Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Sabtu, 31 Oktober 2020

Puasa di tengah Bahaya Corona

Sabtu, Oktober 31, 2020 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Pada momen suci yang mengajak kita khusuk beribadah selama bulan Ramadhan, kita malah dihadapkan pada momen kelam yang mempertaruhkan nyawa manusia akibat pandemi corona. Kesucian dan kekhusukan beribadah di ruang publik agaknya akan tidak lagi terlihat seperti sedia kala.

Bila di tahun-tahun sebelumnya, ratusan ribu bahkan jutaan umat Islam memadati masjid-masjid menggelar tarawih, buka puasa bahkan sahur bersama. Suasana penuh syahdu itu sepertinya nyaris sulit diwujudkan seiring munculnya kebijakan penutupan rumah-rumah ibadah.

Tapi langkah semacam itu perlu ditempuh demi menghilangkan kemadharatan (kerusakan) yang lebih luas, agar corona tidak mudah tersebar ke sembarang orang. “Dar’u al al-Mafâsid Muqoddamun ‘Alâ Jalbi al-Masâlih”, menghilangkan kemadharatan lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemashlahatan.

Corona sudah jadi teror global—semacam bayang-bayang yang menakutkan, padahal wujudnya tak lagi terbayangkan. Jutaan orang terpapar dan ratusan ribu jiwa menggelepar. Masyarakat dipenuhi kengerian yang mencekam, waswas dan sakwa sangka terhadap manusia lain. Sementara kita harus menyambut puasa yang kedatangannya tepat beberapa saat di pelupuk mata.

Hikmah Corona

Wabah corona bukan kehendak kita. Kita pun tak pernah mengharapkan kehadiranya walau sesaat. Rumah-rumah ibadah yang ditutup sementara waktu juga bukan atas keinginan kita. Kita malah berharap bisa menyongsong puasa dengan khusuk tafakur di masjid-masjid, memperbanyak zikir, dan berbagi empati dengan yang lain.

Tapi yakinlah dalam masa sulit seperti ini, selalu ada titik terang dari gelap. Pada setiap peristiwa yang tergelar di atas muka bumi terselip hikmah bagi orang-orang yang mau berpikir. Daripada mengutuk kegelapan lebih baik menyalakan lilin mesti terangnya tak mampu menerangi bumi. Kita harus merenung, melihat ke dalam diri, apa makna di balik fakta mengerikan yang kita hadapi saat ini.

“Gunung, lautan, langit, bumi, dan padang pasir adalah fakta”, kata Mohamad Iqbal dalam Javid Namah, “tapi yang kita inginkan adalah makna”. Begitu pula dengan fakta corona, kita mesti tahu makna di dalamnya. Mungkin tepat apa yang dikatakan Kahlil Gibran dahulu kala, semua yang ada di alam ini adalah lambang, simbol dan tanda. Perlu dipecahkan, diungkap pesan terdalam dari yang nampak.

Corona memberi jeda pada kita dari kehidupan duniawi, bahwa hidup bukan soal harta tapi juga keluarga. Bila selama ini gairah mencari harta melenakan kita dari keluarga, corona memberi waktu untuk bisa berkumpul. Sehingga simpul-simpul keluarga yang hampir memudar bisa dieratkan kembali. Momen karantina mengenbalikan kita pada kebersamaan antara sesama anggota keluarga.

Kepakaan untuk saling berbagi pada yang lain juga diuji, sejauh mana nurani kita peduli pada nasib orang. Sebagai umat beragama, penghambaan pada Sang pencipta dan penyapaan pada sesama menjadi dasar doktrin setiap agama. Kita patut jengkel pada umat beragama yang lebih mengedepankan seleberasi beragama tapi lupa memberi perhatian pada kaum miskin yang membutuhkan uluran tangan. Corona mengingatkan kaum beragama dan orang kaya agar tidak lupa pada fungsinya sebagai hamba penyapa.

Corona mengajak kita menepi, kembali ke alam spiritual yang paling asali dan primordial. Di sanalah akar tempat kita berasal, alam di mana kita pernah menggelar janji untuk setia pada Sang Pencipta. Boleh jadi dalam pengembaraan selama di dunia kita tercerabut dari akar asalnya, maka saatnya kita kembali ke rumah spiritual itu—untuk mengingat “perjanjian purba” kata Cak Nur. Di sanalah momen perjumpaan paling khusuk dan penuh syahdu akan kita tempuh, mengolah batin dari yang selain Tuhan.

Ramadhan = Pembakaran

Puasa dilaksanakan pada bulan Ramadhan yang berarti membakar. Tenggorokan orang yang berpuasa mengering karena haus dan perut mereka panas karena menahan rasa lapar. Mistikus ternama Maulana Rumi mengatakan, “Rasa manis yang tersembunyi,
ditemukan di dalam perut yang kosong ini”.

Sesekali tubuh ini perlu jeda dari nafsu memburu. Perut yang dipadati makanan dalam sebelas bulan terakhir perlu diistirahatkan agar lemak penyakit terbakar. Hanya dengan meninggalkan hasrat kebendaan, hidangan langit akan terbuka lebar. Saat seluruh anggota tubuh dikunci rapat-rapat dari iri, dengki, angkuh, dusta dan gemar menimbun harta, maka penglihatan ruhani akan tersingkap dengan jelas.

Di bulan suci ini, kaum sufi selalu mengingatkan agar kita mematikan nafsu selama hidup, “Mûtû qabla an Tamûtû”. Salah satunya adalah dengan mempuasakan (menahan) sifat-sifat tercela yang tersarang dalam diri. Puasa diyakini menciptakan ruang jiwa yang bening, sehingga lorong-lorong jiwa yang terhalang awan gelap bisa tersingkap.

Momentum puasa merefleksikan pembakaran ego dan peleburan keakuaan yang angkuh. Puasa juga mengasah kepekaan pada sesama apalagi di saat wabah corona melanda dunia. Semoga puasa yang kita jalani ini mampu membakar ego yang ada di dalam diri kita. Selain itu juga bisa membakar virus corona sehingga wabah ini cepat berakhir. Marhaban ya Ramadhan!