Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 24 Juni 2025

Agama Tanpa Akal


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Agama diturunkan bukan untuk membelenggu, tetapi membebaskan umat manusia dari segala ilusi dan tipu daya. Di tangan mereka yang keliru, agama yang suci bisa berubah menjadi pedang yang menikam, memghancurkan, dan tameng yang menolak kasih. Akal dituduh sebagai bid’ah, nalar disingkirkan demi dogma, dan pertanyaan dibungkam oleh ancaman.

 

Imam al-Ghazali—sang pembela ortodoksi yang akhirnya menemukan jalan sufi—pernah menulis dalam al Mustasfa tentang pentingnya peran akal. Dan dalam al-Munqidz min al-Dhalal ia memastikan: "Keraguan adalah awal dari pengetahuan." Maka dengan itu semua ia ingin menghidupkan api pencarian, dan memadamkan bara kepalsuan. Sebab menurutnya iman yang tak boleh dipertanyakan adalah iman yang rapuh, tak berakar kuat.

 

Ibn Rusyd, filsuf agung dari Andalusia, dengan semangat berlipat membela rasionalitas dalam beragama. Dalam Fasl al-Maqāl, ia berkata: "Kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran." Maksudnya: wahyu dan akal, jika benar, takkan saling membatalkan. Justru saling menerangi, seperti bulan dan matahari dalam satu atap langit.

 

Tetapi, lihatlah hari ini—betapa banyak luka dunia berasal dari mereka yang mengatasnamakan agama tapi membunuh nalar. Yang meledakkan rumah ibadah, yang merendahkan martabat wanita di muka umum, yang menuduh orang sesat hanya karena berpikir berbeda. Mereka menyebutnya iman. Padahal itu adalah tirani yang berselimut kesucian.

 

Serial film Walid yang viral belakangan ini, adalah potret getir dari agama tanpa akal. Di situ, pemimpin spiritual menjadi manipulator ilusi paling ulung, menggunakan ayat-ayat suci sebagai belenggu. Para pengikutnya tidak berpikir—mereka hanya tunduk, meski logika telah terbakar dan moral telah mati. Inilah potret beragama yang kehilangan cahaya akal: indah di luar, kelam di dalam.

 

Karen Armstrong, menyebut dalam The Battle for God: “Ketika agama terpisah dari rasionalitas, ia mudah berubah menjadi ideologi kekerasan.” Agama adalah jalan menuju Tuhan, tapi tanpa akal, jalan itu bisa menyesatkan ke dalam fanatisme, ekstremisme, dan kehampaan. Ritual jadi beku, doa menjadi hafalan tanpa jiwa, dan hati menjadi medan pertempuran antara kesalehan palsu dan keraguan yang terbungkam.

 

Bila agama tanpa akal, maka iman hanyalah kebisingan. Tapi bila agama bersama akal, maka ia menjadi simfoni suci, yang mengantar manusia pada Tuhan dengan langkah sadar dan hati terbuka. Akal bukan pengkhianat agama. Ia adalah penjaga tafsir, penyaring kebenaran, dan penerang di tengah gelap zaman. Ia tidak melawan wahyu—ia menafsirkan. Ia tidak menghina Tuhan—ia mencari-Nya.

 

Maka mari kita rawat iman dengan cinta dan pikir. Kita sambut wahyu bukan hanya dengan dada yang lapang, tapi dengan nalar yang tajam. Karena hanya dengan itu, kita menjadi benar-benar hamba—yang taat karena mengerti, dan tunduk karena mencinta. Jangan serahkan pikiranmu pada siapa pun yang melarangmu berpikir. Karena Tuhan tak pernah melarang manusia bertanya. Ia menciptakan akal justru agar kita kembali kepada-Nya dengan sadar, bukan sekadar ikut-ikutan.

Tidak ada komentar: