Selasa, 24 Juni 2025

Agama Tanpa Akal


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Agama diturunkan bukan untuk membelenggu, tetapi membebaskan umat manusia dari segala ilusi dan tipu daya. Di tangan mereka yang keliru, agama yang suci bisa berubah menjadi pedang yang menikam, memghancurkan, dan tameng yang menolak kasih. Akal dituduh sebagai bid’ah, nalar disingkirkan demi dogma, dan pertanyaan dibungkam oleh ancaman.

 

Imam al-Ghazali—sang pembela ortodoksi yang akhirnya menemukan jalan sufi—pernah menulis dalam al Mustasfa tentang pentingnya peran akal. Dan dalam al-Munqidz min al-Dhalal ia memastikan: "Keraguan adalah awal dari pengetahuan." Maka dengan itu semua ia ingin menghidupkan api pencarian, dan memadamkan bara kepalsuan. Sebab menurutnya iman yang tak boleh dipertanyakan adalah iman yang rapuh, tak berakar kuat.

 

Ibn Rusyd, filsuf agung dari Andalusia, dengan semangat berlipat membela rasionalitas dalam beragama. Dalam Fasl al-Maqāl, ia berkata: "Kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran." Maksudnya: wahyu dan akal, jika benar, takkan saling membatalkan. Justru saling menerangi, seperti bulan dan matahari dalam satu atap langit.

 

Tetapi, lihatlah hari ini—betapa banyak luka dunia berasal dari mereka yang mengatasnamakan agama tapi membunuh nalar. Yang meledakkan rumah ibadah, yang merendahkan martabat wanita di muka umum, yang menuduh orang sesat hanya karena berpikir berbeda. Mereka menyebutnya iman. Padahal itu adalah tirani yang berselimut kesucian.

 

Serial film Walid yang viral belakangan ini, adalah potret getir dari agama tanpa akal. Di situ, pemimpin spiritual menjadi manipulator ilusi paling ulung, menggunakan ayat-ayat suci sebagai belenggu. Para pengikutnya tidak berpikir—mereka hanya tunduk, meski logika telah terbakar dan moral telah mati. Inilah potret beragama yang kehilangan cahaya akal: indah di luar, kelam di dalam.

 

Karen Armstrong, menyebut dalam The Battle for God: “Ketika agama terpisah dari rasionalitas, ia mudah berubah menjadi ideologi kekerasan.” Agama adalah jalan menuju Tuhan, tapi tanpa akal, jalan itu bisa menyesatkan ke dalam fanatisme, ekstremisme, dan kehampaan. Ritual jadi beku, doa menjadi hafalan tanpa jiwa, dan hati menjadi medan pertempuran antara kesalehan palsu dan keraguan yang terbungkam.

 

Bila agama tanpa akal, maka iman hanyalah kebisingan. Tapi bila agama bersama akal, maka ia menjadi simfoni suci, yang mengantar manusia pada Tuhan dengan langkah sadar dan hati terbuka. Akal bukan pengkhianat agama. Ia adalah penjaga tafsir, penyaring kebenaran, dan penerang di tengah gelap zaman. Ia tidak melawan wahyu—ia menafsirkan. Ia tidak menghina Tuhan—ia mencari-Nya.

 

Maka mari kita rawat iman dengan cinta dan pikir. Kita sambut wahyu bukan hanya dengan dada yang lapang, tapi dengan nalar yang tajam. Karena hanya dengan itu, kita menjadi benar-benar hamba—yang taat karena mengerti, dan tunduk karena mencinta. Jangan serahkan pikiranmu pada siapa pun yang melarangmu berpikir. Karena Tuhan tak pernah melarang manusia bertanya. Ia menciptakan akal justru agar kita kembali kepada-Nya dengan sadar, bukan sekadar ikut-ikutan.

Minggu, 22 Juni 2025

Bahkan Berbuat Jahat di Tempat Suci Tidak Menghilangkan Dosa


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Kita hidup di zaman ketika tempat suci tak lagi sakral bagi hati yang berkarat. Kubah-kubah yang menjulang, sajadah yang dibentangkan, bahkan Ka'bah yang dikelilingi umat dari segala penjuru, tidak bisa serta-merta membasuh hati yang bernanah oleh ambisi dan kebencian. Dosa tidak luruh hanya karena dikerjakan di tempat suci. Kesalahan tidak menghilang hanya karena dilakukan sambil menyebut nama Tuhan.

 

Di tempat-tempat suci yang seharusnya menjadi pelabuhan jiwa yang lelah, kita sering mendengar suara-suara pilu: suara kotak amal yang pecah direnggut oleh tangan yang dikuasai nafsu mencuri; mimbar-mimbar agama yang seharusnya menjelma pelita malah dipenuhi api caci maki, nyala hujat, dan bara amarah. Petuah juru dakwah yang mestinya menyejukkan hati kini malah berubah menjadi pedang yang melukai, membelah hati umat menjadi sekat-sekat yang saling melumat.

 

Dalam beberapa kasus pilu di pesantren, tubuh-tubuh tak berdeosa direnggut kehormatannya, bukan oleh musuh agama, tapi oleh mereka yang mengajarkan ayat-ayat-Nya. Sementara itu, di belahan dunia lain, di antara pilar-pilar masjid yang menjulang tinggi, bom meledak. Rentetan tembakan dimuntahkan. Lalu kemudian darah terburai menodai sajadah. Duka menggantikan takbir. Mereka yang datang membawa niat suci harus pulang dengan tubuh berbalut kafan putih. Seseorang mengira surga bisa dibeli dengan ledakan yang membinasakan manusia.

 

Tempat suci kini bergetar dalam diam. Dinding-dindingnya tak lagi hanya memantulkan doa, tetapi juga jeritan dan trauma psikologis yang mencekam. Langit pun menunduk, malu kepada bumi ketika nama Tuhan diseret dalam arak-arakan kejahatan yang dibungkus dalam jubah kesalehan. Lalu kita bertanya apakah tempat yang suci mampu menghapus kekejian semacam itu? Apakah lantai mihrab yang dibasahi darah bisa disebut tanah yang diberkahi?

 

Tempat suci, seperti masjid, gereja, sinagoga, kuil—dalam keagungannya mestinya adalah ruang untuk mengendapkan dosa, bukan ladang bagi lahirnya dosa baru. Namun, sejarah dan kenyataan mutakhir memperlihatkan kenyataan yang sebaliknya. Kejahatan dapat bersarang bahkan di bawah kubah yang menjulang. Di balik azan yang berkumandang, terkadang bersembunyi dusta, kerakusan, dan niat-niat gelap yang membungkus dirinya dalam nama Tuhan.

 

Para pelaku kejahatan mengira bahwa melakukan kejahatan di tempat suci membuatnya menjadi "lebih ringan", seolah bangunan kudus memiliki kekuatan gaib untuk melarutkan dosa yang disengaja. Padahal, justru sebaliknya: kejahatan yang dilakukan di tempat suci adalah pelanggaran berlapis. Ia tidak hanya merusak hubungan antar manusia, tetapi juga mencederai makna spiritual ruang yang dipercayai sebagai perpanjangan dari langit.

 

Seorang yang mencuri di pasar mungkin disebut pencuri. Tetapi seseorang yang mencuri di masjid atau di tempat suci lain—di mana ia tahu bahwa kotak amal adalah titipan Tuhan—telah menodai dua dimensi sekaligus: moralitas dan kesakralan. Ia tidak sekadar merampok harta, tetapi juga merampok kepercayaan umat kepada tempat yang mereka kira aman dari tipu daya. Mereka yang meledakkan dirinya di tengah jamaah shalat mengira telah membeli surga dengan darah. Bahkan melakukan kejahatan di depan Ka’bah tidak akan menghilangkan dosa seseorang.

 

Kenyataan pahit dalam sejarah spiritual umat manusia adalah ketika rumah-rumah Tuhan dijadikan medan perang. Ketika bait-bait suci dijadikan gudang senjata. Ketika ayat-ayat cinta dibacakan dengan nada kebencian. Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, memperingatkan bahwa dosa yang dilakukan oleh seseorang, atau oleh orang yang tampak religius itu lebih berbahaya, sebab ia membungkus kejahatan dengan kesalehan, dan itu adalah bentuk kemunafikan yang paling dalam.

 

Kesucian bukanlah atribut ruang, melainkan pantulan dari hati. Sebuah masjid yang penuh kemewahan tak akan menyucikan seseorang jika hatinya tertutup. Sebaliknya, ruang kecil yang bersahaja bisa menjadi tempat perjumpaan dengan Tuhan jika dijalani dengan kerendahan hati. Maka dosa yang dilakukan di tempat suci bukan hanya tidak hilang, tapi juga menjadi saksi atas betapa jauh manusia telah menyimpang dari makna sejatinya.

 

Kesucian tidak dapat dipalsukan. Bahkan malaikat pun tak bisa membela manusia yang menipu di tempat suci. Sajadah yang dibasahi air mata palsu tak akan menyelamatkanmu dari api yang dinyalakan oleh ketidakadilan. Tempat suci adalah panggilan bagi jiwa, bukan tempat persembunyian bagi dosa. Jika engkau berbuat jahat di sana, engkau tak hanya berdosa, tetapi engkau juga telah menistakan diri sendiri.


Kamis, 19 Juni 2025

Khaled Abou El Fadl: Tuhan yang Dibisukan Manusia


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Di tengah teror dan bayang-bayang kekerasan yang mengusik ketenteraman hidup umat manusia di dunia, ada suara Tuhan yang dihilangkan, bahkan sengaja dibisukan oleh sebuah ambisi dan arogansi. Sementara manusia lantang berbicara, tak peduli meski suaranya hanyalah onggokan sampah yang menebar bau busuk peradaban, tak mengapa sekalipun suaranya itu merampas otoritas Tuhan.

 

Manusia telah lama bercakap atas nama Tuhan. Tapi betapa sering suara-Nya itu dibisukan, digantikan oleh pekik kebencian, dan desir pelatuk senjata. Dalam lorong-lorong gelap di mana bom bunuh diri meledak dan nyawa manusia tercerabut, kita menyaksikan tragedi agung: manusia membunuh manusia, lalu melemparkan tanggung jawabnya kepada langit. Lagi-lagi itu semua dilakukan atas nama Tuhan.

 

Kasih Tuhan kepada manusia dibajak. Ia diringkus, dipenjara dalam ideologi sempit, dan dijadikan juru bicara dendam oleh tangan-tangan yang memeluk senjata lebih erat dari kitab suci. Setiap ledakan bukan hanya menghancurkan tubuh, tapi juga merobek nalar dan mengoyak belas kasih. Dan dalam kepingan serpihan itu, terdengarlah bisikan getir: ini bukan suara Tuhan tapi suara mausia yang wataknya telah retak oleh ambisi dan arogansi.

 

Khaled Abou El Fadl, dalam Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women, menulis dengan nada lirih: “Tidak ada yang lebih berbahaya daripada lidah manusia yang mengklaim suara Tuhan, namun diselubungi kabut ego.” Tuhan dibisukan, sementara manusia banyak bicara. Dan Abou El Fadl heran mengapa agama dijadikan alat, bukan jalan. Sementara hukum-hukum Tuhan dibekukan dalam dingin yang tak mengenal dekapan kasih sayang.

 

Dalam pergulatan intelektualnya yang penuh gemuruh itu, Abou El Fadl menuliskan: “Mereka tidak berbicara untuk Tuhan, tapi menutup pintu bagi-Nya. Mereka menamakan kekerasan sebagai ibadah, dan membungkam suara nurani yang tulus dalam diri kita semua.” Baginya, kekerasan atas nama agama adalah bentuk paling brutal dari pengingkaran iman—karena ia tidak tumbuh dari cinta, tapi dari kerakusan akan kuasa. Ketika tafsir dijadikan senjata dan Tuhan dipaksa berpihak, yang lahir bukanlah pencerahan, melainkan kezaliman dan otoritarianisme yang nyata.

 

Karen Armstrong, penulis ternama tentang Sejarah Tuhan dan agama-agama, memastikan dalam Fields of Blood: “Agama bukan penyebab utama kekerasan; ia telah dikotori oleh manusia yang gagal memahami bahwa Tuhan adalah misteri, bukan alat politik.” Bagi Armstrong, setiap kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan bukanlah ketundukan, melainkan pengkhianatan. Ia menyaksikan bagaimana agama yang mestinya menjadi pelabuhan kasih berubah menjadi medan tempur yang menebar maut.

 

Ketika dunia mulai retak karena ambisi dan arogansi manusia bengis tanpa belas kasih, Tuhan terus dipanggil-panggil oleh para pembunuh. Nama-Nya ditulis di bendera, diteriakkan sebelum bom diledakkan, diseru dalam setiap aksi kekerasan. Tapi tahukah mereka, bahwa Tuhan yang sejati tidak pernah meminta darah manusia ditumpahkan demi nama-Nya? Bahwa Dia lebih menyukai air mata tobat daripada jeritan korban yang merintih kesakitan.

 

Dalam dunia yang gemar meneriakkan nama Tuhan tapi melupakan kasih-Nya, suara Abou El Fadl adalah tamparan sekaligus pelukan. Tamparan bagi arogansi keagamaan. Pelukan bagi jiwa-jiwa yang mencari Tuhan yang benar: Tuhan yang tak membenci, tak membelenggu, tak menghardik—tetapi Tuhan yang hadir dalam cinta, kebijaksanaan, dan keindahan. Dan mungkin, dalam sujud terakhir yang sunyi, kita akan menemukan bahwa Tuhan tidak pernah bisu. Kitalah yang tak pernah benar-benar mau mendengar.


Baginya, ketika seseorang bicara atas nama Tuhan tanpa kesadaran atas keterbatasan dirinya, maka ia telah menggusur Tuhan dari keagungan-Nya, menggantikannya dengan idolatri ego yang dibalut jubah syariah. Tuhan, dalam versi mereka, adalah cermin ambisi kekuasaan, bukan Sang Kekasih yang Maha Pengasih. “The arrogance of speaking for God, while dismissing others, is the beginning of tyranny,” tulis Abou El Fadl dalam Speaking in God's Name.


Senin, 16 Juni 2025

Jalan Sunyi Al Ghazali


 

Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Di tengah riuh zaman yang kian kehilangan makna, serba cepat dan tak terkendali, akibat arus modernitas dengan segala perkembangan ilmu dan teknologinya, manusia, kata Seyyed Hossein Nasr, dipacu tanpa arah ruhani, dan terjebak dalam pusaran kecemasan yang makin dalam. Mereka teralienasi dalam hidupnya sendiri. Dan dalam keadaan seperti itu, kita memerlukan seberkas cahaya yang datang meski dari sunyi.

 

Sunyi yang tidak bisu, melainkan berbicara kepada nurani terdalam, yang selama ini tersingkir oleh nalar spekulatif. Sunyi yang tidak kosong, melainkan dipenuhi oleh kehadiran Yang Maha Hadir. Dan melalui lorong-lorong sunyi itulah, pada beberapa abad yang silam, seorang manusia bernama Abu Hamid Al-Ghazali berjalan pelan tapi pasti, menuju pemulihan jiwanya—dan jiwa umatnya.

 

Sepanjang hayatnya, lelaki dari Tus itu telah mereguk air jernih dari ribuan kitab, menyelami samudra akal, dan menguji tiap serpihan cahaya dari indera. Tapi di suatu malam yang diselimuti kabut gelap, dan ketika bintang-bintang filsafat kehilangan sinarnya, ia bertanya penuh gelisah: “Adakah suatu kepastian yang tak tergoyahkan?” Ia menjawab dalam al-Munqidh min al-Dalal, bahwa kepastian itu mesti ilmu yakin yang tidak menyisakan kebimbangan (العلم اليقين الذي لايبقى معه ريب).

 

Maka dimulailah perjalanan epistemologis Al-Ghazali, yang dimulai dari keraguan (الشكوك) bukan dari keyakinan yang selama ini ditapaki kebanyakan orang. “Keraguanlah yang bisa mengantarkan kepada kebenaran” (الشكوك هي الموصلة الى الحق). Demikian Al-Ghazali menuliskan dalam Mizan Al Amal. Dengan nada pasti dan penuh keyakinan, ia menelusuri kebenaran yang tak terbantahkan.

 

Di awal pencarian, Al-Ghazali menggenggam keyakinan bahwa indera adalah pangkal segala pengetahuan. Apa yang terlihat, terdengar, disentuh dan dikecap dianggap sebagai dasar realitas. Namun, sebagaimana cahaya yang tampak terang hanya sampai senja, keyakinan ini pun meredup, lenyap, tak terlihat. Ia mulai menyadari bahwa indera kerap menipu: “Bintang tampak sebesar dinar padahal lebih besar dari bumi,” tulisnya dalam al-Munqidh min al-Dalal. Bayangan tampak diam, tapi ia bergerak perlahan. Air tampak dalam cawan, padahal ia melengkung.

 

Indra, dalam pandangannya, adalah gerbang yang mudah disusupi ilusi dan tipuan. Sehingga pengetahuan yang mendasarinya rapuh sehingga mudah roboh. “Jika indraku telah berdusta padaku, bagaimana aku bisa mempercayainya?” Karena itulah Al-Ghazali mulai meragukan segala pengetahuan indrawi—tidak sebagai skeptisisme murni, tapi sebagai luka pertama yang membuka jalan perenungan lebih dalam dan lebih meyakinkan. Ia meragukan pengetahuan yang dihasilkan amatan mata, pendengaran, sentuhan kulit.

 

Dalam keraguan terhadap indera itu, ia kemudian membangun harapan pada akal. Akal—yang dapat memisahkan antara mungkin dan mustahil, yang bisa menetapkan bahwa dua adalah lebih dari satu, dan mustahil sesuatu bisa berada di dua tempat sekaligus. Dalam fase ini, Al-Ghazali memasuki dunia filsafat: logika Aristoteles, metafisika Ibn Sina, hingga geometri Euclid. Ia menguasainya bukan sekadar sebagai murid, tapi sebagai penguji paling tajam.

 

Namun kemudian ia menemukan bahwa akal pun tak bisa menembus tirai metafisika yang paling dalam. Akal bisa menjawab "bagaimana", tapi tak bisa menjawab "mengapa". Ia bisa membedah dunia, tapi tak bisa menjamah makna. Akal bisa menggambar peta, tapi tak bisa mengantarkan jiwa untuk pulang. Dalam al-Munqidh, ia menulis: “Keraguanku terhadap kemampuan akal bagaikan penyakit, namun penyakit ini diturunkan Allah kepadaku... maka tak ada obat selain cahaya yang dilemparkan ke dalam hati.”

 

Setelah meruntuhkan dua menara epistemologi—indra dan akal—Al-Ghazali memulai jalan sunyi, yaitu memalingkan wajahnya ke arah intuisi ilahiah, atau dalam istilah sufistik: dzawq. Ia menemukan bahwa hati yang disucikan bisa menjadi cermin kebenaran yang sejati. Kebenaran tidak lahir dari debat, tapi dari dzikir. Ia tidak tumbuh dalam logika, tapi dalam kesendirian yang lapang dan pengasingan yang diserahkan kepada Tuhan.

 

Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, ia menulis: “Ilmu yang hakiki adalah cahaya yang dilemparkan Allah ke dalam hati seorang hamba... ia tidak diperoleh melalui pena dan buku, tapi melalui penyucian jiwa dan pengabdian yang tulus.” Al-Ghazali menempuh jalan sufi, bukan sebagai pelarian, tapi sebagai puncak dari seluruh pencarian epistemologinya. Tetapi, jalan sufi yang sunyi, yang ditempuh Al-Ghazali bukanlah tanpa nalar. Ia tidak menolak akal.

 

Oliver Leaman dalam A Brief Introduction to Islamic Philosophy, menyebut Al-Ghazali sebagai tokoh yang “memusnahkan sistem filsafat tanpa memusnahkan semangat berpikir.” Ia tidak menolak akal, tapi mengkritiknya agar tunduk kepada cahaya batin. Ia tidak meninggalkan dunia, tapi memandangnya dari kejauhan. Bagi Al-Ghazali, akal ibarat cahaya yang menerangi jalan yang disusuri manusia di tengah lorong dan jurang yang gelap. Siapa saja yang menepikannya akan tersesat.

 

Frank Griffel, pembaca Al-Ghazali, melihat dalam diri sang Imam sebuah pergeseran radikal: dari seorang profesor di Baghdad yang dielu-elukan sebagai mahkota para ulama, menjadi seorang pengembara ruhani yang tak dikenali siapa pun kecuali dirinya sendiri. Dalam karyanya, Al-Ghazali’s Philosophical Theology, Griffel menegaskan bahwa krisis eksistensial yang dialami Al-Ghazali bukan semata gejala pribadi, melainkan refleksi dari krisis epistemik dunia Islam kala itu. Maka jalan sunyi yang ia tempuh adalah jalan menyembuhkan peradaban, jalan yang dianggap paling sahih untuk mengembalikan kesadaran umat Islam dari sampah zaman yang meniup bau busuk.

 

Jalan sunyi Al-Ghazali adalah jalan sufi—jalan pelepasan, jalan pengasingan dari keramaian dunia yang begitu bising, memabukkan, dan penuh jebakan. Maka ketika itu, saat ruh Al Ghazali disesaki debu ilmu yang belum basah oleh makna, dan dadanya merasakan kekeringan dalam lautan kata-kata, Al-Ghazali—yang saat itu telah mencapai puncak kemasyhuran sebagai guru besar Nizamiyah Baghdad—tiba-tiba merasakan kehampaan yang dalam, seperti seseorang yang berdiri di atas gunung tetapi tak lagi melihat langit. 

 

Sekali lagi, jalan sunyi yang ditempuh Al-Ghazali bukanlah membuang akal hingga tak dibutuhkan, tapi justru cahaya ketuhanan yang masuk ke dalam hatinya telah membenarkan pertimbangan logis secara meyakinkan. Dalam Al-Munqid ia menulis,:

 

حتى شفى الله تعالى من ذلك المرض وعادت النفس الى الصحة و الاعتدال و رجعت الضروريات العقلية مقبولة موثوقا بها على أمن و يقين, و لم يكن ذلك بنظم دليل و ترتيب كلام, بل بنور قذفه الله تعالى في الصدر, و ذلك النور هو مفتاح أكثر المعارف

 

"Allah menyembuhkan penyakitku sakitku tersebut, sampai jiwaku pun kembali sehat dan moderat lagi. Hasil daya pikir pun kembali diterima dan dipercaya serta penuh rasa aman dan yakin. Dan kesemua itu bukan karena adanya dalil yang teratur rapi serta kata yang tersusun benar, tapi karena adanya cahaya yang diturunkan Allah dalam kalbu, yaitu cahaya yang menjadi kunci kebanyakan pengetahuan."

 


Jumat, 06 Juni 2025

Makna Simbolik Qurban: Ibrahim dan Keakuan yang Tersayat


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Di balik kisah yang menyayat hati tentang Ibrahim dan Ismail — yang kerap dibaca secara literal sebagai narasi tentang ketaatan nabi kepada perintah Tuhan — para sufi membaca teks purba ini justru dengan mata batin yang lembut dan tajam. Mereka memasukinya lebih jauh ke dalam wilayah yang lebih intim dan sublim: ke dalam rahasia batin dan perjalanan cinta ruhaniah.

 

Qurban, bagi para sufi, bukan sekedar ritual atau ibadah formal tahunan. Ia adalah tahap agung dalam perjalanan menuju fana’ — yaitu lenyapnya diri dalam kehadiran Tuhan. Dan dalam kisah Ibrahim yang menggetarkan jiwa itu, yang sesungguhnya dikorbankan bukanlah Ismail, melainkan keakuan (ego) Ibrahim itu sendiri: rasa memiliki, rasa mencintai sesuatu selain Allah, bahkan rasa kebapakan yang menjadi bagian dari dunia.

 

Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi menggambarkan hal itu dengan sangat baik: “Lihatlah Ibrahim, ia tidak membunuh anaknya. Ia membunuh dirinya sendiri, yang bernama keakuan, yang memisahkan pecinta dari Kekasih-nya.” Dan setelah beberapa abad yang silam pasca-Rumi, Ali Syariati dalam Hajj menyampaikan hal yang senada. Menurutnya, Ismail hanyalah simbol dari apa yang paling dicintai manusia di dunia. Ia bisa berupa anak, harta, nama baik, pangkat, jabatan, bahkan diri sendiri.

 

Dalam magnum opusnya itu, Ali Syariati mengajak manusia menziarahi makna terdalam dari sebuah perintah purba yang lahir dari langit dan bersemayam dalam lubuk kesadaran profetik: menyembelih Ismail. Baginya, Ismail bukan semata anak Ibrahim, bocah suci yang dihamparkan di atas batu karang Mina dengan dada yang lapang dan jiwa yang pasrah. Ismail adalah segala yang dicintai manusia, segala yang membuat dada berdebar dan hati terikat, segala yang melahirkan rasa takut kehilangannya.

 

"Setiap manusia," tulis Syariati, "memiliki Ismailnya masing-masing." Maka Mina bukan hanya sebidang tanah di jazirah Arab, tapi medan spiritual yang sunyi di dalam dada manusia. Di sanalah, setiap anak Adam diuji untuk menyembelih apa yang paling dicintainya, agar ia bisa mencintai Sang Pemilik Cinta itu sendiri. Ismail adalah cermin, dan dalam cermin itu kita melihat apa yang menawan hati kita selain Tuhan.

 

Martin Buber, dalam I and Thou, menyiratkan bahwa relasi manusia yang autentik hanya terjadi bila manusia mampu keluar dari dirinya dan menanggalkan ego yang membatu. Dalam kerangka ini, "Ismail" adalah ego yang membuat relasi manusia dengan Tuhan dan sesama menjadi relasi yang semu, relasi "aku–itu", bukan "aku–Engkau". Maka menyembelih Ismail berarti menembus ruang antara, menyucikan cinta dari kepemilikan dan menyingkap wajah Yang Maha Lain.

 

Maka saat Ibrahim mengarahkan pisau, sesungguhnya ia bukan sedang mengarahkannya kepada putra terkasihnya, melainkan kepada diri lamanya, yang belum sepenuhnya terbebas dari ikatan duniawi. Di situlah momen transformatif itu: ketika pisau tidak jadi meneteskan darah manusia, tapi justru memotong tali yang mengikat jiwa kepada yang selain Tuhan.


Ketahuilah, bahwa cinta kepada anak, meski sah dan naluriah, bisa menjadi tirai. Tirai tipis yang menghalangi pandangan ruhani manusia. Ismail dalam kisah Ibrahim adalah cermin cinta duniawi yang paling suci,  tetapi cinta seperti itu menurut para sufi tetap cinta duniawi yang harus disayat. Maka dalam qurban, manusia diminta untuk menyembelih keterikatan yang menjadikannya berhala kecil dalam hati.

 

Qurban dan Hasrat yang Tak Pernah Puas

Lalu apa relevansi ibadah qurban bagi manusia modern yang hedonis dan materialis?

 

Dalam dunia modern yang bising, yang disusupi aneka iklan, gaya konsumtif, dan semarak pencitraan, manusia telah membangun altar baru: yaitu dirinya sendiri. Ia sujud bukan lagi kepada Tuhan, melainkan kepada bayangannya sendiri di cermin. Ia tidak lagi berkurban demi Yang Gaib, tetapi justru mengurbankan segala makna demi pencapaian yang bisa diukur, dilihat, dan dipamerkan.

 

Di sinilah ibadah qurban tampil bukan hanya sebagai ritus keagamaan, tetapi sebagai kontra-narasi spiritual terhadap peradaban modern yang terobsesi pada tubuh, kepemilikan, dan kepuasan instan. Qurban adalah protes yang senyap namun mendalam terhadap hedonisme yang menjadikan kesenangan sebagai tujuan tertinggi, serta materialisme yang menurunkan nilai manusia menjadi sekadar angka, status sosial, atau barang yang dipajang.

 

Ali Syariati, dengan kepekaan eksistensialnya, membaca qurban sebagai tindakan revolusioner. Menurutnya, menyembelih Ismail adalah metafora dari membunuh ego, melepaskan kepemilikan, dan menundukkan kehendak diri kepada kehendak Ilahi. Dalam dunia yang mengajarkan "aku, milikku, untukku", Syariati justru menyeru: “Sembelihlah keakuanmu, karena di sanalah letak perbudakanmu yang sejati.”

 

“Zaman ini,” tulis Syariati, “adalah zaman di mana berhala-berhala baru bermunculan dalam bentuk modern: mobil mewah, apartemen, gelar, kekuasaan, dan tubuh yang dibentuk seperti dewa. Tapi berhala tetaplah berhala—apa pun wujudnya.” Semua kemelakatan itu harus disayat, disingkirkan dalam diri manusia.

 

Dalam pandangan tasawuf, ego adalah hijab terbesar antara manusia dan Tuhan. Al-Ghazali menyebut nafs al-ammārah sebagai sumber segala penyakit batin. Sedang Rumi menyindir ego sebagai "penjara dari kaca"—ia tampak indah, tetapi mengurung cahaya batin. Maka qurban adalah upaya menghancurkan penjara itu, menghancurkan “aku” agar terbuka jalan menuju “Engkau”.

 

Dan dalam dunia modern, ‘penyembelihan’ itu bukan terjadi di Mina, tetapi dalam setiap detik ketika manusia berani menolak sistem yang memaksanya menjadi konsumtif, narsistik, dan egoistik. Qurban menjadi latihan spiritual untuk detachment (pelepasan), sebagaimana dijelaskan oleh Erich Fromm dalam To Have or To Be? bahwa manusia modern telah kehilangan being karena terlalu terobsesi pada having. Qurban, dalam hakikatnya, mengajak manusia untuk kembali dari memiliki kepada menjadi.

 

Di zaman yang menanamkan bahwa eksistensi ditentukan oleh jumlah followers dan saldo rekening, qurban datang sebagai pelajaran abadi bahwa kebermaknaan hidup justru terletak pada kemampuan untuk melepaskan. Bahwa kebahagiaan sejati bukanlah akumulasi, melainkan pengorbanan dengan segala kepasrahan dan keberserahan yang total sebagaimana telah diajarkan Khalilullah Ibrahim As.