Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Rabu, 22 September 2021

Kedai Kopi dan Anak-Anak Revolusi

Rabu, September 22, 2021 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Revolusi lahir dari kedai kopi, yang sengaja diselundupkan oleh sekelompok anak-anak muda ke dalam rahim ibu pertiwi.

 

Dari sanalah (kedai kopi) benih-benih perubahan dirancang dan gelora perlawanan dinyalakan. Ada yang perlu dirobohkan. Ada yang mesti dihancurkan. Sebab pemimpin tiran dan tata nilai yang merusak peradaban, tak cukup dibasuh dengan air mata penderitaan.

 

Api revolusi menyala saat “cangkir-cangkir kemapanan” itu diremukan, saat gema perlawanan ditalu hingga terdengar memenuhi sudut-sudut ruangan, saat batas paling akhir dari cita-cita anak-anak revolusi di sebuah negeri tak lagi didengar.

 

Revolusi dimulai dari kedai kopi, saat rasa pahit dan getir direguk bersama, berubah menjadi daya. Daya yang bisa merobohkan dinding-dinding kekuasan yang tadinya kokoh tegak berdiri.

 

Kedai kopi, kini, bukan sekedar tempat melepas dahaga untuk saling tukar cerita. Bukan lagi tempat berteduh dari banyak pergulatan yang membuat lelah. Juga bukan persinggahan dari perjalanan hidup yang kalah.

 

Dia sudah menjadi titik temu dari ragam aliran pemikiran dan ideologi. Tempat silang pendapat dari kalangan akademisi, intelektual, aktivis, politisi, dan sastrawan. Setidaknya, itu yang terjadi di Mesir, seperti tersaji dalam novel memorial “Karnak Cafe” karya Najib Mahfudz ini.

 

Karnak Cafe, menggambarkan situasi Mesir di akhir 1960-an. Mesir yang bermodal kepercayaan tinggi pasca revolusi 1952, harus menerima kenyataan pahit, kalah terhina dalam perang enam hari 1967. Kekalahan dari Israel menyisakan luka dan trauma, sangat membekas dalam ingatan (memori) penduduk negeri Piramid.

 

Spirit sosialisme Arab (Pan-Arabisme) yang pernah dipercikkan Gamal Abdul Nasser ke dalam jiwa anak-anak revolusi Mesir, sempat menumbuhkan gairah kebangsaan (nasionalisme) dan optimisme. Namun, kekalahan 1967 itu telah merubah segalanya. Situasi Mesir menjadi pelik dan runyam. Rakyat mengalami kekecewaan, depresi, dan kehilangan arah.

 

Sementara sepak terjang Anwar Sadat yang sewenang-wenang kian memperumit keadaan. Banyak darah tertumpah sejak Sadat dikukuhkan menjadi presiden. Para ekstrimis agama, politisi, dan intelektual kiri dibersihkan. Para penyetia Revolusi 1952 ditangkap tanpa proses pengadilan. Semua itu dilakukan dengan alasan ketertiban.

 

Dalam situasi porak dan saling curiga itulah, politik diberbincangkan oleh orang-orang dari berbagai latar belakang di Kafe Karnak, di ujung jalan al-Mahdi, Kairo. Pemilik kedai kopi itu bernama Qurunfula, mantan bintang tari Mesir yang di usia mendekati senjanya masih berparas cantik, bertubuh menawan, memesona banyak orang. 

 

Novel ini, boleh jadi, ekspresi dari bentuk kemarahan penulisnya terhadap situasi Mesir yang kian merosot (al-Nakshah). Seperti karya-karya lainya, Najib Mahfudz, masih setia menggunakan cara bercerita satu narator dan sudut pandang tunggal. Eksplorasi prosaiknya tidak berjarak dari realitas keseharian penulis dan situasi Mesir kala itu. Siapa pun bisa dengan mudah mengikuti alur cerita novel ini. Saya sendiri cukup menikmati.

 

Kisahnya dimulai saat “aku” (narator)—identitasnya disembunyikan hingga akhir cerita—singgah di sebuah kedai kopi Karnak, milik Qurunfula. Di sana “aku” menemukan sekelompok orang dengan latar belakang berbeda membahas situasi politik Mesir yang kian kalut. Mereka kecewa dan marah dengan sikap represif pemerintah terhadap siapa pun yang berbeda pandangan ideologi.

 

Alih-alih mengembalikan stabilitas negeri, pemerintah menahan anak-anak Revolusi 1952 seperti Hilmi Hamada, Ismail Syeikh, dan Zainab Diyab. Ketiganya merupakan tokokh imajiner, rekaan Najib Mahfudz. Mereka dituduh pembangkang yang tidak setia pada semangat revolusi.

 

Hilmi Hamada, pengunjung setia Karnak berkali-kali dipenjara, dituduh sebagai pengkhianat revolusi hanya karena dianggap komunis. Kekasih hati Qurunfula ini, harus meregang nyawa di penjara setelah menerima ragam siksaan. Sementara jasadnya tak diketahui dimakamkan di mana.

 

Ismail Syeikh mengalami nasib serupa. Beberapa kali keluar masuk penjara. Dia dituduh antek Ikhwanul Muslimin (IM), gerakan bawah tanah yang jadi target Sadat untuk diberangus. Sementara Zaenab Diyab mengalami peristiwa paling memilukan dalam hidupnya, dicabuli di salah satu ruang interogasi. Zaenab ditangkap karena memiliki hubungan khusus dengan Ismail Syeikh.

 

Singkat cerita, banyak aktivis revolusi yang sering berkumpul di Karnak ditangkap. Tidak diketahui siapa yang membocorkan kegiatan mereka. Tak jelas lagi siapa kawan, siapa lawan. Situasi cukup mencekam. Semua benda yang tergeletak seolah bisa bicara. Para pengunjung saling curiga, hingga tak ada lagi kenyamanan saat menikmati suguhan kopi.

 

Tidak ada harga yang murah untuk sebuah revolusi. Terkadang, revolusi memakan anak kandungnya sendiri. Apa yang dikisahkan Najib Mahfudz, mengingatkan kita pada tragedi berdarah penculikan para jenderal yang terjadi di Indonesia di tahun 1965. Para pahlawan revolusi itu harus menemui ajal dengan jalan yang tragis: diculik lalu dimasukan ke Lubang Buaya.

 

Sebagai sastrawan realis, Najib Mahfudz cukup berhasil menggambarkan seluruh jalan cerita dari masing-masing tokoh. Kepiawaiannya dalam menulis tak perlu diragukan. Dari tangannya tidak kurang dari 40 novel dan ratusan cerita pendek yang telah dia tulis. 1988 dia meraih Nobel Sastra, orang Arab pertama yang mendapat penghargaan tersebut.

 

Dalam karier kepengarangannya, Najib Mahfudz tidak bisa dilepaskan dari kedai kopi. Salah satu kafe yang sering disinggahi adalah El-Fishawi. Beberapa karyanya ditulis di sana, seperti Khan Khalili, al-Bidayah wa al-Nihayah, Awlad Haratina, dan lain-lain.

 

El-Fishawi jadi tempat primadona. Pengunjung datang silih berganti. Konon, El-Fishawi, pernah menjadi persinggahan tokoh dan pemikir besar, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Saa’ad Zaghlul, Mustafa Kamil, Abbas Mahmud Akkad, Ahmad Amin, Thaha Husein, dan Ahmad Syauqi. Bahkan dua filsuf eksistensial Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir, juga sempat merasakan sensasi tempatnya.

 

Sastrawan Mesir, Ahmad Bahauddin, dalam Ayyam laha Tarikh (Hari-hari yang Memiliki Sejarah), mengisahkan Kafe Mitatia yang punya andil besar dalam mengubah sejarah Mesir. Dia menceritakan, revolusi 1919 melawan imperialisme Inggris digodok di Mitatia. Anak-anak revolusi yang berasal dari latar belakang berbeda, berkumpul di sini. Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Sa’ad Zaglul, dan beberapa tokoh penting lain sempat singgah. Bukan untuk sekedar meminum kopi. Tapi membicarakan masa depan Mesir agar lepas dari Inggris.

 

 ---------------------------------------------------------------------------

Judul              : Karnak Cafe

Penulis           : Najib Mahfudz

Penerbit         : Alvabet, Jakarta

Tebal              : 166 Halaman

Senin, 23 Agustus 2021

Hidup Menuju Kematian

Senin, Agustus 23, 2021 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Kabar duka tentang kematian pada hari-hari belakangan selalu saja datang menghampiri. Ternyata dia (maut) begitu dekat dengan kita, bahkan semakin akrab. Hidup dan mati seperti tak perlu lagi ada jarak, batas, maupun antara.

Dalam sekejap waktu berlalu, bisa jadi, bukan lagi kabar duka yang didengar, melainkan maut  itu benar-benar hinggap merenggut nyawa kita. Hari ini. Detik ini. Esok. Entah kapan? Tak ada yang tahu. Tak ada yang dapat memahami. Tak ada kekuatan dan daya. Bahkan tak satu mantra pun mampu menjadi penawarnya.

و إذا المنية أنشبت أظفارها فكل تميمة لا تنفع

“Jika kematian telah mencengkeramkan kuku-kukunya, maka seluruh mantra tak berguna”

Dalam sejarah panjang masa lalu, kita telah mendengar kisah keangkuhan Fir’aun. Raja Mesir, yang konon katanya, semasa hidupnya, tidak pernah merasakan sakit walau sesaat. Dan karena itu, dia berani mendaulat dirinya sebagai Tuhan. Dia tantang Tuhan-nya Musa, Tuhan Pemilik nyawa manusia.

Kita juga pernah mendengar pengakuan Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman yang mewartakan tragedi kematian Tuhan. “Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getotet!” (Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! Dan kita telah membunuhnya!). Kala itu, warta tentang kematian Tuhan disiarkan di ruang-ruang publik; pasar bahkan gereja.

Betapapun Fir’aun mengaku sebagai Tuhan dan Nietzsche mengklaim telah membunuhnya. Mereka tetap tidak bisa menolak kepastian akan mati. من عاش مات و من مات فات (Siapa yang hidup pasti mati. Dan yang mati pasti sirna), demikian penyair pra-Islam, Qush bin Sa'adah menyatakan dalam potongan syairnya. Fir'aun dan Nietzsche, kini, telah mati, sirna hilang ditelan bumi.

Kematian adalah hak dan mutlak. Ia berada dalam genggaman Tuhan, Dzat yang tidak tersentuh garis kematian. Kematian, hanya digariskan kepada mereka yang bernyawa. Masing-masing punya batas hidupnya (ajalnya). Di mana seseorang berada—entah bersembunyi di balik benteng yang tinggi dan kokoh atau menyusup hingga ke kedalaman tanah sekali pun—kematian akan tetap merenggut. Tak ada yang bisa menghindar darinya.

Kematian itu hak dan nyata. Bila selama ini, kabar kematian sayup-sayup terdengar begitu biasa di telinga. Namun dia akan begitu menyakitkan, saat ada keluarga, saudara, guru, sahabat, atau orang tercinta, “pulang” ke kelampauan asal spiritual dan “kampung halaman” (read. akhirat) nun jauh di sana. Semua keadaan akan tampak jauh lebih berbeda dari sebelumnya.

Jiwa yang biasa tegar menghadapi lapis ujian, terguncang hebat tak kuasa mengendalikan kenyataan; hati yang kuat dalam sikap dan pendirian, luluh dihampakan beban derita; pikiran yang “tajam” ke depan, kosong; seluruh persendian tubuh luruh seperti ada yang melorotnya. Isak tangis tumpah memecah keheningan. Kenyataan seolah begitu gelap.

Saya pun telah pernah mengalami kenyataan hidup seperti ini: berkali-kali. Cukup membekas dalam hati—mungkin boleh jadi masih menyisakan luka bercoreng karat hingga kini. Tak ada pegangan. Tak ada panduan. Sebab cahaya mata yang menerangi lorong jiwa, pergi jauh kepada Pemilik-nya. Innâlillâh wa innâ ilahi râaji’ûn. Yang berasal dari-Nya akan kembali kepada-Nya.

Setiap perjalanan pergi merindukan ruang kembali. Kembali pada titik paling suci (Tuhan). Tempat muasal manusia sebelum memulai perjalanan kembara di muka bumi ini. Dalam proses kelana itulah kadang kala kita dilumuri debu jalanan. Dan itu memaksa kita untuk segera “kembali” (tobat—tâba yatûbu), menyuci batin dari noda hidup yang melekat dalam diri.

Tetapi, kata Martin Heidegger, momen “kembali” paling eksistensial bagi seorang manusia adalah di saat maut itu tiba merenggut nyawa. Itulah pengalaman paling otentik bagi manusia, sebab lebih bersifat personal dan pribadi.

Dalam literatur agama, kematian adalah perjumpaan aku (hamba) dengan Tuhan, yang menakutkan hingga membuat kita gentar dan gemetar. Tuhan dirasakan sebagai sesuatu yang dahsyat, kudus, dan tak terhampiri. Inilah yang disebut oleh Rudolf Otto sebagai mysterium tremendum, pengalaman yang menggetarkan saat kehadiran Tuhan.

Namun, di kalangan mistikus Islam (sufi), kematian adalah perjumpaan dengan Sang Kekasih (Tuhan). Gejolak rindu sang pecinta hanya bisa ditebus oleh temu melalui momen kematian. Inilah yang disebut Otto, sebagai mysterium fascinosum, pengalaman yang mengasyikan dan memesona hati.

Apa pun bentuk kematian yang akan kita terima, hidup hanyalah menuju kematian.

 

Sumber: dimuat di thecolumnist.id  

Senin, 09 Agustus 2021

Hijrah Sebagai Elan Vital “Gerak”

Senin, Agustus 09, 2021 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Hijrah memiliki ragam tafsir dan makna. Bagi Al-Raghib al-Isfahani kata h-j-r berarti “mufaraqah al-Insan ghairahu imma bi al-badan aw bi al-lisan aw bi al-qalb" (meninggalkan orang lain baik secara fisik, ucapan, atau hati). Sayyid Abu al-A’la Maududi dari Jama'at al-Islamiyah Pakistan dan Sayyid Qutb dari Ikhwan al-Muslimin Mesir mendefinisikan hijrah sebagai menarik diri dari “jahiliyyah baru”, yang mereka identifikasi sebagai kebijakan sekularisme, kapitalisme, sosialisme, dan modernisasi/westerinisasasi negara-negara Muslim.

Dalam perspektif Nurcholish Madjid (Cak Nur), hijrah tak lain sebagai “turning point” (titik balik) untuk membentuk masyarakat yang berperadaban. Dengan kata lain, hijrah dimaknai sebagai upaya peningkatan kualitatif perjuangan bersama dalam menciptakan masyarakat yang sebaik-baiknya. Ciri khasnya adalah peradaban, civilization, dan kehidupan teratur (madaniyyah) yang dilandasi oleh nilai-nilai keadilan dan persaudaraan. Dengan visi inilah Yatsrib diganti dengan Madinah yang menyiratkan berlakunya nilai-nilai keadaban dan civilization.

Di atas itu semua, makna “subtantif” hijrah, acapkali disalahpahami hanya sebagai perjalanan spasial (fisikal) Nabi dan sahabat dari Mekkah menuju Madinah, hijrah juga dipahami sebagai ritual tahunan yang datang dan pergi tanpa pengaruh positif. Maka, menurut Prof. Ismail al-Faruqi, Hijrah jangan semata dipahami sesuai tanggal peristiwanya di kalender yang didasarkan sistem lunar atau Komariyah. Sejatinya hijrah bisa dilakukan kapan saja, tiap hari di sepanjang tahun. “Hijrah melampaui batas ruang dan waktu,” kata al-Faruqi, “karena hijrah semestinya menjadi bagian dari kesadaran kita”.

“Kesadaran” akan hijrah memiliki arti gerak, dinamika dan daya menuju kepada sebuah perubahan terus menerus, yang secara misionaris mengandung dimensi spasial, moral dan spiritual. Oleh karenanya, menurut Muhammad Iqbal, hijrah, pergerakan, dinamika, dan gerak terkait satu sama lain yang mestinya terpusat pada setiap individu “ego” manusia untuk membangun masyarakat yang maju dan beradab. Sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu yang merubah nasibnya sendiri”. Tuhan telah menyerahkan dunia kepada manusia untuk membentuknya menurut kehendaknya.

Ini berarti, bahwa hijrah dan perubahan itu menjadi niscaya, sekaligus menyimpa keniscayannya yang lain bahwa ia memiliki keabadian yang hanya bisa ditemukan jika manusia memiliki semangat untuk terus melakukan perubahan. Sesuatu akan menjadi abadi dan bertahan sepanjang manusia terus melakukan perubahan dalam praktik-praktik tafsirannya yang konstruktif dan inovatif. Sebaliknya, ketika manusia tak beranjak ke dalam perubahan demi mempercayai apa yang disebut dengan melestarikan atau pelestarian, maka sesungguhnya keabadian itu tak pernah ada, keabadian itu hanya akan ditemukan dalam gerak menuju perubahan.

Gerak dan perubahan yang tercermin dalam hijrah merupakan prinsip dasar agama Islam yang bisa dimanifestasikan dalam setiap aksi-aksi sosial dan individual. Maka, jargon-jargon gerak dan perubahan yang semisal dengan itu seperti, reformasi, revolusi, reinterpretasi dan revitalisasi spiritual atas sebuah kondisi yang memeprihatinkan adalah sesuatu yang niscaya.

Pararel dengan itu, hijrah yang dilakukan Nabi SAW dan sahabat adalah gerakan perubahan sosial untuk mewujudkan nilai-nilai ketauhidan dan kemanusiaan. Ketauhidan untuk pembebasan dan kemanusiaan untuk keadilan. Perubahan sosial untuk mencapai moralitas tinggi dan pemihakan kepada mereka yang lemah, yang marjinal, miskin, kaum hawa yang tersubordinasi, dan anak-anak yatim. Melalui hijrah, kita diingatkan bahwa religiusitas dalam Islam adalah paralel dengan pembebasan sosial menuju perubahan yang dilandasi atas gerak spasial, moral dan spiritual.

Dengan demikian, makna terdalam dari hijrah yang dilakukan pada zaman Rasulullah SAW yang sesungguhnya, yaitu perubahan dari masyarakat yang kurang beradab, menjadi lebih beradab dan berpegang teguh pada nilai-nilai universal, seperti keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan. Hijrah menghasilkan dengan apa yang kita sebut sebagai “Piagam Madinah” yang di dalamnya mengandung nilai-nilai universal bagi masyarakat Yahudi, Kristen dan Islam, seperti koeksistensi damai antar agama, inklusivisme, pluralisme dan prinsip nondiskriminasi.

Ini adalah sebuah kesadaran religius-sosial untuk keadilan dan pemihakan kepada mereka yang lemah dan dilemahkan. Dan hijrah menuntut kesadaran keadilan tidak hanya berhenti pada kesadaran, tetapi beranjak pada gerakan perubahan yang riil dan dinamis. Melangkah, berpindah, memulai, dan menyusun kekuatan serta jaringan yang tertumpu pada prinsip gerak sebagai elan vital agam Islam yang abadi. Gerak adalah keabadian yang tercermin dalam hijrah.

Senin, 05 Juli 2021

Perempuan-Perempuan Hebat dalam Lintasan Sejarah

Senin, Juli 05, 2021 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky


Saya selalu tertarik mengikuti sejarah panjang perempuan-perempuan hebat. Yang punya peran sentral dalam menata kehidupan publik. Apalagi terlibat langsung mengatur jalannya imperium dunia. Berbagai penyelidikan historis yang dilakukan secara pribadi membuktikan, perempuan juga memiliki peran signifikan terhadap jalannya peradaban suatu bangsa.

 

Akuilah dengan jujur, bahwa perempuan juga istimewa. Mahluk yang selalu dipandang sebelah mata ini, justru menyimpan kekuatan yang tidak dipunyai kaum pria. Terkadang, tangan kiri mereka sibuk menimang bayi, lalu secara bersamaan, yang kanan mantap menggenggam dunia. Yang kiri lembut mengayun, yang kanan mengepal ke “muka” (depan).

 

Mari sejenak kita kenali Cleopatra di Mesir, Ratu Kunti di India, Joan of Act di Perancis, Sayidah Khadijah di Islam, dan Gayatri Rajapatni di Indonesia. Mereka adalah sederet nama yang menorehkan kisah kepahlawanan, yang hingga kini, masih dikenang dalam ingatan banyak orang. Bila selama ini kaum pria terlanjur banyak dipuja hanya karena dianggap paling unggul, namun faktanya, mereka tak selalu hebat seperti yang selama ini kita kira. Dalam banyak hal, kaum pria pun, tak sedikit berada di bawah kendali perempuan.

 

Pada beberapa tahun yang lalu, saya pernah membaca biografi Cleopatra, ratu jelita kebanggaan masyarakat Sunga Nil, Mesir. Dikenal dengan kecantikannya yang eksotis dan memesona, dia pikat hati banyak pria, tak terkeculi dua petinggi Romawi: Julius Caesar dan Mark Antony. Konon, perempuan ini pula yang menjadi salah satu penyebab kehancuran Romawi Kuno.

 

Tapi, ketahuilah, daya tarik Cleopatra bukan sebatas pada pesona rupa dan kemolekan tubuh yang dimilikinya. Dia juga cukup cakap menjalankan roda pemerintahan hingga mengantarkan Mesir pada kemakmuran yang hakiki. Hidup rakyatnya bahagia. Namanya diukir dalam banyak karya seni, seperti musik, seni rupa, tarian, film, koin, lukisan, buku, dan novel. Bahkan Whilliam Shakespeare mengabadikan Cleopatra dalam gelaran teater berjudul Antony and Cleopatra.

Di bagian dunia yang lain, India. Saya sangat tertegun dengan ketabahan Ratu Kunti, ibunda Lima Pandawa: Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Dalam epos Mahabharata, Kunti digambarkan sebagai sosok ibu yang tangguh, tak mudah mengeluh, meski ditinggal mati suami. Batu ujian yang datang berlaksa-laksa tak membuatnya jatuh terlelah. Semakin sering dibenturkan, dia justru semakin kuat dan terbentuk. Dia tempa kelima anaknya menjadi ksatria tiada tanding hingga membanggakan leluhurnya, dinasti Bharata.

 

Dalam sejarah panjang bangsa Arya di India, Kunti bersama kelima anaknya telah merubah haluan zaman kegelapan (Kurawa) ke alam penuh cahaya (Pandawa). Tentu saja, dalam perkara ini, kita tidak bisa menyampingkan peran penting Basudewa Krisna, Avatar Wisnu di dunia. Tetapi, pengaruh Kunti juga tidak kalah pentingnya, terutama dalam membentuk kelima anaknya setia pada dharma dan kebajikan.

 

Saya pernah membaca buku Ajaran Dewi Kunti yang dipinjamkan I Nyoman Kawi, Bapak Kos, sewaktu saya masih tinggal di Ciputat. Buku itu memuat ajaran, petuah, dan doa-doa harian Kunti, yang hingga kini, ternyata masih dipedomani kaum ibu di India. Bagi mereka (kaum ibu) Kunti adalah ibu ideal yang hadir di segala zaman. Nafas kehidupan bagi generasi muda. Dalam kisah Mahabharata, Kunti adalah murid terkasih Resi Duruwasa. Pengabdiannya yang tulus dan tabah, diganjar ilmu Adityahredaya, cara memanggil dewa. [Baca juga: Perempuan dalam Kemelut Sejarah: Tribute To Nawal El Saadawi]

 

Perancis, dikenal negara paling romantis. Banyak pelancong ingin menjejakkan kakinya di sana. Di balik keindahan kotanya yang estetis, negeri kumpulan para pemikir dan penulis ternama ini, menyimpan nama-nama pahlawan yang memengaruhi lajunya sejarah Perancis. Sebut saja Raja Louis XIV, Maximilien Robespierre, Napoleon Bonaparte, dll. Tapi, tahukan Anda, selain nama-nama besar tadi, ada sosok perempuan yang menjadi penyebab kemenangan Perancis atas Inggris dalam Perang Seratus Tahun.

 

Dia adalah Joan of Arc. Gadis belia yang tinggal di pelosok sebuah desa. Usianya masih 17 tahun saat bergabung menjadi tentara. Berkat visi spiritual yang dialaminya, dia pimpin pasukan tempur Perancis merebut wilayah-wilayah penting dari cengkeraman Inggris. Pada tahun 1453, Perancis berhasil menundukkan semua wilayah yang dikuasai negeri Ratu Elizabeth, kecuali Calais. Di kemudian hari, tepatnya pada 1558, wilayah itu akhirnya bisa dikuasai. Joanc of Arc mengingatkan saya pada Nyi Ageng Serang, panglima dan ahli strategi pada perang Jawa. Bersama pasukannya yang gagah berani, Semut Ireng, dia halau setiap serangan hingga membuat Belanda kewalahan.

Di antara dua imperium besar, Persia dan Romawi, yang menguasai dunia kala itu, di Jazirah Arab, tepatnya di Kota Mekah, lahir seorang perempuan bernama Khadijah binti Khuwailid. Kelak, dia menjadi istri terkasih dari manusia yang penuh kasih, baginda Muhammad Saw. Dia ibarat matahari yang terus memberi cahaya agar semangat dakwah Nabi tetap menyala. Kontribusinya begitu penting terutama di fase awal kemunculan Islam.

 

Dia adalah orang pertama yang mengimani kebenaran Islam sebelum Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Saat wahyu pertama itu tiba di Gua Hira, ketakutan menghinggapi Nabi, dialah sosok yang menenangkan Nabi dan memastikan tanda-tanda kerasulan itu telah nyata. Saat keraguan menguasai, dia juga yang menguatkan dan meyakinkan Nabi. Dan saat cemoohan tak henti-henti datang menghampiri, dia pula yang membesarkan hati Nabi. Dia abdikan harta bendanya untuk dakwah Nabi. Kepergiannya pada Sang Kasih (Allah SWT), menyimpan luka bercoreng karat di hati Nabi. Itulah ‘Aam al Huzni, tahun di mana duka lara menyelimuti Nabi.

 

Dalam banyak literatur, sosok perempuan yang kita diskusikan ini mendapat tempat cukup istimewa. Sanjungan dan penghomatan datang silih berganti, diberikan para sarjana Timur maupun Barat. Annemarie Schimmel dalam My Soul Is A Woman misalnya, perlu melibatkan Khadijah dalam ulasannya mengenai peran perempuan dalam dakwah Nabi. Para penulis biografi Nabi Muhammad, semisal Ibn Ishaq, Ibn Hisyam, Muhammad Husein Haekal, Martin Lings, Karen Armstrong, dll, juga memberikan penghormatan setinggi-tingginya.

 

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

 

Entah berapa nama perempuan hebat yang perlu saya sebutkan. Sejak sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, kita mengenal Cut Nyak Dien, Raden Dewi Sartika, Raden Ajeng Kartini, Ruhana Kudus, dll. Bahkan bila kita tengok lebih jauh di zaman raja-raja berkuasa, sosok seperti Ratu Sima, Tribuwana Tunggadewi, dan Gayatri Rajapatni, juga tidak boleh luput untuk disebut.

 

Nama yang terakhir disebut mungkin masih terasa asing di telinga. Setiap kali kita membaca sejarah keperkasaan Majapahit, nama yang muncul semuanya dari kaum pria: Raden Wijaya, Hayam Wuruk, Patih Gajah Mada, Patih Nambi, Lembu Sora, Ronggo Lawe, Banya Kapuk, Gajah Pagon, Gajah Biru, dll. Kalaupun harus menyebut nama perempuan, maka yang muncul adalah Tribuwana Tunggadewi.

 

Tulisan sederhana ini, sebetulnya sejak awal dimaksudkan hendak mengulas Gayatri Rajapatni secara khusus. Saya juga sudah mempersiapkan judulnya “Gayatri Rajapatni, Perempuan Hebat yang Terkubur Reruntuhan Majapahit”. Namun, entah mengapa, tiba-tiba saja perempuan-perempuan hebat yang saya ulas secara singkat di bagian terdahulu, bermunculan. Seolah ada yang menggerakan dari luar. Itulah inspirasi. Datang begitu cepat seperti kilat, kadang lambat, bahkan dalam beberapa kesempatan ditunggu namun tak kunjung tiba.

 

Gayatri Sri Rajapatni atau Dyah Prajnaparamita adalah istri keempat Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana), Raja Majapahit pertama. Dia merupakan ibu dari Ratu Majapahit ketiga, Sri Gitarja (Tribuwana Tunggadewi), juga nenek dari Hayam Wuruk (Rajasanegara), raja yang membawa Majapahit pada puncak kejayaan. Di kemudian hari, dari dia lah (Gayatri), raja-raja dan ratu ternama di Tanah Jawa muncul.

Seorang peneliti dari Kanada, Earl Drake, dalam investigasinya yang serius selama 20 tahun, menghasilkan temuan yang cukup mengejutkan. Bila selama ini, kejayaan Majapahit selalu dihubungkan dengan Raden Wijaya, Tribuwana Tunggadewi, Hayam Wuruk, dan Patih Gajah Mada, Drake justru punya kesimpulan lain. Menurutnya, Gayatri adalah tokoh sentral di balik kejayaan imperium Majapahit. Sebelum Gajah Mada bersumpah menyatukan Nusantara, Gayatri-lah, saat itu menjadi Ibu Ratu, yang berniat melakukannya.

 

Cita-cita besar Gayatri menyatukan Nusantara, kata Drake, dalam rangka memenuhi keinginan sang ayah, Kertanegara (Raja Singosari), yang belum sempat terlaksana namun dia keburu meninggal di tangan pasukan Glang-Glang saat penyerbuan Kediri yang dipimpin Jayakatwang. Gayatri juga punya peran penting dalam mengatasi serbuan tentara Mongol (Kubilai Khan) yang datang menuntut balas atas penghinaan Kertanegara pada utusan mereka.

 

Tulisan singkat ini, saya persembahkan untuk perempuan-perempuan hebat di dunia, para ibu, dan kaum hawa semuanya.