Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Minggu, 02 Juli 2023

Hassan Hanafi

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Salah satu gagasan penting Hassan Hanafi adalah Kiri Islam (al Yasâr al Islâmî), yang tidak dimaksudkan olehnya Islam berbaju Marxisme atau bentuk eklektik antara Islam dan Marxisme. Kiri Islam adalah gerakan anti kemapanan yang bersumber dari agama dengan wataknya yang paling revolusioner.

 

Dalam al Dîn wa al Tsaurah, Hassan Hanafi menyebut agama sebagai revolusi (al dîn fî Dzâtihi Tsaurah), di mana di dalamnya ada daya juang dan api perlawanan yang harus disusupkan kedalam setiap aliran darah umat, agar tidak tersumbat mental ‘menyerah sebelum berjuang’ (fatalisme). Api peralawanan itulah yang harus terus dikobarkan dan mendarahi kehidupan umat.

 

Karena watak agama yang revolusioner itu, maka tembok-tembok kemapanan mesti dibongkar, dihancurkan, demi tercipta tatanan baru, era baru yang lebih maju. Para nabi penyebar agama, seperti Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad, adalah para revolusioner sejati, yang membawa misi pembebasan untuk mewujudkan masyarakat egaliter tanpa penindasan.

 

Dalam sejarah panjang para nabi. Nabi Ibrahim berjasa dalam merevolusi tauhid setelah sebelumnya menghancurkan berhala-berhala yang dituhankan; Nabi Musa datang menantang otoritarianisme Firaun, yang kesombongannya hampir menyundul langit; Nabi Isa merevolusi ruh manusia dari dominasi materialisme; dan Nabi Muhammad muncul sebagai penantang sistem kapitalisme elite Quraisy yang menjerat ekonomi kaum papa.

 

Semangat perubahan dan anti-kemapanan itulah yang ingin ditularkan Hassan Hanafi melalui proyek intelektualnya, Kiri Islam. Gagasan Kiri Islam, saya kira, perlu dikebumikan agar berjejak di bumi, tempat manusia hidup. Bukan dilesatkan ke langit demi kepentingan Tuhan. Apalagi realitas objektif umat Islam masa kini kian tercecer di tubir bangsa lain.

 

Secara umum, umat Islam masih terbelakang di banyak hal; politik, ekonomi, budaya, seni, dan ilmu pengetahuan. Awan gelap kebodohan, kemiskinan, penindasan, dan diskriminasi masih menyelimuti mereka. Sementara negara-negara Arab-Islam masih terjebak dalam pusaran konflik dan perang saudara yang tiada henti. Akibatnya, mereka limbung menghadapi kemajuan Barat yang melesat cepat seperti kilat.

 

Keadaan umat kian tak berdaya ketika gagal keluar dari dogmatisme agama yang kian mengakar dalam benak umat. Agama dimaknai sebatas ritual bukan sebagai nilai etik dan moral; dilihat sebatas kulit luar sementara isinya ditanggalkan. Dogmatisme agama, menurut Hassan Hanafi, tidak lain, hanyalah upaya menghilangkan kritisisme dan menumpulkan akal waras manusia semata.

 

Dalam konteks inilah, Kiri Islam hadir untuk menegaskan komitmennya pada pemikiran rasionalistik-ilmiah, yang telah dirintis dan dikembangkan oleh Al Kindi dan Ibn Rusyd pada beberapa abad silam. Kiri Islam bukan sekedar nama tanpa makna. Dia adalah simbol perlawanan, perjuangan, dan pemberontakan atas nilai yang dimapankan atau tradisi yang disakralkan. Kiri Islam tak mengenal status quo atau kelas sosial yang dipermanenkan.

 

Hassan Hanafi adalah salah satu pemikir Islam kontemporer yang paling sahih dan fasih bicara soal turâts wa tajdîd (tradisi dan pembaruan). Pandangannya mengenai Oksidentalisme (Muqadimah fî al ‘Ilm al Istigrâb) mendapat sambutan positif dari publik, meski diakui tidak sedikit juga yang mengkritiknya, semisal Ali Harb, menyebut oksidentalisme bak ‘kitab ramalan masa depan’ semata.

 

Hassan Hanafi adalah satu di antara putra terbaik yang pernah dimiliki Mesir. Dilahirkan di Kota Kairo, 13 Februari 1935, dan wafat di usia 86 tahun pada 21 Oktober 2021 lalu. Kita doakan semoga seluruh gagasan dan dharma bakti intelektualnya di dunia menebar manfaat bagi kelangsungan umat manusia, khususnya umat Islam.

 

Sebagaimana Mohammed Arkoun—yang dikenal dengan Kritik Nalar Islam—Hassan Hanafi juga menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Universitas Sorbonne, Prancis. Di kampus inilah Hassan Hanafi menulis disertasi berjudul “Essai sur la Methode d’Exegese” mengenai metode penafsiran (hermeneutik), dan kemudian (disertasi) dinobatkan sebagai karya ilmiah terbaik.

 

Penguasaan Hassan Hanafi terhadap tradisi Islam dan Barat begitu luas dan mendalam. Hingga pada suatu hari Ali Harb memujinya sebagai pemikir dengan visi yang jauh kedepan, produktif mengahsilkan karya, dan kritis melihat persoalan. Dalam Naqd Al Nash, Ali Harb memasukkan Hassan Hanafi kedalam jajaran pemikir raksasa bersama Arkoun, Abed Al Jabiri, Adonis, dan Nasr Hamid Abu Zaed.

 

Tulisan ini, hanyalah catatan kecil dari gagasan besar Hassan Hanafi mengenai Kiri Islam. Saya tidak bermaksud mengulasnya secara mendalam, tapi mencoba merefleksikan gagasan Hassan Hanafi yang mendalam itu. Istilah Kiri Islam, menurut Kazuo Shimogaki, pertama kali digunakan Ahmad Gabbas Salih dalam al Yamîn wa al Yasâr fî al Islâm.

 

Dalam karyanya itu, Ahmad Salih memaksudkan Kiri sebagai simbol perlawanan atas penindasan dan perjuangan memperoleh persamaan hak dan kewajiban bagi seluruh rakyat. Kiri adalah simbol anti kemapanan. Bila selama ini, Kiri, dimaknai sangat pejoratif. Maka sesungguhnya, Kiri, kata Hassan Hanafi, secara politik adalah perlawanan, dan secara akademik adalah kritisisme.

 

Dan karena itu, Kiri Islam adalah perlawanan yang terus menerus dan menciptakan kritisisme terhadap tradisi dan dogma yang dimapankan. Kiri Islam Hassan Hanafi bukanlah suatu mazhab baru dalam Islam, teologi, maupun fiqih. Kiri Islam punya misi mulia, mempersatukan umat Islam yang porak dan terbelah; dan mewujudkan kebebasan, keadilan dan kemajuan.

 

Hassan Hanafi mempopulerkan istilah Kiri Islam dalam jurnal al Yasâr al Islâm: Kitâbât fî al Nahdhah al Islâmiyah (Kiri Islam: Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam) yang terbit hanya sekali di tahun 1981. Pada terbitan perdana, Hassan Hanafi menulis sebuah artikel dengan judul “Mâdza Ya’nî al Yasâr al Islâmî”. Di situ dia mengurai isu-isu penting berkaitan dengan kebangkitan Islam, yang dalam istilahnya disebut Shahwah al Islâm atau Yaqzhah al Islâm.

 

Kiri Islam bisa dikatakan refleksi intelektual Hassan Hanafi atas semua kekacauan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan intelektual, yang terjadi di dunia Arab-Islam. Dalam jurnal yang terbit sekali itu, Hassan Hanafi memetakan dua problem laten yang mengepung umat Islam. Pertama problem dari luar seperti kolonialisme, kapitalisme, dan zionisme. Dan kedua problem dari dalam seperti kemiskinan, penindasan, kebodohan, dan keterbelakangan.

 

Kiri Islam, ibarat suluh yang menerangi gelapnya malam. Seluruh persoalan yang menirai masa depan umat Islam, melalui Kiri Islam, akan disingkap, dan diberi jalan yang lapang untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan yang merata. Kejahatan kolonialisme Barat dalam sejarah kemanusiaan pernah melahirkan penderitaan dan trauma yang mendalam dalam diri umat Islam. Kiri Islam menyuarakan perlawanan terhadap segala bentuk kolonialisme dan penindasan kemanusiaan.

 

Proyek Kiri Islam Hassan Hanafi bila dipadatkan meliputi tiga pilar yang ingin diwujudkan; pertama, kebangkitan Islam; kedua, revolusi Islam; dan ketiga, adalah kesatuan umat Islam. Pilar pertama, Kiri Islam ingin merevitalisasi khazanah Islam klasik yang mandeg karena hilangnya semangat ijtihad. Umat Islam masih takut melahirkan gagasan baru yang keluar dari kesepatan umum.

 

Umat Islam masih belum bisa bebas dari taklid buta dan sikap dogmatis yang pasif. Karena itu, Hassan Hanafi dengan Kiri Islam-nya menawarkan rasionalisme, berpikir kritis dan analitis sebagaimana para filsuf Islam terdahulu. Hanya dengan cara itu, keniscayaan untuk maju bisa segera dicapai, dan kebangkitan umat bisa terwujud.

 

Pilar kedua, revolusi Islam bisa dimulai dengan menjadikan Barat sebagai objek kajian bukan subjek atas Islam. Bila selama ini Islam menjadi objek Barat. Maka cara pandang itu harus segera dialihkan dengan menjadikan Barat sebagai objek Islam. Di sinilah relevansi oksidentalisme Hassan Hanafi sebagai antitesa dari orientalisme.

 

Dan pilar ketiga adalah kesatuan umat. Di tengah kondisi umat yang porak poranda akibat perang saudara yang berkepanjangan, Kiri Islam, yang mengambil semangat perjuangan al Afghani punya misi mulia mempersatuan Umat Islam. Persatuan dan kesatuan umat menjadi modal kekuatan yang bisa melepaskan diri dari belenggu bangsa lain, terutama Barat.

Tidak ada komentar: