Minggu, 04 Mei 2025

“Anak Waktu yang Lahir pada 3 Mei"


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Pada tanggal 3 Mei yang dahulu, waktu melahirkan seorang anak yang kelak akan menatap dunia dengan mata penuh tanya: tentang asal segala sesuatu, tentang sebab yang tak pernah usai, tentang makna yang terus menjauh ketika didekati.

 

Lalu, apa makna sebuah kelahiran pada hari ketiga (3) di bulan kelima (5)?

 

Bagi Platon, jiwa manusia sebelum lahir telah melihat bentuk-bentuk murni (eidos) di dunia idea, dunia yang tak terhampiri oleh raga fisik. Maka kelahiran bukanlah permulaan, melainkan pengasingan dari dunia hakiki menuju gua bayang-bayang, tempat manusia mesti menggali kembali ingatan-ingatan primordial tentang masa lalunya.

 

Seorang anak yang lahir pada 3 Mei membawa dalam dirinya serpihan cahaya idea itu — sebuah nostalgia ilahi, yang kadang membungkusnya dalam diam, kadang menuntunnya menjadi peziarah dalam padang pengetahuan. Inilah yang disebut Platon sebagai anamnesis (mengingat kembali), bahwa pengetahuan yang kita miliki sudah ada dalam jiwa kita sejak sebelum lahir dan dapat diingat kembali melalui pengalaman dunia.

 

Sedangkan Heidegger, dalam bahasa kelam dan cahaya yang saling menindih, menyebut eksistensi manusia sebagai Dasein — ada yang melemparkan diri ke dalam dunia, namun juga sadar akan keterlemparannya.

 

Maka pada 3 Mei, tak sekadar tubuh yang lahir, melainkan kesadaran yang dilemparkan ke medan tanya. Ia akan bertanya bukan hanya siapa ia, tetapi mengapa ia hadir pada hari ketika bunga-bunga Mei baru saja merekah, dan langit menggantungkan duka musim yang nyaris usai. Peristiwa keterlemparan itu merupakan pengalaman eksistensial paling nyata bagi setiap orang yang terlahir ke dalam dunia yang tak pernah dimintanya.

 

Di dunia Islam, Ibn 'Arabi, sang mistik besar dari Murcia, mengajarkan bahwa setiap kelahiran manusia bukanlah peristiwa biologis semata, melainkan tajalli — penampakan dari Yang Gaib, perwujudan dari realitas Ilahi dalam bentuk yang paling halus dan paling kompleks. Manusia, menurutnya, adalah cermin tempat Tuhan melihat diri-Nya sendiri.

 

Maka ketika seorang anak lahir pada tanggal 3 Mei, yang hadir ke dunia bukan semata tubuh yang dibentuk dari tanah dan air, tetapi pancaran rahasia Ilahi yang berlapis-lapis. Ia adalah mazhar, tempat kemunculan sifat-sifat Tuhan yang tak terhingga, al-asma' al-husna, yang belum rampung ditafsirkan oleh sejarah dan belum selesai dituliskan oleh pena semesta.

 

Anak ini membawa dalam dirinya potensi-potensi ketuhanan — bukan dalam arti menjadi Tuhan, tetapi dalam arti mencerminkan sifat-sifat-Nya di bumi. Ia mungkin tumbuh dalam naungan rahmah (kasih sayang), menyentuh yang lemah dengan kelembutan yang berasal dari sisi Allah Yang Maha Pengasih. Mungkin pula ia belajar shabr (kesabaran), menapaki waktu dengan tenang meski luka yang kadang datang silih berganti.

 

Dalam dirinya, bisa lahir ‘adl (keadilan), dorongan untuk menegakkan keseimbangan dan menolak kezaliman dalam bentuk apa pun. Tapi tak tertutup kemungkinan bahwa ia juga memancarkan jalal — keagungan dan kedahsyatan Tuhan yang mengguncangkan, membangkitkan rasa takut, hormat, dan gemetar yang suci di hadapan yang Maha Agung.

 

Kelahirannya adalah misteri dan pertanda. Ia tidak datang membawa takdir yang telah jadi, tapi kemungkinan-kemungkinan Ilahiah yang menunggu untuk ditakwil dan diwujudkan sepanjang hidup. Seperti lembaran yang terbuka, hidupnya akan menjadi teks tafsir atas diri Tuhan dalam bentuk manusia — tak pernah tuntas, selalu bergerak, terus-menerus menjadi. Maka 3 Mei bukan hanya tanggal, tapi gerbang masuk ke dalam rahasia wujud, saat satu lagi manifestasi Ilahi menjejak bumi dan menuliskan sejarah spiritualnya sendiri.


Lalu datanglah Jalaluddin Rumi, yang menolak memandang kelahiran sebagai keluarnya tubuh dari rahim. Baginya, kelahiran sejati bukan hanya munculnya jasad ke dalam dunia fana ini, melainkan kebangkitan ruh dari tidur panjangnya — sebuah gerakan jiwa menuju Sang Kekasih. "Kita lahir dua kali," tulisnya, "sekali ke dalam dunia, dan sekali ke dalam cinta."

 

Yang pertama adalah kelahiran yang bisa dicatat oleh bidan dan kalender; yang kedua adalah kelahiran yang hanya diketahui oleh hati yang terbangun, oleh jiwa yang mulai menari mengikuti irama kosmik yang tak terdengar telinga biasa.

 

Maka tanggal 3 Mei bukan sekadar penanda kronologis, melainkan simbol yang menyimpan rahasia numerik dan metafisik. Angka 3, dalam banyak tradisi, melambangkan ruh — dimensi batiniah, kreativitas, dan pencarian makna. Ia adalah lambang dari dinamika jiwa: berpikir, merasa, mencinta. Angka 5 mewakili jasad — lima indera, lima jari, lima rukun kehidupan duniawi. Ia adalah angka bumi, kerja, dan kesementaraan.

 

Ketika keduanya bersatu, membentuk angka 8, maka tampaklah simbol yang menakjubkan: bentuk tak terhingga () yang berdiri tegak. Ini bukan kebetulan. Dalam tafsir para pecinta, angka 8 adalah lambang dari cinta yang melampaui batas, perjalanan ruhani yang tak pernah selesai, dan lingkaran waktu yang abadi — di mana awal adalah akhir, dan akhir adalah awal kembali.

 

Inilah mungkin sebabnya mereka yang lahir pada tanggal ini kerap memikul semacam kerinduan yang aneh dan dalam — sebuah nostalgia kepada sesuatu yang belum pernah dilihat, belum pernah disentuh, namun terasa lebih nyata daripada apapun yang kasatmata. Rumi menyebutnya syauq, kerinduan primordial kepada asal mula, kepada alastu bi rabbikum — janji purba di alam ruh.

 

Orang-orang seperti ini hidup seolah-olah ada musik yang terus mengalun di dalam dada mereka, lagu yang memanggil pulang, meski mereka sendiri tak tahu dari mana dan ke mana. Kerinduan ini bukan kelemahan, melainkan panggilan suci untuk kembali menari dalam cinta, menapaki jalan pulang ke Sang Kekasih yang tak pernah jauh, tetapi selalu tersembunyi di balik tabir dunia.

 

**

Søren Kierkegaard, filsuf kesendirian, pernah berkata dalam hatinya yang dalam, bahwa "hidup hanya bisa dipahami ke belakang, tapi harus dijalani ke depan." Maka setiap anak yang terlahir akan belajar membaca kenangan bukan untuk tinggal di masa lalu, tetapi untuk memahami jalan yang akan ia pilih esok hari.

 

Mereka yang lahir pada 3 Mei tak akan menjadi pelaut biasa. Mereka adalah penyusur waktu, pembaca tanda, pencari makna dalam bisu semesta. Mereka akan melihat bunga bukan hanya sebagai tumbuhan, tetapi sebagai pertanyaan tentang keberlangsungan, tentang keindahan yang rapuh. Mereka akan mendengar desir angin dan bertanya: adakah Tuhan sedang berbisik lewat suara daun?

 

Waktu, sebagaimana ditulis oleh Henri Bergson, bukanlah sekadar durasi, melainkan durée, pengalaman batin yang tak bisa diukur oleh jarum jam. Maka 3 Mei adalah sebuah intensitas, bukan hanya titik pada garis linear. Ia adalah kedipan rahasia dari semesta kepada jiwa-jiwa terpilih. Seakan waktu berkata: aku memberimu hari ini, dan bersamamu kutitipkan sebutir rahasia. Hiduplah untuk menemukannya.

 

Dan mungkin, dalam keheningan malam pada ulang tahunnya yang kesekian, orang itu akan mengerti bahwa hidup adalah simfoni dari pertanyaan yang tak selesai, dan ia — anak 3 Mei — bukan hanya pemain, tapi juga komposer yang menyulam waktu dengan nada-nada batin yang hanya bisa didengar oleh mereka yang juga mencari.

 

Kelahiran pada 3 Mei bukan peristiwa biasa. Ia adalah tanda, mungkin bahkan janji. Ia membawa seseorang pada kemungkinan menjadi lebih dari sekadar manusia yang lewat. Ia mungkin adalah orang yang akan membangun jembatan antara yang tampak dan yang gaib, antara filsafat dan puisi, antara waktu dan keabadian.

 

Untuk kedua sahabatku yang terlahir di 3 Mei: Omenk dan Sofa, selamat ulangtahun untuk kita bertiga (3)!