Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 15 Agustus 2023

Soekarno

Selasa, Agustus 15, 2023 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Ketika Soekarno dijuluki Putra Sang Fajar. Itu karena dia menjadi suluh di tengah gelapnya nasib bangsa yang ratusan tahun dijajah tak kunjung merdeka. Dia tanamkan harapan pada jiwa rakyat semesta bahwa sinar kebebasan akan segera terbit di pelupuk bangsa paling dekat.

 

Soekarno bukanlah tokoh fiktif atau legenda. Dia nyata, hadir dalam realitas bangsa Indonesia yang menyejarah. Dilahirkan pada 6 Juni 1901, di Peneleh, Surabaya, tepat ketika matahari menyingsing di sebelah Timur. Itulah mengapa dia dijuluki Putra Sang Fajar.

 

“Bersama dengan kelahiranku, menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru, dan menyingsing pulalah fajar dari suatu abad yang baru”, demikian Soekarno mengisahkan momen kelahirannya pada Cindy Adams, wartawan Amerika, penulis buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.

 

Di hari ketika Soekarno dilahirkan, Indonesia memang masih dalam cengkeraman imperialisme Belanda. Keadaan Ibu Pertiwi kala itu kian suram ketika anak-anak bumiputera dijadikan budak di negerinya sendiri. Keringatnya diperas. Tenaganya diperah tak ubahnya sapi perah; tanpa perlakukan yang layak dan upah yang memadai.

 

Sumber daya alam Bumi Pertiwi dikeruk, dieksploitasi untuk keuntungan Belanda. Sementara kebutuhan mendasar rakyat semesta (Indonesia) seperti keadilan, kesejahteraan, keamanan, dan kenyamanan tidak terpenuhi. Penindasan demi penindasan dengan segala bentuk dan wujudnya terus terjadi, bahkan dilegalkan demi kepentingan kaum penjajah.

 

“Indonesia masih berada di zaman yang gelap”, kata Soekarno. Zaman yang disebut oleh Prabu Jayabaya sebagai zaman kalabendhu. Zaman gonjang-ganjing, zaman edan tanpa keadilan, tanpa arah dan panutan. Zaman yang dalam istilah Adonis (Ali Ahmad Said), disebut “zaman yang merepih seperti pasir”, rapuh, mudah dipecah-belah, karena tak berjangkar ke akar jati diri.

 

Dalam gelap malam seperti itu, Indonesia tidak sekedar memerlukan bintang penuntun yang memberi arah ke jalan yang terang, tapi juga sinar fajar yang mengusir sisa-sisa kelam dari pekatnya malam. Indonesia membutuhkan sosok Satria Pingit (Ratu Adil) yang mampu menghantarkan bangsa ini ke depan pintu gerbang kemerdekaan yang hakiki.

 

Dalam keyakinan masyarakat Jawa, Satria Piningit (Ksatria Tersembunyi) adalah pemimpin masa depan yang hadir membawa kemakmuran, keberkahan, keadilan, dan kebebasan bagi rakyat. Satria Piningit yang ditunggu-tunggu kehadirannya itu kemudian menitis dan mewujud pada diri Soekarno, Putra Sang Fajar, Presiden Indonesia Pertama, Sang Pemimpin Besar Revolusi.

 

Muncul sebagai Satria Piningit, Soekarno membopong Indonesia ke posisi terhormat. Bukan hanya oleh sebab telah lepas dari kaum kolonial tapi juga mulai dipandang dunia internasional. Dia membawa bangsa ini ke era baru, zaman baru, yaitu Indonesia pasca revolusi (kemerdekaan). Tetapi semangat revolusi yang telah diletupkan itu, nyalanya harus tetap dijaga, bila perlu lebih dikobarkan biar menyala-nyala meski kemerdekaan sudah diraih secara mutlak. Soekarno mengatakan, revolusi Indonesia harus Kiri bukan Kanan.

 

Kiri berarti perlawanan dan anti kemapanan. Kiri adalah ideologi perjuangan melawan kesewenang-wenang, penindasan, penjajahan, eksploitasi, ketidakadilan, dan sejenisnya yang harus menjadi komitmen bersama bangsa ini. Sebaliknya, ideologi kanan yang ditentang Soekarno tidak hanya berarti melanggengkan status quo, tapi juga memungkinkan tumbuhnya otoriterianisme, kolonialisme, dan imperialisme model baru.

 

Pandangan Kiri Soekarno, tentu saja, selain banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan berhaluan kiri seperti Che Guevara, juga sedikit banyak dipengaruhi paham Marxisme-Leninisme yang dia telaah dengan serius sejak di bangku kuliah semasa di Bandung. Di masa pergerakan seperti itu, kata Peter Kasenda dalam Sukarno, Marxisme & Leninisme, hampir tidak ada tokoh pergerakan yang meninggalkan paham Marxisme-Leninisme. Entah hanya sebagai konsumsi intelektual, maupun sebagai sebuah tindakan praktis perjuangan.

 

Salah satu wujud Ideologi Kiri Soekarno berhaluan Marxisme-Leninisme adalah konsepsinya mengenai Marhaenisme yang terinspirasi dari seorang petani kecil bernama Marhaen dari Priangan, Jawa Barat. Meski tak seperti Karl Marx yang membagi masyarakat kedalam borjuis dan proletar, Soekarno melihat marhaenisme sebagai kenyataan sosial yang terjadi di Indonesia secara umum.

 

Istilah marhaenisme yang dipopulerkan Soekarno untuk menggambarkan keadaan rakyat Indonesia yang miskin dan marjinal: petani kecil, buruh kecil, dan nelayan kecil, namun mereka tak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Padahal mereka memiliki alat-alat produksi sendiri. Sementara proletar di Eropa hanya mengarah kepada kaum buruh miskin yang tidak memiliki alat-alat produksi sendiri. Untuk menghindari gejolak dan pemberontakan kaum buruh, agama dijadikan alat untuk meninabobokan mereka. Itulah mengapa Karl Marx melontarkan kata-kata keras: Agama candu masyarakat.

 

Dari sini kita bisa memetakan kalau Soekarno menjadikan wong cilik (rakyat miskin) sebagai dasar perjuangan melawan feodalisme (penindasan sisa-sisa masa kerajaan) dan imperialisme (penindasan kaum penjajah). Feodalisme dan imperialisme di Indonesia telah menciptakan keadaan rakyat makin sulit tak berdaya. Sementara Karl Marx di Eropa menjadikan kaum proletar (kaum buruh yang tak punya modal) sebagai basis perjuang dari kesewenang-wenangan kaum borjuis.

Meski Soekarno menggunakan Marxisme-Leninisme sebagai pisau bedah analisis keadaan sosial masyarakat Indonesia kala itu, Putra Sang Fajar ini tetap seorang nasionalis sejati. Dia bukan komunis. Sebagai seorang nasionalis sejati, sekaligus pemimpin besar revolusi, Soekarno percaya dengan kekuatan rakyat. Karena itu, baginya, basis kekuatan perjuangan rakyat harus datang dari rakyat yang telah dimelaratkan oleh sistem imperialisme dan feodalisme. Indonesia harus lepas dari kedua sistem tersebut yang sudah lama menjerat nasib rakyat.

 

Bagi sebagian besar tokoh pergerakan, melibatkan seluruh rakyat semesta (dari Sabang sampai Meuraoke) dalam perjuangan mengusir penjajah tidaklah mudah. Perlu sosok yang memiliki kemampuan agitasi dan orasi yang mumpuni. Perlu sosok yang bisa menyampaikan ide-ide perjuangan kepada anak-anak revolusi dengan bahasa rakyat agar mudah dicerna. Sosok itu tiada lain adalah Soekarno. Dia adalah agitator dan orator ulung yang bisa mengolah kata-kata menjadi mantra yang memikat kesadaran rakyat.

 

Mengenai hal ini, saya teringat dengan Pendekar Syair Berdarah, Arya Dwipangga tentang kata menjelma mantra, mari kita renungkan:

 

Kata membuat mantra

Mantra menusuk daya

Daya mantraku mengunci semua daya

Daya mantraku menyirap pikiran manusia

dengan darah dan lupa

 

Kalau kita cermati bahasa yang diolah Soekarno begitu kuat dan memikat hati pendengarnya. Kata-katanya meledak-ledak penuh semangat. Dan itu cocok digunakan dalam situasi rakyat membutuhkan semangat perjuangan. “Ganyang Malaysia”, “Inggris kita linggis”, “Amerika kita Setrika”, “Api sejarah”, “Ambil apinya, buang abunya”, “Berikan aku sepuluh pemuda niscaya akan aku guncang dunia”, dan masih banyak lagi jargon dan istilah berapi-api penuh perlawanan dari Soekarno. Bahkan Soekarno menamai dua putra dengan: Guruh dan Guntur yang memiliki daya ledak dengan suara yang menggelegar.

 

Bagi penikmat cerita Mahabharata seperti Soekarno, hidup adalah lakon panjang Baratayudha. Setiap pertempuran harus dimenangkan, tidak boleh kalah, apalagi lari jadi pecundang dari medan laga. Dia tidak ingin jadi budak orang kulit putih (penjajah). Dia lawan kekuatan imperialis yang sudah bercokol ratusan tahun. Dia mewarisi watak Ksatria Karna yang melawan tata nilai, aturan, dan tradisi yang membelenggu harkat, martabat, dan kebebasan manusia.

 

Nama Soekarno (Putra Sang Fajar) diambil dari Karna (Putra Dewa Surya), keduanya mewarisi watak matahari; menghangatkan, menerangi, dan membawa keberkahan bagi apa, dan siapa saja yang ada di muka bumi ini. Soekarno dan Karna adalah ksatria pilihan yang dituntun alam yang kehadirannya membawa berkah bagi manusia, langkah-langkahnya digandeng matahari.

 

Selamat merayakat Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke 78. Merdeka seratus persen!!!

Rabu, 09 Agustus 2023

Hilangnya ‘Anak Kesadaran’ dalam Islam

Rabu, Agustus 09, 2023 1


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Di bab pembuka dalam buku ini, Reopening Muslim Minds, Mustafa Akyol memulainya dengan kisah Hayy ibn Yaqzhan. Bila diterjemahkan secara bebas Hayy ibn Yaqzhan berarti 'Hidup Putra Kesadaran', maknanya sangat simbolis, yaitu tentang manusia yang berkesadaran, yang saat ini, saya kira, telah hilang dari diri umat Islam namun dirawat dengan baik oleh orang lain. 


Hidup (hayy) bukan sekedar hidup yang menubuh tanpa jiwa dan daya. Tapi hidup yang menghidupi daya-daya/jiwa-jiwa rasional, dan kesanggupan mengaktualkan segenap potensi yang ada di dalam diri. Itulah ciri manusia berkesadaran (yaqzhan) yang mampu mengembangkan kemampuan dalam diri hingga memperoleh ilmu sejati dan kebenaran hakiki.

 

Dalam cerita rekaan Ibn Thufail, Hayy adalah anak manusia yang terpisah sejak kecil dari ibunya. Dia hidup seorang diri di tengah hutan tak berpenghuni. Berbekal daya rasional dan perenungan yang mendalam, dia mampu menyingkap rahasia kehidupan, fenomena alam, nilai-nilai (etika), dan kebenaran tentang Tuhan. Semua itu dia peroleh tanpa bantuan wahyu (agama).

 

Hayy ibn Yaqzhan adalah cerita roman tentang kemungkinan perjumpaan akal dengan Tuhan, tentang kesadaran yang diperoleh manusia lewat jalur perenungan (jiwa rasional). Hanya saja, saya ulangi sekali lagi, kesadaran itu kini telah hilang dari kehidupan umat Islam: kritisisme (nalar burhani) redup, penyelidikan suram, dan ekperimentasi (nalar tajribi) diabaikan.

 

Sementara Barat, yang sempat menjalani kehidupan kelam mampu mengambil alih penalaran dan penyelidikan dari ulama-ulama Islam. Hasilnya cukup menakjubkan. Kini, Barat menjelma bangsa dengan peradaban maju tingkat tinggi dengan segala ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki. Mereka menjadi percontohan. Bahkan negara-negara Islam hidup mengekor tak bisa lepas dari kemajuan Barat.

 

Maka, tidaklah heran bila Mustafa Akyol mengajukan pertanyaan sangat relevan dalam buku ini: mengapa kesadaran (penalaran dan penyelidikan) meredup dan menghilang dari negeri-negeri berpenduduk Muslim? Mengapa umat muslim terus tertinggal dan makin tercecer dari bangsa lain?

 

Kemunduran Islam, kata Akyol, dipicu konflik ideologis dan teologis di internal umat sendiri. Konflik itu sering begitu keras dan mematikan. Di mana kutub postulat teologis yang tidak memberi ruang bagi reasoning (penalaran/akal) pada akhirnya menjadi begitu dominan. Teologi Asy’ariyah menguasai kehidupan umat Islam pasca kekelahan kaum rasional; Muktazilah dan para filosof.

 

Kemenangan Asy’ariyah atas Muktazilah dan para filosof berdampak pada tertutupnya ruang-ruang pemikiran dan penyelidikan, yang sebelumnya demikian cemerlang dilahirkan oleh para sarjana Muslim masa dulu. Akal yang menjadi dasar pengetahuan manusia sebagaimana dikisahkan dalam Hayy ibn Yaqzhan di atas, dicurigai, bahkan dituduh menjadi penyebab kemunduran Islam. Padahal akal itu sendiri, kata Fakhruddin al Razi, dasar bagi naql.

 

Sementara konflik internal yang bersifat ideologi-politis kian membenamkan umat Islam dari percaturan dunia global. Lihatlah perang saudara antara Sunni dan Syia’ah sampai sekarang masih terus berkobar. Masing-masing saling mengalahkan untuk keluar menjadi sang pemenang. Mereka telah memelihara dendam sejarah masa lalu, hal yang sebetulnya tidak boleh terulangi lagi di alam modern seperti saat ini.

 

Belum lagi ideologi-politis sekelompok Islam yang menghendaki berdirinya sistem khilafah, faham wahabisme, dan kemuculan Islam garis keras dalam bentuknya paling ekstrims seperti para teroris yang kerap mengatasnamakan agama. Semua itu makin menenggelamkan citra Islam di mata dunia. Islam makin terpojok, tersisih dalam percakapan dunia dalam membangun dunia baru yang plural dan berkeadilan.

 

Dalam buku ini, Akyol benar-benar mengarahkan telunjuknya kepada teologi Asy’ariyah sebagai penyebab kemunduran Islam. Saat menjelaskan kenapa umat Muslim kehilangan moralitas (why we lost morality?), kenapa umat Muslim kehilangan universalisme (why we lost universalism?), dan kenapa umat Muslim kehilangan sains, (why we lost science?), Akyol menunjuk hidung Asy’ariyah sebagai penyebabnya.

 

Wajar saja, Asy’ariyah adalah teologi yang paling banyak diterima umat Islam dunia. Keberadaanya begitu dominan, tidak hanya dalam soal-soal keagamaan, tapi juga dalam urusan politik mereka mampu mencengkeramkan pengaruhnya begitu kuat dan dalam. Doktrin teologinya terkesan anti-nalar begitu tertanah dalam benak umat hingga sikap apatis (jabariyyah) merasuk pada etos umat.

 

Meski begitu, Akyol tidak bermaksud memberhangus Asy’ariyah, dan menggantinya dengan teologi lain yang mendukung agendanya seperti Muktazilah atau nalar kaum filosof. Dalam buku ini, Akyol sedang merealisasikan agendanya, dengan mengambil inspirasi dari segi-segi teologis klasik yang dianggapnya seirama dengan agendanya, tanpa harus menghilangkan Asy’ariyah dari muka bumi ini.

 

Kritik keras namun berdasar Akyol pada teologi Asy’ariyah dimaksukan dalam rangka menemukan kembali nilai-nilai “pencerahan Islam” atau kesadaran (yaqzhan) Islam, seperti nalar (akal), kebebasan, dan toleransi. Akyol ingin membangkitkan ketiga nilai tersebut yang sengaja telah dikubur dalam-dalam oleh umat Islam sendiri. Buku ini layak dibaca bagi siapa saja yang peduli dan mengharapkan kebangkitan Islam. Waallahu’alambisshawab!

Rabu, 02 Agustus 2023

Nasr Hamid Abu Zayd

Rabu, Agustus 02, 2023 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Semisal angin puting beliung yang menghempas segala apa yang tadinya dianggap kokoh dan tegak berdiri. Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd tiba-tiba saja muncul, mengguncang sendi-sendi agama yang selama ini diyakini sebagai sebuah kebenaran. Dia mengatakan, al Qur’an adalah produk budaya (muntaj tsaqofi) yang dihasilkan oleh realitas manusia yang menyejarah.

 

Saya sendiri terkejut saat kali pertama mengetahui pemikiran Nasr semacam itu. Nalar dogmatis saya meronta, memberontak, sulit menerima kesimpulan di luar kesepakatan umum umat Islam. Apa yang disebutnya al Qur’an sebagai produk budaya tidak pernah saya dapatkan rujukannya dari kitab-kitab turats masa lalu yang saya baca sejak di pesantren dulu.

 

Kalaupun saya pernah belajar asbâb al nuzûl, hanyalah untuk memperlihatkan konteks historis dari ayat tertentu yang turun kepada Nabi. Sementara kesimpulan Nasr seperti disebutkan di atas benar-benar meruntuhkan sistem keyakinan yang selama ini dianggap kokoh dan meyakinkan. Teks al Qur’an tidak lagi sepenuhnya dianggap illahiyah dan suci. Tapi dia mulai disejajarkan dengan teks sastra dan lainnya.

 

Apa pun komentar orang, faktanya, al Qur’an turun di negeri Arab, kepada orang Arab, dan menggunakan perangkat budaya Arab, dalam hal ini adalah bahasa Arab. Dan al Qur’an yang terkodifikasi saat ini tidaklah menggunakan bahasa Tuhan yang tanpa huruf, tanpa aksara, tanpa rangkaian kata-kata. Itu artinya, sejak semula al Qur’an diturunkan sudah terikat dengan unsur budaya tertentu dan model bahasa tertentu.

 

Tapi sebagai pengkaji al Qur’an yang serius dan mendalam, Nasr telah melahirkan ratusan karya otoritatif baik berupa buku ataupun paper yang ditulis untuk jurnal ilmiah. Sependek kajian saya, paling tidak terdapat tiga kitab yang bisa dibilang cukup mewakili, sekaligus menandai kepakarannya dalam bidang kajian al Qur’an.

 

Pertama, al Ittijah al ‘Aqli fî al Tafsîr. Kitab ini merupakan kajian tentang persoalan majaz (majâz) dan aplikasinya dalam hermeneutika al Qur’an menurut Mu’tazilah. Dia tidak hanya meninjau majas dari aspek kebahasaannya, tetapi secara jeli menempatkannya dalam kerangka historis pertumbuhan dan perkembangan pemikiran Mu’tazilah sesuai dengan konteks sosiologis masyarakat Islam.

 

Kedua, Falsafah al Ta’wîl. Kitab ini merupakan kajian tentang penafsiran al Qur’an menurut Ibn ‘Arabi. Dalam kitab ini, Nasr berupaya menyajikan cara baca esoteris dengan perangkat takwil. Sampai sini, Nasr kemudian mengajukan konsep al ma’na (dalalah/makna) dan al maghzâ (signifikansi). Makna merupakan makna yang direpresentasikan oleh sebuah teks, sedangkan signifikansi untuk menamai hubungan antara sebuah makna itu dan seseorang atau sebuah persepsi, situasi atau sesuatu yang dapat dibayangkan.

 

Dan ketiga, adalah Mafhûm al Nash. Kitab ini mengkaji ilmu-ilmu al Qur’an (‘ulûm al tafsîr) seperti konsep wahyu, asbâb al-nuzûl, makkî dan madanî, nâsikh dan mansûkh, dll. Namun kitab tersebut, kata Ali Harb, lebih tepat disebut kritik teks (Naqd al Nash), karena di dalamnya membahas tentang al Qur’an dan ilmu-ilmunya dengan analisis-kritis. Wahyu yang tadinya dianggap bebas dari intervensi ruang dan waktu, kini, di tangan Nasr konsep tersebut mulai digugat.

 

Nasr dikenal sebagai pemikir kontroversial. Gagasan-gagasannya sangat provokatif, banyak diganderungi generasi muda, dan secara bersamaan telah mengusik tata nilai yang dianggap mapan. Apa yang dianggap mapan sebetulnya, di mata Nasr, adalah nama lain dari tirani pemikiran yang mengerangkeng kebebasan berpikir. Hal yang sebetulnya tidak boleh terjadi di alam demokrasi.

 

Namun faktanya sebuah pemikiran selalu dikafirkan. Di tengah gejolak pemikiran di era pengkafiran (al tafkîr fî zaman al takfîr) seperti itu, Nasr konsisten menyuarakan kebebasan berpikir. Sebab dia sendiri adalah suara dari kebebasan pemikiran (hurriyah al-tafkîr) yang menentang segala jenis pelarangan (tahrîm) dan pengafiran (takfîr). Kebangkitan Islam tanpa kebebasan berpikir hanyalah angan-angan yang utopis, yang bila diibaratkan bagai pungguk merindukan bulan.

 

Nasr lahir di Quhafa, Provinsi Thantha, Mesir, pada 10 Juli 1943. Orangtuanya memberi nama Nasr dengan satu harapan selalu membawa kemenangan yang sempurna dalam setiap ‘pertaruangan’ yang dijalaninya. Ketika Mesir dilanda pergulatan pemikiran antara Islam konservatif dengan Islam sekuler, Nasr turun gelanggang sebagai kaum pencerah yang menengahi dua kutub yang saling bertikai tanpa henti.

 

Sengketa dalam pemikiran keislaman di Mesir kala itu betul-betul riuh dan meriah, menghidupi ruang-ruang sunyi yang luput dari bahasan ulama terdahulu. Dalam Naqd Khitâb al Dînî, Nasr memetakan tiga trend pemikiran yang saling berebut pengaruh ruang publik. Pertama adalah trend Islam konservatif yang diwakili institusi agama formal semisal al Azhar. Kedua, trend pemikir liberal-sekuler yang diwakili Kiri Islam Hassan Hanafi. Dan ketiga adalah trend kaum pencerah, di mana Nasr berada di dalamnya.

 

Pertarungan ketiga trend pemikiran itu kadang begitu keras, yang tidak jarang menuduh lawan-lawannya sebagai murtad dan kafir. Padahal lawan dalam pemikiran tidak memerlukan embel-embel semacam itu. Pemikiran tidak perlu divonis apalagi dibawa ke meja pengadilan. Pemikiran harus dilawan dengan pemikiran. Tapi apa yang terjadi pada diri Nasr. Pemikiranya dituduh telah menista agama. Dan karena itu dia divonis murtad dan kafir. Bahkan status perkawinannya dengan sang istri dibatalkan pengadilan. Begitulah nasib seorang intelektual yang dikucilkan oleh bangsanya sendiri.

 

Kritik kerasnya terhadap tradisi (turâts) dan keilmuan Islam begitu keras dan pedas hingga mengundang komentar Hassan Hanafi. Filosof yang dikenal dengan Kiri Islam ini mengibaratkan permainan yang sedang dimainkan Nasr seperti bertarung dengan membenturkan kepalanya kesana ke mari di tembok yang masih kuat dan kokoh. Nasr bahkan, bagi saya, seperti pedang bermata dua yang siap ‘membabat’ siapa saja yang berbeda dengan hasil ijtihad ilmiahnya.

 

Meski di awal Nasr memosisikan dirinya sebagai kaum pencerah yang menengahi dua kutub yang saling bertikai, tidak berarti dia membiarkan keduanya bebas tanpa kritik. Terhadap trend pertama, Nasr berulang kali mengkritik metodologi literalis-tekstual yang sering digunakan dalam menyikapi tradisi. Dan terhadap trend kedua, Nasr menuding problem yang dialami Kiri Islam adalah ketidak-mampuannya memproduksi analisis sosiologis dalam merekonstruksi keilmuan Islam. Betapapun Hassan Hanafi menjungkirbalikkan teologi ke bumi, tetap saja, menurut Nasr, masih saja ada ruang kosong dari analisis sosiologis-humanistis.

 

Perang pemikiran yang berlangsung di Mesir, kata Nasr, merupakan perpanjangan dari perang pemikiran yang telah memanas pada masa Thaha Husein. Itu semua bermula dalam menyikapi teks secara berbeda. Di satu sisi ada kelompok yang mengedepankan pembacaan dengan “mekanisme-mekanisme nalar yang ghaib di dalam khurafat dan mitos”, dan ia merupakan pembacaan yang dilakukan oleh para qudama dan islamis kontemporer. Dan di sisi yang berbeda sebuah pembacaan “yang menerapkan mekanisme-mekanisme nalar historis-humanis”, dan ia merupakan pembacaan yang dilakukan kaum sekularis dan kaum pencerah.

 

Kebangkitan Islam akan terpenuhi, hanya bilamana tradisi kritik melalui nalar kritis diaktifkan oleh setiap individu muslim. Sebaliknya, angan-angan tentang kejayaan Islam akan kembali di pangkuan umat hanyalah utopia belaka bila mana nalar dogmatis-ideologis mendominasi cara pandang umat. Mengenai hal ini, Nasr dalam al Nash, al Sulthan, al Haqiqah menulis dengan getir: “masa lampau betapa pun gemilang dan megah, namun tetaplah telah lewat dan berakhir”. Umat Islam kini tidak memiliki apa-apa selain ketundukan terhadap sebuah tradisi yang menihilkan nalar waras manusia.

 

Kebangkitan Islam mensyaratkan inovasi dalam berpikir. Tidak membebek secara buta pada sebuah tradisi, yang sebetulnya untuk ukuran zaman sekarang tidak lagi relevan. Atas dasar itulah, Nasr melakukan upaya-upaya inovatif dalam kajian yang digelutinya selama ini, yaitu ‘ulûm al qu’an. Hingga pada akhirnya dia membuat pernyataan yang cukup menggegerkan dunia pemikiran, “al Qur’an adalah produk budaya”. Dengan kesimpulan tersebut, tentu saja Nasr mengetahui konsikuensinya. Namun, sepertinya dia lebih setia pada kebenaran yang diperolehnya melalui upaya-upaya ilmiah.

 

Sebagai penutup dari tulisan ini, saya ingin menyampaikan pesan Nasr untuk semua umat Islam. Dalam al Nash, al Sulthan, al Haqiqah, Nasr memberi peringatan keras, bahwa wacana keagamaan (khithâb al dîn) memiliki pengaruh dalam struktur kesadaran seseorang. Dia menyusup tidak hanya pada kesadaran orang awam tapi juga pada lapisan cendikiawan, tokoh, dan ulama. Wallahu’alam bisshawab.