Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 16 Juni 2025

Jalan Sunyi Al Ghazali


 

Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Di tengah riuh zaman yang kian kehilangan makna, serba cepat dan tak terkendali, akibat arus modernitas dengan segala perkembangan ilmu dan teknologinya, manusia, kata Seyyed Hossein Nasr, dipacu tanpa arah ruhani, dan terjebak dalam pusaran kecemasan yang makin dalam. Mereka teralienasi dalam hidupnya sendiri. Dan dalam keadaan seperti itu, kita memerlukan seberkas cahaya yang datang meski dari sunyi.

 

Sunyi yang tidak bisu, melainkan berbicara kepada nurani terdalam, yang selama ini tersingkir oleh nalar spekulatif. Sunyi yang tidak kosong, melainkan dipenuhi oleh kehadiran Yang Maha Hadir. Dan melalui lorong-lorong sunyi itulah, pada beberapa abad yang silam, seorang manusia bernama Abu Hamid Al-Ghazali berjalan pelan tapi pasti, menuju pemulihan jiwanya—dan jiwa umatnya.

 

Sepanjang hayatnya, lelaki dari Tus itu telah mereguk air jernih dari ribuan kitab, menyelami samudra akal, dan menguji tiap serpihan cahaya dari indera. Tapi di suatu malam yang diselimuti kabut gelap, dan ketika bintang-bintang filsafat kehilangan sinarnya, ia bertanya penuh gelisah: “Adakah suatu kepastian yang tak tergoyahkan?” Ia menjawab dalam al-Munqidh min al-Dalal, bahwa kepastian itu mesti ilmu yakin yang tidak menyisakan kebimbangan (العلم اليقين الذي لايبقى معه ريب).

 

Maka dimulailah perjalanan epistemologis Al-Ghazali, yang dimulai dari keraguan (الشكوك) bukan dari keyakinan yang selama ini ditapaki kebanyakan orang. “Keraguanlah yang bisa mengantarkan kepada kebenaran” (الشكوك هي الموصلة الى الحق). Demikian Al-Ghazali menuliskan dalam Mizan Al Amal. Dengan nada pasti dan penuh keyakinan, ia menelusuri kebenaran yang tak terbantahkan.

 

Di awal pencarian, Al-Ghazali menggenggam keyakinan bahwa indera adalah pangkal segala pengetahuan. Apa yang terlihat, terdengar, disentuh dan dikecap dianggap sebagai dasar realitas. Namun, sebagaimana cahaya yang tampak terang hanya sampai senja, keyakinan ini pun meredup, lenyap, tak terlihat. Ia mulai menyadari bahwa indera kerap menipu: “Bintang tampak sebesar dinar padahal lebih besar dari bumi,” tulisnya dalam al-Munqidh min al-Dalal. Bayangan tampak diam, tapi ia bergerak perlahan. Air tampak dalam cawan, padahal ia melengkung.

 

Indra, dalam pandangannya, adalah gerbang yang mudah disusupi ilusi dan tipuan. Sehingga pengetahuan yang mendasarinya rapuh sehingga mudah roboh. “Jika indraku telah berdusta padaku, bagaimana aku bisa mempercayainya?” Karena itulah Al-Ghazali mulai meragukan segala pengetahuan indrawi—tidak sebagai skeptisisme murni, tapi sebagai luka pertama yang membuka jalan perenungan lebih dalam dan lebih meyakinkan. Ia meragukan pengetahuan yang dihasilkan amatan mata, pendengaran, sentuhan kulit.

 

Dalam keraguan terhadap indera itu, ia kemudian membangun harapan pada akal. Akal—yang dapat memisahkan antara mungkin dan mustahil, yang bisa menetapkan bahwa dua adalah lebih dari satu, dan mustahil sesuatu bisa berada di dua tempat sekaligus. Dalam fase ini, Al-Ghazali memasuki dunia filsafat: logika Aristoteles, metafisika Ibn Sina, hingga geometri Euclid. Ia menguasainya bukan sekadar sebagai murid, tapi sebagai penguji paling tajam.

 

Namun kemudian ia menemukan bahwa akal pun tak bisa menembus tirai metafisika yang paling dalam. Akal bisa menjawab "bagaimana", tapi tak bisa menjawab "mengapa". Ia bisa membedah dunia, tapi tak bisa menjamah makna. Akal bisa menggambar peta, tapi tak bisa mengantarkan jiwa untuk pulang. Dalam al-Munqidh, ia menulis: “Keraguanku terhadap kemampuan akal bagaikan penyakit, namun penyakit ini diturunkan Allah kepadaku... maka tak ada obat selain cahaya yang dilemparkan ke dalam hati.”

 

Setelah meruntuhkan dua menara epistemologi—indra dan akal—Al-Ghazali memulai jalan sunyi, yaitu memalingkan wajahnya ke arah intuisi ilahiah, atau dalam istilah sufistik: dzawq. Ia menemukan bahwa hati yang disucikan bisa menjadi cermin kebenaran yang sejati. Kebenaran tidak lahir dari debat, tapi dari dzikir. Ia tidak tumbuh dalam logika, tapi dalam kesendirian yang lapang dan pengasingan yang diserahkan kepada Tuhan.

 

Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, ia menulis: “Ilmu yang hakiki adalah cahaya yang dilemparkan Allah ke dalam hati seorang hamba... ia tidak diperoleh melalui pena dan buku, tapi melalui penyucian jiwa dan pengabdian yang tulus.” Al-Ghazali menempuh jalan sufi, bukan sebagai pelarian, tapi sebagai puncak dari seluruh pencarian epistemologinya. Tetapi, jalan sufi yang sunyi, yang ditempuh Al-Ghazali bukanlah tanpa nalar. Ia tidak menolak akal.

 

Oliver Leaman dalam A Brief Introduction to Islamic Philosophy, menyebut Al-Ghazali sebagai tokoh yang “memusnahkan sistem filsafat tanpa memusnahkan semangat berpikir.” Ia tidak menolak akal, tapi mengkritiknya agar tunduk kepada cahaya batin. Ia tidak meninggalkan dunia, tapi memandangnya dari kejauhan. Bagi Al-Ghazali, akal ibarat cahaya yang menerangi jalan yang disusuri manusia di tengah lorong dan jurang yang gelap. Siapa saja yang menepikannya akan tersesat.

 

Frank Griffel, pembaca Al-Ghazali, melihat dalam diri sang Imam sebuah pergeseran radikal: dari seorang profesor di Baghdad yang dielu-elukan sebagai mahkota para ulama, menjadi seorang pengembara ruhani yang tak dikenali siapa pun kecuali dirinya sendiri. Dalam karyanya, Al-Ghazali’s Philosophical Theology, Griffel menegaskan bahwa krisis eksistensial yang dialami Al-Ghazali bukan semata gejala pribadi, melainkan refleksi dari krisis epistemik dunia Islam kala itu. Maka jalan sunyi yang ia tempuh adalah jalan menyembuhkan peradaban, jalan yang dianggap paling sahih untuk mengembalikan kesadaran umat Islam dari sampah zaman yang meniup bau busuk.

 

Jalan sunyi Al-Ghazali adalah jalan sufi—jalan pelepasan, jalan pengasingan dari keramaian dunia yang begitu bising, memabukkan, dan penuh jebakan. Maka ketika itu, saat ruh Al Ghazali disesaki debu ilmu yang belum basah oleh makna, dan dadanya merasakan kekeringan dalam lautan kata-kata, Al-Ghazali—yang saat itu telah mencapai puncak kemasyhuran sebagai guru besar Nizamiyah Baghdad—tiba-tiba merasakan kehampaan yang dalam, seperti seseorang yang berdiri di atas gunung tetapi tak lagi melihat langit. 

 

Sekali lagi, jalan sunyi yang ditempuh Al-Ghazali bukanlah membuang akal hingga tak dibutuhkan, tapi justru cahaya ketuhanan yang masuk ke dalam hatinya telah membenarkan pertimbangan logis secara meyakinkan. Dalam Al-Munqid ia menulis,:

 

حتى شفى الله تعالى من ذلك المرض وعادت النفس الى الصحة و الاعتدال و رجعت الضروريات العقلية مقبولة موثوقا بها على أمن و يقين, و لم يكن ذلك بنظم دليل و ترتيب كلام, بل بنور قذفه الله تعالى في الصدر, و ذلك النور هو مفتاح أكثر المعارف

 

"Allah menyembuhkan penyakitku sakitku tersebut, sampai jiwaku pun kembali sehat dan moderat lagi. Hasil daya pikir pun kembali diterima dan dipercaya serta penuh rasa aman dan yakin. Dan kesemua itu bukan karena adanya dalil yang teratur rapi serta kata yang tersusun benar, tapi karena adanya cahaya yang diturunkan Allah dalam kalbu, yaitu cahaya yang menjadi kunci kebanyakan pengetahuan."

 


Tidak ada komentar: