Oleh
Mohamad Asrori Mulky
Di tengah teror dan
bayang-bayang kekerasan yang mengusik ketenteraman hidup umat manusia di dunia,
ada suara Tuhan yang dihilangkan, bahkan sengaja dibisukan oleh sebuah ambisi
dan arogansi. Sementara manusia lantang berbicara, tak peduli meski suaranya hanyalah
onggokan sampah yang menebar bau busuk peradaban, tak mengapa sekalipun
suaranya itu merampas otoritas Tuhan.
Manusia telah lama bercakap atas nama Tuhan.
Tapi betapa sering suara-Nya itu dibisukan, digantikan oleh pekik kebencian,
dan desir pelatuk senjata. Dalam lorong-lorong gelap di mana bom bunuh diri meledak
dan nyawa manusia tercerabut, kita menyaksikan tragedi agung: manusia membunuh
manusia, lalu melemparkan tanggung jawabnya kepada langit. Lagi-lagi itu semua dilakukan
atas nama Tuhan.
Kasih Tuhan kepada manusia dibajak. Ia
diringkus, dipenjara dalam ideologi sempit, dan dijadikan juru bicara dendam
oleh tangan-tangan yang memeluk senjata lebih erat dari kitab suci. Setiap
ledakan bukan hanya menghancurkan tubuh, tapi juga merobek nalar dan mengoyak
belas kasih. Dan dalam kepingan serpihan itu, terdengarlah bisikan getir: ini bukan suara Tuhan tapi suara mausia yang
wataknya telah retak oleh ambisi dan arogansi.
Khaled Abou El Fadl, dalam
Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women, menulis dengan
nada lirih: “Tidak ada yang lebih berbahaya daripada lidah manusia yang
mengklaim suara Tuhan, namun diselubungi kabut ego.” Tuhan dibisukan, sementara
manusia banyak bicara. Dan Abou El Fadl heran mengapa agama dijadikan alat,
bukan jalan. Sementara hukum-hukum Tuhan dibekukan dalam dingin yang tak
mengenal dekapan kasih sayang.
Dalam pergulatan intelektualnya yang penuh
gemuruh itu, Abou El Fadl
menuliskan: “Mereka tidak berbicara untuk
Tuhan, tapi menutup pintu bagi-Nya. Mereka menamakan kekerasan sebagai ibadah,
dan membungkam suara nurani yang tulus dalam diri kita semua.” Baginya, kekerasan atas nama agama
adalah bentuk paling brutal dari pengingkaran iman—karena ia tidak tumbuh dari
cinta, tapi dari kerakusan akan kuasa. Ketika tafsir dijadikan senjata dan
Tuhan dipaksa berpihak, yang lahir bukanlah pencerahan, melainkan kezaliman dan
otoritarianisme yang nyata.
Karen Armstrong, penulis ternama tentang Sejarah Tuhan dan
agama-agama, memastikan dalam Fields of Blood: “Agama bukan penyebab utama kekerasan; ia telah
dikotori oleh manusia yang gagal memahami bahwa Tuhan adalah misteri, bukan
alat politik.” Bagi Armstrong, setiap kekerasan yang
mengatasnamakan Tuhan bukanlah ketundukan, melainkan pengkhianatan. Ia
menyaksikan bagaimana agama yang mestinya menjadi pelabuhan kasih berubah
menjadi medan tempur yang menebar maut.
Ketika dunia mulai retak karena ambisi dan
arogansi manusia bengis tanpa belas kasih, Tuhan terus dipanggil-panggil oleh
para pembunuh. Nama-Nya ditulis di bendera, diteriakkan sebelum bom diledakkan,
diseru dalam setiap aksi kekerasan. Tapi tahukah mereka, bahwa Tuhan yang
sejati tidak pernah meminta darah manusia ditumpahkan demi nama-Nya? Bahwa Dia lebih
menyukai air mata tobat daripada jeritan korban yang merintih kesakitan.
Dalam dunia yang gemar meneriakkan nama Tuhan tapi melupakan kasih-Nya, suara Abou El Fadl adalah tamparan sekaligus pelukan. Tamparan bagi arogansi keagamaan. Pelukan bagi jiwa-jiwa yang mencari Tuhan yang benar: Tuhan yang tak membenci, tak membelenggu, tak menghardik—tetapi Tuhan yang hadir dalam cinta, kebijaksanaan, dan keindahan. Dan mungkin, dalam sujud terakhir yang sunyi, kita akan menemukan bahwa Tuhan tidak pernah bisu. Kitalah yang tak pernah benar-benar mau mendengar.
Baginya, ketika seseorang bicara atas nama Tuhan tanpa kesadaran atas keterbatasan dirinya, maka ia telah menggusur Tuhan dari keagungan-Nya, menggantikannya dengan idolatri ego yang dibalut jubah syariah. Tuhan, dalam versi mereka, adalah cermin ambisi kekuasaan, bukan Sang Kekasih yang Maha Pengasih. “The arrogance of speaking for God, while dismissing others, is the beginning of tyranny,” tulis Abou El Fadl dalam Speaking in God's Name.