Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Rabu, 27 Mei 2020

Konspirasi di Balik Pelarangan Tembakau

Rabu, Mei 27, 2020 0

Konspirasi di Balik Pelarangan Tembakau*
Keberadaan tembakau sering memunculkan perdebatan publik di kalangan akademisi dan ahli farmasi. Perdebatan mengenai hal ini, tidak saja terjadi diIndonesia, tapi juga di belahan dunia lainya seperti Eropa, Amerika Latin, dan tentunya Timur Tengah. Sebagian pihak hingga kini masih meyakini tembakau merupakan barang perusak bagi kesehatan tubuh manusia. Karena itu secara teologis dipandang sebagai barang haram dan harus dijauhkan. Secara ekologis tembakau dapat mencemarkan udara dan merusak lingkungan. Sehingga secara sosial tembakau juga akan berakibat pada hubungan yang kurang harmonis antara pecandu tembakau dengan yang anti-tembakau.

Buku yang ada di hadapan Anda ini bukan sedang mempersoalkan apakah tembakau sebagai barang perusak kesehatan atau tidak. Tapi buku “Nicotine War” bermaksud membeberkan pada kita bahwa di balik pelarangan tembakau yang selama ini digencar-gencarkan ada konspirasi besar yang dikendalikan oleh korperasi global. Tentu saja ini merupakan bagian dari misi terselubung, persaingan bisnis. Dengan misi picik ini sebetulnya mereka ingin meraup keuntungan besar setelah industri tembakau hancur bangkrut.
Wanda Hamilton, penulis buku ini, menyajikan fakta dan data hasil riset yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahanya, bahwa dibalik agenda picik yang berskala global tentang pengontrolan atas tembakau terselubung kepentingan besar dari bisnis perdagangan obat-obatan yang dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT).

Hamiltonsadar bahwa apa yang dilakukan NRT merupakan persaingan yang tidak sehat. Perang nikotin sebagaimana yang telah digambarkanHamiltondalam buku ini sudah nyaris dimenangkan oleh korporasi-korporasi farmasi internasional. Salah satu indikasinya adalah suksesnya kampanye global anti tembakau yang mendapat dukungan penuh dari badan internasional kesehatan dunia, WHO, dan para NGO anti tembakau. Dukungan itu tentu saja tidak sekedar dalam bentuk materi, tapi juga moral dan dukungan kebijakan kampanye anti tembakau.

Secara kronologis, gencarnya perang global melwan tembakau diawali dengan peluncuran Prakarsa Bebas Tembakau (Free Tobacco Inisiative) yang merupakan salah satu dari tiga WHO Cabinet Project. Program ini merupakan pelaksanaan kebijakan WHO “Healthfor All in the 21 st Century” (Kesehatan untuk Semua di Abad 21) di bawah rezim Direktur Jenderal WHO, Dr. Gro Harlem Brundtland, mantan Perdana Menteri Norwegia. Doktor dan politisi kawakan ini terpilih jadi pimpinan WHO pada bulan Mei 1998.

Tanpa menunggu waktu yang lama dan prose yang menjelimet, Proyek Prakarsa Bebas Tembakau ini langsung dapat dukungan dana dari tiga korporasi farmasi besar, yakni Pharmacia & Upjohn, Novartis dan GlaxoWellcome. Dalam pidato Brundtland di acara World Economic Forum di Davos, Switzeland, tanggal 30 Januari 1999, Brundtland umumkan kemitraan proyek (Partnership Project) ini. Kenyataan ini merupakan pukulan telak bagi industri tembakau yang sedang dilancarkan kaum anti tembakau dengan berbagai argumentasi dan caranya.

Indonesiayang terkenal sebagai bangsa yang kaya akan rempah-rempah dan penghasil tembakau. Tentu akan merugi jika perang nikotin ini dimenangkan kaum anti tembakau. Betapa tidak,Indonesiaadlah bangsa yang sangat berkepentingan dan bergantung secara nasional terhadap tembakau dengan segala bentuk industrinya. Dan faktanya adalah ada kurang lebih 6 juta rakyatIndonesiayang hidup dan perikehidupanya bergantng pada tembakau. Fakta lain yang perlu diketahui juga adalah bahwa industri tembakau merupakan salah satu kontributor terbesar pendanaan APBN Indonesia.

JikaIndonesiasebagai negara dan masyarakatIndonesiasebagai bangsa ikut-ikutan menyetujui pelarangan tembakau, lalu siapakah yang dapat menanggung dan menyiapkan lapangan pekerjan dan sumber penghidupan bagi 6 juta rakyatIndonesia? Siapakah yang dapat menggantikan sumber pendanaan APBN yang berasal dari industri tembakau dalam negeri yang jumlahnya sangat besar itu? Apakah penggiat anti tembakau yang mendapatkan dana yang tak terhitung dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan bisnis dalam agenda anti tembakau? Apakah pihak yang membiayai kampanye anti tembakau? Atau WHO?

Kita jangan terjebak isu pelarangan anti tembakau hanya karena tembakau dikatan sebagai barang perusak kesehatan tanpa mengetahui agenda besar dibalik pelarangan itu.Hamiltoncukup cerdik membaca kasus ini. Ia tidak ingin melihat ribuan pekerja tembakau di seluruh dunia menjadi korbannya demi kepentingan korperasi yang suka menghisap keringat orang lain.

Selain sebagai seorang peneliti, Hamiltonadalah seorang penulis dan pensiunan akademisi yang disegani. Dia telah meraih gelar M.A dan telah tuntas menyelesaikan tiga tahun studi tingkat doktoral di Bowling Green State University, Ohio. Di samping mengajar di tiga Universitas, Hamiltonbekerja sebagai jurnalis, sebagai seorang spesialis perpustakaan, dan administrator suatu kelompok yang disebut “a group home for adolescent girls”. Selama sembilan tahun terakhir ini Hamilton menjadi seorang periset independen dan menulis isu-isu ilmu pengetahuan dan kebijakan publik yang berhubungan dengan merokok dan hak-hak para perokok. Hamilton juga tampil sebagai seorang komentator “pro-smokers’ choice” di radio dan televisi lokal, nasional, dan internasional.

Sekali lagi, sebagai periset yang terlibat langsung dalam soal tembakau, Hamilton merasakan gejala kuat kesan dan indikasi bahwa kepentingan kesehatan publik (public health) dengan segala kampanye bahaya tembakau hanyalah bungkusan (packaging) dari motif kepentingan bisnis perdagangan produk-produk NRT ini. Atau semacam strategi pemasaran dari produk-produk NRT ini. Karena itu jangan buru-buru mendukung pelarangan anti tembakau, apalagi mengharamkanya tanpa mempertimbangkan dampak buruk terhadap pekerja tembakau yang jumlahnya cukup banyak diIndonesia.

*Mohamad Asrori Mulky (Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta). Lansir dari: www.rimanews.com – 2 Juli 2010.

Selasa, 05 Mei 2020

Kurban Tanda Kekerasan?

Selasa, Mei 05, 2020 0


Kurban Tanda Kekerasan?
Dimuat di Kompas (Rabu, 19 Desember 2007)
Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta


Agama dimulai dengan hening, sunyi, dan senyap," kata Goenawan Mohamad. Keheningan dan kesunyian dalam wajah agama lebih menggambarkan wataknya yang ramah, santun, dan beradab. Karena, itu merupakan misi utama kedatangannya ke muka Bumi.

Namun, dalam seluruh perwujudannya, kemarin dan kini, agama menjadi tanda yang bengis, seram, dan menakutkan. Kita sering menyaksikan pertikaian dan ketegangan atas nama agama. Tak jarang, kita saksikan fenomena klaim kebenaran dan sikap "sok suci" umat beragama.

Uraian itu seakan meneguhkan tesis Paul Tillich soal wajah ganda agama, yang suci dan jahat, Yang suci mengajarkan perdamaian, kasih, dan toleransi, yang jahat mengajarkan permusuhan, kekerasan, dan kebenaran tunggal.

Maka tak heran bila banyak orang mengidentikkan agama sebagai dua sisi mata pedang, yang bisa membabat kawan dan lawan.

Pertanyaannya, sisi mana yang lebih merepresentasikan kesejatian wajah agama? Yang suci atau jahat? Benarkah agama lebih merepresentasikan wataknya yang keras, suka berperang, selalu menumpahkan darah, seperti tercermin dalam tradisi kurban, seperti "tuduhan" Rene Girard?

Kompas

Menghapus kekerasan
Menurut Rene Girard, agama adalah tanda kekerasan. Tradisi kurban merupakan manifestasi kekerasan agama. Atas nama Tuhan, Ibrahim mengorbankan anaknya, dan menciptakan kebengisan, meski akhirnya diganti seekor kambing. Atas nama Tuhan pula, Ibrahim tega mengusik keheningan dan kesunyian watak agama yang ramah.

Munculnya terorisme, bom bunuh diri, perang antarsuku, dan kekerasan berlatar agama kian membuktikan tuduhan Rene Girard itu. Inikah wajah agama sebenarnya? Atau watak umat beragama kita sudah retak? Fenomena kekerasan tidak harus sepenuhnya dialamatkan pada agama, tetapi lebih dari itu, pada umat beragama yang keliru memahami hakikat agama itu sendiri. Mereka terjebak simbol, nama, dan petanda.

Ali Shariati dalam Hajj menepis tuduhan Rene Girard. Ditegaskan, kurban pada dirinya sarat makna simbolis dan makna yang tersirat. Ketika Ibrahim hendak menyembelih Ismail, lalu Tuhan menggantikannya dengan kambing, ini bertujuan menghapus tradisi kuno yang suka mengorbankan nyawa manusia demi kepentingan para dewa dan roh suci yang mereka yakini. Bukan mengafirmasi dan melegitimasi sekian banyak nyawa manusia yang harus melayang.

Peristiwa ini mendakwahkan betapa Tuhannya Ibrahim bukan Tuhan yang bengis, biadab, dan haus darah manusia. Justru, Tuhannya Ibrahim ingin mengembalikan posisi manusia pada harkat, martabat, dan fitrahnya sebagai makhluk yang bebas hidup dan bernapas di Bumi.

Kurban melambangkan upaya mendekatkan diri kepada Tuhan yang dibarengi sikap pasrah, berserah diri, dan pengorbanan secara totalitas. Kurban berasal dari kata Arab qaraba-yaqrabu-qurbanan, berarti mendekati, menghampiri, dan mendatangi. Kurban tidak berarti korban (yang dikurbankan) hingga diidentikkan kekerasan. Ia bukan obyek kekerasan itu sendiri, tetapi peneguhan diri di hadapan Tuhan akan sebuah kemerdekaan mutlak yang harus dicapai.

Simbol
Menanggapi tuduhan Rene Girard soal ritual kurban yang diidentikkannya sebagai kekerasan atas nama Tuhan, langkah utama yang harus dilakukan menggali makna simbolis kurban. Karena, dalam setiap ritual keagamaan ada makna hakiki dari makna simbolisnya.

Ritual-ritual keagamaan hanya sekadar "petunjuk", "isyarat", "petanda", "lambang", dan "simbol-simbol’" yang kadang membuat kita bingung. Berbagai maknanya-lah yang harus dipahami, bukan formalitasnya.

Simbol tidak cukup mewakili dirinya memahami hakikat terdalam dari sebuah makna. Ia hanya bisa mewakili kepentingan atau tafsir individu atau kelompok terbatas pengguna simbol itu. Permainan simbol tak jarang menyihir, menipu, sekaligus memerangkap orang yang terkesima. Rene Girard satu dari sekian banyak orang itu.

Tradisi kurban sarat akan makna simbolik. Memahami kurban sebatas penampakannya, yaitu penyembelihan Ismail akan mengarah pada pemahaman agama yang keras, haus darah, kejam. Kurban simbol totalitas penyerahan diri, pembebasan dari bentuk penindasan dan kekerasan.

Kita patut merenungi ilustrasi yang diberikan Jalaluddin Rumi terkait simbol-simbol ritual agama. Ia mengidentikkan simbol agama dengan sekuntum "mawar". Untuk mendapatkan wangi mawar, bukan dengan mengeja m-a-w-a-r, tetapi harus mencari empu yang punya mawar itu. Jadi kita akan merasakan keharuman bunga mawar itu.

Akhirnya, jangan terburu percaya pada yang tampak karena terkadang ia menipu, mengelabui, dan menyeret kita pada ilusi kebenaran. Tangkaplah makna hakikinya karena di sanalah terdapat kebenaran. Sekali lagi, dalam peristiwa kurban bukan penyembelihan yang diinginkan Tuhan, tetapi totalitas kepasrahan dan penyerahan diri. Bukan kekerasan dan pertumpahan darah yang ingin ditunjukkan, tetapi akhir tradisi mengorbankan nyawa manusia untuk kepentingan para dewa dan roh suci.