Kamis, 19 Juni 2025

Khaled Abou El Fadl: Tuhan yang Dibisukan Manusia


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Di tengah teror dan bayang-bayang kekerasan yang mengusik ketenteraman hidup umat manusia di dunia, ada suara Tuhan yang dihilangkan, bahkan sengaja dibisukan oleh sebuah ambisi dan arogansi. Sementara manusia lantang berbicara, tak peduli meski suaranya hanyalah onggokan sampah yang menebar bau busuk peradaban, tak mengapa sekalipun suaranya itu merampas otoritas Tuhan.

 

Manusia telah lama bercakap atas nama Tuhan. Tapi betapa sering suara-Nya itu dibisukan, digantikan oleh pekik kebencian, dan desir pelatuk senjata. Dalam lorong-lorong gelap di mana bom bunuh diri meledak dan nyawa manusia tercerabut, kita menyaksikan tragedi agung: manusia membunuh manusia, lalu melemparkan tanggung jawabnya kepada langit. Lagi-lagi itu semua dilakukan atas nama Tuhan.

 

Kasih Tuhan kepada manusia dibajak. Ia diringkus, dipenjara dalam ideologi sempit, dan dijadikan juru bicara dendam oleh tangan-tangan yang memeluk senjata lebih erat dari kitab suci. Setiap ledakan bukan hanya menghancurkan tubuh, tapi juga merobek nalar dan mengoyak belas kasih. Dan dalam kepingan serpihan itu, terdengarlah bisikan getir: ini bukan suara Tuhan tapi suara mausia yang wataknya telah retak oleh ambisi dan arogansi.

 

Khaled Abou El Fadl, dalam Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women, menulis dengan nada lirih: “Tidak ada yang lebih berbahaya daripada lidah manusia yang mengklaim suara Tuhan, namun diselubungi kabut ego.” Tuhan dibisukan, sementara manusia banyak bicara. Dan Abou El Fadl heran mengapa agama dijadikan alat, bukan jalan. Sementara hukum-hukum Tuhan dibekukan dalam dingin yang tak mengenal dekapan kasih sayang.

 

Dalam pergulatan intelektualnya yang penuh gemuruh itu, Abou El Fadl menuliskan: “Mereka tidak berbicara untuk Tuhan, tapi menutup pintu bagi-Nya. Mereka menamakan kekerasan sebagai ibadah, dan membungkam suara nurani yang tulus dalam diri kita semua.” Baginya, kekerasan atas nama agama adalah bentuk paling brutal dari pengingkaran iman—karena ia tidak tumbuh dari cinta, tapi dari kerakusan akan kuasa. Ketika tafsir dijadikan senjata dan Tuhan dipaksa berpihak, yang lahir bukanlah pencerahan, melainkan kezaliman dan otoritarianisme yang nyata.

 

Karen Armstrong, penulis ternama tentang Sejarah Tuhan dan agama-agama, memastikan dalam Fields of Blood: “Agama bukan penyebab utama kekerasan; ia telah dikotori oleh manusia yang gagal memahami bahwa Tuhan adalah misteri, bukan alat politik.” Bagi Armstrong, setiap kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan bukanlah ketundukan, melainkan pengkhianatan. Ia menyaksikan bagaimana agama yang mestinya menjadi pelabuhan kasih berubah menjadi medan tempur yang menebar maut.

 

Ketika dunia mulai retak karena ambisi dan arogansi manusia bengis tanpa belas kasih, Tuhan terus dipanggil-panggil oleh para pembunuh. Nama-Nya ditulis di bendera, diteriakkan sebelum bom diledakkan, diseru dalam setiap aksi kekerasan. Tapi tahukah mereka, bahwa Tuhan yang sejati tidak pernah meminta darah manusia ditumpahkan demi nama-Nya? Bahwa Dia lebih menyukai air mata tobat daripada jeritan korban yang merintih kesakitan.

 

Dalam dunia yang gemar meneriakkan nama Tuhan tapi melupakan kasih-Nya, suara Abou El Fadl adalah tamparan sekaligus pelukan. Tamparan bagi arogansi keagamaan. Pelukan bagi jiwa-jiwa yang mencari Tuhan yang benar: Tuhan yang tak membenci, tak membelenggu, tak menghardik—tetapi Tuhan yang hadir dalam cinta, kebijaksanaan, dan keindahan. Dan mungkin, dalam sujud terakhir yang sunyi, kita akan menemukan bahwa Tuhan tidak pernah bisu. Kitalah yang tak pernah benar-benar mau mendengar.


Baginya, ketika seseorang bicara atas nama Tuhan tanpa kesadaran atas keterbatasan dirinya, maka ia telah menggusur Tuhan dari keagungan-Nya, menggantikannya dengan idolatri ego yang dibalut jubah syariah. Tuhan, dalam versi mereka, adalah cermin ambisi kekuasaan, bukan Sang Kekasih yang Maha Pengasih. “The arrogance of speaking for God, while dismissing others, is the beginning of tyranny,” tulis Abou El Fadl dalam Speaking in God's Name.


Senin, 16 Juni 2025

Jalan Sunyi Al Ghazali


 

Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Di tengah riuh zaman yang kian kehilangan makna, serba cepat dan tak terkendali, akibat arus modernitas dengan segala perkembangan ilmu dan teknologinya, manusia, kata Seyyed Hossein Nasr, dipacu tanpa arah ruhani, dan terjebak dalam pusaran kecemasan yang makin dalam. Mereka teralienasi dalam hidupnya sendiri. Dan dalam keadaan seperti itu, kita memerlukan seberkas cahaya yang datang meski dari sunyi.

 

Sunyi yang tidak bisu, melainkan berbicara kepada nurani terdalam, yang selama ini tersingkir oleh nalar spekulatif. Sunyi yang tidak kosong, melainkan dipenuhi oleh kehadiran Yang Maha Hadir. Dan melalui lorong-lorong sunyi itulah, pada beberapa abad yang silam, seorang manusia bernama Abu Hamid Al-Ghazali berjalan pelan tapi pasti, menuju pemulihan jiwanya—dan jiwa umatnya.

 

Sepanjang hayatnya, lelaki dari Tus itu telah mereguk air jernih dari ribuan kitab, menyelami samudra akal, dan menguji tiap serpihan cahaya dari indera. Tapi di suatu malam yang diselimuti kabut gelap, dan ketika bintang-bintang filsafat kehilangan sinarnya, ia bertanya penuh gelisah: “Adakah suatu kepastian yang tak tergoyahkan?” Ia menjawab dalam al-Munqidh min al-Dalal, bahwa kepastian itu mesti ilmu yakin yang tidak menyisakan kebimbangan (العلم اليقين الذي لايبقى معه ريب).

 

Maka dimulailah perjalanan epistemologis Al-Ghazali, yang dimulai dari keraguan (الشكوك) bukan dari keyakinan yang selama ini ditapaki kebanyakan orang. “Keraguanlah yang bisa mengantarkan kepada kebenaran” (الشكوك هي الموصلة الى الحق). Demikian Al-Ghazali menuliskan dalam Mizan Al Amal. Dengan nada pasti dan penuh keyakinan, ia menelusuri kebenaran yang tak terbantahkan.

 

Di awal pencarian, Al-Ghazali menggenggam keyakinan bahwa indera adalah pangkal segala pengetahuan. Apa yang terlihat, terdengar, disentuh dan dikecap dianggap sebagai dasar realitas. Namun, sebagaimana cahaya yang tampak terang hanya sampai senja, keyakinan ini pun meredup, lenyap, tak terlihat. Ia mulai menyadari bahwa indera kerap menipu: “Bintang tampak sebesar dinar padahal lebih besar dari bumi,” tulisnya dalam al-Munqidh min al-Dalal. Bayangan tampak diam, tapi ia bergerak perlahan. Air tampak dalam cawan, padahal ia melengkung.

 

Indra, dalam pandangannya, adalah gerbang yang mudah disusupi ilusi dan tipuan. Sehingga pengetahuan yang mendasarinya rapuh sehingga mudah roboh. “Jika indraku telah berdusta padaku, bagaimana aku bisa mempercayainya?” Karena itulah Al-Ghazali mulai meragukan segala pengetahuan indrawi—tidak sebagai skeptisisme murni, tapi sebagai luka pertama yang membuka jalan perenungan lebih dalam dan lebih meyakinkan. Ia meragukan pengetahuan yang dihasilkan amatan mata, pendengaran, sentuhan kulit.

 

Dalam keraguan terhadap indera itu, ia kemudian membangun harapan pada akal. Akal—yang dapat memisahkan antara mungkin dan mustahil, yang bisa menetapkan bahwa dua adalah lebih dari satu, dan mustahil sesuatu bisa berada di dua tempat sekaligus. Dalam fase ini, Al-Ghazali memasuki dunia filsafat: logika Aristoteles, metafisika Ibn Sina, hingga geometri Euclid. Ia menguasainya bukan sekadar sebagai murid, tapi sebagai penguji paling tajam.

 

Namun kemudian ia menemukan bahwa akal pun tak bisa menembus tirai metafisika yang paling dalam. Akal bisa menjawab "bagaimana", tapi tak bisa menjawab "mengapa". Ia bisa membedah dunia, tapi tak bisa menjamah makna. Akal bisa menggambar peta, tapi tak bisa mengantarkan jiwa untuk pulang. Dalam al-Munqidh, ia menulis: “Keraguanku terhadap kemampuan akal bagaikan penyakit, namun penyakit ini diturunkan Allah kepadaku... maka tak ada obat selain cahaya yang dilemparkan ke dalam hati.”

 

Setelah meruntuhkan dua menara epistemologi—indra dan akal—Al-Ghazali memulai jalan sunyi, yaitu memalingkan wajahnya ke arah intuisi ilahiah, atau dalam istilah sufistik: dzawq. Ia menemukan bahwa hati yang disucikan bisa menjadi cermin kebenaran yang sejati. Kebenaran tidak lahir dari debat, tapi dari dzikir. Ia tidak tumbuh dalam logika, tapi dalam kesendirian yang lapang dan pengasingan yang diserahkan kepada Tuhan.

 

Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, ia menulis: “Ilmu yang hakiki adalah cahaya yang dilemparkan Allah ke dalam hati seorang hamba... ia tidak diperoleh melalui pena dan buku, tapi melalui penyucian jiwa dan pengabdian yang tulus.” Al-Ghazali menempuh jalan sufi, bukan sebagai pelarian, tapi sebagai puncak dari seluruh pencarian epistemologinya. Tetapi, jalan sufi yang sunyi, yang ditempuh Al-Ghazali bukanlah tanpa nalar. Ia tidak menolak akal.

 

Oliver Leaman dalam A Brief Introduction to Islamic Philosophy, menyebut Al-Ghazali sebagai tokoh yang “memusnahkan sistem filsafat tanpa memusnahkan semangat berpikir.” Ia tidak menolak akal, tapi mengkritiknya agar tunduk kepada cahaya batin. Ia tidak meninggalkan dunia, tapi memandangnya dari kejauhan. Bagi Al-Ghazali, akal ibarat cahaya yang menerangi jalan yang disusuri manusia di tengah lorong dan jurang yang gelap. Siapa saja yang menepikannya akan tersesat.

 

Frank Griffel, pembaca Al-Ghazali, melihat dalam diri sang Imam sebuah pergeseran radikal: dari seorang profesor di Baghdad yang dielu-elukan sebagai mahkota para ulama, menjadi seorang pengembara ruhani yang tak dikenali siapa pun kecuali dirinya sendiri. Dalam karyanya, Al-Ghazali’s Philosophical Theology, Griffel menegaskan bahwa krisis eksistensial yang dialami Al-Ghazali bukan semata gejala pribadi, melainkan refleksi dari krisis epistemik dunia Islam kala itu. Maka jalan sunyi yang ia tempuh adalah jalan menyembuhkan peradaban, jalan yang dianggap paling sahih untuk mengembalikan kesadaran umat Islam dari sampah zaman yang meniup bau busuk.

 

Jalan sunyi Al-Ghazali adalah jalan sufi—jalan pelepasan, jalan pengasingan dari keramaian dunia yang begitu bising, memabukkan, dan penuh jebakan. Maka ketika itu, saat ruh Al Ghazali disesaki debu ilmu yang belum basah oleh makna, dan dadanya merasakan kekeringan dalam lautan kata-kata, Al-Ghazali—yang saat itu telah mencapai puncak kemasyhuran sebagai guru besar Nizamiyah Baghdad—tiba-tiba merasakan kehampaan yang dalam, seperti seseorang yang berdiri di atas gunung tetapi tak lagi melihat langit. 

 

Sekali lagi, jalan sunyi yang ditempuh Al-Ghazali bukanlah membuang akal hingga tak dibutuhkan, tapi justru cahaya ketuhanan yang masuk ke dalam hatinya telah membenarkan pertimbangan logis secara meyakinkan. Dalam Al-Munqid ia menulis,:

 

حتى شفى الله تعالى من ذلك المرض وعادت النفس الى الصحة و الاعتدال و رجعت الضروريات العقلية مقبولة موثوقا بها على أمن و يقين, و لم يكن ذلك بنظم دليل و ترتيب كلام, بل بنور قذفه الله تعالى في الصدر, و ذلك النور هو مفتاح أكثر المعارف

 

"Allah menyembuhkan penyakitku sakitku tersebut, sampai jiwaku pun kembali sehat dan moderat lagi. Hasil daya pikir pun kembali diterima dan dipercaya serta penuh rasa aman dan yakin. Dan kesemua itu bukan karena adanya dalil yang teratur rapi serta kata yang tersusun benar, tapi karena adanya cahaya yang diturunkan Allah dalam kalbu, yaitu cahaya yang menjadi kunci kebanyakan pengetahuan."

 


Jumat, 06 Juni 2025

Makna Simbolik Qurban: Ibrahim dan Keakuan yang Tersayat


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Di balik kisah yang menyayat hati tentang Ibrahim dan Ismail — yang kerap dibaca secara literal sebagai narasi tentang ketaatan nabi kepada perintah Tuhan — para sufi membaca teks purba ini justru dengan mata batin yang lembut dan tajam. Mereka memasukinya lebih jauh ke dalam wilayah yang lebih intim dan sublim: ke dalam rahasia batin dan perjalanan cinta ruhaniah.

 

Qurban, bagi para sufi, bukan sekedar ritual atau ibadah formal tahunan. Ia adalah tahap agung dalam perjalanan menuju fana’ — yaitu lenyapnya diri dalam kehadiran Tuhan. Dan dalam kisah Ibrahim yang menggetarkan jiwa itu, yang sesungguhnya dikorbankan bukanlah Ismail, melainkan keakuan (ego) Ibrahim itu sendiri: rasa memiliki, rasa mencintai sesuatu selain Allah, bahkan rasa kebapakan yang menjadi bagian dari dunia.

 

Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi menggambarkan hal itu dengan sangat baik: “Lihatlah Ibrahim, ia tidak membunuh anaknya. Ia membunuh dirinya sendiri, yang bernama keakuan, yang memisahkan pecinta dari Kekasih-nya.” Dan setelah beberapa abad yang silam pasca-Rumi, Ali Syariati dalam Hajj menyampaikan hal yang senada. Menurutnya, Ismail hanyalah simbol dari apa yang paling dicintai manusia di dunia. Ia bisa berupa anak, harta, nama baik, pangkat, jabatan, bahkan diri sendiri.

 

Dalam magnum opusnya itu, Ali Syariati mengajak manusia menziarahi makna terdalam dari sebuah perintah purba yang lahir dari langit dan bersemayam dalam lubuk kesadaran profetik: menyembelih Ismail. Baginya, Ismail bukan semata anak Ibrahim, bocah suci yang dihamparkan di atas batu karang Mina dengan dada yang lapang dan jiwa yang pasrah. Ismail adalah segala yang dicintai manusia, segala yang membuat dada berdebar dan hati terikat, segala yang melahirkan rasa takut kehilangannya.

 

"Setiap manusia," tulis Syariati, "memiliki Ismailnya masing-masing." Maka Mina bukan hanya sebidang tanah di jazirah Arab, tapi medan spiritual yang sunyi di dalam dada manusia. Di sanalah, setiap anak Adam diuji untuk menyembelih apa yang paling dicintainya, agar ia bisa mencintai Sang Pemilik Cinta itu sendiri. Ismail adalah cermin, dan dalam cermin itu kita melihat apa yang menawan hati kita selain Tuhan.

 

Martin Buber, dalam I and Thou, menyiratkan bahwa relasi manusia yang autentik hanya terjadi bila manusia mampu keluar dari dirinya dan menanggalkan ego yang membatu. Dalam kerangka ini, "Ismail" adalah ego yang membuat relasi manusia dengan Tuhan dan sesama menjadi relasi yang semu, relasi "aku–itu", bukan "aku–Engkau". Maka menyembelih Ismail berarti menembus ruang antara, menyucikan cinta dari kepemilikan dan menyingkap wajah Yang Maha Lain.

 

Maka saat Ibrahim mengarahkan pisau, sesungguhnya ia bukan sedang mengarahkannya kepada putra terkasihnya, melainkan kepada diri lamanya, yang belum sepenuhnya terbebas dari ikatan duniawi. Di situlah momen transformatif itu: ketika pisau tidak jadi meneteskan darah manusia, tapi justru memotong tali yang mengikat jiwa kepada yang selain Tuhan.


Ketahuilah, bahwa cinta kepada anak, meski sah dan naluriah, bisa menjadi tirai. Tirai tipis yang menghalangi pandangan ruhani manusia. Ismail dalam kisah Ibrahim adalah cermin cinta duniawi yang paling suci,  tetapi cinta seperti itu menurut para sufi tetap cinta duniawi yang harus disayat. Maka dalam qurban, manusia diminta untuk menyembelih keterikatan yang menjadikannya berhala kecil dalam hati.

 

Qurban dan Hasrat yang Tak Pernah Puas

Lalu apa relevansi ibadah qurban bagi manusia modern yang hedonis dan materialis?

 

Dalam dunia modern yang bising, yang disusupi aneka iklan, gaya konsumtif, dan semarak pencitraan, manusia telah membangun altar baru: yaitu dirinya sendiri. Ia sujud bukan lagi kepada Tuhan, melainkan kepada bayangannya sendiri di cermin. Ia tidak lagi berkurban demi Yang Gaib, tetapi justru mengurbankan segala makna demi pencapaian yang bisa diukur, dilihat, dan dipamerkan.

 

Di sinilah ibadah qurban tampil bukan hanya sebagai ritus keagamaan, tetapi sebagai kontra-narasi spiritual terhadap peradaban modern yang terobsesi pada tubuh, kepemilikan, dan kepuasan instan. Qurban adalah protes yang senyap namun mendalam terhadap hedonisme yang menjadikan kesenangan sebagai tujuan tertinggi, serta materialisme yang menurunkan nilai manusia menjadi sekadar angka, status sosial, atau barang yang dipajang.

 

Ali Syariati, dengan kepekaan eksistensialnya, membaca qurban sebagai tindakan revolusioner. Menurutnya, menyembelih Ismail adalah metafora dari membunuh ego, melepaskan kepemilikan, dan menundukkan kehendak diri kepada kehendak Ilahi. Dalam dunia yang mengajarkan "aku, milikku, untukku", Syariati justru menyeru: “Sembelihlah keakuanmu, karena di sanalah letak perbudakanmu yang sejati.”

 

“Zaman ini,” tulis Syariati, “adalah zaman di mana berhala-berhala baru bermunculan dalam bentuk modern: mobil mewah, apartemen, gelar, kekuasaan, dan tubuh yang dibentuk seperti dewa. Tapi berhala tetaplah berhala—apa pun wujudnya.” Semua kemelakatan itu harus disayat, disingkirkan dalam diri manusia.

 

Dalam pandangan tasawuf, ego adalah hijab terbesar antara manusia dan Tuhan. Al-Ghazali menyebut nafs al-ammārah sebagai sumber segala penyakit batin. Sedang Rumi menyindir ego sebagai "penjara dari kaca"—ia tampak indah, tetapi mengurung cahaya batin. Maka qurban adalah upaya menghancurkan penjara itu, menghancurkan “aku” agar terbuka jalan menuju “Engkau”.

 

Dan dalam dunia modern, ‘penyembelihan’ itu bukan terjadi di Mina, tetapi dalam setiap detik ketika manusia berani menolak sistem yang memaksanya menjadi konsumtif, narsistik, dan egoistik. Qurban menjadi latihan spiritual untuk detachment (pelepasan), sebagaimana dijelaskan oleh Erich Fromm dalam To Have or To Be? bahwa manusia modern telah kehilangan being karena terlalu terobsesi pada having. Qurban, dalam hakikatnya, mengajak manusia untuk kembali dari memiliki kepada menjadi.

 

Di zaman yang menanamkan bahwa eksistensi ditentukan oleh jumlah followers dan saldo rekening, qurban datang sebagai pelajaran abadi bahwa kebermaknaan hidup justru terletak pada kemampuan untuk melepaskan. Bahwa kebahagiaan sejati bukanlah akumulasi, melainkan pengorbanan dengan segala kepasrahan dan keberserahan yang total sebagaimana telah diajarkan Khalilullah Ibrahim As.

 


Minggu, 04 Mei 2025

“Anak Waktu yang Lahir pada 3 Mei"


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Pada tanggal 3 Mei yang dahulu, waktu melahirkan seorang anak yang kelak akan menatap dunia dengan mata penuh tanya: tentang asal segala sesuatu, tentang sebab yang tak pernah usai, tentang makna yang terus menjauh ketika didekati.

 

Lalu, apa makna sebuah kelahiran pada hari ketiga (3) di bulan kelima (5)?

 

Bagi Platon, jiwa manusia sebelum lahir telah melihat bentuk-bentuk murni (eidos) di dunia idea, dunia yang tak terhampiri oleh raga fisik. Maka kelahiran bukanlah permulaan, melainkan pengasingan dari dunia hakiki menuju gua bayang-bayang, tempat manusia mesti menggali kembali ingatan-ingatan primordial tentang masa lalunya.

 

Seorang anak yang lahir pada 3 Mei membawa dalam dirinya serpihan cahaya idea itu — sebuah nostalgia ilahi, yang kadang membungkusnya dalam diam, kadang menuntunnya menjadi peziarah dalam padang pengetahuan. Inilah yang disebut Platon sebagai anamnesis (mengingat kembali), bahwa pengetahuan yang kita miliki sudah ada dalam jiwa kita sejak sebelum lahir dan dapat diingat kembali melalui pengalaman dunia.

 

Sedangkan Heidegger, dalam bahasa kelam dan cahaya yang saling menindih, menyebut eksistensi manusia sebagai Dasein — ada yang melemparkan diri ke dalam dunia, namun juga sadar akan keterlemparannya.

 

Maka pada 3 Mei, tak sekadar tubuh yang lahir, melainkan kesadaran yang dilemparkan ke medan tanya. Ia akan bertanya bukan hanya siapa ia, tetapi mengapa ia hadir pada hari ketika bunga-bunga Mei baru saja merekah, dan langit menggantungkan duka musim yang nyaris usai. Peristiwa keterlemparan itu merupakan pengalaman eksistensial paling nyata bagi setiap orang yang terlahir ke dalam dunia yang tak pernah dimintanya.

 

Di dunia Islam, Ibn 'Arabi, sang mistik besar dari Murcia, mengajarkan bahwa setiap kelahiran manusia bukanlah peristiwa biologis semata, melainkan tajalli — penampakan dari Yang Gaib, perwujudan dari realitas Ilahi dalam bentuk yang paling halus dan paling kompleks. Manusia, menurutnya, adalah cermin tempat Tuhan melihat diri-Nya sendiri.

 

Maka ketika seorang anak lahir pada tanggal 3 Mei, yang hadir ke dunia bukan semata tubuh yang dibentuk dari tanah dan air, tetapi pancaran rahasia Ilahi yang berlapis-lapis. Ia adalah mazhar, tempat kemunculan sifat-sifat Tuhan yang tak terhingga, al-asma' al-husna, yang belum rampung ditafsirkan oleh sejarah dan belum selesai dituliskan oleh pena semesta.

 

Anak ini membawa dalam dirinya potensi-potensi ketuhanan — bukan dalam arti menjadi Tuhan, tetapi dalam arti mencerminkan sifat-sifat-Nya di bumi. Ia mungkin tumbuh dalam naungan rahmah (kasih sayang), menyentuh yang lemah dengan kelembutan yang berasal dari sisi Allah Yang Maha Pengasih. Mungkin pula ia belajar shabr (kesabaran), menapaki waktu dengan tenang meski luka yang kadang datang silih berganti.

 

Dalam dirinya, bisa lahir ‘adl (keadilan), dorongan untuk menegakkan keseimbangan dan menolak kezaliman dalam bentuk apa pun. Tapi tak tertutup kemungkinan bahwa ia juga memancarkan jalal — keagungan dan kedahsyatan Tuhan yang mengguncangkan, membangkitkan rasa takut, hormat, dan gemetar yang suci di hadapan yang Maha Agung.

 

Kelahirannya adalah misteri dan pertanda. Ia tidak datang membawa takdir yang telah jadi, tapi kemungkinan-kemungkinan Ilahiah yang menunggu untuk ditakwil dan diwujudkan sepanjang hidup. Seperti lembaran yang terbuka, hidupnya akan menjadi teks tafsir atas diri Tuhan dalam bentuk manusia — tak pernah tuntas, selalu bergerak, terus-menerus menjadi. Maka 3 Mei bukan hanya tanggal, tapi gerbang masuk ke dalam rahasia wujud, saat satu lagi manifestasi Ilahi menjejak bumi dan menuliskan sejarah spiritualnya sendiri.


Lalu datanglah Jalaluddin Rumi, yang menolak memandang kelahiran sebagai keluarnya tubuh dari rahim. Baginya, kelahiran sejati bukan hanya munculnya jasad ke dalam dunia fana ini, melainkan kebangkitan ruh dari tidur panjangnya — sebuah gerakan jiwa menuju Sang Kekasih. "Kita lahir dua kali," tulisnya, "sekali ke dalam dunia, dan sekali ke dalam cinta."

 

Yang pertama adalah kelahiran yang bisa dicatat oleh bidan dan kalender; yang kedua adalah kelahiran yang hanya diketahui oleh hati yang terbangun, oleh jiwa yang mulai menari mengikuti irama kosmik yang tak terdengar telinga biasa.

 

Maka tanggal 3 Mei bukan sekadar penanda kronologis, melainkan simbol yang menyimpan rahasia numerik dan metafisik. Angka 3, dalam banyak tradisi, melambangkan ruh — dimensi batiniah, kreativitas, dan pencarian makna. Ia adalah lambang dari dinamika jiwa: berpikir, merasa, mencinta. Angka 5 mewakili jasad — lima indera, lima jari, lima rukun kehidupan duniawi. Ia adalah angka bumi, kerja, dan kesementaraan.

 

Ketika keduanya bersatu, membentuk angka 8, maka tampaklah simbol yang menakjubkan: bentuk tak terhingga () yang berdiri tegak. Ini bukan kebetulan. Dalam tafsir para pecinta, angka 8 adalah lambang dari cinta yang melampaui batas, perjalanan ruhani yang tak pernah selesai, dan lingkaran waktu yang abadi — di mana awal adalah akhir, dan akhir adalah awal kembali.

 

Inilah mungkin sebabnya mereka yang lahir pada tanggal ini kerap memikul semacam kerinduan yang aneh dan dalam — sebuah nostalgia kepada sesuatu yang belum pernah dilihat, belum pernah disentuh, namun terasa lebih nyata daripada apapun yang kasatmata. Rumi menyebutnya syauq, kerinduan primordial kepada asal mula, kepada alastu bi rabbikum — janji purba di alam ruh.

 

Orang-orang seperti ini hidup seolah-olah ada musik yang terus mengalun di dalam dada mereka, lagu yang memanggil pulang, meski mereka sendiri tak tahu dari mana dan ke mana. Kerinduan ini bukan kelemahan, melainkan panggilan suci untuk kembali menari dalam cinta, menapaki jalan pulang ke Sang Kekasih yang tak pernah jauh, tetapi selalu tersembunyi di balik tabir dunia.

 

**

Søren Kierkegaard, filsuf kesendirian, pernah berkata dalam hatinya yang dalam, bahwa "hidup hanya bisa dipahami ke belakang, tapi harus dijalani ke depan." Maka setiap anak yang terlahir akan belajar membaca kenangan bukan untuk tinggal di masa lalu, tetapi untuk memahami jalan yang akan ia pilih esok hari.

 

Mereka yang lahir pada 3 Mei tak akan menjadi pelaut biasa. Mereka adalah penyusur waktu, pembaca tanda, pencari makna dalam bisu semesta. Mereka akan melihat bunga bukan hanya sebagai tumbuhan, tetapi sebagai pertanyaan tentang keberlangsungan, tentang keindahan yang rapuh. Mereka akan mendengar desir angin dan bertanya: adakah Tuhan sedang berbisik lewat suara daun?

 

Waktu, sebagaimana ditulis oleh Henri Bergson, bukanlah sekadar durasi, melainkan durée, pengalaman batin yang tak bisa diukur oleh jarum jam. Maka 3 Mei adalah sebuah intensitas, bukan hanya titik pada garis linear. Ia adalah kedipan rahasia dari semesta kepada jiwa-jiwa terpilih. Seakan waktu berkata: aku memberimu hari ini, dan bersamamu kutitipkan sebutir rahasia. Hiduplah untuk menemukannya.

 

Dan mungkin, dalam keheningan malam pada ulang tahunnya yang kesekian, orang itu akan mengerti bahwa hidup adalah simfoni dari pertanyaan yang tak selesai, dan ia — anak 3 Mei — bukan hanya pemain, tapi juga komposer yang menyulam waktu dengan nada-nada batin yang hanya bisa didengar oleh mereka yang juga mencari.

 

Kelahiran pada 3 Mei bukan peristiwa biasa. Ia adalah tanda, mungkin bahkan janji. Ia membawa seseorang pada kemungkinan menjadi lebih dari sekadar manusia yang lewat. Ia mungkin adalah orang yang akan membangun jembatan antara yang tampak dan yang gaib, antara filsafat dan puisi, antara waktu dan keabadian.

 

Untuk kedua sahabatku yang terlahir di 3 Mei: Omenk dan Sofa, selamat ulangtahun untuk kita bertiga (3)!



Minggu, 27 April 2025

Pemikiran Liberal di Gurun yang Gersang




Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Ketika sinar modernitas mengintip di gurun yang gersang, Albert Hourani menulis Arab Thought in the Liberal Age (1798–1939), sebagai sebuah karya akademik yang banyak dirujuk para sarjana dunia. Buku ini seperti kidung panjang tentang kebangkitan kesadaran, elegi tentang pertarungan ide, dan madah tentang kegelisahan intelektual di tengah badai kolonialisme yang menghimpit dunia Arab.

 

Dalam risalah yang mewakili suara dari Timur itu, Hourani memanggil kembali nama-nama besar: Rifa‘ah al-Tahtawi, Khayr al-Din al-Tunisi, Jamaluddin al Afghani, Muhammad Abduh, hingga Thaha Husein. Risalah ini benar-benar menghidupkan ruh mereka yang berani melawan gelap dengan nyala pena, yang menulis dengan tinta hasrat pembebasan. Mereka bukan imitator Barat, bukan pula pengekor yang taklid buta, melainkan penjaga gerbang Timur yang menahan bengisnya gempuran kolonialisme.

 

Hourani tidak menempatkan dirinya sebagai hakim, tetapi sebagai penyair sejarah yang tahu bahwa kebenaran bukan monolit, melainkan cahaya yang memancar dari prisma zaman. Ia mendekati sejarah Arab dengan cinta seorang anak terhadap bahasa ibunya—penuh hormat, sabar, dan ingin mengerti, bukan menghakimi. Di tangannya, sejarah liberalisme Arab bukan hanya kronik, tapi drama ruhani yang membentangkan harapan dan upaya keras dalam menyeimbangkan iman dengan akal, tradisi dengan pembaruan, masa lalu dan masa kini, demi masa depan yang lebih baik.

 

Saat dunia membangun tembok tinggi antara Timur dan Barat, Hourani membentangkan jembatan yang bisa menghubungkan keduanya. Ia bukan sekadar peneliti Oriental, tapi anak Timur yang menemukan suara Timur di dalam hati Barat. Ia lahir dari jalinan identitas yang lembut dan kompleks—darah Lebanon mengalir dalam tubuhnya, namun matanya menatap dunia dengan kritisisme Barat—Hourani bukan sekadar pengamat, ia adalah penyaksi yang lembut terhadap pergolakan ruh dunia Arab.

 

Para Pembawa Lentera:

Dari Tahtawi Hingga Taha Husein

Dalam hamparan sejarah panjang dunia Arab yang penuh liku, ada beberapa tokoh pembaharu berjalan membawa lentera di tangannya. Mereka adalah para penyeru fajar yang menantang kegelapan zaman. Dari Rifa'ah Rafi' al-Tahtawi hingga Taha Husein, terbentang sebuah jalan cahaya, jalan pembebasan akal dan penyucian jiwa, jalan di mana tradisi lama bertemu hasrat baru akan kebebasan dan pencerahan.

 

Rifa'ah al-Tahtawi (1801–1873), imam muda yang mengembara ke tanah Perancis, kembali dengan mata yang telah dicuci air kebangkitan. Ia menulis tentang "tanwir" — pencerahan — bukan hanya sebagai adopsi buta terhadap Barat, melainkan sebagai seruan untuk menggali kembali khazanah Islam sendiri dengan jiwa merdeka. Dalam Takhlis al-Ibriz, ia menulis seolah-olah membangunkan umatnya dari tidur panjang: bahwa ilmu pengetahuan, kebebasan berpikir, dan keadilan sosial adalah kewajiban syar'i, bukan pemberian asing.

 

Hourani melihat Tahtawi sebagai "pembuka gerbang" — seorang yang dengan lembut namun pasti memperkenalkan gagasan bahwa Islam dan modernitas tidaklah dua kutub yang berseteru, melainkan dua sungai yang bisa bertemu dalam samudera akal sehat dan nurani. Islam tidak menentang modernitas, malah menyambutnya dengan lapang dada. Bahkan, begitu banyak ayat-ayat Ilahiyah yang menyeru manusia untuk menggunakan daya nalar dan mendalami ilmu pengetahuan.


Lalu datang Jamal al-Din al-Afghani (1838–1897), api yang lebih liar dan menyala. Dengan retorika yang tajam, ia menyeru dunia Islam untuk tidak hanya bangkit, tetapi juga melawan. Dalam naskah-naskahnya yang penuh bara perlawanan, Afghani menuntut umat Islam untuk mengusung rasionalitas dan teknologi, menentang kolonialisme dengan bukan hanya pedang, tetapi juga pena dan pikiran yang merdeka sebagai senjata.

 

Maka, tidaklah heran bila sejarawan Nikki Keddie mencatat bahwa Afghani "adalah penggerak ideologis pertama dalam sejarah modern Islam" — sosok yang memahami bahwa pembaruan bukanlah imitasi, melainkan reaktualisasi ruh ijtihad yang telah lama dikubur. Gagasan Afghani tentang Pan-Islamisme membangkitkan hasrat umat Islam Dunia untuk bangkit dan melawan segala bentuk penjajahan.

 

Kemudian, dari bara Afghani itu, lahir Muhammad Abduh (1849–1905), murid yang lebih bijak dan memiliki daya ledak yang lebih luas. Abduh bermimpi membangun sebuah dunia di mana agama dan akal saling bersenyawa; tidak bertentangan apalagi saling mengalahkan. Dalam Risalat al-Tawhid, Abduh mempertegas: iman sejati tidak bertentangan dengan nalar; malah, nalar adalah lentera bagi jalan iman. Ia merintis reformasi pendidikan, membersihkan aqidah dari kerak taklid buta yang membelenggu, dan menanam benih rasionalisme di jantung tradisi.

 

Seperti yang ditegaskan Malcolm Kerr, Abduh adalah "sang perantara" — antara Timur dan Barat, antara masa lalu yang agung dan masa depan yang penuh kemungkinan. Ia bukan sekadar pembaharu; ia adalah penjaga jiwa Islam agar tetap hidup di tengah badai zaman. Abduh tidak sudi melihat umat Islam terperangkap dalam jurang fatalisme, pemahaman takdir yang psimistis, yang tak memiliki daya juang.

 

Dan di antara pengikut Abduh yang melanjutkan gagasan besarnya adalah Taha Husein (1889–1973). Ia memang buta, tapi melihat lebih dalam dari yang bermata. Dalam Fi al-Shi'r al-Jahili, ia meruntuhkan keangkuhan sejarah tradisional dan membuka jalan bagi kritik ilmiah yang bebas dari beban sakralitas palsu. Ia membayangkan Mesir — dan Arab — sebagai bagian dari peradaban dunia, bukan ghetto nostalgia.

 

Edward Said menyebut Taha Husein sebagai "pembebas teks" — sosok yang mengajarkan bahwa tradisi bukanlah rantai, melainkan ladang luas yang harus dibajak kembali dengan tangan berani. Ia menolak dikotomi palsu antara Timur dan Barat, seraya merangkul keduanya sebagai dua sisi dari pencarian manusia yang abadi akan makna.

 

Dari karya Hourani ini, kita bisa melihat sebuah perjalanan agung: dari cahaya kecil yang bergetar di tangan seorang alim muda, hingga api besar yang membakar belenggu pikiran kolektif. Mereka adalah para pembawa lentera — bukan untuk memadamkan malam, melainkan untuk menunjukkan bahwa dalam setiap kegelapan, selalu ada janji fajar yang menerangi lorong-lorong gelap dan sudut-sudut pengap. Dalam gema nama-nama mereka, kita mendengar bisikan abadi: bahwa kebangkitan bukan sekadar bangun dari tidur, tetapi berani menatap dunia dengan mata hati yang menyala.


Edward Said menyebut Hourani sebagai penjaga nurani Timur, dan Hamid Dabashi menyebutnya sebagai peziarah hikmah. Keduanya benar. Dalam Hourani, kita tidak membaca sejarah sebagai museum, tetapi sebagai taman dengan bunga yang bisa tumbuh kembali—jika kita cukup berani menyiraminya dengan pertanyaan.

 

Di tengah dunia Arab yang terus bergolak—dari harap Arab Spring yang gugur sebelum mekar, hingga reruntuhan Damaskus yang menyimpan sunyi berabad-abad—karya Hourani seperti jam tua di dinding masjid yang terus berdetak, mengingatkan kita bahwa waktu bukan musuh, tapi guru. Hourani tidak hanya menulis sejarah, ia mendoakan mereka yang hidup di dalamnya. Pemikir-pemikir liberal Arab dalam kisahnya bukan hanya nama dalam daftar pustaka, tetapi roh yang masih menunggu pembaca yang bersedia merasakan luka dan harapan sekaligus.

 

Dalam ketegangan antara iman dan akal, antara warisan dan kebaruan, Hourani menemukan kemungkinan: bahwa dunia Arab tidak mati dalam tradisi, dan tidak tenggelam dalam imitasi, tetapi bisa bangkit dengan akarnya sendiri, dan menjulang sebagai pohon yang bebas—berakar di bumi, tapi rindang di langit.

 

Selamat membaca!