Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 24 November 2020

Pemilik ‘Gol Tangan Tuhan’ Kini Pergi Abadi

Selasa, November 24, 2020 0


Publik Argentina berduka. Bahkan dunia. Diego Armando Maradona, pemilik “gol tangan Tuhan” telah pergi menemui Tuhan-nya. Dia pindah ke tempat paling abadi; tempat di mana dia bisa menciptakan “gol tangan Tuhan” berulang kali.

 

Seingat saya, di dunia sepak bola, Maradona punya tempat tersendiri. Bila seseorang mengidolakan pesepakbola lain dan menempatkannya dalam hati, maka Maradona pasti ada di sebelah sisi hati yang lainnya. Tak ada sepakbola tanpa Maradona. Dia dielu-elukan bak pahlawan besar dan dipuja bagai Tuhan (El Dios). “Diego yang terbaik di sini, selamanya,” ujar Jose Luis Shokiva, warga Buenos Aires.

Sayang! sejumlah prestasi, kejayaan, dan nama baik, pada akhirnya tak mampu menolak kenyataan yang mengantarkan Maradona ke tempat paling asali; Tuhan. Wa idza al Maniyyatu Ansabath Adzhfaaraha, Fa Kullu Namimatin Laa Tanfa’ (و إذا المنية أنشبت أظفارها فكل نميمة لا تنفع). Bila kematian sudah menjulurkan jari-jarinya, maka seluruh jampi tidak berguna. Demikian pepatah Arab mengatakan.

“Kematian adalah kepastian”, kata Martin Heidegger (filsuf Jerman), “hidup hanyalah persiapan menjemput kematian. Ada menuju ketiadaan”. Sementara sastrawan realis magis, Danarto, dalam cerpen ‘Jantung Hati’ memisalkan “kematian sebagai pujaan hati. Hasrat utama kehidupan”.

Hidup hanyalah menunggu kematian. Kita tak pernah tahu kapan kematian bakal datang menghampiri. Bahkan tak satu syetan pun tahu di mana, dan bagaimana kematian itu menjemput kita. Masing-masing sudah digariskan batas hidupnya (ajalnya). Kematian benar-benar hak dan nyata.

Kepergian Maradona sangat mengejutkan. Dia divonis mengalami henti jantung, yang menurut ilmu kedokteran, tidak identik dengan serangan jantung. Saya tidak berminat mengulas hal itu karena bukan kapasitas saya. Saya bukan dokter. Saya hanya pengagum biasa Maradona, bukan pengagum ‘garis keras’-nya. C a t a t...!!! 


Kendati pengagum amatiran, saya bisa dibilang cukup mengikuti perjalanan karier sepakbolanya, meski tak sedetail para pengamat  profesional dan pengagum ‘garis kerasnya’. “Gol tangan Tuhan” ke gawang Inggris pada Piala Dunia 1998 di Mexico, menyisakan ingatan yang melekat dalam memori banyak orang, termasuk saya. Seolah peristiwa itu sengaja diletakkan tepat satu inci di depan mata agar terus membayang dalam ingatan.

Bagi publik Argentina, gol bersejarah itu benar-benar dianggap kehendak Tuhan. Tuhan telah “turun” berperan membantu Maradona dan rakyat Argentina. Sementara bagi rakyat Inggris, gol itu telah memberi catatan hitam dalam dunia sepakbola yang seharusnya menjunjung semangat fair play dan kejujuran. Ya, Maradona dinilai curang. Kendati begitu, sang pengadil lapangan (wasit) tetap mengesahkan golnya.

Maradona dicintai sekaligus dibenci. Disanjung. Juga dicaci. Begitulah kodrat hidup orang besar selalu jadi ‘buah bibir’ dengan segala prestasi dan kontroversinya. Saya berkeyakinan, tanpa “gol tangan Tuhan” pun Maradona akan tetap jadi pemain besar. Legenda yang mendunia.

Sepakbola memang tidak lagi sekedar olah raga ‘mencari keringat’. Ia sudah menjelma sebagai industri bisnis, mencari kejayaan, bahkan dianggap menentukan identitas nasional sebuah negara. Tidak heran bila masing-masing negara berikhtiar mencari cara untuk menjadi sang pemenang di ajang Piala Dunia. Cara apa pun ditempuh asal timnya pulang membawa kejayaan bagi negaranya.

Di mata Maradona, sepak bola modern harus mencerminkan kesetaraan bangsa, transparan dan tidak rasis. Dia pernah mengkritik perlakuan rasis kepada pemain Napoli, Kalidou Koulibaly. Sikap seperti ini tentu tidak muncul begitu saja dalam diri sang legenda. Sejauh pengamatan saya, Maradona memiliki hubungan baik dengan tokoh-tokoh di persimpangan kiri jalan yang beraliran sosialis.

Dia sangat dekat dengan kaum sosialis Amerika Latin seperti pemimpin revolusi Kuba Fidel Castro, Hugo Chavez dan Nicolas Maduro dari Venezuela, Evo Morales (Bolivia), serta Daniel Ortega (Nicaragua). Mereka paling tidak suka melihat ketidakadilan, imperialisme, rasisme dan diskriminasi dalam aneka wajah dan bentuknya.

Sebagai pesepakbola sejati, Maradona tidak rela bila dunia yang membesarkan namanya itu dikotori kelakuan bejat oknum tertentu. Maradona pernah mengkritik FIFA karena dianggap melakukan skandar korupsi atas penunjukkan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 mendatang.

El Pibe d'Oro, julukan bagi Maradona, yang berarti “si anak emas”, memang punya gaya hidup yang unik. Di lapangan dia berperan sebagai pemimpin dan pahlawan bagi negaranya. Namun di luar lapangan dia letakan kebesaran namanya itu dan memilih hidup merakyat.

***

Saya sendiri mengenal Maradona dari jarak yang terlampau jauh; terpisah benua dan batas-batas teritorial dua negara. Saya tidak pernah bertemu secara fisik, ngobrol sambil ngupi, apalagi menyentuhnya secara langsung. Saya hanya mengenalnya dari mainan gambar-gambaran atau cover buku tulis yang memuat wajahnya.

Kala itu, saya masih duduk di sekolah dasar (SD Negeri Jiput 1), tepat di kaki Gunung Karang, Pandeglang, ujung Pulau Jawa bagian Barat. Anak-anak sepantaran saya sering menyebut-nyebut nama “Maradona...Maradona...Maradona”. Padahal kami tidak pernah melihat aksinya di lapangan. Hanya mendengar kehebatannya saja dari cerita lisan tetangga.

Selain Maradona, ada nama besar yang sering kami sebut-sebut, yaitu Mike Tyson. Berbeda dengan Maradona, petinju kelas berat ini sering kami saksikan aksinya di layar televisi yang masih berwarna jadul, hitam putih. Waktu itu, saya pernah membayangkan Tyson hanya bisa dikalahkan oleh orang Indonesia. Saya berpikir pukulan maut Tyson tidak akan merontokan “ilmu karang”. Betapapun pukulan maut Tyson sering mengenai sasaran, lawannya akan tetap berdiri kokoh. Malah hanya dengan satu pukulan “Aji Cadas Ngampar” atau “Aji Sigoro Geni” atau “Aji Rengkah Gunung”, Tyson bisa langsung jatuh terkapar.


 

Tapi rupanya hal itu tidak akan pernah terjadi. Sebab dalam arena adu tinju tiap petarung mesti mengikuti aturan yang berlaku. Menggunakan ilmu kesaktian atau kedigdayaan tentu sangat dilarang, bahkah terlarang keras.

Dalam beberapa kesempatan, saya juga sering meniru gaya Maradona dalam mengolah si kulit bundar. Hasilnya tidak mengecewakan. Saya mampu melewati beberapa pemain, lalu kemudian menciptkana gol. Tapi, dalam beberapa usaha, saya juga sering gagal. Hidup memang harus mencoba. Perihal sukses atau gagal, hanyalah hasil yang bisa menghampiri siapa saja.

Maradona, kini telah pergi abadi. Dia sudah menjadi primadona. Dia akan menemui Tuhan, Sang Pengadil yang Paling Adil. Kepada-Nya, dia bisa meminta pendapat perihal “gol tangan Tuhan” yang kerap diperselisihkan banyak orang di dunia. Di surga, dia akan main bola lagi. Dia tidak berminat dengan 70 bidadari cantik. Sebab, dia sudah mendapatkannya di dunia. Lagi pula, dia tidak mempercayainya.

Que en paz descanse (beristirahatlah dengan tenang), Diego!

Sabtu, 31 Oktober 2020

Puasa di tengah Bahaya Corona

Sabtu, Oktober 31, 2020 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Pada momen suci yang mengajak kita khusuk beribadah selama bulan Ramadhan, kita malah dihadapkan pada momen kelam yang mempertaruhkan nyawa manusia akibat pandemi corona. Kesucian dan kekhusukan beribadah di ruang publik agaknya akan tidak lagi terlihat seperti sedia kala.

Bila di tahun-tahun sebelumnya, ratusan ribu bahkan jutaan umat Islam memadati masjid-masjid menggelar tarawih, buka puasa bahkan sahur bersama. Suasana penuh syahdu itu sepertinya nyaris sulit diwujudkan seiring munculnya kebijakan penutupan rumah-rumah ibadah.

Tapi langkah semacam itu perlu ditempuh demi menghilangkan kemadharatan (kerusakan) yang lebih luas, agar corona tidak mudah tersebar ke sembarang orang. “Dar’u al al-Mafâsid Muqoddamun ‘Alâ Jalbi al-Masâlih”, menghilangkan kemadharatan lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemashlahatan.

Corona sudah jadi teror global—semacam bayang-bayang yang menakutkan, padahal wujudnya tak lagi terbayangkan. Jutaan orang terpapar dan ratusan ribu jiwa menggelepar. Masyarakat dipenuhi kengerian yang mencekam, waswas dan sakwa sangka terhadap manusia lain. Sementara kita harus menyambut puasa yang kedatangannya tepat beberapa saat di pelupuk mata.

Hikmah Corona

Wabah corona bukan kehendak kita. Kita pun tak pernah mengharapkan kehadiranya walau sesaat. Rumah-rumah ibadah yang ditutup sementara waktu juga bukan atas keinginan kita. Kita malah berharap bisa menyongsong puasa dengan khusuk tafakur di masjid-masjid, memperbanyak zikir, dan berbagi empati dengan yang lain.

Tapi yakinlah dalam masa sulit seperti ini, selalu ada titik terang dari gelap. Pada setiap peristiwa yang tergelar di atas muka bumi terselip hikmah bagi orang-orang yang mau berpikir. Daripada mengutuk kegelapan lebih baik menyalakan lilin mesti terangnya tak mampu menerangi bumi. Kita harus merenung, melihat ke dalam diri, apa makna di balik fakta mengerikan yang kita hadapi saat ini.

“Gunung, lautan, langit, bumi, dan padang pasir adalah fakta”, kata Mohamad Iqbal dalam Javid Namah, “tapi yang kita inginkan adalah makna”. Begitu pula dengan fakta corona, kita mesti tahu makna di dalamnya. Mungkin tepat apa yang dikatakan Kahlil Gibran dahulu kala, semua yang ada di alam ini adalah lambang, simbol dan tanda. Perlu dipecahkan, diungkap pesan terdalam dari yang nampak.

Corona memberi jeda pada kita dari kehidupan duniawi, bahwa hidup bukan soal harta tapi juga keluarga. Bila selama ini gairah mencari harta melenakan kita dari keluarga, corona memberi waktu untuk bisa berkumpul. Sehingga simpul-simpul keluarga yang hampir memudar bisa dieratkan kembali. Momen karantina mengenbalikan kita pada kebersamaan antara sesama anggota keluarga.

Kepakaan untuk saling berbagi pada yang lain juga diuji, sejauh mana nurani kita peduli pada nasib orang. Sebagai umat beragama, penghambaan pada Sang pencipta dan penyapaan pada sesama menjadi dasar doktrin setiap agama. Kita patut jengkel pada umat beragama yang lebih mengedepankan seleberasi beragama tapi lupa memberi perhatian pada kaum miskin yang membutuhkan uluran tangan. Corona mengingatkan kaum beragama dan orang kaya agar tidak lupa pada fungsinya sebagai hamba penyapa.

Corona mengajak kita menepi, kembali ke alam spiritual yang paling asali dan primordial. Di sanalah akar tempat kita berasal, alam di mana kita pernah menggelar janji untuk setia pada Sang Pencipta. Boleh jadi dalam pengembaraan selama di dunia kita tercerabut dari akar asalnya, maka saatnya kita kembali ke rumah spiritual itu—untuk mengingat “perjanjian purba” kata Cak Nur. Di sanalah momen perjumpaan paling khusuk dan penuh syahdu akan kita tempuh, mengolah batin dari yang selain Tuhan.

Ramadhan = Pembakaran

Puasa dilaksanakan pada bulan Ramadhan yang berarti membakar. Tenggorokan orang yang berpuasa mengering karena haus dan perut mereka panas karena menahan rasa lapar. Mistikus ternama Maulana Rumi mengatakan, “Rasa manis yang tersembunyi,
ditemukan di dalam perut yang kosong ini”.

Sesekali tubuh ini perlu jeda dari nafsu memburu. Perut yang dipadati makanan dalam sebelas bulan terakhir perlu diistirahatkan agar lemak penyakit terbakar. Hanya dengan meninggalkan hasrat kebendaan, hidangan langit akan terbuka lebar. Saat seluruh anggota tubuh dikunci rapat-rapat dari iri, dengki, angkuh, dusta dan gemar menimbun harta, maka penglihatan ruhani akan tersingkap dengan jelas.

Di bulan suci ini, kaum sufi selalu mengingatkan agar kita mematikan nafsu selama hidup, “Mûtû qabla an Tamûtû”. Salah satunya adalah dengan mempuasakan (menahan) sifat-sifat tercela yang tersarang dalam diri. Puasa diyakini menciptakan ruang jiwa yang bening, sehingga lorong-lorong jiwa yang terhalang awan gelap bisa tersingkap.

Momentum puasa merefleksikan pembakaran ego dan peleburan keakuaan yang angkuh. Puasa juga mengasah kepekaan pada sesama apalagi di saat wabah corona melanda dunia. Semoga puasa yang kita jalani ini mampu membakar ego yang ada di dalam diri kita. Selain itu juga bisa membakar virus corona sehingga wabah ini cepat berakhir. Marhaban ya Ramadhan!

Senin, 08 Juni 2020

Syaikh Yusuf al-Makassari

Senin, Juni 08, 2020 0
Mohamad Asrori Mulky, Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.
Rasanya tidak berlebihan bila menyebut Syaikh Yusuf Al-Makassari sebagai pejuang pengembara. Jejaknya melampaui batas-batas negara dan benua: Sulawesi Selatan, Banten, hingga Arabia, Srilanka dan Afrika Selatan. Ia tak hanya dikenal sebagai da’i, ulama, dan ahli tarekat, tapi juga pejuang anti-kolonial. Bersama kesultanan Banten, Syaikh Yusuf menentang penjajahan Belanda meski harus diasingkan ke Ceylon, Srilanka, dan dibuang ke Cape Town, Afrika Selatan.

Ketokohannya, kata Taufik Ismail, sudah lebih dari seorag Pahlawan Nasional. November 1995, Presiden Soeharto kala itu, menjadikannya Pahlawan Nasional dan Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia. Sementara Presiden Afrika Selatan Nelseon Mandella, pada 1994 telah lebih dulu menganugerahi Syaikh Yusuf sebagai Pejuang Kemanusiaan. Mandella menyebutnya putra terbaik Afrika Selatan. Dan oleh pendukungnya di kalangan rakyat Sulawesi Selatan, ia digelari Tuanta Salamaka ri Gowa (Guru Kami yang Agung dari Gowa).

Konteks Historis
Syaikh Yusuf dilahirkan di Tallo, pada 3 Juli 1626 M, bertepatan dengan 8 Syawal 1036 H. Menurut silsilah yang disimpan oleh anak cucunya di Makassar (Takalar dan Sudiang) ayah Syaikh Yusuf bernama Abdullah Khaidir. Dalam risalahnya, Hasyiyah fi Kitaab al-Anbaai fi I’raab Laa Ilaaha Illallah, juga disebutkan ayahnya bernama Abdullah. Ibunya bernama Siti Aminah, memiliki hubungan darah dengan raja-raja Gowa. Ia meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72 tahun. 

Di usia 3-4 tahun, Syaikh Yusuf belajar ilmu al-Qur’an kepada Daeng Ri Tasammang. Ia juga belajar ilmu agama kepada seorang ulama besar, mufti Haramaen Makah dan Madinah, Syaikh Sayyid BaaAlwi Assegaf bin Abdullah al-Allaamatuttahir Assegaf di Bontoala Makassar. Dan di usia16-17 tahun, Syaikh Yusuf belajar tasawuf pada as-Syaikh Sayyid Jalaluddin al-Aidid dari Hadramaut. Berkat arahan dua guru yang terakhir inilah Syaikh Yusuf berangkat ke Mekah dan Madinah untuk menimba ilmu. Kebetulan saat itu, kerajaan Gowa yang tengah berkembang membutuhkan kader ulama dari bangsanya sendiri.

Pada 22 September, tepatnya saat usia Syaikh Yusuf 18 tahun, ia berangkat menuju Mekah melalui pelabuhan Somba Opu menumpang kapal Melayu. Oleh karena jalan pelayaran niaga pada waktu itu mesti melalui laut Jawa dan transit di Banten (Jawa Barat), maka beliaupun ikut singgah di pusat bandara kesultanan Banten. Syaikh Yusuf tiba di Banten pada masa Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdul Qadir yang memerintah tahun 1596-1651. Di Banten, ia juga bersahabat dengan putra mahkota, Abdul Fattah, yang kelak menjadi raja Banten dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.

Setelah beberapa lama berada di Banten, kemudian beliau meneruskan perjalanannya ke Aceh Darussalam sebelum melanjutkan perjalanannya ke Jazirah Arabia. Di Aceh beliau berkenalan dengan seorang tokoh ulama dan pemimpin serta khalifah “Tariqah al-Qadiriyyah” di Aceh, yaitu Syekh Muhammad Jilani bin Hasan bin Muhammad Hamid al-Raniriy.

Syaik Yusuf menghabiskan waktunya selama transit di Banten dan Aceh lebih kurang lima tahun. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Yaman. Setelah itu menunaikan ibadah haji di Mekah dan berziarah ke makam Nabi Muhammad di Madinah. Kemudian ia pergi ke Syria dan terakhir ke Turki. Setelah kurang lebih 23 tahun mengembara, Syaikh Yusuf kembali ke Tanah Air pada tahun 1668 M.  

Di Tanah Air, Syaikh Yusuf dianggap menjadi duri dalam daging oleh Belanda. Di Banten, Syaikh Yusuf menjadi ulama besar. Sultan Ageng Tirtayasa mengangkatnya menjadi qadli (hakim) dan guru tarekat. Karena kondisi Banten saat itu sedang mengalami peperangan dengan Belanda, Syaikh Yusuf diangkat oleh Sultan sebagai panglima perang. Sejak saat itulah pasukan Banten yang dipimpin Syaikh Yusuf berulang kali memukul mundur pasukan Belanda.

F. de Haan dalam bukunya “Priangan Jilid III”, menceritakan pengepungan Belanda terhadap pasukan Banten yang dipimpin Syaik Yusuf. Belanda yang mengadakan pengejaran secara teratur dan terus menerus akhirnya bisa menangkap Syaikh Yusuf dan putra Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Purbaya. Pada 1683, Syaikh Yusuf diasingkan ke Ceylon, Srilanka. Selama di Ceylon, Syaikh Yusuf menulis sejumlah kitab seperti, Hab al-Warid, Tuhfat al-Labib, Safinah an-Najah, Zubdat al-Asrar, dan Tuhfat al-Rabaniyah. 

Karena dituduh menjadi penyebab terjadi pemberontakannya di Jawa, Syaikh Yusuf pada 1694, bersama 49 Syaikh Yusuf dibuang ke Cape Town, Afrika Selatan. Meski dalam pengasingan dan pembuangan, Syaikh Yusuf tetap menularkan semangat perlawanan dan nsionalisme pada pengikutnya. Perjuangan Syaikh Yusuf melawan Belanda berlangsung kurang lebih 23 tahun, yaitu sejak usianya masih 34 tahun. Ketokohannya sebagai ulama besar dan ahli tarekat tak membuat Syaikh Yusuf melupakan kewajibannya sebagai anak bangsa untuk berjuang mengusir Belanda.

Kontribusi
Sebagai ulama pengembara dari satu daerah ke daerah lain, dan dari satu negara ke negara lain, membuat Syaikh Yusuf bukan lagi milik orang Bugis di Sulawesi Selatan. Tapi sudah milik masyarakat Banten, muslim Srilanka dan Afrika Selatan. Karena jasanya yang begitu besar untuk Islam, Azyumardi Azra menyebut Syaikh Yusuf sebagai “pembangkit” atau “penghidup” Islam di Afrika Selatan. Ialah peletak dasar kehadiran komunitas Muslim di Ceylon dan Afrika Selatan. Ia juga, oleh Taufik Ismail, disebut inspirator bagi pejuang anti-apartheid di abad ke-20.

Dalam hal ini Nelson Mandella tak segan-segan menyebut Syaikh Yusuf “putra Afrika, pejuang teladan kami”. Mandella yang terlahir dengan nama Rolihlahla Mandela mampu menggulingkan pemerintahan rasis yang diberlakukan kaum kulit putih di awal abad ke-20 sampai dengan awal tahun 1990-an. Semuanya, sedikit banyak, karena terinspirasi dari kegigihan Syaikh Yusuf yang anti-kolonial dan penindasan.

Bagi warga Cape Town, Syaihk Yusuf tidak hanya diakui sebagai ulama dan pendakwah, namun juga pejuang bagi rakyat Afrika. Daerah tempat tinggal Syaikh Yusuf di Cape Town diberi nama sebagai kawasan Macassar untuk menghormati tempat asalnya. Kampung Macassar ini terletak di Distrik Stellenbosch, kawasan perkebunan anggur, 40 kilometer dari jantung kota Cape Town. Hingga kini, keturunan Syaikh Yusuf yang terdapat di kampung Macassar, Afrika Selatan, masih ada. 

Gelarnya sebagai Al-Taj Al-Khalwati, “Mahkota tarekat Khalwatiyah” memberi gambaran betapa pengaruh Syaikh Yusuf dalam penyebaran tarekat di Indonesia, terutama tarekat Khalwatiyah, begitu penting. Martin van Bruinessen sampai berani menyimpulkan bahwa Syaikh Yusuf adalah orang pertama yang menyebarkan tarekat Khalwatiyah di Indonesia, dan di Sulawesi tarekat ini dihubungkan dengan namanya, Khalwatiyah Yusuf. Hingga kini, tarekat yang didapat Syaik Yusuf dari ulama Damaskus, Abu Barakat Ayyub bin Ahmad Al-Khalwati Al-Quraisyi ini, masih diterima masyarakat.

Sabtu, 06 Juni 2020

Syaikh Nawawi Al-Bantani

Sabtu, Juni 06, 2020 0

Mohamad Asrori Mulky, Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.
 
Saya pertama kali mengenal sosok ini dari suatu jarak yang teramat jauh. Jarak yang membuat saya mustahil menemuinya, apalagi menyentuh fisiknya secara langsung. Karena memang, beliau sudah wafat pada 1897 lalu. Kita doakan, semoga almarhum ditempatkan di sisi Allah SWT. Amin ya Rabb ‘Alamin!

Awal memutuskan menulis Syaikh Nawawi, imajinasi saya langsung tertuju pada Snouck Hurgronje. Di dunia intelektual, dia dianggap paling otoritatif bicara mengenai putra Banten ini. Terutama terkait kegiatan ilmiahnya di Mekah. Hampir dipastikan, semua penulis mengenai ulama ini mendasarkan datanya pada laporan Snouck Hurgronje.

Jika saya boleh menyebut—tentu hanya sebagian nama saja. Adalah Karel A. Steenbrink, Martin van Bruinessan, dan Azyumardi Azra; mereka tidak dapat menghindar dari deskripsi Snouck Hurgronje tatkala menulis tentang Syaikh Nawawi. Demikianlah watak ilmiah yang mensyaratkan rujukan utamanya pada kesaksian peneliti; Snouck Hurgronje.

Mari kita kembali pada tema pembahasan. Syaikh Nawawi memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad Nawawi ibn Umar Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani. Disebut Al-Bantani karena dia berasal dari Banten. Sedangkan Al-Jawi merujuk muasalnya yang Jawah, sebutan untuk para pendatang Nusantara bahkan Asia Tenggara di Mekah. Kala itu belum ada nama Indonesia melainkan Jawah atau Jawa.

Di dunia kepengarangan, Syaik Nawawi sangat mumpuni dalam tafsir. Kedalaman pemahamannya dalam ilmu ini dapat dibuktikan seperti terlihat dalam Marah al-Labid li Kasyfi Ma’na Qur’an al-Majid alias Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil. Dan karena kitab inilah dia dijuluki “Sayyid Ulama Al-Hijaz” yang berarti “Penghulu Ulama Hijaz”. Sebuah gelar yang pantas disematkan kepadanya.

Setahu saya, hingga kini Al-Munir masih menjadi rujukan penting dalam studi tafsir di Universitas al-Azhar, Kairo. Sesuatu yang jarang terjadi ada karya anak bangsa dikaji di negeri orang. Apalagi Mesir, pusat perdaban dan ilmu pengetahuan Islam dulu dan kini. Sungguh sangat membanggakan kita semua.

Selain mahir dalam ilmu tafsir, Syaikh Nawawi juga mempuni dalam ilmu fikih, hadis, tasawuf, akhlak, dan tauhid. Tak heran bila Louis Ma’luf mengabadikan nama Syaikh Nawawi dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah wal ‘Ulum. Sebuah kamus, yang oleh kalangan santri dijadikan rujukan untuk mencari kosa kata bahasa Arab.

Konteks Historis
Syaikh Nawawi lahir dari pasangan K.H. Umar bin ‘Arabi dan Nyai Zubaidah, di Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Wafat pada 25 Syawal 1314 H/1897 M. Dan dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, istri terkasih Nabi Muhammad Saw.

Untuk menghormati perjuangan dan kontribusi Syaikh Nawawi dalam khazanah keilmuan Islam, masyarakat Tanara, Tirtayasa, Banten setiap tahunnya di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal menggelar acara haul bersama. Ribuan santri dari berbagai daerah datang mendoakan almarhum.

Ditinjau dari silsilahnya, Syaikh Nawawi merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), yaitu keturunan dari putera Maulana Hasanuddin (Sultan Banten Pertama) yang bernama Pangeran Suryararas (Tajul Arsy).

Nasabnya dari garis ayah tersambung sampai Nabi Muhammad Saw melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra. Sementara dari garis ibu jika dirunut terus akan sampai pada para bangsawan Kesultanan Banten dan Sunan Gunung Jati.

Di usia 5 tahun, Syaikh Nawawi mendapat bimbingan dan pengajaran dari ayahnya ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Setelah kurang lebih 3 tahun lamanya menimba ilmu agama pada sang ayah, Nawawi kecil bersama dua saudaranya, Tamim dan Ahmad, belajar pada Haji Sahal, seorang guru ternama di Banten kala itu. Setelah itu, Syaikh Nawawi nyantri di Purwakarta, Jawa Barat, pada Kiai Yusuf.

Di usia 15 tahun, dua tahun setelah ayahnya wafat, Syaikh Nawawi pergi haji untuk pertama kalinya. Di sana ia tinggal selama kurang lebih 3 tahun. Setelah itu Syaikh Nawawi pulang ke Banten. Tidak lama kemudian, ia kembali lagi ke Mekah dan tinggal di sana untuk selama-lamanya.

C. Brockelmann mengungkapkan, Syaikh Nawawi kembali ke Mekah lantaran tidak betah tinggal di tanah kelahirannya karena sering mendapat tekanan dari pemerintah Belanda agar tidak memberikan pengajaran agama pada masyarakat.

Di Mekah, sebelum ia menjadi seorang alim, ia telah belajar kepada sejumlah ulama terkenal di Haramain, di antaranya pada Syaikh Ahmad Al-Nahrawi, Syaikh Sayyid Ahmad Al-Dimyati, Syaikh Sayyid Ahmad Dahlan, dan Syaikh Muhammad Khatib Al-Hambali (Azyumardi, Jaringan Ulama, 2007).

Selain menjadi murid, Syaikh Nawawi juga menjadi guru banyak murid dari berbagai daerah di Indonesia, Asia dan Timur Tengah. Tidak kurang dari 200 orang menyimak setiap pengajaran Syaik Nawawi di Masjidil Haram.

Tidak sedikit orang Indonesia-Melayu yang belajar padanya, dan kebanyakan dari mereka kemudian menjadi kiai-kiai di banyak pesantren di Jawa. Sebut saja misalnya, KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Kiai Kholil Bangkalan, Kiai Mahfudz Termas, KH. Asnawi Caringin, hingga tokoh penentu dalam peristiwa Geger Cilegon 1888, Haji Wasith dan KH. Tubagus Ismail.

Saat peristiwa pemberontakan petani Banten itu terjadi, Syaikh Nawawi memang tidak berada di Banten. Di Mekah, ia tetap menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh dan masyarakat Banten melalui orang-orang yang pergi haji. Di antaranya Haji Wasith dan KH. Tubagus Ismail.

Kepada jama’ah haji Indonesia, Syaikh Nawawi kerap mengobarkan semangat api nasionalisme dan perlawanan terhadap penjajah. Tidak mengherankan jika kampanye anti-penjajahan yang diletupkan Syaikh Nawawi di Mekah itu, mampu membakar semangat murid-muridnya untuk melakukan pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah Belanda.

Kondisi ini membuat Belanda panik. Mereka kemudian mengutus Snouck Hurgronje guna memata-matai gerak-gerik dan aktivitas Syaikh Nawawi dan jama’ah haji Indonesia di Mekah. Menurutnya, saat itu Banten paling banyak mengirim orang berhaji ke Mekah dibandingkan daerah lain di Indonesia.  

Alhasil, aktivitas haji dari koloni Jawa, dan Banten pada khususnya, dianggap menjadi ancaman serius bagi pemerintah Belanda. Sartono Kartodirdjo berpandangan, selama ada orang-orang yang naik haji, maka selama itu pula berlangsung terus hubungan-hubungan regional-politik yang esensial antara Mekah dan masyarakat-masyarakat Islam yang paling jauh sekalipun. Oleh karena itu dapat dipahami, mengapa pemerintah kolonial mengawasi dengan seksama perjalanan naik haji itu.

Kontribusi
Di tengah kesibukannya mengajar di Masjidil Haram, Syaikh Nawawi meluangkan waktu untuk menulis. Martin van Bruinessen menyebut Syaikh Nawawi sebagai ulama produktif. Karya-karyanya banyak dibaca kalangan santri Indonesia dan dunia.

Yousuf Alian Sarkis dalam Dictionari of Araboc Printed Books menyebutkan ada 38 buah karya Syaikh Nawawi yang telah diterbitkan oleh penerbit Mesir dan Arab. Sementara itu Yayasan An-Nawawi, Tanara, Banten—yayasan yang didirikan pada 1980 oleh keturunan Syaikh Nawawi—memiliki koleksi 41 judul karya Syaikh Nawawi yang sudah dicetak.

Dalam catatat C. Brockelmann, Syaikh Nawawi telah menulis paling tidak tentang 9 bidang disiplin pengetahuan, yakni tafsir, fikih, ushuluddin, ilmu tauhid, tasawuf, kehidupan nabi, tata bahasa Arab, hadist, dan akhlak.

Salah satu karya Syaikh Nawawi yang sangat dikagumi ulama Mekah dan Mesir hingga kini adalah Tafsir al-Munir. Kitab yang terdiri dari 2 jilid ini pertama kali dipublikasikan di Kairo, Mesir, pada 1887 M. Karel A. Steenbrink sampai pada kesimpulan, Tafsir al-Munir dalam banyak hal kecil lebih lengkap ketimbang Tafsir Anwar a-Tanzil karya Ahmad Baidhawi.

Di antara kitab-kitab Syaik Nawawi yang menjadi bacaan wajib para santri dan kiai hingga kini adalah Tafsir al-Munir, Sullam at-Taufiq, Maraqi al-‘Ubudiyyah, Nashaih al-‘Ibad, Qami’ ath-Thuggyan, Kasyifat as-Saja’, Nihayah az-Zain, ‘Uqudu al-Lujain, dan Fathu al-Majid.

Banyak madrasah di Patani, Yala, Satun, dan Narathiwat di Muangthai Selatan memakai kitab karangan Syaikh Nawawi sebagai buku pegangan. Begitu juga dengan madrasah-madrasah di Mindanai, Filipina Selatan, melakukan hal yang sama. Karya-karya itu kemudian menyebar ke Malaysia dan dijadikan bahan bacaan standar di pesantren-pesantren.

Karya-karya Syaikh Nawawi juga menyebar di kawasan Timur Tengah seperti Arab, Mesir, Afrika Utara, Yaman, Syiria, Beirut. Bahkan menurut Hamka menyebar hingga Turki dan Hidustan (Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, 1982).





Rabu, 27 Mei 2020

Konspirasi di Balik Pelarangan Tembakau

Rabu, Mei 27, 2020 0

Konspirasi di Balik Pelarangan Tembakau*
Keberadaan tembakau sering memunculkan perdebatan publik di kalangan akademisi dan ahli farmasi. Perdebatan mengenai hal ini, tidak saja terjadi diIndonesia, tapi juga di belahan dunia lainya seperti Eropa, Amerika Latin, dan tentunya Timur Tengah. Sebagian pihak hingga kini masih meyakini tembakau merupakan barang perusak bagi kesehatan tubuh manusia. Karena itu secara teologis dipandang sebagai barang haram dan harus dijauhkan. Secara ekologis tembakau dapat mencemarkan udara dan merusak lingkungan. Sehingga secara sosial tembakau juga akan berakibat pada hubungan yang kurang harmonis antara pecandu tembakau dengan yang anti-tembakau.

Buku yang ada di hadapan Anda ini bukan sedang mempersoalkan apakah tembakau sebagai barang perusak kesehatan atau tidak. Tapi buku “Nicotine War” bermaksud membeberkan pada kita bahwa di balik pelarangan tembakau yang selama ini digencar-gencarkan ada konspirasi besar yang dikendalikan oleh korperasi global. Tentu saja ini merupakan bagian dari misi terselubung, persaingan bisnis. Dengan misi picik ini sebetulnya mereka ingin meraup keuntungan besar setelah industri tembakau hancur bangkrut.
Wanda Hamilton, penulis buku ini, menyajikan fakta dan data hasil riset yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahanya, bahwa dibalik agenda picik yang berskala global tentang pengontrolan atas tembakau terselubung kepentingan besar dari bisnis perdagangan obat-obatan yang dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT).

Hamiltonsadar bahwa apa yang dilakukan NRT merupakan persaingan yang tidak sehat. Perang nikotin sebagaimana yang telah digambarkanHamiltondalam buku ini sudah nyaris dimenangkan oleh korporasi-korporasi farmasi internasional. Salah satu indikasinya adalah suksesnya kampanye global anti tembakau yang mendapat dukungan penuh dari badan internasional kesehatan dunia, WHO, dan para NGO anti tembakau. Dukungan itu tentu saja tidak sekedar dalam bentuk materi, tapi juga moral dan dukungan kebijakan kampanye anti tembakau.

Secara kronologis, gencarnya perang global melwan tembakau diawali dengan peluncuran Prakarsa Bebas Tembakau (Free Tobacco Inisiative) yang merupakan salah satu dari tiga WHO Cabinet Project. Program ini merupakan pelaksanaan kebijakan WHO “Healthfor All in the 21 st Century” (Kesehatan untuk Semua di Abad 21) di bawah rezim Direktur Jenderal WHO, Dr. Gro Harlem Brundtland, mantan Perdana Menteri Norwegia. Doktor dan politisi kawakan ini terpilih jadi pimpinan WHO pada bulan Mei 1998.

Tanpa menunggu waktu yang lama dan prose yang menjelimet, Proyek Prakarsa Bebas Tembakau ini langsung dapat dukungan dana dari tiga korporasi farmasi besar, yakni Pharmacia & Upjohn, Novartis dan GlaxoWellcome. Dalam pidato Brundtland di acara World Economic Forum di Davos, Switzeland, tanggal 30 Januari 1999, Brundtland umumkan kemitraan proyek (Partnership Project) ini. Kenyataan ini merupakan pukulan telak bagi industri tembakau yang sedang dilancarkan kaum anti tembakau dengan berbagai argumentasi dan caranya.

Indonesiayang terkenal sebagai bangsa yang kaya akan rempah-rempah dan penghasil tembakau. Tentu akan merugi jika perang nikotin ini dimenangkan kaum anti tembakau. Betapa tidak,Indonesiaadlah bangsa yang sangat berkepentingan dan bergantung secara nasional terhadap tembakau dengan segala bentuk industrinya. Dan faktanya adalah ada kurang lebih 6 juta rakyatIndonesiayang hidup dan perikehidupanya bergantng pada tembakau. Fakta lain yang perlu diketahui juga adalah bahwa industri tembakau merupakan salah satu kontributor terbesar pendanaan APBN Indonesia.

JikaIndonesiasebagai negara dan masyarakatIndonesiasebagai bangsa ikut-ikutan menyetujui pelarangan tembakau, lalu siapakah yang dapat menanggung dan menyiapkan lapangan pekerjan dan sumber penghidupan bagi 6 juta rakyatIndonesia? Siapakah yang dapat menggantikan sumber pendanaan APBN yang berasal dari industri tembakau dalam negeri yang jumlahnya sangat besar itu? Apakah penggiat anti tembakau yang mendapatkan dana yang tak terhitung dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan bisnis dalam agenda anti tembakau? Apakah pihak yang membiayai kampanye anti tembakau? Atau WHO?

Kita jangan terjebak isu pelarangan anti tembakau hanya karena tembakau dikatan sebagai barang perusak kesehatan tanpa mengetahui agenda besar dibalik pelarangan itu.Hamiltoncukup cerdik membaca kasus ini. Ia tidak ingin melihat ribuan pekerja tembakau di seluruh dunia menjadi korbannya demi kepentingan korperasi yang suka menghisap keringat orang lain.

Selain sebagai seorang peneliti, Hamiltonadalah seorang penulis dan pensiunan akademisi yang disegani. Dia telah meraih gelar M.A dan telah tuntas menyelesaikan tiga tahun studi tingkat doktoral di Bowling Green State University, Ohio. Di samping mengajar di tiga Universitas, Hamiltonbekerja sebagai jurnalis, sebagai seorang spesialis perpustakaan, dan administrator suatu kelompok yang disebut “a group home for adolescent girls”. Selama sembilan tahun terakhir ini Hamilton menjadi seorang periset independen dan menulis isu-isu ilmu pengetahuan dan kebijakan publik yang berhubungan dengan merokok dan hak-hak para perokok. Hamilton juga tampil sebagai seorang komentator “pro-smokers’ choice” di radio dan televisi lokal, nasional, dan internasional.

Sekali lagi, sebagai periset yang terlibat langsung dalam soal tembakau, Hamilton merasakan gejala kuat kesan dan indikasi bahwa kepentingan kesehatan publik (public health) dengan segala kampanye bahaya tembakau hanyalah bungkusan (packaging) dari motif kepentingan bisnis perdagangan produk-produk NRT ini. Atau semacam strategi pemasaran dari produk-produk NRT ini. Karena itu jangan buru-buru mendukung pelarangan anti tembakau, apalagi mengharamkanya tanpa mempertimbangkan dampak buruk terhadap pekerja tembakau yang jumlahnya cukup banyak diIndonesia.

*Mohamad Asrori Mulky (Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta). Lansir dari: www.rimanews.com – 2 Juli 2010.

Selasa, 05 Mei 2020

Kurban Tanda Kekerasan?

Selasa, Mei 05, 2020 0


Kurban Tanda Kekerasan?
Dimuat di Kompas (Rabu, 19 Desember 2007)
Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta


Agama dimulai dengan hening, sunyi, dan senyap," kata Goenawan Mohamad. Keheningan dan kesunyian dalam wajah agama lebih menggambarkan wataknya yang ramah, santun, dan beradab. Karena, itu merupakan misi utama kedatangannya ke muka Bumi.

Namun, dalam seluruh perwujudannya, kemarin dan kini, agama menjadi tanda yang bengis, seram, dan menakutkan. Kita sering menyaksikan pertikaian dan ketegangan atas nama agama. Tak jarang, kita saksikan fenomena klaim kebenaran dan sikap "sok suci" umat beragama.

Uraian itu seakan meneguhkan tesis Paul Tillich soal wajah ganda agama, yang suci dan jahat, Yang suci mengajarkan perdamaian, kasih, dan toleransi, yang jahat mengajarkan permusuhan, kekerasan, dan kebenaran tunggal.

Maka tak heran bila banyak orang mengidentikkan agama sebagai dua sisi mata pedang, yang bisa membabat kawan dan lawan.

Pertanyaannya, sisi mana yang lebih merepresentasikan kesejatian wajah agama? Yang suci atau jahat? Benarkah agama lebih merepresentasikan wataknya yang keras, suka berperang, selalu menumpahkan darah, seperti tercermin dalam tradisi kurban, seperti "tuduhan" Rene Girard?

Kompas

Menghapus kekerasan
Menurut Rene Girard, agama adalah tanda kekerasan. Tradisi kurban merupakan manifestasi kekerasan agama. Atas nama Tuhan, Ibrahim mengorbankan anaknya, dan menciptakan kebengisan, meski akhirnya diganti seekor kambing. Atas nama Tuhan pula, Ibrahim tega mengusik keheningan dan kesunyian watak agama yang ramah.

Munculnya terorisme, bom bunuh diri, perang antarsuku, dan kekerasan berlatar agama kian membuktikan tuduhan Rene Girard itu. Inikah wajah agama sebenarnya? Atau watak umat beragama kita sudah retak? Fenomena kekerasan tidak harus sepenuhnya dialamatkan pada agama, tetapi lebih dari itu, pada umat beragama yang keliru memahami hakikat agama itu sendiri. Mereka terjebak simbol, nama, dan petanda.

Ali Shariati dalam Hajj menepis tuduhan Rene Girard. Ditegaskan, kurban pada dirinya sarat makna simbolis dan makna yang tersirat. Ketika Ibrahim hendak menyembelih Ismail, lalu Tuhan menggantikannya dengan kambing, ini bertujuan menghapus tradisi kuno yang suka mengorbankan nyawa manusia demi kepentingan para dewa dan roh suci yang mereka yakini. Bukan mengafirmasi dan melegitimasi sekian banyak nyawa manusia yang harus melayang.

Peristiwa ini mendakwahkan betapa Tuhannya Ibrahim bukan Tuhan yang bengis, biadab, dan haus darah manusia. Justru, Tuhannya Ibrahim ingin mengembalikan posisi manusia pada harkat, martabat, dan fitrahnya sebagai makhluk yang bebas hidup dan bernapas di Bumi.

Kurban melambangkan upaya mendekatkan diri kepada Tuhan yang dibarengi sikap pasrah, berserah diri, dan pengorbanan secara totalitas. Kurban berasal dari kata Arab qaraba-yaqrabu-qurbanan, berarti mendekati, menghampiri, dan mendatangi. Kurban tidak berarti korban (yang dikurbankan) hingga diidentikkan kekerasan. Ia bukan obyek kekerasan itu sendiri, tetapi peneguhan diri di hadapan Tuhan akan sebuah kemerdekaan mutlak yang harus dicapai.

Simbol
Menanggapi tuduhan Rene Girard soal ritual kurban yang diidentikkannya sebagai kekerasan atas nama Tuhan, langkah utama yang harus dilakukan menggali makna simbolis kurban. Karena, dalam setiap ritual keagamaan ada makna hakiki dari makna simbolisnya.

Ritual-ritual keagamaan hanya sekadar "petunjuk", "isyarat", "petanda", "lambang", dan "simbol-simbol’" yang kadang membuat kita bingung. Berbagai maknanya-lah yang harus dipahami, bukan formalitasnya.

Simbol tidak cukup mewakili dirinya memahami hakikat terdalam dari sebuah makna. Ia hanya bisa mewakili kepentingan atau tafsir individu atau kelompok terbatas pengguna simbol itu. Permainan simbol tak jarang menyihir, menipu, sekaligus memerangkap orang yang terkesima. Rene Girard satu dari sekian banyak orang itu.

Tradisi kurban sarat akan makna simbolik. Memahami kurban sebatas penampakannya, yaitu penyembelihan Ismail akan mengarah pada pemahaman agama yang keras, haus darah, kejam. Kurban simbol totalitas penyerahan diri, pembebasan dari bentuk penindasan dan kekerasan.

Kita patut merenungi ilustrasi yang diberikan Jalaluddin Rumi terkait simbol-simbol ritual agama. Ia mengidentikkan simbol agama dengan sekuntum "mawar". Untuk mendapatkan wangi mawar, bukan dengan mengeja m-a-w-a-r, tetapi harus mencari empu yang punya mawar itu. Jadi kita akan merasakan keharuman bunga mawar itu.

Akhirnya, jangan terburu percaya pada yang tampak karena terkadang ia menipu, mengelabui, dan menyeret kita pada ilusi kebenaran. Tangkaplah makna hakikinya karena di sanalah terdapat kebenaran. Sekali lagi, dalam peristiwa kurban bukan penyembelihan yang diinginkan Tuhan, tetapi totalitas kepasrahan dan penyerahan diri. Bukan kekerasan dan pertumpahan darah yang ingin ditunjukkan, tetapi akhir tradisi mengorbankan nyawa manusia untuk kepentingan para dewa dan roh suci.