Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Rabu, 29 September 2010

Menelusuri Investasi Fokus

Rabu, September 29, 2010 0

WARREN Buffett mengembangkan strategi investasi fokus pada dunia bisnis.Keunikan investasi fokus adalah titik tekanya pada penelaahan aspek matematika dan psikologi untuk menyusun portofolio. 

 

Model investasi fokus ala Buffett merupakan negasi terhadap manajemen portofolio aktif dan investasi investasi indeks yang sebelumnya lebih diunggulkan para investor. Ciri dari manajemen portofolio aktif adalah terus-menerus membeli dan menjual saham biasa (common stock) dalam jumlah besar. Karena memang tujuan dari portofolio aktif ini adalah berusaha membuat klien puas dan mendapatkan keuntungan dengan cepat. Sementara investasi indeks lebih bersifat pasif, yaitu beli dan tahan menunggu peluang emas. Pendekatan model ini melibatkan penyusunan, kemudian menahan, portofolio terderivasi dari saham biasa yang secara sengaja dirancang untuk meniru perilaku indeks patokan spesifik.

 

Kedua pendukung pendekatan ini sudah sejak lama berperang terbuka untuk menentukan bahwa modelnyalah yang terbaik dan menghasilkan pengembalian investasi lebih tinggi. Masing-masing menunjukkan kelebihannya untuk menarik simpati pengikut.Mana-jer portofolio aktif, berkat keahli-an dan kepiawaian mereka, bisa lebih baik dibandingkan strategi indeks mana pun. Di lain pihak, ahli strategi indeks mengklaim bahwa sejarah belakangan ini lebih membela mereka. Menurut Buffett, meski benar bahwa investasi aktif dan strategi indeks menawarkan diversifikasi, secara umum tak satu pun strategi ini memberikan keuntungan luar biasa dan dapat memuaskan para investor. 

 

Karena itu dengan cepat Buffett menunjukkan bahwa ada alternatif ketiga yang lebih meyakinkan dan menguntungkan investor, yaitu “investasi fokus”. Esensi dari investasi fokus ini adalah memilih sedikit saham yang cenderung menghasilkan keuntungan di atas rata-rata selama jangka panjang, bukan jangka pendek. 

 

Kiprah Investor Ulung

Siapa tak mengenal Warren Buffett, raja investor yang memiliki kekayaan pribadi sekitar 62 miliar dolar AS (versi Forbes 2008, sebelum krisis keuangan)? Nilai kekayaan menempatkannya sebagai orang terkaya sedunia setelah pemilik Microsoft Corporation,Bill Gates.Kebesaran nama Buffett dalam dunia investasi (saham) hingga kini belum ada yang menandingi. Dengan prinsip-prinsip investasinya yang telah teruji oleh waktu membuktikan kesahihan dan otoritasnya dalam berinvestasi. Bakat Buffett dalam dunia investasi memang sudah terlihat sejak ia masih kecil dengan kesukaannya dalam perhitungan numerikal. 

 

Pada usia 6 tahun dia sudah punya impian bagaimana memperoleh uang dan sangat berhemat dengan menyisihkan uang yang dia terima. Menginjak usia 9 tahun, Buffett mulai belajar ilmu investasi saham dengan membuat catatan berupa grafik dari semua jenis saham dan mencantumkan lebih banyak informasi berupa angkaangka. Pada usia 17 dia mendapatkan uang lumayan banyak untuk ukuran seusianya, 5.000 miliar dolar AS dengan bekerja sebagai pengirim koran. Pada usia dewasa dia belajar keuangan di Columbia University. 

 

Di kampus inilah dia kemudian bertemu profesor keuangan beken, Benjamin Graham, yang dinobatkan sebagai bapak analis sekuritas modern dengan bukunya, The Intelligent Investor.Tesis buku itu mengatakan, pasar modal adalah tempat di mana pelaku sering membuat kesalahan dengan bertindak tanpa perhitungan rasional, maka pelaku pasar yang disiplin dan berdasarkan perhitungan rasional yang akan sanggup bertahan dan juara. Dari Benjamin inilah Buffett mengembangkan investasi fokus modelnya sendiri. Selain Benjamin Graham, Buffett mengagumi Philip Fisher. Dua orang yang dianggap sebagai mahaguruolehBuffettitumemiliki karakter investasi berbeda.

 

Graham lebih dikenal dengan strategi investasi nilai. Saat memilih saham,Graham selalu mendasarkan pada analisis fundamental ke-uangan perusahaan dan strategi diversifikasi. Artinya, Graham menekankan pada kriteria kuantitatif, selalu mencari saham yang harga pasar jauh di bawah harga wajar. Sebaliknya, Philip Fisher lebih menekankan pada kriteria kualitatif. Menurut Fisher,sebelum membeli saham sebuah perusahaan,lihat dulu tim manajemen pengelolanya, bagaimana cara perusahaan tersebut dikelola. Buffett melihat, ada kesamaan dari kedua orang pakar tersebut. Keduanya sukses dan sama-sama berpikir jangka panjang untuk setiap investasi.Graham,misalnya, menganjurkan agar investor memilih saham yang layak dipegang, meskipun pasar saham mendadak tutup besok. 

 

Fisher memberi contoh lewat caranya memegang saham Texas Instrument,yang dibeli sejak awal perusahaan tersebut melakukan private placement. Nah, Buffett yang brilian ini mencoba menggabungkan strategi Graham dan Fisher. Sebelum menentukan pilihan, dia akan meriset perusahaan tersebut habis-habisan, dari sisi bisnis, manajemen, finansial, dan pasar. Dengan dasar riset tersebut Buffett mengerti benar bagaimana perusahaan-perusahaan yang hendak dibelinya. Inti dari semua itu,Buffett lebih berpikir tentang investasi jangka panjang,pada saham-saham perusahaan yang produknya dikenal baik. 

 

Kemampuan Warren Buffett memilih saham yang bernilai di bawah harga pasar merupakan bukti hidup yang mengagumkan.Beberapa ahli mengatakan,ke-mampuan itu sekaligus menjadi bukti kegagalan teori akademis yang menyebutkan bahwa pasar bersifat efisien.Artinya harga sahamberkaiteratdenganinformasi yang beredar di publik tentang perusahaan terkait. Menurut Buffett, pasar kerap salah menentukan harga.Pasalnya, harga pasar kerap ditentukan oleh emosi para investor.

 

Padahal emosi para investor bersifat jangka pendek, sementara dalam jangka panjang pasar justru akan mengikuti fundamentalperusahaan.Lantaran itu, Robert dalam buku ini merasa perlu menuliskan keunggulan model investasi fokus ala Buffett yang telah teruji oleh waktu.

-------------------------------------------------------------


Dimuat di SINDO, 19 September 2010

Mohamad Asrori Mulky

Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, Jakarta.


Judul : The Warren Buffett Portfolio

Penulis : Robert G. Hagstrom

Penerbit : Daras Books, Jakarta

Cetakan : I, Juni 2010

Tebal : 258 Halaman

 

 

Senin, 30 Agustus 2010

Argumen di Balik Trilogi Pembaruan Islam

Senin, Agustus 30, 2010 0


 

SEJAK Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang pengharaman sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, ketiga ideologi itu menjadi istilah yang kian populer. Trilogi itu seakan menjelma seperti makhluk yang menakutkan, karena itu keberadaannya mesti diwaspadai. Bagaimana argumen Islam terhadap hal ini?


Di Indonesia, ide-ide demokrasi seperti sekularisme, liberalisme, dan pluralisme kerap mendapat penolakan keras dari sebagian kalangan. Puncaknya adalah ketika pada 29 Juli 2005 Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuat definisi mengenai sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Istilah ini dikeluarkan dalam Keputusan Fatwa MUI Nomor 7/MUNAS VII/MUI/II/2005.


Berdasarkan definisi yang dibuat lembaga ini, MUI membuat ketentuan hukum haram terhadap sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, yaitu bahwa ”Pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama… adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam. Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama. Dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti, haram mencampuradukkan akidah dan ibadah Islam dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain” (halaman 7).


Pasca-keluarnya fatwa haram MUI, diskursus mengenai sekularisme, liberalisme, dan pluralisme justru banyak diperbincangkan, tidak saja oleh akademisi, tetapi juga kalangan umum. Pada waktu yang bersamaan muncul gerakan-gerakan pemikiran yang menopang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga Islam progresif. Kesepuluh lembaga tersebut diulas dalam buku ini.


Namun, bagi Budhy Munawar-Rachman, penulis buku Reorientasi Pembaruan Islam ini, sekularisme, liberalisme, dan pluralisme secara substansial merupakan bagian integral dari spirit Islam yang sesungguhnya. Aplikasi ketiganya, dalam konteks Indonesia yang majemuk, merupakan keharusan demi terwujudnya masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis.


Berbicara mengenai sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, tidaklah mungkin memisahkan satu dengan lainnya, mengambil yang satu dan meninggalkan yang lain. Ketiganya sangat berkait berkelindan, terutama dalam merespons isu-isu kebebasan beragama yang akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan, khususnya Majelis Ulama Indonesia.


Meluruskan Pandangan

Buku ini diterbitkan dalam rangka merayakan 40 tahun orasi pembaruan Islam Nurcholish Madjid (Cak Nur) di Indonesia, 3 Januari 1970-2010. Perjuangan Cak Nur selama itu, terutama dalam menyebarkan paham sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, tidaklah sia-sia. Pasalnya, trilogi pembaruan ini telah memberikan dampak positif bagi terwujudnya kerukunan beragama di Indonesia hingga kini, meskipun terkadang kekerasan atas nama agama masih saja terjadi.


Kehadirannya juga dimaksudkan untuk meluruskan pandangan negatif terhadap sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Secara konseptual, sekularisme adalah paham tentang pemisahan antara agama dan negara. Namun, bukan berarti dalam negara yang menerapkan sekularisme, keberadaan agama disingkirkan dari wilayah publiknya. Justru dengan paham ini, setiap umat beragama dapat mengembangkan dan menjalankan kehidupan keagamaannya tanpa harus diintervensi negara.


Tidak bisa dibayangkan jika dalam sebuah negara yang multi-agama seperti Indonesia, pemerintahnya hanya memilih satu keyakinan sebagai agama resmi. Maka yang akan terjadi adalah diskriminasi, eksploitasi, dan bahkan konflik horizontal atas nama agama bermunculan di mana-mana.

 


Sekularisme memberi batasan jelas antara otoritas agama dan negara. Idealnya, negara hanya mengontrol praktik-praktik keagamaan dengan kriteria hukum yang berlaku. Negara tidak bisa melarang umat beragama untuk menjalankan peribadatannya dan menganut kepercayaan yang diyakininya. Sekularisme membantu menciptakan keseimbangan antara agama dan negara. Masing-masing akan memberi kontribusi dalam membangun bangsa yang adil, terbuka, dan demokratis.


Paham ini harus diikuti liberalisme, yang bertolak dari pandangan tentang kebebasan. Namun, perlu dicatat, kebebasan bukan berarti bebas tanpa batas seperti yang diasumsikan banyak pihak selama ini. Yang dimaksud dengan liberalisme adalah kebebasan hak-hak sipil yang harus diperhatikan oleh negara, seperti kebebasan berpikir, berpendapat, beragama, dan berkeyakinan. Demokrasi yang menjunjung nilai-nilai kesetaraan, keadilan, dan keterbukaan akan memperoleh momentumnya dalam negara yang menganut liberalisme. Dalam liberalisme, setiap jiwa diberikan kebebasan tanpa kecuali.


Islam, sebagai agama yang banyak dianut warga Indonesia, juga memberikan prinsip-prinsip yang sama, yaitu dengan apa yang disebut sebagai al-kulliyat al-khamsah (lima hal pokok dalam Islam). Kelima hal tersebut adalah menjaga agama (hifzh al-din), menjaga nalar (hifzh al-‘aql), menjaga keturunan (hifzh an-nasl), menjaga harta (hifzh al-mal), dan menjaga kehormatan (hifzh al-‘irdl). Kemunculan Islam pun sejak awal membawa misi liberasi (pembebasan) dari penindasan, tirani, dan ragam bentuk ketidakadilan. Semangat inilah yang mestinya harus terus dikobarkan.


Rasanya tidak cukup membicarakan sekularisme dan liberalisme tanpa melibatkan pluralisme. Ketiganya bagai anggota tubuh manusia yang saling membutuhkan dan melengkapi satu dengan lainnya. Pluralisme adalah paham yang mengakui kemajemukan dan keragaman realitas, bukan kesamaan. Yang ditekankan dalam paham ini adalah perbedaan, meski bukan berarti dalam setiap perbedaan tidak ada kemungkinan kesamaan. Kesamaan dalam perbedaan bisa dicapai jika dibarengi sikap saling memahami dan membuka diri.


Dalam konteks Indonesia, keragaman atau pluralitas sudah menjadi kenyataan hidup yang tak terbantahkan, bahkan sudah menjadi keharusan perkembangan zaman dari waktu ke waktu. Ini merupakan sunatullah yang tak mungkin dihindari. Pluralitas dalam sebuah bangsa berpotensi menimbulkan perpecahan dan konflik. Karena itu, untuk menghindarinya diperlukan pluralisme. Paham ini memungkinkan terjadinya kerukunan dalam masyarakat yang berbeda sehingga setiap orang akan mendapat kebebasan yang sama, adil, dan setara.


Sayangnya, buku ini tidak memuat pandangan dari Lingkaran Pendidikan Alternatif Perempuan (Kapal Perempuan) dan Fatayat NU yang juga ikut berkontribusi dalam penyebaran sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Tidak disertakannya kedua lembaga tersebut dikhawatirkan akan memunculkan penilaian yang bias jender terhadap buku ini. Meski demikian, buku ini telah berhasil meyakinkan bahwa sekularisme, liberalisme, dan pluralisme telah menjadi kenyataan sosial politik di Indonesia yang plural dan majemuk.

 -------------------------------------------------------------------

 

Dimuat di Pustakaloka Kompas, Jum’at 27 Agustus 2010

Mohamad Asrori Mulky, Penikmat Buku

   


Judul: Reorientasi Pembaruan Islam

Penulis : Budhy Munawar-Rachman

Penerbit : LSAF dan Paramadina

Cetakan : I, Juni 2010

Tebal : ixv + 789 halaman

ISBN : 978-979-95611-7-6

 

 

Minggu, 29 Agustus 2010

Pemuda dan Strategi Pembangunan Desa

Minggu, Agustus 29, 2010 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky, Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.

Dimuat di Tabloid INSPIRASI, 27 Jui 2010  

Bicara soal pembangunan desa, tentu bukan menjadi tugas pemerintah semata. Tetapi sudah menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa, tak terkecuali pemuda. Lalu, apakah peran pemuda dalam pembangunan desa betul-betul bisa diandalkan?

Seberapa jauh pemuda memberi kontribusi dalam pembangunan Indonesia secara umum, dan desa secara khusus? Apa yang mesti ditawarkan oleh pemuda dan seberapa strategisnya mereka dalam program pembangunan desa? Kalau kita melihat tapak tilas dan jejak rekam para pemuda dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka memiliki sejarah yang cukup bagus.

Dalam konteks perubahan sosial Indonesia, pemuda selalu berada di garda paling depan. Tak jarang pemuda menjadi pemompa semangat, pencerah pemikiran dan pembakar api perjuangan untuk keluar dari penjajahan dan keterjajahan. Itulah sebabnya mengapa Presiden pertama Indonesia Soekarno hanya meminta 10 pemuda saja untuk membangun bangsa ini daripada 1000 orang tua tak berdaya.

Marilah sejenak kita merefresh kembali ingatan kita tentang sejarah masa lalu Indonesia dan bagaimana peran pemuda waktu itu. Tentu kita masih ingat Hari Kebangkitan Nasional 1908, hari kelahiran ikrar Sumpah Pemuda 1928, dan Hari Kemerdekaan Indonesia 1945. Semuanya itu terjadi berkat perjuangan pergerakan pemuda yang ingin membebaskan Indonesia dari penjajahan bangsa lain. Bahkan, gerakan reformasi 1998 yang ditandai dengan lengsernya kerajaan Soeharto juga tak lepas dari peran pemuda, mahasiswa, pelajar, dan elemen masyarakat lainya. Ini artinya, pemuda secara historis, memberikan kontribusi yang cukup besar bagi bangsa kita. Dengan begitu, tidak ada alasan, dalam program pembangunan desa, peran dan kiprah pemuda untuk tidak diikutsertakan.

Masalah Umum dalam Pembangunan Desa

Pembangunan pada prinsipnya sebuah proses sistematis yang dilakukan oleh masyarakat atau warga setempat untuk mencapai suatu kondisi yang lebih baik dari apa yang dirasakan sebelumnya. Namun demikian, pembangunan juga merupakan proses “bertahap” untuk menuju kondisi yang lebih ideal. Karena itu, masyarakat yang ingin melakukan pembangunan perlu melakukan tahapan yang sesuai dengan sumber daya yang dimilikinya dengan mempertimbangkan segala bentuk persoalan yang tengah dihadapinya.

Besarnya disparitas antara desa maju dengan desa tertinggal banyak disebabkan oleh: terbatasnya ketersediaan sumber daya manusia yang profesional; belum tersusunnya kelembagaan sosial-ekonomi yang mampu berperan secara epektif dan produktif; pendekatan top down dan button up yang belum berjalan seimbang; pembangunan belum sepenuhnya partisipatif dengan melibatkan berbagai unsur; kebijakan yang sentralistik sementara kondisi pedesaan amat plural dan beragam; pembangunan pedesaan belum terintegrasi dan belum komperhensif; belum adanya fokus kegiatan pembangunan pedesaan; lokus kegiatan belum tepat sasaran; dan yang lebih penting kebijakan pembangunan desa selama ini belum sepenuhnya menekankan prinsip pro poor, pro job dan pro growth.


 

Kenyataan di atas tentu sangat mengkhawatirkan kita semua. Mengapa desa yang memiliki kekayaan yang melimpah dan sumber daya alam yang tak terhitung justru mengalami ketertinggalan. Padahal pasokan makanan dan buah-buah untuk wilayah perkotaan semuanya berasal dari desa. Desa memiliki lahan yang luas, wilayah yang strategis, dan kondisi yang memungkinkan untuk berkarya dan mencipta. Mengingat demikian besarnya sumber daya manusia desa, di tambah dengan sumber daya alam yang berlimpah ruah, serta dilihat dari strategi pertahanan dan ke amanan nasional, maka sesungguhnya basis pembangunan nasional adalah di pedesaan. Sangat disayangkan sekali bila pembangunan nasional tidak ditunjang dengan pembangunan pedesaan.

Posisi Strategis Pemuda

Sebelum kita mendiskusikan posisi strategis dari pemuda dalam pembangunan desa tertinggal. Baiknya kita potret terlebih dahulu kondisi objektif bangsa kita saat ini. Secara objektif, bangsa Indonesia berada dalam situasi ”krisis”. Krisis dalam arti negara sedang mengalami pathologi atau kondisi sakit yang amat serius. Negara telah mengalami salah urus, rapuh dan lemah. Banyaknya para birokrat negara yang korup dan belum menunjukan keberpihakannya pada rakyat cukup membuktikan betapa rapuhnya kondisi bangsa kita.

Dampak dari salah urus negara yang sedang kita hadapi saat ini adalah terdapat 40 juta rakyat berada dalam garis pemiskinan, dan hampir 70% rakyat miskin berada di perdesaan, sumber daya alam (air, panas bumi, barang tambang hasil tani) dimiliki pengusaha asing, sekitar 13 Juta rakyat tidak memiliki pekerjaan, kualitas pendidikan yang masih rendah, banyak warga yang tidak bisa melanjutkan pendidikan dan tingkat buta huruf masih tinggi.

Kondisi ini diperparah dengan ketersediaan pangan yang semakin terbatas. Krisis sosial juga berdampak pada memudarnya nilai-nilai dan ikatan kohesifitas warga. Ada kecendrungan nilai-nilai gotong royong, praktik swadaya mulai melemah seiring dengan memudarnya budaya lokal yang semakin tergerus oleh budaya lain.

Maka dalam rangka memperbaiki kondisi krisis yang tengah dihadapi bangsa kita sehingga berimbas pada tersendatnya pembangunan di perdesaan. Keberadaan pemuda sebagai penggerak dan perubah keadaan sangat memainkan posisi yang strategis. Strategis mengandung arti bahwa pemuda adalah kader penerus kepemimpinan nasional dan juga lokal (desa), pembaharu keadaan, pelopor pembangunan, penyemangat bagi kaum remaja dan anak-anak. Karena itu, paling tidak ada 3 peran utama yang bisa dilakukan pemuda sebagai kader penerus bangsa, yaitu; sebagai organizer yang menata dan membantu memenuhi kebutuhan warga desa; sebagai mediamaker yang berfungsi menyampaikan aspirasi, keluhan dan keinginan warga; dan sebagai leader, pemimpin di masyarakat, menjadi pengurus publik/warga.

Ketiga peran itulah setidaknya yang harus dilakukan pemuda dalam pembangunan desa. Dan yang lebih penting lagi, ada beberapa tindakan yang harus dilakukan sebagai strategi pembangunan desa. Pertama, berpartisipasi dalam mempraktikan nilai-nilai luhur budaya lokal dan agama, dan membangun solidaritas sosial antar warga. Kedua, aktif dalam membangun dan mengembangkan wadah atau organisasi yang memberikan manfaat bagi warga. Ketiga, memajukan desa dengan memperbanyak belajar, karya dan cipta yang bermanfaat bagi warga. Keempat, berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan yang diselenggerakan oleh pemerintahan desa. Dan kelima, melakukan upaya-upaya untuk mendorong pemerintahan dalam setiap tingkatan (pusat, daerah dan desa) untuk menjalankan fungsinya sebagai pengurus warga yang benar-benar berpihak pada warga. 

 

Strategi dan perencanaan pembangunan desa akan tepat mengenai sasaran, terlaksana dengan baik dan dimanfaatkan hasilnya, apabila perencanaan tersebut benar-benar memenuhi kebutuhan warga setempat atau menekankan prinsip pro poor, pro job dan pro growth. Untuk memungkinkan hal itu terjadi, khususnya pembangunan perdesaan, mutlak diperlukan keikutsertaan warga desa secara langsung dalam penyusunan rencana dan terlibat dalam setiap agenda. Sikap gotong royong, bahu-membahu, dan saling menjaga hendaknya dilakukan warga desa demi terciptanya pembangunan desa yang lebih baik.

Keberhasilan pembangunan desa pada akhirnya berarti juga keberhasilan pembangunan nasional. Karena desa tidak dipungkiri sebagai sumber kebutuhan warga perkotaan. Dan sebaliknya ketidakberhasilan pembanggunan pedesaan berarti pula ketidakberhasilan pembangunan nasional. Apabila pembangunan nasional digambarkan sebagai suatu titik, maka titik pusat dari lingkaran tersebut adalah pembangunan pedesaan. Karena itu, pemerintah dalam hal ini jangan mengabaikan desa dan mengenyampingkan kebutuhan warga desa. Ciri sebuah negara yang maju bukan bertolak pada pembangunan yang bersifat sentralistik, dalam hal ini berpusat di perkotaan. Tapi antara desa dan kota memerlukan pembangunan yang seimbang dan merata. Wallahu ‘alam bisshawab

Selasa, 13 Juli 2010

Kado Seabad Muhammadiyah

Selasa, Juli 13, 2010 0

PADA 3-8 Juli lalu Muhammadiyah menyelenggarakan muktamar ke-46 di Jogjakarta. Di muktamar kali ini, usia Muhammadiyah sudah mendekati satu abad, tepatnya 98 tahun menurut hitungan Masehi dan seratus tahun menurut hitungan hijriah. Muhammadiyah didirikan KH Ahmad Dahlan pada 8 Zulhijah 1330 atau 18 November 1912.

 

Ribuan peserta dari berbagai daerah memadati Kota Gudeg. Selain memilih pucuk pimpinan organisasi untuk periode lima tahun berikutnya, muktamar membahas berbagai masalah internal keorganisasian, keindonesiaan dan keumatan, berikut peluang dan tantangannya pada masa mendatang.

 

Sudah barang tentu banyak ucapan selamat diberikan kepada Muhammadiyah dengan berbagai ekspresi yang berbeda-beda, sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Salah satunya dalam bentuk pemikiran seperti yang terhimpun dalam buku Satu Abad Muhammadiyah; Mengkaji Ulang Arah Pembaruan yang ditulis Dawam Rahardjo dan para penulis muda ini.

 

Buku ini bermula dari obrolan sederhana antara dua pemikir yang berbeda generasi, Dawam Rahardjo dan Moh. Shofan tentang perkembangan pemikiran Islam Indonesia, khususnya di lingkungan NU dan Muhammadiyah. Pada kesempatan itu, Shofan usul agar Dawam menuliskan pemikirannya soal Muhammadiyah, khususnya untuk menyambut perhelatan muktamar ke-46 dan momentum seabad Muhammadiyah.

 

Dawam kemudian mewujudkan pemikirannya dengan judul tulisan, Mengkaji Ulang Muhammadiyah sebagai Organisasi Islam Berorientasi Pembaruan. Tak pelak tulisan Dawam mendapat ruang publisitas dan ditanggapi anak-anak muda yang berasal dari beragam elemen -meski pada awalnya berharap agar anak-anak muda Muhammadiyah sendiri yang menanggapi. Secara keseluruhan, tulisan yang terhimpun dalam buku ini bermuara pada satu kesimpulan bahwa Muhammadiyah di usianya yang seabad telah mengalami disorientasi dari organisasi pembaruan menuju organisasi konservatif. Meskipun, ada sebagian penulis dalam buku ini yang masih malu-malu mengatakannya.

 

Seabad bisa dipahami sebagai periode abad kedua untuk Muhammadiyah. Suatu periode yang diharapkan bisa melampaui periode-periode sebelumnya yang telah melewati beragam dinamika zaman yang penuh perjuangan -baik di era perjuangan kemerdekaan pada masa kolonial, era setelah kemerdekaan pada masa Orde Lama dan Orde Baru, maupun era reformasi hingga kini. Fase terakhir ini bisa dibilang sebagai fase paling menentukan masa depan Muhammadiyah.

 

Atas dasar itu, para penulis mengusulkan agar dalam menghadapi pergantian abad menuju fase baru ini, Muhammadiyah diharapkan untuk merumuskan ulang orientasi dakwah dan tajdid yang telah menjadi fokus gerakannya selama ini. Dengan demikian, Muhammadiyah akan mampu melintasi zaman dengan penuh kesiapan dan rasa percaya diri untuk menghadirkan risalah Islam sebagai rahmatan lil-alamin.

 

Dalam tulisannya, Dawam melancarkan kritik kepada Muhammadiyah, paling tidak pada dua hal. Yakni, misi praksis Muhammadiyah dan misi teologisnya. Secara praksis, Muhammadiyah menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan. Di usianya yang seabad ini, Muhammadiyah tercatat memiliki belasan ribu sekolah TK-SMA, 167 perguruan tinggi, ratusan panti sosial, dan ribuan amal usaha lainnya, termasuk yang berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi rakyat di berbagai daerah.

 

Namun, menurut Dawam, tidak ada suatu konsep pendidikan distingtif di Muhammadiyah. Tidak ada konsep mengenai sistem pendidikan yang dikatakan sebagai konsep yang dianut oleh Muhammadiyah. Yang ada hanya wujud fisik atau suatu proyek sosial biasa yang dilakukan oleh banyak organisasi keagamaan dan Muhammadiyah salah satu di antaranya. Bahkan, Muhammadiyah hanyalah mengikuti, jika tidak boleh dibilang meniru, kegiatan-kegiatan yang sebelumnya dilakukan oleh misionaris Kristen (hlm. 8).

 

Dalam kritiknya itu, Dawam ingin menunjukkan bahwa konsep dan metodologi pendidikan yang selama ini dikembangkan Muhammadiyah salah satunya hanya dimotivasi untuk menandingi gerakan misionaris Kristen dalam mendirikan sekolah-sekolah umum yang berbasis klasikal. Artinya, yang dikembangkan Muhammadiyah tidak benar-benar murni milik Muhammadiyah sendiri, baik secara konseptual maupun metodologis. Muhammadiyah masih belum melakukan pembaruan sistem pendidikan yang integral sehingga pendidikan Islam masih bersifat dualitas antara pendidikan agama yang tradisional dan ilmu pengetahuan umum.

 

Secara teologis, menurut Dawam, Muhammadiyah mengalami konservatisisme yang akut, meski sejak awal organisasi ini menginjakkan kakinya pada pembaruan Muhammad Abduh. Tidak ada perhatian dari kalangan Muhammadiyah terhadap literatur-literatur para pemikir progresif-liberal kontemporer, misalnya, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abi Zaid, Abid Al-Jabiri, Mohamad Arkuon, dan Ashghar Ali Engineer. Hal itu menunjukkan betapa Muhammadiyah sudah mengalami krisis pemikiran progresif-liberal atau krisis epistemologis. Sejauh ini Muhammadiyah hanya mengembangkan metode ''bayani'' yang bertumpu pada kekuatan teks hingga akhirnya meninggalkan konteksnya.

 

Semboyan yang kerap didengungkan Muhammadiyah, ar-Rujû' ila al-Qur'ân wa as-Sunnah, kembali kepada Alquran dan sunah, telah menjadikan mereka kaum literalis atau tekstualis. Muhammadiyah lupa bahwa kembali pada ajaran Alquran dan sunah juga memiliki makna liberalnya, yaitu dengan cara menafsir kembali bunyi teks dengan tetap memperhatikan kebutuhan zaman. Hanya dengan cara demikian, Islam yang dikembangkan Muhammadiyah melalui konsep dakwah dan tajdidnya akan mendapat simpati publik dan sesuai dengan semangat khitah 1912 sebagai organisasi pembaruan.

 

Membaca buku ini, kita tidak sekadar disuguhi kritik tajam dari pemikiran Dawam Rahardjo. Lebih dari itu, kita akan mengetahui tanggapan dari kalangan anak muda terhadap tulisan Dawam itu. Yang pasti, kehadiran buku ini tidak perlu dipahami sebagai bentuk dari aktualisasi diri Dawam Rahardjo yang penuh dendam karena dia pernah dipecat dari Muhammadiyah. Sesungguhnya, Dawam tidak peduli ke mana Muhammadiyah akan diarahkan. Dia selama ini bersikap semata-mata karena tanggung jawab moral sebagai pemikir yang ingin menghantamkan gagasannya ke sana kemari dengan tetap berpijak pada data dan fakta yang ada.

-------------------------------------------------------------------------

 

Dimuat di Koran Indo Pos/Jawa Pos, 11 Juli 2010

Mohamad Asrori Mulky, peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta


Judul Buku       : Satu Abad Muhammadiyah; Mengkaji Ulang Arah Pembaruan

Penulis             : M. Dawam Rahardjo dkk

Penerbit          : Paramadina & LSAF

Cetakan           : Pertama, Juni 2010

Tebal               : xxxiv + 248 halaman