Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 15 Juni 2021

Prediksi yang Terbukti: Kekacauan Pasca The Death of Saddam Hussein

Selasa, Juni 15, 2021 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Mantan diktator Irak, Saddam Hussein, harus menemui ajal di tiang gantungan. Tragis dan memilukan memang. Kekejaman dibalas dengan kekejaman, kekerasan dibalas dengan kekerasan. Dia dieksekusi atas tuduhan kepemilikian senjata nuklir dan pembantaian terhadap ribuan rakyat tak berdosa dengan senjata kimia. Sialnya, hari (eksekusi) yang paling bersejarah bagi rakyat Irak itu justru terjadi tepat di Hari Raya Idul Adha, 30 Desember 2006, saat umat Islam dunia seharusnya bergembira.

Saya bersama Herdi Sahrasad, dosen Universitas Paramadina, Jakarta, sempat mengabadikan momen memilukan itu dalam sebuah kolom di haria Investor Daily, Jum’at 3 Januari 2007. Tulisan itu berjudul “The Death of Saddam Husein”. Terdengar mengerikan memang. Tapi itulah fakta yang tidak bisa kita ingkari. Vandetta, kekerasan dibalas kekerasan. Rakyat Irak berada dalam lingkaran dendam yang sulit dipadamkan hingga kini. Eksekusi gantung itu bisa dibilang kurang manusiawi karena dilaksanakan beberapa saat menjelang solat Idul Adha dilakukan, tepatnya sekitar pukul 06.10 waktu setempat.

Dengan kematian Saddam, vandetta itu bukannya diakhiri, melainkan justru dimulai kembali dan terus direproduksi. Apa yang dikhawatirkan banyak pihak menyangkut aksi kekerasan dan kekacauan pasca eksekusi mantan Presiden Irak tersebut, telah terbukti. Beberapa jam setelah kabar kematian orang kuat di Irak itu tersiar, dua ledakan bom terjadi secara terpisah. Ledakan pertama berupa serangan bom mobil mengguncang pasar ikan di pusat kota Kufah yang menewaskan sedikitnya 31 orang dan melukai puluhan lainnya. Dan ledakan yang kedua, serangan tiga bom mobil yang terjadi di area padat penduduk di utara Baghdad. Serangan ini menewaskan sedikitnya 26 orang.

Sebagaimana diketahui, vonis hukuman mati atas Saddam dilakukan setelah orang nomor satu Irak itu dinyatakan bersalah dalam beberapa kasus kekerasan: pembunuhan 148 warga Desa Dujail (1962), mengeksekusi 8000 orang Barzani (1983), penggunaan senjata Kimia di Halabja dengan memakan korban 5000 kaum Kurdi (1988), dan kekerasan melawan Syiah yang menewaskan 1000 korban jiwa (1991). Selain itu, Amerika Serikat (AS) dan Sekutu telah menuduh Saddam memiliki senjata nuklir penghancur massal. Tuduhan ini tidak terbukti adanya. Bahkan mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, mengaku menyesal telah menyerang Irak hanya karena tudan yang tidak berdasar itu.

Kala itu, drama eksekusi terhadap pengagum Hammurabi dan Nebukadnezar tersebut, telah menuai reaksi pro dan kontra dari berbagai negara di dunia. Bagi Uni Eropa (UE), Vatikan, Rusia, India, Malaysia, Bangladesh dan Libya, hukuman eksekusi tersebut merupakan representasi orangt-orang Barbar pada zaman dahulu. Sementara bagi AS, Australia, Israel, jepang, Korea Selatan, dan Thailand, hukuman tersebut merupakan hukuman yang layak bagi seorang penjahat perang seperti Saddam Hussein.

Terorisme

Tragedi hukuman gantung terhadap Saddam Hussein telah menyakiti hati rakyat Irak dan Dunia Islam serta menginjak martabat dan harkat martabat masyarakat Dunia Islam. Bagaimanapun hati dan sukma masyarakat Dunia Islam tidak bisa menerima perlakuan kejam yang direkayasa oleh AS/Barat terhadap Saddam tersebut, seperti diartikan oleh Rashid Khalidi, akademisi Harvard University, AS, yang melihat invansi AS ke Irak sama seperti pendudukan kolonial Prancis ke Mesir pada abad 20 yang lalu. Karena itu masuk akal jika para ahli Timur Tengah khawatir hukuman gantung itu akan menyalakan kembali (rekindle) terorisme di Irak dan Timur Tengah/Dunia Islam.

Juru bicara Gereja Katolik Vatikan, Frederico Lombardi juga mengemukakan, menghukum Saddam tidak akan menegakkan dan stabilitas keamanan di Irak, tetapi itu hanya akan memecah persatuan dan membuka keran pertikaian antar kelompok yang lebih besar. Apa yang dikhawatirkan banyak pihak menyangkut aksi kekerasan dan kekacauan pasca eksekusi mantan Presiden Irak tersebut, telah terbukti. Pasalnya beberapa jam setelah kabar kematian orang kuat di Irak itu tersiar, dua ledakan bom terjadi secara terpisah seperti disebut di atas sebelumnya.

Kekisruhan di Irak pasca kematian Saddam hingga kini malah terus terjadi. Perang saudara antara kelompok Sunni dan Syiah sulit dihindari. Satu sama lain saling serang untuk menjadi penyebab kematian bagi lawannya. Kemunculan beberapa kelompok radikal seperti Al Qaeda dan juga ISIS menambah suasana di Irak makin tak menentu. Irak menjadi kubangan darah, kuburan massal bagi pihak-pihak yang berperang. Apa yang terjadi di Irak saat ini tentu sedikit banyak akibat tumbangnya rezim Saddam yang dipaksa oleh AS dan antek-anteknya. 

Dalam persepsi masyarakat Irak dan Dunia Islam, hukuman gantung terhadap Saddam itu mencerminkan penghinaan, barbarisme dan kebiadaban. Sehingga tidak mustahil bahwa hukuman gantung atas Saddam Hussein itu menyulut kekerasan lebih dalam di Irak karena menjadi bukti barbarisme pengadilan Irak yang direkayasa dan ditungganngi oleh kepentingan AS/Barat pada awal ke-21 ini. Meminjam perspetif Michael Foucoult (Dicipline and Punisment, 1995), penggunaan hukuman gantung itu merupakan kontinyuitas wacana dan praktik kekuasaan yang pararel dengan tradisi hukuman gantung pada abad pertengahan, yang barbar dan biadab, meski dimaksudkan untuk melegitimasikan law and order.

Masa depan Irak pasca hukuman mati terhadap Saddam Hussein tetap merupakan misteri: tarik tolak perdamaian dan peperangan dalam negeri, konflik dan konsensus domestik, akan berlangsung dengan intensitas yang tinggi. Dengan kata lain, stabilitas dan demokrasi di Irak menghadapi ketidakpastian karena reproduksi kekerasan terus menerus tak kunjung dihentikan.

Prediksi yang Terbukti

Apa yang diramalkan banyak pengamat dan ahli terkait kemungkinan rentetan konflik dan perang saudara pasca eksekusi gantung, benar-benar terbukti. Beberapa saat setelah eksekusi mati sang diktator ledakan bom terjadi di beberapa tempat. Bahkan dalam 10 tahun terakhir ini, Irak seolah menjadi tempat pertempuran dan ladang pembataian. Irak pasca kematian Saddam yang semula diharapkan menjadi negara damai, justru kini menjadi kepingan reruntuhan akibat perang yang terus berkecamuk.

Kemunculan ISIS dan perang saudara yang terus menerus, ditambah intervensi sejumlah negara yang ingin mengambil kepentingan di sana, telah menambah penderitaan masyarakat Irak. Dan derita itu menjadi beban yang harus mereka pikul hingga sekarang. Tidak sedikit pengamat mengajukan pertanyaan, mengapa negara-negara Arab-Islam seperti Irak, Suriah, Libya, Afghanistan, Yaman, Libanon, Palestina, dan juga Mesir, terus dihantui peperangan? Seolah perang yang disulut oleh mereka sendiri atau akibat orang lain (oleh negara lain), sudah menjadi watak retak yang sudah tertanam dalam alam pikiran mereka.

Terhadap pertanyaan di atas, saya mencoba meneropongnya melalui perspektif Muhammad Abed Al Jabiri, intelektual asal Maroko yang banyak diganderungi anak-anak muda progresif. Dalam Takwîn Al ‘Aql Al ‘Arabi dia menuturkan, bahwa struktur nalar politik Islam dari zaman dulu hingga sekarang ini terdiri dari tiga komponen, yaitu qabaliyyah (kesukuan), ghanimah (rampasan perang), dan aqidah (ideologi). Ketiga komponen ini sangat mempengaruhi masyarakat Arab-Islam dalam berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan.

Pembentukan kerajaan Saudi Arabia oleh Ibn Sa’ud misalnya merupakan representasi dari solidaritas kesukuan (qabaliyah), yang sebetulnya pengulangan zaman primitif Arab pra-Islam. Lihat saja, nama Sa’ud, pendiri Kerajaan Saudi Arabia, melekatkan namanya untuk nama sebuah negara yang dipimpinnya. Hal serupa juga pernah terjadi pada masa Dinasti Mua’wiyyah (keluarga Umayyah), Dinasti Abbasiyah (keluarga Abbas), dan Turki Ustmani (keluarga Utsman).

Sekedar perbandingan dengan nalar politik Islam Nusantara. Kesultanan-kesutanan Islam yang ada di Nusantara tidak pernah menggunakan nama keluarga sebagai nama sebuah kerajaan/kesultanan. Sebut saja misalnya, Kesultanan Perlak, Kesultanan Mataram, Kesultanan, Banten, Kesultanan Cirebon, dll. Hanya saja, proses Arabisasi di Indonesia, kata Abdurrahman Wahid (Gus Dur), lambat laun mulai nampak. Tidak sedikit nama-nama pondok pesantren menggunakan nama Arab, seperti Daarul Salam, Subulussalam, Sabilussalam, Daarul Qolam, dll. Padahal sebelumnya, pondok-pondok pesantren di Indonesia mengunakan nama daerah seperti Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Pesantren Krakyak, dll.

Nalar kesukuan bangsa Arab memang menjadi persoalan serius. Sejak Ibn Khaldun dalam Muqodiman-nya, kemudian dilanjutkan oleh Al Jabiri mengenai Kritik Nalar Arab (Naqd al ‘Aql al ‘Arab), dan paling mutakhir adalah oleh Khalil Abdul Karim mengenai hegemoni Quraisy dalam “Quraisy min al-Qabîlah ila al-Daulah al-Markaziyyah”. Kesemuanya mengulas tentang watak Arab yang lebih mengutamakan qabaliyah atau kesukuan ketimbang kepentingan nasional dan kemanusiaan. Nama yang terakhir disebut punya kesimpulan lebih berani ketimbang dua pendahulunya. Menurut Khalil Abdul Karim, kesukuan bangsa Arab bisa tercermin bahkan di hari wafatnya Nabi.

Hal itu bisa dilihat dari suksesi kepemimpinan umat Islam pasca-Nabi. Sepeninggal Nabi, sahabat dari Muhajir dan Anshar berkumpul di Saqifah Bani Saadah untuk membicarakan pengganti Nabi. Abu Bakar yang memimpin rapat ketika itu berkata: “Kami dari keturunan Quraisy, para pimpinan juga dari golongan kami”. Pernyataan Abu Bakar itu, kata Khalil Abdul Karim, untuk menunjukan klaim suku Quraisy yang paling berhak dan otoritatif menjadi pemimpin pasca-Nabi ketimbang kaum Anshar. Selain dari pada itu, dalam hal pembukuan Al Qur’an di zaman Ustman bin Affan, watak kesukuan Arab kembali muncul lewat pernyataan sang Khalifah ketiga itu. Dia mengatakan “Apa yang kalian pertentangkan dengan Zaid bin Tsabit? Tulislah Al Qur’an dengan bahasa Quraisy karena ia diturunkan dengan bahasa mereka”.

Dari dua kasus di atas, Khalil Abdul Karim, ingin membuktikan kalau suku Quraisy ingin selalu hegemonik dari suku-suku yang ada di Arab kala itu. Dan watak kesukuan bangsa Arab kembali muncul justru di hari pertama nabi Muhammad meninggal. Padahal, sistem kesukuan atau qabaliyah sudah berhasil Nabi hapus dengan menggantinya dengan sistem Ummah, tanpa harus mengutamakan atau merendahkan suku tertentu. Dalam sebuah sistem ummat inilah Nabi dan umat Islam tumbuh berkembang di Madinah.

Watak kesukuan (qabaliyyah), kata Al Jabiri, berbanding lurus dengan motif ghanimah (rampasan perang). Watak ghanimah ini, kata Al Jabiri, dilakukan atas nama agama. Perang yang terjadi dalam sejarah penaklukan umat Islam di beberapa daerah dan negara, didasari untuk mendapatkan barang rampasan. Karena itu, tidak heran banyak Arab Baduy ikut serta dalam peperangan yang dilakukan umat Islam, semata-mata untuk mendapatkan barang rampasan perang. Dan watak ghanimah ini tetap melekat pada bangsa Arab. Lihat saja misalnya Saudi Arabia yang menjalin hubungan mesra dengan negara-negara Barat, sementara negara-negara Arab masih sibuk dengan perang saudara dan kemiskinan akibat perang. Dalam pengamatan penulis, Arab Saudi tidak pernah bersuara lantang tentang pembebasan Palestina yang terus dijajah Israel. Sementara kelompok Hammas dan Fatah yang seharusnya bersatu memperjuangkan kemerdekaan Palestina dan melawan Israel, justru sibuk bertikai.

Terkait kasus yang terakhir itu, benar-benar mencerminkan watak Arab yang ketiga, yaitu Aqidah (ideologi). Dalam pandangan Al Jabiri, Aqidah tidak dimaksudkan sebagai agama. Tetapi ideologi politik. Dalam sejarah politik Islam, umat islam saling berperang dan pertikai satu sama lain karena berbeda ideologi. Sebut saja misalnya permusuhan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Begitu juga antara Sunni dan Syi’ah yang sampai saat ini terus berselisih seperti yang terjadi di Irak dan Suriah.   

Selasa, 08 Juni 2021

Ben Anderson yang Saya Pahami

Selasa, Juni 08, 2021 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Saya tidak mengenal Benedict Richard O’Gorman Anderson (selanjutnya ditulis Ben Anderson) secara pribadi. Saya bukan mahasiswanya, juga bukan sahabatnya, apalagi punya keterikatan kerabat dengan dirinya. Jangankan bertemu langsung tatap muka—entah dalam sebuah diskusi ilmiah, atau sengaja bersua untuk berbagi cerita tentang satu dan lain hal mengenai persoalan bangsa dan nasionalisme, revolusi pemuda dan kelas tertindas, atau berkenaan dengan Imagined Communities (Komunitas-Komunitas yang Terbayang), buah pena yang melambungkan namanya di banyak belahan dunia—melihatnya saja meski dari kejauhan saya belum pernah. Tetapi hal itu tidak menyurutkan niat saya untuk mengenalnya lebih dalam (terutama pikiran-pikirannya) walau ruang dan waktu sudah terlampau berbeda, sebab dia sudah wafat pada 13 Desember 2015 lalu.

 

Saya mengenal Ben Anderson justru setelah melalui proses membaca sejumlah artikel, esai, jurnal dan beberapa buku yang saya pinjam dari perpustakaan UIN Jakarta atau koleksi pribadi. Dalam beberapa kesempatan, forum-forum kajian yang saya ikuti yang mengulas pikiran-pikiran Ben Anderson, juga ikut memperdalam pengenalan saya kepada sosok yang satu ini. Hanya dengan melalui cara-cara seperti itulah akhirnya saya sedikit bisa memahami dan membayangkan pria yang pernah dicekal Orde Baru (orba) Soeharto ini; baik mengenai pribadinya yang ramah dan bersahabat kepada masyarakat Indonesia, keberpihakannya pada kaum marjinal dan kelas tertindas, karya-karyanya yang menginspirasi, maupun pikiran-pikirannya yang masih memiliki daya tarik dan selalu hangat diperbincangkan hingga kini.

 

Ibarat sebuah hikmah yang bisa kita petik dari mana saja, tak peduli asalnya, tak mengapa siapa penyampainya, selama isinya baik dan positif, tidak masalah kita ambil untuk bekal.  Begitu pun halnya dengan tokoh yang kita bicarakan ini. Dia lahir di Kunming, Cina, pada 1936, tumbuh besar di Irlandia, Inggris dan Amerika Serikat. Asal usulnya sama sekali tak terkait dengan Indonesia. Namun kehadirannya di negeri ini merupakan berkah dan anugerah yang sulit dibantah. Hampir sebagian besar hidupnya diabdikan untuk mempelajari rumah besar Indonesia: baik budayanya, masyarakatnya, perilaku elitenya, sistem politiknya, dan yang lainnya. Bahkan secara khusus dia juga membahas kekuasaan dalam perspektif Jawa, di mana seorang raja (presiden), menurutnya, harus terus menerus mencari tuntunan Tuhan di dalam batin saat memerintah atau berkuasa. Sehingga dengan begitu seorang raja harus memiliki sifat wicaksana (wisdom) dan mampu mendistribuskan keadilan pada rakyatnya tanpa tebang pilih.

 

Sebagai seorang ilmuwan politik yang disegani, pengaruh Ben Anderson justru tidak hanya dirasakan di bidangnya. Karya-karyanya dibaca oleh mereka yang belajar antropologi, sejarah, kritik sastra, sosiologi, dan kajian kebudayaan. Karena itu mereka yang menekuni studi ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan di Indonesia, sosok yang satu ini tidak boleh luput untuk dipelajari. Dia mesti selalu dilibatkan dalam banyak diskursus, terutama menganai kebangsaan, nasionalisme dan kebudayaan. Pandangannya mengenai revolusi pemuda memberi alternatif lain sekaligus bantahan terhadap tesis gurunya, George Kahin, yang menulis ‘Nationalism and Revolution in Indonesia’. Dalam karyanya itu, Kahin mengupas dinamika revolusi di Indonesia hanya di kalangan elite-elite politik semata, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, dll. Sementara menurut sang murid, Ben Anderson, pergerakan revolusi di Indonesia justru digerakan oleh golongan pemuda yang direpresentasikan salah satunya oleh Sukarni Kartodiwirjo, sosok yang punya peran penting di balik sejarah proses pembacaan teks proklamasi. Atas jasanya itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyematkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada 7 November 2014.

 

Dalam lingkup yang agak lebih luas, terutama terkait kajian Asia Tenggara, posisi Ben Anderson terbilang istimewa dan penting. Seperti tidak cukup puas dengan mengkaji Indonesia berikut pernak pernik kebudayaannya dan segala aspek yang terkait dengan negeri ini, dia juga mengarahkan penelitiannya pada dua negara lain: Thailand dan Filipina. Fokus penelitian pada kedua negara itu dia lakukan saat dilarang masuk Indonesia oleh rezim kejam Soeharto karena menulis Cornell Paper yang dianggap menyudutkan rezim berkuasa dan Angkatan Darat dalam tragedi berdarah G30 September 1965. Ben Anderson tidak menemukan kesulitan yang berarti saat meneliti dua negara tersebut. sebab dia mampu berkomunikasi langsung dengan penduduk lokal seolah sudah menjadi warga setempat—hal yang menjadi kelebihan peneliti Barat termasuk Ben Anderson. Itu semua bisa terjadi karena dia adalah seorang polyglot, seseorang yang memiliki kemampuan berbicara dalam banyak bahasa. Dia bisa membaca teks dalam bahasa Belanda, Jerman, Spanyol, Perancis dan Rusia, serta bisa membaca dan berbicara dalam bahasa Indonesia dan Thai. Tidak hanya itu, dia paham bahasa Jawa dan Tagalog. Kemampuan dalam banyak bahasa itulah yang memudahkan Ben Anderson mengakses tulisan-tulisan mengenai ketiga negara itu dan dengan leluasa bisa bergaul dengan penduduk setempat.

 

Kemampuan Ben Anderson dalam banyak bahasa, mengingatkan saya pada beberapa tokoh yang juga pemikir kelas dunia, yang juga memiliki kemampuan yang sama dalam berbahasa. Sebut saja misalnya, Fazlur Rahman, pembaru Islam asal Pakistan. Selain fasih berbahasa Urdu dan Persia, Rahman juga menguasai bahasa Arab, Inggris, Turki, Perancis, Jerman, bahkan Yunani. Kemampuan berbahasa Rahman itu, diikuti murid terkasihnya, Nurcholis Madjid atau biasa dipanggil Cak Nur. Meski tak sebanyak gurunya, Cak Nur mampu berbahasa selain Arab dan Inggris sama baiknya. Selain mereka berdua, dua nama yang juga penting disebut di sini adalah Mohamad Iqbal dan Annemarie Schimmel. Yang pertama merupakan pemikir, pembaru, filosof, dan penyair asal Pakistan. Sedikit banyak dia telah membuka cakrawala berpikir saya dalam memahami pemikiran keagamaan. Sementara nama yang disebut kedua merupakan orientalis Jerman yang sebagian besar hidupnya dia abdikan untuk mendalami Islam terutama dalam bidang mistis Islam atau Tasawuf. Terhadap nama yang terakhir ini, saya sangat menaruh perhatian besar atas kecintaannya pada khazanah intelektual Islam.

 

Kepemilikan akses terhadap dunia orang yang beragam itulah yang memungkinkan Ben Anderson mampu menangkap nuansa yang jauh lebih kompleks dan mendalam, sekaligus jauh lebih menarik ketimbang yang direpresentasikan lewat teks semata. Persentuhannya secara langsung dengan ragam masyarakat mematangkan dirinya sebagai peneliti paling disegani dan diperhitungkan. Apa yang ditampilkan Ben Anderson itu memberi pelajaran yang cukup berharga bagi kita bahwa kemampuan dalam banyak bahasa bisa menunjang kemudahan dalam melakukan riset di lapangan. Bagaimana pun juga bahasa merupakan alat pertama dalam berkomunikasi, memahami, dan saling menjalin pengertian. Dan lewat bahasa pula-lah (bahasa cetak/aksara) konsepsi tentang “komunitas yang terbayang” ala Ben Anderson dimungkinkan.

 

Ben Anderson dan Komunitas yang Terbayang

Dalam studi ilmu politik dan sosial, buku Imagined Communities karya Ben Anderson ini telah menjadi rujukan dan didisukusikan di banyak forum ilmiah. Kehadirannya bisa dibilang cukup menghebohkan karena mampu memikat kalangan akademisi untuk mendalaminya. Bahkah buku ini ada yang menyejajarkan dengan buku Edward Said, Orientalism (1978), yang terkenal itu. Siapa yang ingin mengetahui diskursus orientalisme, maka dia harus mendasarkan kajiannya pada karya Said. Begitu pun bagi mahasiswa yang ingin mengkaji tentang asal usul nasionalisme, maka buku Ben Anderson itu merupakan bacaan wajib. Imagined Communities sudah diterjemahkan ke dalam dua puluh sembilan bahasa, termasuk Indonesia. Dalam penelusuran saya, buku itu menjadi salah satu buku paling laris dari Verso, penerbit sayap-kiri di London yang sebagian dikelola oleh adik Ben Anderson, Perry Anderson.

Perlu digarisbawahi, Imagined Communbities atau “Komunitas-Komunitas yang Terbayang” ala Ben Anderson bukan didasarkan pada komunitas yang biasa kita kenal selama ini, yaitu di mana anggotanya pasti dan bisa saling berinteraksi secara langsung dan setiap saat seperti dalam sebuah perkumpulan, organisasi, paguyuban, dan semisalnya. Ben Anderson justru mengonsepsikan hal itu dengan sebaliknya. Menurutnya, sebuah bangsa adalah komunitas yang dikonstruksi secara sosial, dibayangkan oleh orang-orang yang memandang dirinya sebagai bagian dari kelompok tersebut meski sama sekali tidak pernah bertemu satu sama lain.

 

Atas dasar itulah, Imagined Communities berangkat dari pertanyaan mengapa orang yang tidak saling mengenal bisa terikat dalam satu perasaan bahwa mereka adalah bagian dari sebuah komunitas yang disebut bangsa? Apa yang membuat mereka merasa senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa hingga harus rela berkorban? Mengapa orang mau mati untuk sebuah bangsa, untuk sebuah konsep yang abstrak, untuk anggota-anggota yang tidak dikenalnya? Pertanyaan-pertanyaan fundamental inilah yang kemudian dijawab oleh Ben Anderson sebagaimana diuraikan dalam bukunya itu secara baik dan gamblang. Ben Anderson mengatakan, nasionalisme telah mampu mengikat satu sama lain sebagai bangsa. Perbedaan warna kulit, bahasa, suku, agama, budaya, bisa dipersatukan di bawah kendali nasionalisme.

 

Dalam penjelasannya lebih lanjut, Ben Anderson menelusuri sejarah munculnya nasionalisme di dunia. Dia menemukan bahwa kehadiran nasionalisme itu banyak berkaitan dengan kemunculan kapitalisme media cetak (print-capitalism). Hadirnya surat kabar dan buku-buku telah membawa perubahan yang cukup signifikan, terutama terhadap perubahan mental yang amat mendasar dalam sebuah masyarakat. Kapitalisme media cetak dengan sendirinya akan melayani pembacanya dalam bahasa-bahasa lokal (vernaculars) juga. Sehingga orang yang berada di suatu tempat paling ujung bisa membayangkan (imagined) dan merasakan tentang nasib dan masa depan bangsanya, tanpa harus mengenal dan saling bertemu satu sama lain. Di sinilah kecerdasan Ben Anderson yang jeli melihat persoalan.

 

Menurut Ben Anderson, Kapitalisme dalam Media Cetak telah mempengaruhi suatu pemikiran. Apa yang ditulis dan disampaikan dalam media cetak seperti koran, majalah dan juga buku lambat laun akan membentuk pola pikir masyarakat. Media cetak memungkinkan banyak orang untuk berpikir tentang diri mereka sendiri, dan menghubungkan diri mereka dengan orang lain dengan cara yang sangat baru. Migrasi massal juga memiliki pengaruh tersendiri dalam menumbuhkan nasionalisme. Dengan adanya print-capitalism (kapitalisme cetak), satu orang dapat terhubung dengan yang lainnya karna membaca tulisan yang sama sehingga muncul-lah nasionalisme yang sama satu dan yang lain. Karena itu, peran buku teks terutama buku sejarah dalam menyebarkan kesadaran nasional Indonesia tidak hanya terbatas pada penyebaran sejarah Indonesia saja, namun juga pada penyebaran ideologis dan nilai-nilai perjuangan yang ada di dalam buku. Tidak sedikit pemikiran pembaca terbentuk setelah melalui proses membaca yang intens.

 

Menurut Ben Anderson, bangsa tidak hanya diartikan sekedar kesamaan akar sejarah. Tetapi pemahaman bangsa, bagi Ben Anderson, mempunyai pengertian yang dinamis.Imajinasi atau bayangan menurutnya adalah suatu bahan yang merajut ikatan emosional dan solidaritas antar pendukung bangsa, meskipun antara satu dan yang lain belum tentu saling mengenal. Dan memang itulah inti kekuatan bangsa di mata Ben Anderson. Menurutnya bangsa sanggup menyatukan berbagai diaspora partisan-partisan bangsa yang ada dibelahan bumi yang lain, serta terpisah untuk menjadi satu ikatan kekuatan yang solid dan penuh solidaritas.

 

Revolusi Pemuda dan Cornell Paper

Rasanya kurang pas membahas Ben Anderson tanpa menyinggung pandangannya mengenai revolusi pemuda dan Cornell Paper. Pada bagian terdahulu, sepintas saya sudah mengulas mengenai revolusi pemuda yang digerakan oleh golongan muda atau kaum muda. Pandangannya itu merupakan anti-tesa dari kesimpulan guru Ben Anderson, George Kahin, yang berkesimpulan bahwa revolusi Indonesia digerakan oleh kaum elite atau golongan tua seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, dll.

 

Kesimpulan Ben Anderson itu tentu bukan tanpa dasar yang memadai. Sebagai ilmuan politik dan sosial yang lebih cenderung dekat dengan kaum marjinal atau under-dog (kaum lemah atau kalah), kategori pemuda tidak didasarkan pada kelas sosial seperti yang dikemukakan kaum maxian seperti George Kahin. Ben Anderson tentu tidak setuju dengan kategorisasi seperti itu. Menurutnya, kaum muda bukanlah kategori kelas dalam masyarakat. Dia lebih memasukan pemuda sebagai kategori sosiologis yang menjadi kekuatan penggerak revolusi, yaitu golongan pemuda.

Ben Anderson mengingatkan bahwa apa yang namanya revolusi pemuda itu sesungguhnya memang pernah ada. Dan revolusi itu sendiri, kata dia, selain revolusi menentang pendudukan kolonial asing, antara tahun 1945-1949, juga berlangsung revolusi sosial populis, yakni revolusi “melawan birokrat kolaborator Belanda, monarki dan aristokrasi lokal yang menindas, kepala-kepala desa yang dibenci, mata-mata Belanda, dan kadang-kadang juga golongan ‘pengkhianat’ (yang umumnya orang Kristen-Indonesia), dan tentu saja golongan yang paling tidak disukai, yakni para pedagang keturunan Cina, para pembunga uang, dan lain sebagainya.”

 

Meski Ben Anderson lebih suka bergaul dengan kaum marjinal, bukan berarti dia tidak bergaul dengan kaum elite yang sedang berkuasa. Membuka pergaulan dengan banyak orang dan seluas-luasnya dia anggap penting. Kendati begitu, di mata Ben Anderson, para elite penguasa ini tidak menarik perhatiannya karena melawan nalurinya itu terus memberi kontrol pada setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh elite. Dia malah lebih tertarik pada kekuasaan untuk menelanjanginya, bukan untuk berada di dalamnya. Sikap inilah yang kemudian menjadikannya dimusi rezim Orba Seoharto dan yang membuatnya dilarang masuk ke Indonesia selama 27 tahun. Ben Anderson baru bisa kembali datang ke Indonesia setelah Soeharti tumbang. Ben Anderson adalah seorang yang dengan sadar memilih jalan Kiri sebagai sikap politik. Sebab, kiri adalah perlawan dan pembelaan terhadap kaum tertindas. Sikap inilah yang terus Ben Anderson pertahankan hingga ajal menjemputnya.

 

Perlu diketahui di sini, bahwa peristiwa penyekalan teradap Ben Anderson bermula saat dirinya menuliskan sebuah laporan ilmiah bersama dua sarjana Cornell lain “A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia”,  terkenal dengan Cornell Paper. Pencekalan itu pada akhirnya membuat Ben Anderson mengalihkan studinya ke Filipina dan Thailand. Dari kerja kerasnya itu dia menghasilkan karya-karya terbaik yang sangat berpengaruh, seperti “Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism” (1983), “Under Three Flags: Anarchism and the Anticolonial Imagination (2005), the Fate of Rural Hell: Ascetism and Desire in Buddhist Thailand” (2012). Tekanan yang dilakukan Soeharto tidak membuat Ben Anderson patah semangat untuk terus mengembangkan risetnya. Justru dari tekanan itu dia telah melahirkan karya-karya besar seperti yang disebutkan sebelumbya.

 

Ben Anderson tidak sendirian menulis Cornell Paper. Bersama dengan dua orang teman lainnya (Ruth McVey dan Frederick Bunnel), dia melakukan studi untuk mendalami apa yang sesungguhnya terjadi terkait peristiwa berdarah Gerakan 30 September 1965. Berbekal informasi yang tersedia dan data yang terbatas, mereka melakukan riset serius. Mereka menemukan bahwa para perwira yang terlibat dalam Gerakan ini sebagian besar berasal dari Kodam Diponegoro, di mana Mayjen Soeharto pernah menjadi panglimanya. Beberapa perwira bahkan dikenal dekat dengan Soeharto. Studi ini berkesimpulan bahwa percobaan kudeta ini terjadi karena persoalan ketidakpuasan di kalangan perwira muda Angkatan Darat terhadap jenderal-jenderal mereka.

 

Studi yang diberi judul ‘Preliminary Analysis of The October 1, 1965 Coup in Indonesia’ pada awalnya memang dimaksudkan hanya sebagai kajian sementara karena keterbatasan informasi yang mereka peroleh. Mereka membagikannya kepada beberapa kolega untuk mendapatkan komentar dengan catatan hanya dipakai untuk kepentingan sendiri dan tidak disebarluaskan. Mereka mengkhawatirkan keselamatan banyak kawan di Indonesia, yang sekalipun tidak tahu akan adanya dokumen ini, namun bisa jadi akan dikaitkan oleh pemerintahan militer Soeharto. Namun, entah mengapa, analisis ini bocor keluar dan beredar dari tangan ke tangan, hingga akhirnya dokumen itu sampai juga ke tangan penguasa militer Orde Baru. Jurnalis konservatif Arnold Brackman menuduh bahwa analisis ini disusupi kepentingan ideologis pengarangnya. Inilah alasan mengapa Ben Anderson dicekal tidak boleh ke Indonesia hingga beberapa tahun lamanya. Dia bisa kembali ke Indonesia setelah pemerintahan Soeharto tumbang.