Oleh Mohamad Asrori Mulky
Agama
diturunkan bukan untuk membelenggu, tetapi membebaskan umat manusia dari segala
ilusi dan tipu daya. Di tangan mereka yang keliru, agama yang suci bisa berubah
menjadi pedang yang menikam, memghancurkan, dan tameng yang menolak kasih. Akal
dituduh sebagai bid’ah, nalar disingkirkan demi dogma, dan pertanyaan dibungkam
oleh ancaman.
Imam
al-Ghazali—sang pembela ortodoksi yang akhirnya menemukan jalan sufi—pernah
menulis dalam al Mustasfa tentang pentingnya peran akal. Dan dalam al-Munqidz
min al-Dhalal ia memastikan: "Keraguan adalah awal dari
pengetahuan." Maka dengan itu semua ia ingin menghidupkan api
pencarian, dan memadamkan bara kepalsuan. Sebab menurutnya iman yang tak boleh dipertanyakan
adalah iman yang rapuh, tak berakar kuat.
Ibn Rusyd,
filsuf agung dari Andalusia, dengan semangat berlipat membela rasionalitas
dalam beragama. Dalam Fasl al-Maqāl, ia berkata: "Kebenaran
tidak akan bertentangan dengan kebenaran." Maksudnya: wahyu dan akal,
jika benar, takkan saling membatalkan. Justru saling menerangi, seperti bulan
dan matahari dalam satu atap langit.
Tetapi, lihatlah
hari ini—betapa banyak luka dunia berasal dari mereka yang mengatasnamakan
agama tapi membunuh nalar. Yang meledakkan rumah ibadah, yang merendahkan
martabat wanita di muka umum, yang menuduh orang sesat hanya karena berpikir
berbeda. Mereka menyebutnya iman. Padahal itu adalah tirani yang berselimut
kesucian.
Serial film Walid
yang viral belakangan ini, adalah potret getir dari agama tanpa akal. Di situ,
pemimpin spiritual menjadi manipulator ilusi paling ulung, menggunakan ayat-ayat
suci sebagai belenggu. Para pengikutnya tidak berpikir—mereka hanya tunduk,
meski logika telah terbakar dan moral telah mati. Inilah potret beragama yang
kehilangan cahaya akal: indah di luar, kelam di dalam.
Karen
Armstrong, menyebut dalam The Battle for God: “Ketika agama terpisah
dari rasionalitas, ia mudah berubah menjadi ideologi kekerasan.” Agama
adalah jalan menuju Tuhan, tapi tanpa akal, jalan itu bisa menyesatkan ke dalam
fanatisme, ekstremisme, dan kehampaan. Ritual jadi beku, doa menjadi hafalan
tanpa jiwa, dan hati menjadi medan pertempuran antara kesalehan palsu dan
keraguan yang terbungkam.
Bila agama
tanpa akal, maka iman hanyalah kebisingan. Tapi bila agama bersama akal, maka
ia menjadi simfoni suci, yang mengantar manusia pada Tuhan dengan langkah sadar
dan hati terbuka. Akal bukan pengkhianat agama. Ia adalah penjaga tafsir,
penyaring kebenaran, dan penerang di tengah gelap zaman. Ia tidak melawan
wahyu—ia menafsirkan. Ia tidak menghina Tuhan—ia mencari-Nya.
Maka mari kita
rawat iman dengan cinta dan pikir. Kita sambut wahyu bukan hanya dengan dada
yang lapang, tapi dengan nalar yang tajam. Karena hanya dengan itu, kita
menjadi benar-benar hamba—yang taat karena mengerti, dan tunduk karena mencinta.
Jangan serahkan pikiranmu pada siapa pun yang melarangmu berpikir. Karena Tuhan
tak pernah melarang manusia bertanya. Ia menciptakan akal justru agar kita
kembali kepada-Nya dengan sadar, bukan sekadar ikut-ikutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar