Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Sabtu, 30 Agustus 2025

Affan, Camus, dan Pemberontakan Moral Rakyat

Sabtu, Agustus 30, 2025 0



Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Albert Camus, filsuf kelahiran Aljazair yang menulis dalam bahasa Prancis, pernah menegaskan dalam The Rebel: “I rebel—therefore we exist” [Aku memberontak, maka kita ada]. Pernyataan ini bukan sekadar semboyan, melainkan pengakuan eksistensial: bahwa pemberontakan adalah bahasa moral terakhir manusia, seruan yang lahir ketika martabat dan harga diri diinjak, ketika absurditas dan ketidakadilan menutup semua jalan.

 

Hari ini, kata-kata Camus itu seolah menemukan panggung baru di Indonesia. Jalan-jalan yang biasanya riuh oleh iklan dan lalu lintas kini dipenuhi teriakan, api, dan gas air mata. Di tengahnya, nama “Affan Kurniawan” bergema: seorang pemuda pengemudi ojek online, pulang yang tak pernah sampai, nyawa yang terputus di bawah roda kendaraan taktis aparat yang bringas.

 

Affan bukan sekadar korban. Ia menjelma simbol, mantra luka yang menyatukan duka rakyat. Kita mengenalnya dalam wajah-wajah kecil sehari-hari: pengantar makan siang, penjemput anak sekolah, pekerja yang menukar waktu dengan sebutir nasi. Ketika nyawa seperti itu melayang, rakyat tak hanya berduka—mereka merasa dikhianati. Sebab negara yang seharusnya menjadi pelindung justru menjelma bayangan yang menakutkan.

 

Maka, ketika massa turun ke jalan menyebut nama Affan untuk menyuarakan keadilan, itu bukan sekadar amarah buta. Ia adalah “an appeal to the essence of being”—seruan menuju hakikat keberadaan, kata Camus. Dalam setiap teriakan massa tersembunyi kerinduan: kerinduan akan republik yang berjiwa akan keadilan yang hilang.

 

Camus pernah menulis: “Real generosity toward the future lies in giving all to the present.” Maka, apa yang kita saksikan hari ini—jeritan massa, lautan manusia yang meluber di jalanan, dentuman amarah yang tak terbendung—bukanlah kebrutalan tanpa arah. Ia adalah kemurahan hati paling getir: pengorbanan rakyat hari ini agar anak-anak mereka kelak tak lagi mewarisi republik yang koyak, negeri yang terus dipasung oleh ketidakadilan.

 

Pemberontakan rakyat, dalam pandangan Camus, bukanlah kehancuran yang membabi buta. Ia adalah ikhtiar terakhir untuk menyelamatkan jiwa kehidupan bersama. Sebab republik yang menutup pintu keadilan, pada hakikatnya sedang menggali kuburnya sendiri. Republik semacam itu, kata Camus, bukanlah rumah masa depan—ia hanyalah reruntuhan yang menunggu saatnya ambruk.

 

Karena itulah ribuan massa hari ini tak hanya berteriak; mereka meraung. Gedung dewan tak hanya diserbu; ia dilalap api sebagai simbol dari nurani yang dikhianati. Nama Affan tak sekadar disebut; ia menjelma mantra kolektif, menggelegar di udara bersama asap ban yang terbakar. Semua itu bukanlah ledakan murka liar, melainkan penegasan keras: rakyat menuntut agar republik ini kembali berakar pada nurani, atau ia akan kehilangan makna keberadaannya sendiri.

 

Andai Camus masih berjalan di bumi hari ini, barangkali ia akan menundukkan wajahnya lalu berbisik: jangan salah baca kemarahan rakyat. Itu bukan ancaman, melainkan tanda bahwa bangsa ini masih menyimpan jiwa. Sebab yang lebih menakutkan dari rakyat yang marah adalah rakyat yang bungkam; yang lebih mematikan dari teriakan di jalan adalah keheningan yang pasrah, bangsa yang kehilangan asa.

 

Kematian Affan adalah garis api, titik tak kembali. Di sanalah sejarah memisahkan antara republik yang masih hidup dengan republik yang sudah membusuk. Amarah rakyat yang meledak hari ini bukan sekadar teriakan, melainkan jeritan moral terakhir, doa yang menggelegar agar negara ingat kembali tugas sucinya: bukan mencabut nyawa warganya, melainkan menjaga kehidupan mereka.

 

Camus pernah menulis bahwa setiap pemberontakan lahir dari kerinduan akan kepolosan. Kerinduan itulah yang kini menggelegar di jalanan negeri ini. Amarah rakyat bukan kehancuran, melainkan doa keras yang menghantam langit: tuntutan agar republik berhenti menutup pintu keadilan. Sebab keadilan bukan perhiasan yang bisa ditunda, ia adalah fondasi yang menentukan: apakah bangsa ini tumbuh sebagai rumah, atau runtuh sebagai puing.

 

Dan jika suara rakyat terus diabaikan, jangan salahkan siapa pun ketika republik ini roboh oleh luka yang ia goreskan pada tubuhnya sendiri. Tetapi bila jeritan itu didengar, bila nurani kembali dijadikan akar kebijakan, maka dari darah Affan akan lahir republik baru: republik yang tidak lagi menjadikan rakyat korban, melainkan menyalakan mereka sebagai jiwa. Republik yang kembali merawat keadilan—bukan sebagai jargon kosong—tetapi sebagai rumah terakhir bagi kita semua.



Sabtu, 23 Agustus 2025

Subulussalam: Tiga Puluh Lima Tahun Menjaga Jalan-Jalan Keselamatan

Sabtu, Agustus 23, 2025 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Aku masih menyimpan dengan utuh ingatan tentang hari pertama ketika kaki ini menjejak gerbang Pondok Pesantren Modern Subulussalam, Kresek, Tangerang. Waktu itu, adzan zuhur sedang berkumandang, melayang di antara terik matahari yang begitu menyala, seolah langit hendak menguji keteguhan langkah seorang anak muda yang datang dengan sejuta harap dari daerah terpencil bernama Jiput. Panas menyengat dahi hingga meneteskan peluh, tetapi justru di dalam dada tumbuh getar bahagia yang tak tertahankan: inilah hari pertama, saat sebuah perjalanan panjang dimulai—perjalanan menuju rumah kedua, sekolah jiwa, ladang ilmu, dan samudra pengalaman yang tak akan pernah kering.

 

Dari kejauhan, mataku menangkap sosok seorang kiai luhur dengan ilmu dan kharisma, keluar dari rumah sederhana. Beliau berjalan dengan langkah tenang menuju mushala, hendak mengimami santri yang telah menunggu. Seketika, seolah ada takdir kecil yang bekerja, beliau menoleh ke arahku—anak asing yang masih berdiri ragu di depan gerbang. Wajah kiai itu begitu teduh, matanya penuh kasih, dan sebuah senyum menawan mengembang ke arahku bagai cahaya fajar yang menyejukkan sisa-sisa malam yang dingin. Senyum itu seolah berbicara tanpa kata: “Selamat datang, anakku. Di sinilah engkau akan belajar, ditempa, dan dibimbing.”

 

Sekejap panas yang menguasai udara siang itu luruh oleh kesejukan batin. Di hadapan senyum itu, aku tak lagi merasa asing. Aku merasa pulang ke rumahku sendiri.

 

Kiai itu bernama KH. Ahmad Maimun Alie, MA. Beliau telah "berpulang", kembali kepangkuan Illahi dengan tenang dan damai. Aku merasa pertemuan pertama dengan senyum beliau saat itu menjadi penanda perjalanan rohani yang panjang. Dari senyum itulah aku belajar, bahwa pesantren bukan semata ruang untuk menimba ilmu, melainkan rumah kasih sayang, tempat di mana senyum guru adalah doa, tatapan beliau adalah pelita, dan bimbingannya adalah jalan keselamatan. Harapan yang tadinya samar, tiba-tiba berubah menjadi keyakinan yang bulat: di Subulussalam, aku akan menemukan cahaya.

 

Mistikus Islam Jalaluddin Rumi pernah berkata: “Apa yang berasal dari hati, akan sampai ke dalam hati.” Senyum sang kiai itulah bahasa hati yang tak pernah usang; sebuah bahasa kasih yang menembus segala jarak. Dan benar adanya pepatah Arab yang diwariskan para ulama: “Al-mu’allim rahmah, wal-mu’allim siraj.” Guru adalah rahmat, guru adalah pelita.

 

Maka sejak detik itu aku memahami, bahwa ilmu tidak hanya tumbuh dari buku, melainkan juga dari sikap, dari tatapan, dari senyum yang lahir dari jiwa seorang kiai. Seperti yang pernah diungkapkan Imam al-Ghazali, “Ilmu tanpa adab bagaikan api tanpa kayu bakar.” Di Subulussalam, ilmu dan adab berpadu; keduanya mengalir bersama, menjadi sungai jernih yang menuntun santri menuju samudra hikmah.

 

****

 

Dan kini, Subulussalam sudah berusia 35 tahun. Di usia tiga puluh lima tahun ini seolah menjadi jeda yang bening: sebuah titik koma dalam kalimat panjang sejarah, saat kita menoleh ke belakang dengan rasa syukur dan menatap ke depan dengan nyala harap. Tiga puluh lima tahun bukan sekadar hitungan musim; ia adalah anyaman pagi yang tekun, malam yang khusyuk, dan siang yang tak henti mengukir kerja—pada buku, pada diri, pada bumi tempat di mana kita berpijak. Di lumbung-lumbung padi Kresek, angin membawa kabar tentang santri yang datang dengan mimpi dan pulang dengan amanah. Di serambi-serambi Subulussalam, ilmu tak pernah berjalan sendirian; ia selalu bergandengan tangan dengan adab agar siapa saja yang mereguknya mendapat kemuliaan.

 

Di sinilah sebuah filosofi merapat ke tubuh ikhtiar: modern tetapi bersujud, maju tanpa kehilangan arah kiblat. Nurcholish Madjid atau yang biasa disapa Cak Nur pernah mengingatkan dengan jernih, “Modernisasi adalah rasionalisasi, bukan Westernisasi.” Kalimat ini, ringkas namun bernas, seolah menjadi janji diam-diam yang dijaga Subulussalam: bahwa pembaruan bukan penyeragaman, bahwa sains dan teknologi adalah alat kebajikan bila dipandu cahaya kalam. Maka kurikulum—seperti sungai yang bertemu muara—menyatukan fikih dan fisika, balaghah dan biologi, ushuluddin dan ilmu data. Di kelas-kelas yang terang, ayat-ayat kauniyah dibaca dengan rasa ingin tahu yang riang, sementara ayat-ayat qauliyah dilafazkan dengan hati yang rendah.

 

Abdurrahman Wahid, Gus Dur, mengingatkan jejak identitas yang khas itu ketika ia menulis, “Pesantren adalah subkultur.” Bukan sekadar institusi, pesantren menyimpan ekologi nilai, ritme sosial, dan tata rasa yang memerdekakan. Di dalam subkultur itulah Subulussalam tumbuh: menjaga yang lama yang baik, menyambut yang baru yang lebih baik [المحافظة على القديم الصالح و الأخذ بالجديد الأصلح]. Subkultur ini mengajari kita cara berjalan di atas dua jalan yang sejajar—tradisi yang meneduhkan dan inovasi yang mencerahkan—tanpa membuat keduanya saling meniadakan.

 

Indonesianis seperti Clifford Geertz pernah menyebut pesantren sebagai “the classical Islamic boarding school”—sebuah pusat pengkaderan santri yang menegaskan ortodoksi sembari berdialog dengan realitas setempat. Martin van Bruinessen menunjukkan bagaimana “kitab kuning” menjadi tulang punggung transmisi ilmu, bukan sebagai fosil masa silam, melainkan sebagai organisme pengetahuan yang terus bernafas melalui syarah, hasyiyah, dan karya-karya baru. Dari bingkai ini, kontribusi Subulussalam terbaca: menjaga kesinambungan sanad intelektual sekaligus mendorong keberanian metodologis untuk menjawab soal-soal kontemporer—ekologi pesisir, ekonomi kreatif, literasi digital, hingga moderasi beragama. Tradisi luhur semacam ini tidak boleh ditepikan, apalagi dihilangkan dari kurikulum pesantren. 

 

Tiga setengah dekade terakhir, Subulussalam menulis kisahnya bukan hanya di kelas-kelas lusuh, tetapi juga di ruang-ruang sosial. Di saat bangsa memerlukan jembatan, pesantren hadir sebagai penyeberangan yang aman: menautkan desa dan kota, sekolah dan keluarga, pasar dan mushala. Ketika negara memerlukan argumen kebangsaan yang lembut namun tegas, santri mengajukan dalil-dalil etika publik: cinta tanah air sebagai kesalehan sosial, ketaatan hukum sebagai bentuk kepatuhan pada kemaslahatan. Di sini gema pemikiran Cak Nur terasa dekat: agama dan negara tak mesti berhadap-hadapan; keduanya dapat bersekutu dalam cita-cita keadaban. Modernisasi, demikian ruh pesannya, menuntut kedewasaan akal—dan pesantren menyediakan disiplin batin agar akal tidak tersesat oleh keangkuhan.

 

Gus Dur menafsirkan peran itu dengan berkali-kali menekankan fungsi pesantren sebagai agen perubahan sosial. Subulussalam mewujudkannya dalam skala yang setia sekaligus kreatif: program pengabdian yang merangkul warga, literasi yang menghidupkan balai, pelatihan wirausaha yang mengubah bakat menjadi manfaat, dan teladan toleransi yang tak lelah menenangkan perbincangan-perbincangan yang bising. Di halaman pesantren, keberagamaan menjadi taman: tiap bunga tumbuh sesuai warna, tiap harum saling menguatkan, dan tanahnya disirami oleh adab—adab pada ilmu, pada guru, pada sesama.

 

Sejak semula, pesantren mendidik manusia utuh: jasad yang terlatih, akal yang cermat, dan ruh yang teduh. Subulussalam menambahkan aksen zamannya: kecakapan abad ke-21. Santri belajar merangkai argumen seteliti ulama ushul, menulis laporan setertib auditor, berdiskusi sefixi ruh musyawarah, dan memanfaatkan teknologi seperti tukang kayu memegang pahat—sadar alat, tahu batas. Ilmu pengetahuan modern bukan altar, melainkan obor; ia menyala untuk menerangi, bukan menyilaukan. Dan tak ada obor yang abadi jika tak diberi minyak akhlak.

 

Pada usia 35, ada hikmah yang pantas dirayakan, yaitu ketahanan. Ketahanan menghadapi gelombang nasional yang datang silih berganti—krisis literasi, ekonomi, pandemi, fragmentasi sosial, dan polarisasi wacana. Subulussalam bertahan bukan karena keras kepala, tetapi karena luwes—seperti bambu yang lentur namun tak patah. Lentur dalam metode, teguh dalam tujuan. Teguh pada tauhid, lentur pada strategi. Teguh pada akhlak, lentur pada ekspresi budaya. Di sinilah kearifan lokal bertemu universalitas Islam: tradisi Banten yang bersahaja menyalami kosmopolitanisme ilmu.

 

Kontribusi bagi bangsa, negara, dan agama bukan jargon di spanduk ulang tahun; ia hadir sebagai laku harian. Bagi bangsa, Subulussalam menyumbang kohesi sosial: menumbuhkan warga yang sanggup berbeda tanpa bermusuhan, yang hafal doa sekaligus peka data. Bagi negara, ia memanen buah kepatuhan sipil: taat aturan bukan karena takut sanksi, melainkan karena paham makna maslahat. Bagi agama, ia menjaga aliran makna: agar ibadah tidak mengeras menjadi ritual kosong, dan agar syariat tetap berbuah menjadi keadilan dan kasih.

 

Geertz, dengan lensa antropologisnya, pernah memperlihatkan betapa jaringan simbol, ritus, dan pengetahuan di pesantren membentuk struktur makna yang mengikat komunitas. Namun para santri Subulussalam menunjukkan sesuatu yang lebih: bahwa struktur makna itu tak statis. Ia tumbuh bersama pengalaman: menafsir ulang teks tanpa menistakan penulisnya, memelihara tradisi tanpa memenjarakan kemungkinan. Van Bruinessen menandai dinamika ini ketika ia menulis tentang mobilitas intelektual ulama dan santri—pertemuan pasar kitab, halaqah lintas-kota, dan pengetahuan yang berpindah dari rak ke laku.

 

Pada akhirnya, ulang tahun bukanlah tepuk tangan untuk diri sendiri, melainkan pengingat akan amanah. Tiga puluh lima tahun adalah prolog yang panjang; bab-bab berikutnya menunggu keberanian baru. Semoga Subulussalam menjaga tiga keseimbangan: antara dalil dan data, antara zikir dan fikir, antara akar dan sayap. Akar agar tidak tercerabut dari tanah kemanusiaan; sayap agar mampu terbang mengejar cakrawala pengetahuan.

 

Di ambang fajar peringatan ini, mari kita kirimkan doa yang sederhana tetapi dalam: semoga Allah menjaga para guru yang menjadi mata air, para santri yang menjadi sungai, para alumni yang menjadi hujan, dan para orang tua yang menjadi awan peneduh. Semoga Subulussalam terus mengukir jejak yang halus namun kuat—jejak ilmu yang menyala tetapi menenangkan, jejak adab yang sunyi tetapi menggerakkan, jejak bakti yang kecil di mata manusia namun besar di sisi-Nya.

 

Dan bila suatu saat, anak-anak kita bertanya apa arti 35 tahun bagi sebuah pesantren, kita bisa menjawab: ini adalah umur sebuah janji—janji untuk setia pada ilmu, berani pada zaman, dan rendah hati pada Tuhan. Selamat milad ke-35, Pondok Pesantren Modern Subulussalam, Kresek. Langitmu semoga selalu luas; tanahmu semoga selalu subur; dan jalanmu, seperti namamu, selalu menjadi “subul al-salām”—jalan-jalan keselamatan.