Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Rabu, 22 September 2021

Kedai Kopi dan Anak-Anak Revolusi

Rabu, September 22, 2021 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Revolusi lahir dari kedai kopi, yang sengaja diselundupkan oleh sekelompok anak-anak muda ke dalam rahim ibu pertiwi.

 

Dari sanalah (kedai kopi) benih-benih perubahan dirancang dan gelora perlawanan dinyalakan. Ada yang perlu dirobohkan. Ada yang mesti dihancurkan. Sebab pemimpin tiran dan tata nilai yang merusak peradaban, tak cukup dibasuh dengan air mata penderitaan.

 

Api revolusi menyala saat “cangkir-cangkir kemapanan” itu diremukan, saat gema perlawanan ditalu hingga terdengar memenuhi sudut-sudut ruangan, saat batas paling akhir dari cita-cita anak-anak revolusi di sebuah negeri tak lagi didengar.

 

Revolusi dimulai dari kedai kopi, saat rasa pahit dan getir direguk bersama, berubah menjadi daya. Daya yang bisa merobohkan dinding-dinding kekuasan yang tadinya kokoh tegak berdiri.

 

Kedai kopi, kini, bukan sekedar tempat melepas dahaga untuk saling tukar cerita. Bukan lagi tempat berteduh dari banyak pergulatan yang membuat lelah. Juga bukan persinggahan dari perjalanan hidup yang kalah.

 

Dia sudah menjadi titik temu dari ragam aliran pemikiran dan ideologi. Tempat silang pendapat dari kalangan akademisi, intelektual, aktivis, politisi, dan sastrawan. Setidaknya, itu yang terjadi di Mesir, seperti tersaji dalam novel memorial “Karnak Cafe” karya Najib Mahfudz ini.

 

Karnak Cafe, menggambarkan situasi Mesir di akhir 1960-an. Mesir yang bermodal kepercayaan tinggi pasca revolusi 1952, harus menerima kenyataan pahit, kalah terhina dalam perang enam hari 1967. Kekalahan dari Israel menyisakan luka dan trauma, sangat membekas dalam ingatan (memori) penduduk negeri Piramid.

 

Spirit sosialisme Arab (Pan-Arabisme) yang pernah dipercikkan Gamal Abdul Nasser ke dalam jiwa anak-anak revolusi Mesir, sempat menumbuhkan gairah kebangsaan (nasionalisme) dan optimisme. Namun, kekalahan 1967 itu telah merubah segalanya. Situasi Mesir menjadi pelik dan runyam. Rakyat mengalami kekecewaan, depresi, dan kehilangan arah.

 

Sementara sepak terjang Anwar Sadat yang sewenang-wenang kian memperumit keadaan. Banyak darah tertumpah sejak Sadat dikukuhkan menjadi presiden. Para ekstrimis agama, politisi, dan intelektual kiri dibersihkan. Para penyetia Revolusi 1952 ditangkap tanpa proses pengadilan. Semua itu dilakukan dengan alasan ketertiban.

 

Dalam situasi porak dan saling curiga itulah, politik diberbincangkan oleh orang-orang dari berbagai latar belakang di Kafe Karnak, di ujung jalan al-Mahdi, Kairo. Pemilik kedai kopi itu bernama Qurunfula, mantan bintang tari Mesir yang di usia mendekati senjanya masih berparas cantik, bertubuh menawan, memesona banyak orang. 

 

Novel ini, boleh jadi, ekspresi dari bentuk kemarahan penulisnya terhadap situasi Mesir yang kian merosot (al-Nakshah). Seperti karya-karya lainya, Najib Mahfudz, masih setia menggunakan cara bercerita satu narator dan sudut pandang tunggal. Eksplorasi prosaiknya tidak berjarak dari realitas keseharian penulis dan situasi Mesir kala itu. Siapa pun bisa dengan mudah mengikuti alur cerita novel ini. Saya sendiri cukup menikmati.

 

Kisahnya dimulai saat “aku” (narator)—identitasnya disembunyikan hingga akhir cerita—singgah di sebuah kedai kopi Karnak, milik Qurunfula. Di sana “aku” menemukan sekelompok orang dengan latar belakang berbeda membahas situasi politik Mesir yang kian kalut. Mereka kecewa dan marah dengan sikap represif pemerintah terhadap siapa pun yang berbeda pandangan ideologi.

 

Alih-alih mengembalikan stabilitas negeri, pemerintah menahan anak-anak Revolusi 1952 seperti Hilmi Hamada, Ismail Syeikh, dan Zainab Diyab. Ketiganya merupakan tokokh imajiner, rekaan Najib Mahfudz. Mereka dituduh pembangkang yang tidak setia pada semangat revolusi.

 

Hilmi Hamada, pengunjung setia Karnak berkali-kali dipenjara, dituduh sebagai pengkhianat revolusi hanya karena dianggap komunis. Kekasih hati Qurunfula ini, harus meregang nyawa di penjara setelah menerima ragam siksaan. Sementara jasadnya tak diketahui dimakamkan di mana.

 

Ismail Syeikh mengalami nasib serupa. Beberapa kali keluar masuk penjara. Dia dituduh antek Ikhwanul Muslimin (IM), gerakan bawah tanah yang jadi target Sadat untuk diberangus. Sementara Zaenab Diyab mengalami peristiwa paling memilukan dalam hidupnya, dicabuli di salah satu ruang interogasi. Zaenab ditangkap karena memiliki hubungan khusus dengan Ismail Syeikh.

 

Singkat cerita, banyak aktivis revolusi yang sering berkumpul di Karnak ditangkap. Tidak diketahui siapa yang membocorkan kegiatan mereka. Tak jelas lagi siapa kawan, siapa lawan. Situasi cukup mencekam. Semua benda yang tergeletak seolah bisa bicara. Para pengunjung saling curiga, hingga tak ada lagi kenyamanan saat menikmati suguhan kopi.

 

Tidak ada harga yang murah untuk sebuah revolusi. Terkadang, revolusi memakan anak kandungnya sendiri. Apa yang dikisahkan Najib Mahfudz, mengingatkan kita pada tragedi berdarah penculikan para jenderal yang terjadi di Indonesia di tahun 1965. Para pahlawan revolusi itu harus menemui ajal dengan jalan yang tragis: diculik lalu dimasukan ke Lubang Buaya.

 

Sebagai sastrawan realis, Najib Mahfudz cukup berhasil menggambarkan seluruh jalan cerita dari masing-masing tokoh. Kepiawaiannya dalam menulis tak perlu diragukan. Dari tangannya tidak kurang dari 40 novel dan ratusan cerita pendek yang telah dia tulis. 1988 dia meraih Nobel Sastra, orang Arab pertama yang mendapat penghargaan tersebut.

 

Dalam karier kepengarangannya, Najib Mahfudz tidak bisa dilepaskan dari kedai kopi. Salah satu kafe yang sering disinggahi adalah El-Fishawi. Beberapa karyanya ditulis di sana, seperti Khan Khalili, al-Bidayah wa al-Nihayah, Awlad Haratina, dan lain-lain.

 

El-Fishawi jadi tempat primadona. Pengunjung datang silih berganti. Konon, El-Fishawi, pernah menjadi persinggahan tokoh dan pemikir besar, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Saa’ad Zaghlul, Mustafa Kamil, Abbas Mahmud Akkad, Ahmad Amin, Thaha Husein, dan Ahmad Syauqi. Bahkan dua filsuf eksistensial Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir, juga sempat merasakan sensasi tempatnya.

 

Sastrawan Mesir, Ahmad Bahauddin, dalam Ayyam laha Tarikh (Hari-hari yang Memiliki Sejarah), mengisahkan Kafe Mitatia yang punya andil besar dalam mengubah sejarah Mesir. Dia menceritakan, revolusi 1919 melawan imperialisme Inggris digodok di Mitatia. Anak-anak revolusi yang berasal dari latar belakang berbeda, berkumpul di sini. Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Sa’ad Zaglul, dan beberapa tokoh penting lain sempat singgah. Bukan untuk sekedar meminum kopi. Tapi membicarakan masa depan Mesir agar lepas dari Inggris.

 

 ---------------------------------------------------------------------------

Judul              : Karnak Cafe

Penulis           : Najib Mahfudz

Penerbit         : Alvabet, Jakarta

Tebal              : 166 Halaman