Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 24 November 2020

Pemilik ‘Gol Tangan Tuhan’ Kini Pergi Abadi

Selasa, November 24, 2020 0


Publik Argentina berduka. Bahkan dunia. Diego Armando Maradona, pemilik “gol tangan Tuhan” telah pergi menemui Tuhan-nya. Dia pindah ke tempat paling abadi; tempat di mana dia bisa menciptakan “gol tangan Tuhan” berulang kali.

 

Seingat saya, di dunia sepak bola, Maradona punya tempat tersendiri. Bila seseorang mengidolakan pesepakbola lain dan menempatkannya dalam hati, maka Maradona pasti ada di sebelah sisi hati yang lainnya. Tak ada sepakbola tanpa Maradona. Dia dielu-elukan bak pahlawan besar dan dipuja bagai Tuhan (El Dios). “Diego yang terbaik di sini, selamanya,” ujar Jose Luis Shokiva, warga Buenos Aires.

Sayang! sejumlah prestasi, kejayaan, dan nama baik, pada akhirnya tak mampu menolak kenyataan yang mengantarkan Maradona ke tempat paling asali; Tuhan. Wa idza al Maniyyatu Ansabath Adzhfaaraha, Fa Kullu Namimatin Laa Tanfa’ (و إذا المنية أنشبت أظفارها فكل نميمة لا تنفع). Bila kematian sudah menjulurkan jari-jarinya, maka seluruh jampi tidak berguna. Demikian pepatah Arab mengatakan.

“Kematian adalah kepastian”, kata Martin Heidegger (filsuf Jerman), “hidup hanyalah persiapan menjemput kematian. Ada menuju ketiadaan”. Sementara sastrawan realis magis, Danarto, dalam cerpen ‘Jantung Hati’ memisalkan “kematian sebagai pujaan hati. Hasrat utama kehidupan”.

Hidup hanyalah menunggu kematian. Kita tak pernah tahu kapan kematian bakal datang menghampiri. Bahkan tak satu syetan pun tahu di mana, dan bagaimana kematian itu menjemput kita. Masing-masing sudah digariskan batas hidupnya (ajalnya). Kematian benar-benar hak dan nyata.

Kepergian Maradona sangat mengejutkan. Dia divonis mengalami henti jantung, yang menurut ilmu kedokteran, tidak identik dengan serangan jantung. Saya tidak berminat mengulas hal itu karena bukan kapasitas saya. Saya bukan dokter. Saya hanya pengagum biasa Maradona, bukan pengagum ‘garis keras’-nya. C a t a t...!!! 


Kendati pengagum amatiran, saya bisa dibilang cukup mengikuti perjalanan karier sepakbolanya, meski tak sedetail para pengamat  profesional dan pengagum ‘garis kerasnya’. “Gol tangan Tuhan” ke gawang Inggris pada Piala Dunia 1998 di Mexico, menyisakan ingatan yang melekat dalam memori banyak orang, termasuk saya. Seolah peristiwa itu sengaja diletakkan tepat satu inci di depan mata agar terus membayang dalam ingatan.

Bagi publik Argentina, gol bersejarah itu benar-benar dianggap kehendak Tuhan. Tuhan telah “turun” berperan membantu Maradona dan rakyat Argentina. Sementara bagi rakyat Inggris, gol itu telah memberi catatan hitam dalam dunia sepakbola yang seharusnya menjunjung semangat fair play dan kejujuran. Ya, Maradona dinilai curang. Kendati begitu, sang pengadil lapangan (wasit) tetap mengesahkan golnya.

Maradona dicintai sekaligus dibenci. Disanjung. Juga dicaci. Begitulah kodrat hidup orang besar selalu jadi ‘buah bibir’ dengan segala prestasi dan kontroversinya. Saya berkeyakinan, tanpa “gol tangan Tuhan” pun Maradona akan tetap jadi pemain besar. Legenda yang mendunia.

Sepakbola memang tidak lagi sekedar olah raga ‘mencari keringat’. Ia sudah menjelma sebagai industri bisnis, mencari kejayaan, bahkan dianggap menentukan identitas nasional sebuah negara. Tidak heran bila masing-masing negara berikhtiar mencari cara untuk menjadi sang pemenang di ajang Piala Dunia. Cara apa pun ditempuh asal timnya pulang membawa kejayaan bagi negaranya.

Di mata Maradona, sepak bola modern harus mencerminkan kesetaraan bangsa, transparan dan tidak rasis. Dia pernah mengkritik perlakuan rasis kepada pemain Napoli, Kalidou Koulibaly. Sikap seperti ini tentu tidak muncul begitu saja dalam diri sang legenda. Sejauh pengamatan saya, Maradona memiliki hubungan baik dengan tokoh-tokoh di persimpangan kiri jalan yang beraliran sosialis.

Dia sangat dekat dengan kaum sosialis Amerika Latin seperti pemimpin revolusi Kuba Fidel Castro, Hugo Chavez dan Nicolas Maduro dari Venezuela, Evo Morales (Bolivia), serta Daniel Ortega (Nicaragua). Mereka paling tidak suka melihat ketidakadilan, imperialisme, rasisme dan diskriminasi dalam aneka wajah dan bentuknya.

Sebagai pesepakbola sejati, Maradona tidak rela bila dunia yang membesarkan namanya itu dikotori kelakuan bejat oknum tertentu. Maradona pernah mengkritik FIFA karena dianggap melakukan skandar korupsi atas penunjukkan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 mendatang.

El Pibe d'Oro, julukan bagi Maradona, yang berarti “si anak emas”, memang punya gaya hidup yang unik. Di lapangan dia berperan sebagai pemimpin dan pahlawan bagi negaranya. Namun di luar lapangan dia letakan kebesaran namanya itu dan memilih hidup merakyat.

***

Saya sendiri mengenal Maradona dari jarak yang terlampau jauh; terpisah benua dan batas-batas teritorial dua negara. Saya tidak pernah bertemu secara fisik, ngobrol sambil ngupi, apalagi menyentuhnya secara langsung. Saya hanya mengenalnya dari mainan gambar-gambaran atau cover buku tulis yang memuat wajahnya.

Kala itu, saya masih duduk di sekolah dasar (SD Negeri Jiput 1), tepat di kaki Gunung Karang, Pandeglang, ujung Pulau Jawa bagian Barat. Anak-anak sepantaran saya sering menyebut-nyebut nama “Maradona...Maradona...Maradona”. Padahal kami tidak pernah melihat aksinya di lapangan. Hanya mendengar kehebatannya saja dari cerita lisan tetangga.

Selain Maradona, ada nama besar yang sering kami sebut-sebut, yaitu Mike Tyson. Berbeda dengan Maradona, petinju kelas berat ini sering kami saksikan aksinya di layar televisi yang masih berwarna jadul, hitam putih. Waktu itu, saya pernah membayangkan Tyson hanya bisa dikalahkan oleh orang Indonesia. Saya berpikir pukulan maut Tyson tidak akan merontokan “ilmu karang”. Betapapun pukulan maut Tyson sering mengenai sasaran, lawannya akan tetap berdiri kokoh. Malah hanya dengan satu pukulan “Aji Cadas Ngampar” atau “Aji Sigoro Geni” atau “Aji Rengkah Gunung”, Tyson bisa langsung jatuh terkapar.


 

Tapi rupanya hal itu tidak akan pernah terjadi. Sebab dalam arena adu tinju tiap petarung mesti mengikuti aturan yang berlaku. Menggunakan ilmu kesaktian atau kedigdayaan tentu sangat dilarang, bahkah terlarang keras.

Dalam beberapa kesempatan, saya juga sering meniru gaya Maradona dalam mengolah si kulit bundar. Hasilnya tidak mengecewakan. Saya mampu melewati beberapa pemain, lalu kemudian menciptkana gol. Tapi, dalam beberapa usaha, saya juga sering gagal. Hidup memang harus mencoba. Perihal sukses atau gagal, hanyalah hasil yang bisa menghampiri siapa saja.

Maradona, kini telah pergi abadi. Dia sudah menjadi primadona. Dia akan menemui Tuhan, Sang Pengadil yang Paling Adil. Kepada-Nya, dia bisa meminta pendapat perihal “gol tangan Tuhan” yang kerap diperselisihkan banyak orang di dunia. Di surga, dia akan main bola lagi. Dia tidak berminat dengan 70 bidadari cantik. Sebab, dia sudah mendapatkannya di dunia. Lagi pula, dia tidak mempercayainya.

Que en paz descanse (beristirahatlah dengan tenang), Diego!