Oleh Mohamad Asrori Mulky
Nepal, negeri yang atapnya menyentuh langit, kerap tampak
megah dari kejauhan—puncak-puncak Himalaya menjulang laksana baris puisi yang
tak pernah runtuh, sementara lembahnya mengalirkan sungai seakan ayat purba
yang terus dibacakan. Akan tetapi, di balik panorama yang memesona itu,
bersemayam kenyataan getir: kemiskinan yang tak kunjung lepas, politik yang
sering tersesat di lorong kuasa, dan generasi muda yang tumbuh dengan peluang
serba rapuh.
Kathmandu, ibu kota Nepal, yang biasanya berdenyut dengan doa di
kuil-kuil kuno, kini menjelma samudra manusia. Jalan-jalan yang dulu mengantar
peziarah menuju stupa dan mandir, berubah menjadi panggung amarah: spanduk
menjulang, slogan diserukan, dan teriakan rakyat bergemuruh, pecah seperti
petir di lembah Himalaya.
Anak muda, aktivis, hingga rakyat jelata turun dengan dada
yang terbakar. Kemarahan mereka bukan sekadar pada korupsi yang merajalela,
melainkan pada sistem yang sejak lama dirasa pincang—panggung tempat segelintir
elite menari di atas penderitaan rakyat, sementara anak-anak mereka, para Nepokids,
menapaki jalan kuasa seolah tahta adalah warisan keluarga.
Nepotisme di Nepal tak lagi bersembunyi di balik kabar
burung; ia tampil terang, bahkan dipamerkan tanpa malu. Rakyat menyaksikan
bagaimana putra-putri para pemimpin besar—perdana menteri dan pejabat
tinggi—dengan mudah memperoleh panggung politik. Dinasti yang berjalan seperti
kerajaan lama, di mana darah lebih dipuja daripada kompetensi, silsilah lebih
dihormati daripada jerih payah.
Di sinilah istilah global nepo baby dan nepo kids
menemukan gema paling getirnya. Mula-mula hanya sindiran di dunia hiburan—anak
aktor atau musisi yang bersinar karena bayangan orang tua mereka. Namun di
Nepal, istilah itu menjadi pisau kritik: tanda bahwa kekuasaan diwariskan,
sementara anak-anak muda yang cerdas dan berpendidikan harus puas menunggu di
pintu yang tak pernah terbuka.
Di satu sisi, para Nepokids menari di pesta,
memamerkan kemewahan di layar gawai. Di sisi lain, rakyat kecil menghitung
recehan untuk beras, anak-anak berjalan jauh demi sekolah, dan generasi muda
berteriak menuntut kesempatan yang adil.
Suara lantang Shree Gurung, seorang pemuda di tengah
demonstrasi, menjadi gema generasinya: “Kami menuntut akuntabilitas. Kami
menuntut penyelidikan. Kami menolak korupsi ini, kemewahan ini, dan anak-anak
politisi yang menjadikan penderitaan kami sebagai panggung bagi gaya hidup
mereka.” Suara itu berpadu dengan ribuan lainnya, menjelma simfoni
kemarahan yang mengguncang jantung Kathmandu.
Namun, api protes berubah menjadi badai yang tak terbendung.
Rumah-rumah pejabat dibakar, istri seorang mantan perdana menteri tewas, para
menteri dipukul, bahkan ada yang ditelanjangi dan dikejar massa. Api bukan
hanya membakar gedung-gedung, tapi juga kesabaran rakyat. Negara kini berada di
bawah bayang-bayang militer, dengan puluhan nyawa sudah melayang. Sementara ratusan
tubuh roboh dihantam senjata militer.
Nepal, negeri yang dulu dipuja karena ketenangan
spiritualnya, kini menjelma panggung tragedi politik. Sebuah paradoks yang
getir: puncaknya menyentuh langit, namun politiknya terperosok ke lumpur.
Pertanyaannya: apakah dari bara ini sebuah bangsa bisa lahir
kembali? Ataukah amarah hanya akan melanggengkan siklus dendam dan dinasti?
Albert Camus dalam The Rebel pernah menulis, bahwa
pemberontakan bukanlah kehendak untuk menghancurkan, melainkan seruan untuk
hidup bermartabat. Kata-kata itu seakan menjelma nyata di jalan-jalan
Kathmandu. Jeritan rakyat bukan sekadar murka, melainkan permintaan untuk hidup
tanpa diperbudak dinasti, tanpa belenggu warisan kekuasaan.
Hannah Arendt, sang pemikir kebebasan, mengingatkan, bahwa kekuasaan
lahir ketika manusia bertindak bersama, bukan ketika ia diwariskan. Ujian itu
kini dihadapi Nepal—apakah kebersamaan rakyat bisa melahirkan tatanan baru,
atau sekali lagi akan dilumpuhkan oleh militer dan dinasti yang enggan tumbang?
Tragedi Nepal adalah cermin dunia. Dinasti dan nepo kids
hadir di banyak negeri, menutup jalan bagi mereka yang ingin bermimpi. Namun
seperti Himalaya yang tetap tegak meski diguncang gempa, rakyat Nepal
menunjukkan bahwa martabat tak pernah diwariskan; ia hanya bisa diperjuangkan.
Jalanan Kathmandu bukan lagi sekadar ruang protes. Ia
menjelma altar, tempat rakyat berdoa dengan darah dan pekikan. Doa agar lahir
dunia baru, di mana nama keluarga bukan tiket menuju singgasana, dan setiap
anak bangsa punya hak yang sama untuk menulis masa depannya.
Dan di bawah bayangan Himalaya yang agung, rakyat Nepal
sedang menulis puisi mereka sendiri—sebuah puisi tentang kebebasan, tentang
keberanian, dan tentang cinta yang tak pernah padam pada tanah air.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar