Oleh Mohamad Asrori Mulky
Albert Camus, filsuf kelahiran Aljazair yang
menulis dalam bahasa Prancis, pernah menegaskan dalam The Rebel: “I
rebel—therefore we exist” [Aku memberontak, maka kita ada]. Pernyataan ini
bukan sekadar semboyan, melainkan pengakuan eksistensial: bahwa pemberontakan
adalah bahasa moral terakhir manusia, seruan yang lahir ketika martabat dan
harga diri diinjak, ketika absurditas dan ketidakadilan menutup semua jalan.
Hari ini, kata-kata Camus itu seolah menemukan
panggung baru di Indonesia. Jalan-jalan yang biasanya riuh oleh iklan dan lalu
lintas kini dipenuhi teriakan, api, dan gas air mata. Di tengahnya, nama “Affan
Kurniawan” bergema: seorang pemuda pengemudi ojek online, pulang yang tak
pernah sampai, nyawa yang terputus di bawah roda kendaraan taktis aparat yang
bringas.
Affan bukan sekadar korban. Ia menjelma
simbol, mantra luka yang menyatukan duka rakyat. Kita mengenalnya dalam
wajah-wajah kecil sehari-hari: pengantar makan siang, penjemput anak sekolah,
pekerja yang menukar waktu dengan sebutir nasi. Ketika nyawa seperti itu melayang,
rakyat tak hanya berduka—mereka merasa dikhianati. Sebab negara yang seharusnya
menjadi pelindung justru menjelma bayangan yang menakutkan.
Maka, ketika massa turun ke jalan menyebut
nama Affan untuk menyuarakan keadilan, itu bukan sekadar amarah buta. Ia adalah
“an appeal to the essence of being”—seruan menuju hakikat keberadaan, kata
Camus. Dalam setiap teriakan massa tersembunyi kerinduan: kerinduan akan
republik yang berjiwa akan keadilan yang hilang.
Camus pernah menulis: “Real generosity toward
the future lies in giving all to the present.” Maka, apa yang kita saksikan
hari ini—jeritan massa, lautan manusia yang meluber di jalanan, dentuman amarah
yang tak terbendung—bukanlah kebrutalan tanpa arah. Ia adalah kemurahan hati
paling getir: pengorbanan rakyat hari ini agar anak-anak mereka kelak tak lagi
mewarisi republik yang koyak, negeri yang terus dipasung oleh ketidakadilan.
Pemberontakan rakyat, dalam pandangan Camus,
bukanlah kehancuran yang membabi buta. Ia adalah ikhtiar terakhir untuk
menyelamatkan jiwa kehidupan bersama. Sebab republik yang menutup pintu
keadilan, pada hakikatnya sedang menggali kuburnya sendiri. Republik semacam
itu, kata Camus, bukanlah rumah masa depan—ia hanyalah reruntuhan yang menunggu
saatnya ambruk.
Karena itulah ribuan massa hari ini tak hanya
berteriak; mereka meraung. Gedung dewan tak hanya diserbu; ia dilalap api
sebagai simbol dari nurani yang dikhianati. Nama Affan tak sekadar disebut; ia
menjelma mantra kolektif, menggelegar di udara bersama asap ban yang terbakar.
Semua itu bukanlah ledakan murka liar, melainkan penegasan keras: rakyat
menuntut agar republik ini kembali berakar pada nurani, atau ia akan kehilangan
makna keberadaannya sendiri.
Andai Camus masih berjalan di bumi hari ini,
barangkali ia akan menundukkan wajahnya lalu berbisik: jangan salah baca
kemarahan rakyat. Itu bukan ancaman, melainkan tanda bahwa bangsa ini masih
menyimpan jiwa. Sebab yang lebih menakutkan dari rakyat yang marah adalah
rakyat yang bungkam; yang lebih mematikan dari teriakan di jalan adalah
keheningan yang pasrah, bangsa yang kehilangan asa.
Kematian Affan adalah garis api, titik tak
kembali. Di sanalah sejarah memisahkan antara republik yang masih hidup dengan
republik yang sudah membusuk. Amarah rakyat yang meledak hari ini bukan sekadar
teriakan, melainkan jeritan moral terakhir, doa yang menggelegar agar negara
ingat kembali tugas sucinya: bukan mencabut nyawa warganya, melainkan menjaga
kehidupan mereka.
Camus pernah menulis bahwa setiap
pemberontakan lahir dari kerinduan akan kepolosan. Kerinduan itulah yang kini
menggelegar di jalanan negeri ini. Amarah rakyat bukan kehancuran, melainkan
doa keras yang menghantam langit: tuntutan agar republik berhenti menutup pintu
keadilan. Sebab keadilan bukan perhiasan yang bisa ditunda, ia adalah fondasi
yang menentukan: apakah bangsa ini tumbuh sebagai rumah, atau runtuh sebagai
puing.
Dan jika suara rakyat terus diabaikan, jangan
salahkan siapa pun ketika republik ini roboh oleh luka yang ia goreskan pada
tubuhnya sendiri. Tetapi bila jeritan itu didengar, bila nurani kembali
dijadikan akar kebijakan, maka dari darah Affan akan lahir republik baru:
republik yang tidak lagi menjadikan rakyat korban, melainkan menyalakan mereka
sebagai jiwa. Republik yang kembali merawat keadilan—bukan sebagai jargon
kosong—tetapi sebagai rumah terakhir bagi kita semua.

