Oleh Mohamad Asrori Mulky
Pada tanggal 3
Mei yang dahulu, waktu melahirkan seorang anak yang kelak akan menatap dunia dengan
mata penuh tanya: tentang asal segala sesuatu, tentang sebab yang tak pernah
usai, tentang makna yang terus menjauh ketika didekati.
Lalu, apa makna
sebuah kelahiran pada hari ketiga (3) di bulan kelima (5)?
Bagi Platon,
jiwa manusia sebelum lahir telah melihat bentuk-bentuk murni (eidos) di dunia
idea, dunia yang tak terhampiri oleh raga fisik. Maka kelahiran bukanlah
permulaan, melainkan pengasingan dari dunia hakiki menuju gua bayang-bayang,
tempat manusia mesti menggali kembali ingatan-ingatan primordial tentang masa
lalunya.
Seorang anak
yang lahir pada 3 Mei membawa dalam dirinya serpihan cahaya idea itu — sebuah
nostalgia ilahi, yang kadang membungkusnya dalam diam, kadang menuntunnya
menjadi peziarah dalam padang pengetahuan. Inilah yang disebut Platon sebagai
anamnesis (mengingat kembali), bahwa pengetahuan yang kita miliki sudah ada
dalam jiwa kita sejak sebelum lahir dan dapat diingat kembali melalui
pengalaman dunia.
Sedangkan
Heidegger, dalam bahasa kelam dan cahaya yang saling menindih, menyebut
eksistensi manusia sebagai Dasein — ada yang melemparkan diri ke dalam dunia,
namun juga sadar akan keterlemparannya.
Maka pada 3
Mei, tak sekadar tubuh yang lahir, melainkan kesadaran yang dilemparkan ke
medan tanya. Ia akan bertanya bukan hanya siapa ia, tetapi mengapa ia hadir
pada hari ketika bunga-bunga Mei baru saja merekah, dan langit menggantungkan
duka musim yang nyaris usai. Peristiwa keterlemparan itu merupakan pengalaman eksistensial
paling nyata bagi setiap orang yang terlahir ke dalam dunia yang tak pernah
dimintanya.
Di dunia Islam,
Ibn 'Arabi, sang mistik besar dari Murcia, mengajarkan bahwa setiap kelahiran
manusia bukanlah peristiwa biologis semata, melainkan tajalli —
penampakan dari Yang Gaib, perwujudan dari realitas Ilahi dalam bentuk yang
paling halus dan paling kompleks. Manusia, menurutnya, adalah cermin tempat
Tuhan melihat diri-Nya sendiri.
Maka ketika
seorang anak lahir pada tanggal 3 Mei, yang hadir ke dunia bukan semata tubuh
yang dibentuk dari tanah dan air, tetapi pancaran rahasia Ilahi yang
berlapis-lapis. Ia adalah mazhar, tempat kemunculan sifat-sifat Tuhan
yang tak terhingga, al-asma' al-husna, yang belum rampung ditafsirkan
oleh sejarah dan belum selesai dituliskan oleh pena semesta.
Anak ini
membawa dalam dirinya potensi-potensi ketuhanan — bukan dalam arti menjadi
Tuhan, tetapi dalam arti mencerminkan sifat-sifat-Nya di bumi. Ia mungkin
tumbuh dalam naungan rahmah (kasih sayang), menyentuh yang lemah dengan
kelembutan yang berasal dari sisi Allah Yang Maha Pengasih. Mungkin pula ia
belajar shabr (kesabaran), menapaki waktu dengan tenang meski luka yang
kadang datang silih berganti.
Dalam dirinya,
bisa lahir ‘adl (keadilan), dorongan untuk menegakkan keseimbangan dan
menolak kezaliman dalam bentuk apa pun. Tapi tak tertutup kemungkinan bahwa ia
juga memancarkan jalal — keagungan dan kedahsyatan Tuhan yang
mengguncangkan, membangkitkan rasa takut, hormat, dan gemetar yang suci di
hadapan yang Maha Agung.
Kelahirannya
adalah misteri dan pertanda. Ia tidak datang membawa takdir yang telah jadi,
tapi kemungkinan-kemungkinan Ilahiah yang menunggu untuk ditakwil dan
diwujudkan sepanjang hidup. Seperti lembaran yang terbuka, hidupnya akan
menjadi teks tafsir atas diri Tuhan dalam bentuk manusia — tak pernah tuntas,
selalu bergerak, terus-menerus menjadi. Maka 3 Mei bukan hanya tanggal, tapi
gerbang masuk ke dalam rahasia wujud, saat satu lagi manifestasi Ilahi menjejak
bumi dan menuliskan sejarah spiritualnya sendiri.
Lalu datanglah
Jalaluddin Rumi, yang menolak memandang kelahiran sebagai keluarnya tubuh dari
rahim. Baginya, kelahiran sejati bukan hanya munculnya jasad ke dalam dunia
fana ini, melainkan kebangkitan ruh dari tidur panjangnya — sebuah gerakan jiwa
menuju Sang Kekasih. "Kita lahir dua kali," tulisnya, "sekali
ke dalam dunia, dan sekali ke dalam cinta."
Yang pertama
adalah kelahiran yang bisa dicatat oleh bidan dan kalender; yang kedua adalah
kelahiran yang hanya diketahui oleh hati yang terbangun, oleh jiwa yang mulai
menari mengikuti irama kosmik yang tak terdengar telinga biasa.
Maka tanggal 3
Mei bukan sekadar penanda kronologis, melainkan simbol yang menyimpan rahasia
numerik dan metafisik. Angka 3, dalam banyak tradisi, melambangkan ruh —
dimensi batiniah, kreativitas, dan pencarian makna. Ia adalah lambang dari
dinamika jiwa: berpikir, merasa, mencinta. Angka 5 mewakili jasad — lima
indera, lima jari, lima rukun kehidupan duniawi. Ia adalah angka bumi, kerja,
dan kesementaraan.
Ketika keduanya
bersatu, membentuk angka 8, maka tampaklah simbol yang menakjubkan: bentuk tak
terhingga (∞) yang berdiri tegak. Ini bukan kebetulan. Dalam tafsir para
pecinta, angka 8 adalah lambang dari cinta yang melampaui batas, perjalanan
ruhani yang tak pernah selesai, dan lingkaran waktu yang abadi — di mana awal
adalah akhir, dan akhir adalah awal kembali.
Inilah mungkin
sebabnya mereka yang lahir pada tanggal ini kerap memikul semacam kerinduan
yang aneh dan dalam — sebuah nostalgia kepada sesuatu yang belum pernah
dilihat, belum pernah disentuh, namun terasa lebih nyata daripada apapun yang
kasatmata. Rumi menyebutnya syauq, kerinduan primordial kepada asal
mula, kepada alastu bi rabbikum — janji purba di alam ruh.
Orang-orang
seperti ini hidup seolah-olah ada musik yang terus mengalun di dalam dada
mereka, lagu yang memanggil pulang, meski mereka sendiri tak tahu dari mana dan
ke mana. Kerinduan ini bukan kelemahan, melainkan panggilan suci untuk kembali
menari dalam cinta, menapaki jalan pulang ke Sang Kekasih yang tak pernah jauh,
tetapi selalu tersembunyi di balik tabir dunia.
**
Søren
Kierkegaard, filsuf kesendirian, pernah berkata dalam hatinya yang dalam, bahwa
"hidup hanya bisa dipahami ke belakang, tapi harus dijalani ke
depan." Maka setiap anak yang terlahir akan belajar membaca kenangan
bukan untuk tinggal di masa lalu, tetapi untuk memahami jalan yang akan ia
pilih esok hari.
Mereka yang
lahir pada 3 Mei tak akan menjadi pelaut biasa. Mereka adalah penyusur waktu,
pembaca tanda, pencari makna dalam bisu semesta. Mereka akan melihat bunga
bukan hanya sebagai tumbuhan, tetapi sebagai pertanyaan tentang
keberlangsungan, tentang keindahan yang rapuh. Mereka akan mendengar desir
angin dan bertanya: adakah Tuhan sedang berbisik lewat suara daun?
Waktu,
sebagaimana ditulis oleh Henri Bergson, bukanlah sekadar durasi, melainkan durée,
pengalaman batin yang tak bisa diukur oleh jarum jam. Maka 3 Mei adalah sebuah
intensitas, bukan hanya titik pada garis linear. Ia adalah kedipan rahasia dari
semesta kepada jiwa-jiwa terpilih. Seakan waktu berkata: aku memberimu hari
ini, dan bersamamu kutitipkan sebutir rahasia. Hiduplah untuk menemukannya.
Dan mungkin,
dalam keheningan malam pada ulang tahunnya yang kesekian, orang itu akan
mengerti bahwa hidup adalah simfoni dari pertanyaan yang tak selesai, dan ia —
anak 3 Mei — bukan hanya pemain, tapi juga komposer yang menyulam waktu dengan
nada-nada batin yang hanya bisa didengar oleh mereka yang juga mencari.
Kelahiran pada
3 Mei bukan peristiwa biasa. Ia adalah tanda, mungkin bahkan janji.
Ia membawa seseorang pada kemungkinan menjadi lebih dari sekadar manusia yang
lewat. Ia mungkin adalah orang yang akan membangun jembatan antara yang tampak
dan yang gaib, antara filsafat dan puisi, antara waktu dan keabadian.
Untuk kedua sahabatku yang terlahir di 3 Mei: Omenk dan Sofa, selamat ulangtahun untuk kita bertiga (3)!