Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 05 Juli 2021

Perempuan-Perempuan Hebat dalam Lintasan Sejarah

Oleh Mohamad Asrori Mulky


Saya selalu tertarik mengikuti sejarah panjang perempuan-perempuan hebat. Yang punya peran sentral dalam menata kehidupan publik. Apalagi terlibat langsung mengatur jalannya imperium dunia. Berbagai penyelidikan historis yang dilakukan secara pribadi membuktikan, perempuan juga memiliki peran signifikan terhadap jalannya peradaban suatu bangsa.

 

Akuilah dengan jujur, bahwa perempuan juga istimewa. Mahluk yang selalu dipandang sebelah mata ini, justru menyimpan kekuatan yang tidak dipunyai kaum pria. Terkadang, tangan kiri mereka sibuk menimang bayi, lalu secara bersamaan, yang kanan mantap menggenggam dunia. Yang kiri lembut mengayun, yang kanan mengepal ke “muka” (depan).

 

Mari sejenak kita kenali Cleopatra di Mesir, Ratu Kunti di India, Joan of Act di Perancis, Sayidah Khadijah di Islam, dan Gayatri Rajapatni di Indonesia. Mereka adalah sederet nama yang menorehkan kisah kepahlawanan, yang hingga kini, masih dikenang dalam ingatan banyak orang. Bila selama ini kaum pria terlanjur banyak dipuja hanya karena dianggap paling unggul, namun faktanya, mereka tak selalu hebat seperti yang selama ini kita kira. Dalam banyak hal, kaum pria pun, tak sedikit berada di bawah kendali perempuan.

 

Pada beberapa tahun yang lalu, saya pernah membaca biografi Cleopatra, ratu jelita kebanggaan masyarakat Sunga Nil, Mesir. Dikenal dengan kecantikannya yang eksotis dan memesona, dia pikat hati banyak pria, tak terkeculi dua petinggi Romawi: Julius Caesar dan Mark Antony. Konon, perempuan ini pula yang menjadi salah satu penyebab kehancuran Romawi Kuno.

 

Tapi, ketahuilah, daya tarik Cleopatra bukan sebatas pada pesona rupa dan kemolekan tubuh yang dimilikinya. Dia juga cukup cakap menjalankan roda pemerintahan hingga mengantarkan Mesir pada kemakmuran yang hakiki. Hidup rakyatnya bahagia. Namanya diukir dalam banyak karya seni, seperti musik, seni rupa, tarian, film, koin, lukisan, buku, dan novel. Bahkan Whilliam Shakespeare mengabadikan Cleopatra dalam gelaran teater berjudul Antony and Cleopatra.

Di bagian dunia yang lain, India. Saya sangat tertegun dengan ketabahan Ratu Kunti, ibunda Lima Pandawa: Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Dalam epos Mahabharata, Kunti digambarkan sebagai sosok ibu yang tangguh, tak mudah mengeluh, meski ditinggal mati suami. Batu ujian yang datang berlaksa-laksa tak membuatnya jatuh terlelah. Semakin sering dibenturkan, dia justru semakin kuat dan terbentuk. Dia tempa kelima anaknya menjadi ksatria tiada tanding hingga membanggakan leluhurnya, dinasti Bharata.

 

Dalam sejarah panjang bangsa Arya di India, Kunti bersama kelima anaknya telah merubah haluan zaman kegelapan (Kurawa) ke alam penuh cahaya (Pandawa). Tentu saja, dalam perkara ini, kita tidak bisa menyampingkan peran penting Basudewa Krisna, Avatar Wisnu di dunia. Tetapi, pengaruh Kunti juga tidak kalah pentingnya, terutama dalam membentuk kelima anaknya setia pada dharma dan kebajikan.

 

Saya pernah membaca buku Ajaran Dewi Kunti yang dipinjamkan I Nyoman Kawi, Bapak Kos, sewaktu saya masih tinggal di Ciputat. Buku itu memuat ajaran, petuah, dan doa-doa harian Kunti, yang hingga kini, ternyata masih dipedomani kaum ibu di India. Bagi mereka (kaum ibu) Kunti adalah ibu ideal yang hadir di segala zaman. Nafas kehidupan bagi generasi muda. Dalam kisah Mahabharata, Kunti adalah murid terkasih Resi Duruwasa. Pengabdiannya yang tulus dan tabah, diganjar ilmu Adityahredaya, cara memanggil dewa. [Baca juga: Perempuan dalam Kemelut Sejarah: Tribute To Nawal El Saadawi]

 

Perancis, dikenal negara paling romantis. Banyak pelancong ingin menjejakkan kakinya di sana. Di balik keindahan kotanya yang estetis, negeri kumpulan para pemikir dan penulis ternama ini, menyimpan nama-nama pahlawan yang memengaruhi lajunya sejarah Perancis. Sebut saja Raja Louis XIV, Maximilien Robespierre, Napoleon Bonaparte, dll. Tapi, tahukan Anda, selain nama-nama besar tadi, ada sosok perempuan yang menjadi penyebab kemenangan Perancis atas Inggris dalam Perang Seratus Tahun.

 

Dia adalah Joan of Arc. Gadis belia yang tinggal di pelosok sebuah desa. Usianya masih 17 tahun saat bergabung menjadi tentara. Berkat visi spiritual yang dialaminya, dia pimpin pasukan tempur Perancis merebut wilayah-wilayah penting dari cengkeraman Inggris. Pada tahun 1453, Perancis berhasil menundukkan semua wilayah yang dikuasai negeri Ratu Elizabeth, kecuali Calais. Di kemudian hari, tepatnya pada 1558, wilayah itu akhirnya bisa dikuasai. Joanc of Arc mengingatkan saya pada Nyi Ageng Serang, panglima dan ahli strategi pada perang Jawa. Bersama pasukannya yang gagah berani, Semut Ireng, dia halau setiap serangan hingga membuat Belanda kewalahan.

Di antara dua imperium besar, Persia dan Romawi, yang menguasai dunia kala itu, di Jazirah Arab, tepatnya di Kota Mekah, lahir seorang perempuan bernama Khadijah binti Khuwailid. Kelak, dia menjadi istri terkasih dari manusia yang penuh kasih, baginda Muhammad Saw. Dia ibarat matahari yang terus memberi cahaya agar semangat dakwah Nabi tetap menyala. Kontribusinya begitu penting terutama di fase awal kemunculan Islam.

 

Dia adalah orang pertama yang mengimani kebenaran Islam sebelum Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Saat wahyu pertama itu tiba di Gua Hira, ketakutan menghinggapi Nabi, dialah sosok yang menenangkan Nabi dan memastikan tanda-tanda kerasulan itu telah nyata. Saat keraguan menguasai, dia juga yang menguatkan dan meyakinkan Nabi. Dan saat cemoohan tak henti-henti datang menghampiri, dia pula yang membesarkan hati Nabi. Dia abdikan harta bendanya untuk dakwah Nabi. Kepergiannya pada Sang Kasih (Allah SWT), menyimpan luka bercoreng karat di hati Nabi. Itulah ‘Aam al Huzni, tahun di mana duka lara menyelimuti Nabi.

 

Dalam banyak literatur, sosok perempuan yang kita diskusikan ini mendapat tempat cukup istimewa. Sanjungan dan penghomatan datang silih berganti, diberikan para sarjana Timur maupun Barat. Annemarie Schimmel dalam My Soul Is A Woman misalnya, perlu melibatkan Khadijah dalam ulasannya mengenai peran perempuan dalam dakwah Nabi. Para penulis biografi Nabi Muhammad, semisal Ibn Ishaq, Ibn Hisyam, Muhammad Husein Haekal, Martin Lings, Karen Armstrong, dll, juga memberikan penghormatan setinggi-tingginya.

 

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

 

Entah berapa nama perempuan hebat yang perlu saya sebutkan. Sejak sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, kita mengenal Cut Nyak Dien, Raden Dewi Sartika, Raden Ajeng Kartini, Ruhana Kudus, dll. Bahkan bila kita tengok lebih jauh di zaman raja-raja berkuasa, sosok seperti Ratu Sima, Tribuwana Tunggadewi, dan Gayatri Rajapatni, juga tidak boleh luput untuk disebut.

 

Nama yang terakhir disebut mungkin masih terasa asing di telinga. Setiap kali kita membaca sejarah keperkasaan Majapahit, nama yang muncul semuanya dari kaum pria: Raden Wijaya, Hayam Wuruk, Patih Gajah Mada, Patih Nambi, Lembu Sora, Ronggo Lawe, Banya Kapuk, Gajah Pagon, Gajah Biru, dll. Kalaupun harus menyebut nama perempuan, maka yang muncul adalah Tribuwana Tunggadewi.

 

Tulisan sederhana ini, sebetulnya sejak awal dimaksudkan hendak mengulas Gayatri Rajapatni secara khusus. Saya juga sudah mempersiapkan judulnya “Gayatri Rajapatni, Perempuan Hebat yang Terkubur Reruntuhan Majapahit”. Namun, entah mengapa, tiba-tiba saja perempuan-perempuan hebat yang saya ulas secara singkat di bagian terdahulu, bermunculan. Seolah ada yang menggerakan dari luar. Itulah inspirasi. Datang begitu cepat seperti kilat, kadang lambat, bahkan dalam beberapa kesempatan ditunggu namun tak kunjung tiba.

 

Gayatri Sri Rajapatni atau Dyah Prajnaparamita adalah istri keempat Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana), Raja Majapahit pertama. Dia merupakan ibu dari Ratu Majapahit ketiga, Sri Gitarja (Tribuwana Tunggadewi), juga nenek dari Hayam Wuruk (Rajasanegara), raja yang membawa Majapahit pada puncak kejayaan. Di kemudian hari, dari dia lah (Gayatri), raja-raja dan ratu ternama di Tanah Jawa muncul.

Seorang peneliti dari Kanada, Earl Drake, dalam investigasinya yang serius selama 20 tahun, menghasilkan temuan yang cukup mengejutkan. Bila selama ini, kejayaan Majapahit selalu dihubungkan dengan Raden Wijaya, Tribuwana Tunggadewi, Hayam Wuruk, dan Patih Gajah Mada, Drake justru punya kesimpulan lain. Menurutnya, Gayatri adalah tokoh sentral di balik kejayaan imperium Majapahit. Sebelum Gajah Mada bersumpah menyatukan Nusantara, Gayatri-lah, saat itu menjadi Ibu Ratu, yang berniat melakukannya.

 

Cita-cita besar Gayatri menyatukan Nusantara, kata Drake, dalam rangka memenuhi keinginan sang ayah, Kertanegara (Raja Singosari), yang belum sempat terlaksana namun dia keburu meninggal di tangan pasukan Glang-Glang saat penyerbuan Kediri yang dipimpin Jayakatwang. Gayatri juga punya peran penting dalam mengatasi serbuan tentara Mongol (Kubilai Khan) yang datang menuntut balas atas penghinaan Kertanegara pada utusan mereka.

 

Tulisan singkat ini, saya persembahkan untuk perempuan-perempuan hebat di dunia, para ibu, dan kaum hawa semuanya.

Tidak ada komentar: