

“Aku bukan Hatta, bukan Soekarno, bukan Sjahrir, bukan Natsir, bukan Marx dan bukan pula yang lain-lain. Bahkan...aku bukan Wahib. Aku adalah me-Wahib. Aku mencari, dan terus menerus mencari, menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus menerus berproses menjadi aku. Aku adalah aku, pada saat sakaratul maut!”

Sabtu, 12 April 2025

Sesudah Idul Fitri Pergi


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Idul fitri telah berlalu. Jalan-jalan kembali sepi dari gema takbir, meja-meja kembali kosong dari hantaran silaturahmi, dan langit tidak lagi dihiasi letupan kembang api yang menyemai harap. Hari-hari besar sering datang sebagai puncak, tapi sesungguhnya idul fitri adalah muara yang membuka jalan baru—bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan jiwa yang lebih sunyi dan mendalam.

 

Selama sebulan penuh, kita telah ditempa oleh Ramadhan: menahan lapar, amarah, kesia-siaan, dan segala bentuk ketergesaan diri. Lalu datanglah idul fitri sebagai kemenangan spiritual, penanda bahwa kita telah tiba di titik bersih, atau paling tidak, telah berusaha menuju ke sana. Tapi sesudahnya, pertanyaan paling penting justru lahir: apakah yang akan terjadi setelah semua ini berlalu?

 

Jalaluddin Rumi, penyair sufi ternama, menyampaikan dalam salah satu bait puisinya bahwa, “Usai kau bersihkan rumah jiwamu, jangan izinkan siapa pun mengotori lantainya dengan ego.” Ini adalah peringatan bahwa spiritualitas tidak berhenti pada ritual, melainkan pada penjagaan berkelanjutan terhadap kualitas batin yang telah diperoleh.

 

Dalam kehidupan spiritual, momentum tak boleh berhenti pada simbol. Idul fitri adalah simbol kemenangan, tapi makna sesungguhnya terletak pada keberlanjutan dari nilai-nilai Ramadhan dalam hari-hari berikutnya. Puasa telah selesai, tapi pengendalian diri tidak boleh selesai. Salat tarawih telah usai, namun keintiman dengan Tuhan seharusnya tidak ikut pergi. Kita telah saling bermaafan, tetapi kerja menjaga hati tetap saja harus diupayakan.

 

Hari-hari pasca-idul fitri adalah cermin bagi kesungguhan kita. Saat tak ada lagi suasana religius yang mendukung, saat masjid tak lagi seramai di bulan Ramadhan, dan ketika godaan dunia kembali hadir dalam bentuk-bentuk paling halus, di situlah terlihat siapa yang benar-benar menang.

 

Kita kembali bekerja, berdagang, berkendara, berinteraksi dengan hiruk-pikuk dunia. Dunia tidak menunggu kita menjaga kebeningan hati. Ia akan datang dengan segala kebisingan dan kepalsuan yang kerap mengintai kita. Maka, menjaga kebersihan jiwa setelah Idulfitri adalah tugas paling berat, karena dilakukan dalam zaman yang gemerlap tapi gamang, di tengah rutinitas yang menggoda untuk kembali pada pola-pola lama.

 

Fitrah yang kita rayakan bukanlah kondisi alami yang pasif, melainkan capaian spiritual yang menuntut upaya untuk terus dijaga. Seperti dikatakan oleh Ibn Athaillah, “Janganlah engkau bergembira hanya karena telah selesai berpuasa, tetapi bergembiralah jika engkau diterima.” Maka esensi kemenangan bukan pada selebrasi, melainkan pada perubahan diri.

 

Sesudah takbir usai, dunia kembali seperti semula. Tapi kita tidak boleh kembali seperti kita yang lama. Kita telah diberi kesempatan untuk memulai ulang, dan kesempatan itu tidak datang setiap hari. Maka menjaga ruh idul fitri dalam hari-hari biasa adalah bentuk ibadah tersunyi, sekaligus paling agung.

 

Sebagaimana Rabindranath Tagore pernah menulis, “Faith is the bird that feels the light when the dawn is still dark” (iman seumpama burung yang merasakan cahaya saat fajar masih diselimuti gelap). Maka iman yang lahir dari Ramadhan dan dirayakan di idul fitri, seharusnya tetap berkicau meski cahaya tidak lagi terang, dan langit kembali abu-abu.

 

Idulfitri telah pergi. Tapi nilainya belum. Ia tinggal, tersembunyi di dalam kita, menanti untuk diteguhkan dalam kerja, dalam kesabaran, dalam kejujuran, dalam kasih. Dan siapa tahu, dalam diam-diam itu, kita sedang benar-benar pulang menuju fitrah. Menuju kemenangan yang hakiki.