Kamis, 11 September 2025

Pintu Ketaatan, Pintu Penerimaan

 


ربما فتح باب الطاعة وما فتح لك باب القبول, وربما قضى عليك بالذنب فكان سببا للوصول

 

"Barangkali Allah membukakan bagimu pintu ketaatan, namun belum membukakan pintu penerimaan. Dan barangkali Dia menetapkan atasmu sebuah dosa, yang justru menjadi sebab engkau sampai kepada-Nya."

 

— Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari, Al-Hikam

 

Pintu Ketaatan, Pintu Penerimaan

Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Sering kali manusia terperdaya oleh gemerlap amalnya sendiri. Kita merasa sudah berpuasa, bersedekah, berdoa, mendirikan solat ribuan rakaat, dan menunaikan berbagai bentuk ibadah, lalu hati kecil berbisik, “Aku pasti dekat dengan-Nya.”

 

Padahal, sebagaimana diingatkan oleh Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari dalam Al Hikam, tidak setiap amal yang tampak sebagai ketaatan otomatis diterima di sisi Allah. Ada kalanya ibadah itu hanya menampilkan rupa lahiriah, sementara isinya rapuh, tergerus riya, kesombongan, atau rasa cukup pada diri.

 

Bayangkan seorang alim yang setiap hari menebarkan ilmu dari atas mimbar, disanjung banyak orang karena keluasan wawasannya. Namun, diam-diam dalam hatinya tumbuh perasaan lebih tinggi dari yang lain. Ia merasa paling suci, paling benar, dan paling dekat dengan Allah. Pada titik itulah, pintu ketaatan bisa tampak terbuka lebar, namun sesungguhnya pintu penerimaan justru terkunci rapat.

 

Sebaliknya, ada seorang hamba yang terjerat dosa. Berlumur debu kemaksiatan. Ia jatuh, lalu menangis sendirian, menanggung sesak penyesalan yang menghimpit dadanya. Dari keterpurukan itu, ia belajar rendah hati. Ia menemukan betapa manusia begitu rapuh dan betapa ia sangat bergantung pada Allah. Terkadang justru dari air mata tobat itu, pintu penerimaan terbuka luas, mengundang kasih sayang Ilahi.

 

Di sinilah letak paradoks agung kehidupan spiritual: sesuatu yang tampak mulia di mata manusia belum tentu bernilai di sisi Allah, dan sesuatu yang tampak hina di mata dunia bisa justru menjadi jalan menuju keselamatan.

 

Ketaatan, yang di mata lahiriah terhitung sebagai amal suci, tidak otomatis menghadirkan kedekatan dengan Sang Pencipta. Sebab, yang memberi ruh pada amal bukanlah gerak tubuh semata, melainkan sikap batin yang melandasinya. Bila sebuah ibadah diliputi rasa sombong, riya, atau perasaan diri paling suci, maka ibadah itu berubah menjadi dinding yang menutup jalan menuju Allah. Amal lahirnya ada, tetapi jiwanya sirna.

 

Sebaliknya, dosa yang tampak sebagai noda hitam dalam perjalanan hidup manusia tidak selalu membawa kebinasaan. Terkadang, justru dari keterjerembaban dalam dosa, lahirlah kesadaran akan rapuhnya diri. Dari kejatuhan itu, manusia belajar untuk menunduk, untuk menangis, untuk merasakan perihnya jauh dari Allah. Air mata penyesalan itulah yang menjadi hujan, membersihkan karat hati, lalu membuka pintu yang selama ini terkunci.

 

Karena itu, ukuran kedekatan dengan Allah bukanlah pada banyaknya amal yang ditumpuk atau sedikitnya dosa yang dilakukan, melainkan pada keadaan hati. Hati yang terjerat kesombongan, meski dikelilingi ketaatan, ibarat tanah subur yang tertutup batu keras—benih tidak akan pernah tumbuh. Tetapi hati yang luluh karena penyesalan, meski penuh luka oleh dosa, ibarat tanah kering yang menerima tetes hujan—dari situlah tumbuh tunas kehidupan baru.



Inilah paradoks yang sering dilupakan: bahwa Allah lebih dekat dengan hati yang hancur karena penyesalan daripada dengan hati yang membusung oleh kebanggaan atas amal. Sebab, Allah tidak melihat rupa dan perbuatan lahiriah manusia semata, melainkan menilai apa yang berdiam di dalam hati.

 

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menegaskan, “Dosa yang membuatmu rendah hati di hadapan Allah lebih berharga daripada ketaatan yang melahirkan kesombongan.” Sebuah ungkapan yang berpaut erat dengan hikmah Ibnu ‘Athaillah: nilai amal bukan hanya terletak pada bentuknya, melainkan pada ruh yang menghidupinya.

 

Kebanyakan manusia terlalu mencintai kebaikan dirinya sendiri hingga lupa pada kesalahan dan kerendahan diri sendiri. Dosa bisa menjadi luka, tetapi justru melalui luka itu seseorang menemukan jalan pulang menuju Allah. Kebaikan yang melahirkan kesombongan lebih berbahaya daripada dosa yang menyadarkan.

 

Kata-kata mutiara penuh hikmah dari Ibnu ‘Athaillah di atas menuntun kita pada keseimbangan batin: jangan terpedaya oleh tumpukan amal, dan jangan terhempas oleh dosa. Amal tanpa keikhlasan ibarat tubuh tanpa jiwa, sementara dosa yang ditingkahi tobat bisa menjadi tangga menuju kemurnian hati.

 

Hidup ini adalah perjalanan panjang melewati dua pintu: ketaatan dan penerimaan. Pintu pertama bisa tampak terbuka, namun tanpa yang kedua, kita tetap terhenti di ambang jalan. Maka jangan pernah berbangga pada amal, dan jangan pula berputus asa oleh dosa. Yang terpenting adalah hati yang terus merendah, senantiasa mengetuk pintu-Nya dengan penuh pengharapan.

 

Sebagaimana doa para arif: “Ya Allah, jangan Engkau tutup mata hati kami dengan ketaatan yang membuat kami angkuh, dan jangan pula Kau biarkan kami binasa oleh dosa yang menjerumuskan. Bukalah pintu penerimaan-Mu, agar perjalanan hidup kami berakhir dalam pelukan kasih-Mu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar