Oleh Mohamad Asrori Mulky
Kita hidup di zaman
ketika tempat suci tak lagi sakral bagi hati yang berkarat. Kubah-kubah yang
menjulang, sajadah yang dibentangkan, bahkan Ka'bah yang dikelilingi umat dari
segala penjuru, tidak bisa serta-merta membasuh hati yang bernanah oleh ambisi
dan kebencian. Dosa tidak luruh hanya karena dikerjakan di tempat suci.
Kesalahan tidak menghilang hanya karena dilakukan sambil menyebut nama Tuhan.
Di tempat-tempat suci
yang seharusnya menjadi pelabuhan jiwa yang
lelah, kita sering mendengar suara-suara pilu: suara kotak amal yang pecah direnggut
oleh tangan yang dikuasai nafsu mencuri; mimbar-mimbar agama yang seharusnya menjelma
pelita malah dipenuhi api caci maki, nyala hujat, dan bara amarah. Petuah juru dakwah
yang mestinya menyejukkan hati kini malah berubah menjadi pedang yang melukai,
membelah hati umat menjadi sekat-sekat yang saling melumat.
Dalam beberapa kasus pilu di pesantren, tubuh-tubuh
tak berdeosa direnggut kehormatannya, bukan oleh musuh agama, tapi oleh mereka
yang mengajarkan ayat-ayat-Nya. Sementara itu, di belahan dunia lain, di antara
pilar-pilar masjid yang menjulang tinggi, bom meledak. Rentetan tembakan
dimuntahkan. Lalu kemudian darah terburai menodai sajadah. Duka menggantikan
takbir. Mereka yang datang membawa niat suci harus pulang dengan tubuh berbalut
kafan putih. Seseorang mengira surga bisa dibeli dengan ledakan yang
membinasakan manusia.
Tempat suci kini bergetar dalam diam.
Dinding-dindingnya tak lagi hanya memantulkan doa, tetapi juga jeritan dan trauma
psikologis yang mencekam. Langit pun menunduk, malu kepada bumi ketika nama
Tuhan diseret dalam arak-arakan kejahatan yang dibungkus dalam jubah kesalehan.
Lalu kita bertanya apakah tempat yang suci mampu menghapus kekejian semacam
itu? Apakah lantai mihrab yang dibasahi darah bisa disebut tanah yang diberkahi?
Tempat suci, seperti masjid, gereja,
sinagoga, kuil—dalam keagungannya mestinya adalah ruang untuk mengendapkan
dosa, bukan ladang bagi lahirnya dosa baru. Namun, sejarah dan kenyataan
mutakhir memperlihatkan kenyataan yang sebaliknya. Kejahatan dapat bersarang
bahkan di bawah kubah yang menjulang. Di balik azan yang berkumandang,
terkadang bersembunyi dusta, kerakusan, dan niat-niat gelap yang membungkus
dirinya dalam nama Tuhan.
Para pelaku kejahatan
mengira bahwa melakukan kejahatan di tempat suci membuatnya menjadi "lebih
ringan", seolah bangunan kudus memiliki kekuatan gaib untuk melarutkan
dosa yang disengaja. Padahal, justru sebaliknya: kejahatan yang dilakukan di
tempat suci adalah pelanggaran berlapis. Ia tidak hanya merusak hubungan antar
manusia, tetapi juga mencederai makna spiritual ruang yang dipercayai sebagai
perpanjangan dari langit.
Seorang yang mencuri
di pasar mungkin disebut pencuri. Tetapi seseorang yang mencuri di masjid atau
di tempat suci lain—di mana ia tahu bahwa kotak amal adalah titipan Tuhan—telah
menodai dua dimensi sekaligus: moralitas dan kesakralan. Ia tidak sekadar
merampok harta, tetapi juga merampok kepercayaan umat kepada tempat yang mereka
kira aman dari tipu daya. Mereka yang meledakkan dirinya di tengah jamaah
shalat mengira telah membeli surga dengan darah. Bahkan melakukan kejahatan di
depan Ka’bah tidak akan menghilangkan dosa seseorang.
Kenyataan pahit dalam
sejarah spiritual umat manusia adalah ketika rumah-rumah Tuhan dijadikan medan
perang. Ketika bait-bait suci dijadikan gudang senjata. Ketika ayat-ayat cinta
dibacakan dengan nada kebencian. Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, memperingatkan
bahwa dosa yang dilakukan oleh seseorang, atau oleh orang yang tampak religius itu
lebih berbahaya, sebab ia membungkus kejahatan dengan kesalehan, dan itu adalah
bentuk kemunafikan yang paling dalam.
Kesucian bukanlah
atribut ruang, melainkan pantulan dari hati. Sebuah masjid yang penuh kemewahan
tak akan menyucikan seseorang jika hatinya tertutup. Sebaliknya, ruang kecil
yang bersahaja bisa menjadi tempat perjumpaan dengan Tuhan jika dijalani dengan
kerendahan hati. Maka dosa yang dilakukan di tempat suci bukan hanya tidak
hilang, tapi juga menjadi saksi atas betapa jauh manusia telah menyimpang dari
makna sejatinya.
Kesucian tidak dapat
dipalsukan. Bahkan malaikat pun tak bisa membela manusia yang menipu di tempat
suci. Sajadah yang dibasahi air mata palsu tak akan menyelamatkanmu dari api
yang dinyalakan oleh ketidakadilan. Tempat suci adalah panggilan bagi jiwa,
bukan tempat persembunyian bagi dosa. Jika engkau berbuat jahat di sana, engkau
tak hanya berdosa, tetapi engkau juga telah menistakan diri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar