ربما
فتح باب الطاعة وما فتح لك باب القبول, وربما قضى عليك بالذنب فكان سببا للوصول
"Barangkali Allah membukakan bagimu
pintu ketaatan, namun belum membukakan pintu penerimaan. Dan barangkali Dia
menetapkan atasmu sebuah dosa, yang justru menjadi sebab engkau sampai
kepada-Nya."
— Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari, Al-Hikam
Pintu Ketaatan, Pintu Penerimaan
Oleh Mohamad Asrori Mulky
Sering kali manusia terperdaya oleh gemerlap amalnya sendiri.
Kita merasa sudah berpuasa, bersedekah, berdoa, mendirikan solat ribuan rakaat,
dan menunaikan berbagai bentuk ibadah, lalu hati kecil berbisik, “Aku pasti
dekat dengan-Nya.”
Padahal, sebagaimana diingatkan oleh Ibnu ‘Athaillah
al-Sakandari dalam Al Hikam, tidak setiap amal yang tampak sebagai
ketaatan otomatis diterima di sisi Allah. Ada kalanya ibadah itu hanya
menampilkan rupa lahiriah, sementara isinya rapuh, tergerus riya, kesombongan,
atau rasa cukup pada diri.
Bayangkan seorang alim yang setiap hari menebarkan ilmu dari atas
mimbar, disanjung banyak orang karena keluasan wawasannya. Namun, diam-diam
dalam hatinya tumbuh perasaan lebih tinggi dari yang lain. Ia merasa paling
suci, paling benar, dan paling dekat dengan Allah. Pada titik itulah, pintu
ketaatan bisa tampak terbuka lebar, namun sesungguhnya pintu penerimaan justru
terkunci rapat.
Sebaliknya, ada seorang hamba yang terjerat dosa. Berlumur
debu kemaksiatan. Ia jatuh, lalu menangis sendirian, menanggung sesak
penyesalan yang menghimpit dadanya. Dari keterpurukan itu, ia belajar rendah
hati. Ia menemukan betapa manusia begitu rapuh dan betapa ia sangat bergantung
pada Allah. Terkadang justru dari air mata tobat itu, pintu penerimaan terbuka
luas, mengundang kasih sayang Ilahi.
Di sinilah letak paradoks agung kehidupan
spiritual: sesuatu yang tampak mulia di mata manusia belum tentu bernilai di
sisi Allah, dan sesuatu yang tampak hina di mata dunia bisa justru menjadi
jalan menuju keselamatan.
Ketaatan, yang di mata lahiriah terhitung
sebagai amal suci, tidak otomatis menghadirkan kedekatan dengan Sang Pencipta.
Sebab, yang memberi ruh pada amal bukanlah gerak tubuh semata, melainkan sikap
batin yang melandasinya. Bila sebuah ibadah diliputi rasa sombong, riya, atau
perasaan diri paling suci, maka ibadah itu berubah menjadi dinding yang menutup
jalan menuju Allah. Amal lahirnya ada, tetapi jiwanya sirna.
Sebaliknya, dosa yang tampak sebagai noda
hitam dalam perjalanan hidup manusia tidak selalu membawa kebinasaan.
Terkadang, justru dari keterjerembaban dalam dosa, lahirlah kesadaran akan
rapuhnya diri. Dari kejatuhan itu, manusia belajar untuk menunduk, untuk
menangis, untuk merasakan perihnya jauh dari Allah. Air mata penyesalan itulah
yang menjadi hujan, membersihkan karat hati, lalu membuka pintu yang selama ini
terkunci.
Karena itu, ukuran kedekatan dengan Allah
bukanlah pada banyaknya amal yang ditumpuk atau sedikitnya dosa yang dilakukan,
melainkan pada keadaan hati. Hati yang terjerat kesombongan, meski dikelilingi
ketaatan, ibarat tanah subur yang tertutup batu keras—benih tidak akan pernah tumbuh.
Tetapi hati yang luluh karena penyesalan, meski penuh luka oleh dosa, ibarat
tanah kering yang menerima tetes hujan—dari situlah tumbuh tunas kehidupan
baru.
Inilah paradoks yang sering dilupakan: bahwa
Allah lebih dekat dengan hati yang hancur karena penyesalan daripada dengan
hati yang membusung oleh kebanggaan atas amal. Sebab, Allah tidak melihat rupa
dan perbuatan lahiriah manusia semata, melainkan menilai apa yang berdiam di
dalam hati.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menegaskan, “Dosa
yang membuatmu rendah hati di hadapan Allah lebih berharga daripada ketaatan
yang melahirkan kesombongan.” Sebuah ungkapan yang berpaut erat dengan
hikmah Ibnu ‘Athaillah: nilai amal bukan hanya terletak pada bentuknya,
melainkan pada ruh yang menghidupinya.
Kebanyakan manusia terlalu mencintai kebaikan dirinya sendiri
hingga lupa pada kesalahan dan kerendahan diri sendiri. Dosa bisa menjadi luka,
tetapi justru melalui luka itu seseorang menemukan jalan pulang menuju Allah. Kebaikan
yang melahirkan kesombongan lebih berbahaya daripada dosa yang menyadarkan.
Kata-kata mutiara penuh hikmah dari Ibnu ‘Athaillah di atas menuntun
kita pada keseimbangan batin: jangan terpedaya oleh tumpukan amal, dan jangan
terhempas oleh dosa. Amal tanpa keikhlasan ibarat tubuh tanpa jiwa, sementara
dosa yang ditingkahi tobat bisa menjadi tangga menuju kemurnian hati.
Hidup ini adalah perjalanan panjang melewati dua pintu:
ketaatan dan penerimaan. Pintu pertama bisa tampak terbuka, namun tanpa yang
kedua, kita tetap terhenti di ambang jalan. Maka jangan pernah berbangga pada
amal, dan jangan pula berputus asa oleh dosa. Yang terpenting adalah hati yang
terus merendah, senantiasa mengetuk pintu-Nya dengan penuh pengharapan.
Sebagaimana doa para arif: “Ya Allah, jangan Engkau tutup
mata hati kami dengan ketaatan yang membuat kami angkuh, dan jangan pula Kau
biarkan kami binasa oleh dosa yang menjerumuskan. Bukalah pintu penerimaan-Mu,
agar perjalanan hidup kami berakhir dalam pelukan kasih-Mu.”


Tidak ada komentar:
Posting Komentar