Minggu, 22 Juni 2025

Bahkan Berbuat Jahat di Tempat Suci Tidak Menghilangkan Dosa


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Kita hidup di zaman ketika tempat suci tak lagi sakral bagi hati yang berkarat. Kubah-kubah yang menjulang, sajadah yang dibentangkan, bahkan Ka'bah yang dikelilingi umat dari segala penjuru, tidak bisa serta-merta membasuh hati yang bernanah oleh ambisi dan kebencian. Dosa tidak luruh hanya karena dikerjakan di tempat suci. Kesalahan tidak menghilang hanya karena dilakukan sambil menyebut nama Tuhan.

 

Di tempat-tempat suci yang seharusnya menjadi pelabuhan jiwa yang lelah, kita sering mendengar suara-suara pilu: suara kotak amal yang pecah direnggut oleh tangan yang dikuasai nafsu mencuri; mimbar-mimbar agama yang seharusnya menjelma pelita malah dipenuhi api caci maki, nyala hujat, dan bara amarah. Petuah juru dakwah yang mestinya menyejukkan hati kini malah berubah menjadi pedang yang melukai, membelah hati umat menjadi sekat-sekat yang saling melumat.

 

Dalam beberapa kasus pilu di pesantren, tubuh-tubuh tak berdeosa direnggut kehormatannya, bukan oleh musuh agama, tapi oleh mereka yang mengajarkan ayat-ayat-Nya. Sementara itu, di belahan dunia lain, di antara pilar-pilar masjid yang menjulang tinggi, bom meledak. Rentetan tembakan dimuntahkan. Lalu kemudian darah terburai menodai sajadah. Duka menggantikan takbir. Mereka yang datang membawa niat suci harus pulang dengan tubuh berbalut kafan putih. Seseorang mengira surga bisa dibeli dengan ledakan yang membinasakan manusia.

 

Tempat suci kini bergetar dalam diam. Dinding-dindingnya tak lagi hanya memantulkan doa, tetapi juga jeritan dan trauma psikologis yang mencekam. Langit pun menunduk, malu kepada bumi ketika nama Tuhan diseret dalam arak-arakan kejahatan yang dibungkus dalam jubah kesalehan. Lalu kita bertanya apakah tempat yang suci mampu menghapus kekejian semacam itu? Apakah lantai mihrab yang dibasahi darah bisa disebut tanah yang diberkahi?

 

Tempat suci, seperti masjid, gereja, sinagoga, kuil—dalam keagungannya mestinya adalah ruang untuk mengendapkan dosa, bukan ladang bagi lahirnya dosa baru. Namun, sejarah dan kenyataan mutakhir memperlihatkan kenyataan yang sebaliknya. Kejahatan dapat bersarang bahkan di bawah kubah yang menjulang. Di balik azan yang berkumandang, terkadang bersembunyi dusta, kerakusan, dan niat-niat gelap yang membungkus dirinya dalam nama Tuhan.

 

Para pelaku kejahatan mengira bahwa melakukan kejahatan di tempat suci membuatnya menjadi "lebih ringan", seolah bangunan kudus memiliki kekuatan gaib untuk melarutkan dosa yang disengaja. Padahal, justru sebaliknya: kejahatan yang dilakukan di tempat suci adalah pelanggaran berlapis. Ia tidak hanya merusak hubungan antar manusia, tetapi juga mencederai makna spiritual ruang yang dipercayai sebagai perpanjangan dari langit.

 

Seorang yang mencuri di pasar mungkin disebut pencuri. Tetapi seseorang yang mencuri di masjid atau di tempat suci lain—di mana ia tahu bahwa kotak amal adalah titipan Tuhan—telah menodai dua dimensi sekaligus: moralitas dan kesakralan. Ia tidak sekadar merampok harta, tetapi juga merampok kepercayaan umat kepada tempat yang mereka kira aman dari tipu daya. Mereka yang meledakkan dirinya di tengah jamaah shalat mengira telah membeli surga dengan darah. Bahkan melakukan kejahatan di depan Ka’bah tidak akan menghilangkan dosa seseorang.

 

Kenyataan pahit dalam sejarah spiritual umat manusia adalah ketika rumah-rumah Tuhan dijadikan medan perang. Ketika bait-bait suci dijadikan gudang senjata. Ketika ayat-ayat cinta dibacakan dengan nada kebencian. Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, memperingatkan bahwa dosa yang dilakukan oleh seseorang, atau oleh orang yang tampak religius itu lebih berbahaya, sebab ia membungkus kejahatan dengan kesalehan, dan itu adalah bentuk kemunafikan yang paling dalam.

 

Kesucian bukanlah atribut ruang, melainkan pantulan dari hati. Sebuah masjid yang penuh kemewahan tak akan menyucikan seseorang jika hatinya tertutup. Sebaliknya, ruang kecil yang bersahaja bisa menjadi tempat perjumpaan dengan Tuhan jika dijalani dengan kerendahan hati. Maka dosa yang dilakukan di tempat suci bukan hanya tidak hilang, tapi juga menjadi saksi atas betapa jauh manusia telah menyimpang dari makna sejatinya.

 

Kesucian tidak dapat dipalsukan. Bahkan malaikat pun tak bisa membela manusia yang menipu di tempat suci. Sajadah yang dibasahi air mata palsu tak akan menyelamatkanmu dari api yang dinyalakan oleh ketidakadilan. Tempat suci adalah panggilan bagi jiwa, bukan tempat persembunyian bagi dosa. Jika engkau berbuat jahat di sana, engkau tak hanya berdosa, tetapi engkau juga telah menistakan diri sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar