Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Kamis, 22 Juni 2023

Mohammed Arkoun

Kamis, Juni 22, 2023 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Mohammed Arkoun lahir di Tourirt-Mimoun, Kabilia, Aljazair, pada 1 Februari 1928. Meninggal di tahun 2010. Artinya dia wafat di usia 82 tahun. Dia mewariskan sejumlah karya dan pemikiran yang kontribusinya bagi kemajuan Islam sangat signifikan. Hampir seluruh karyanya ditulis dalam bahasa Prancis. Dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh komentatornya yang paling memahami pemikiran Arkoun, yakni Hasyim Soleh.

 

Jika Abed Al Jabiri dikenal karena Kritik Nalar Arab (Naqd Al ‘Aql Al ‘Arabi). Maka pemikir dari Aljazair ini lebih dikenal dengan Kritik Nalar Islam (Naqd Al ‘Aql Al Islami), yang saya kira, analisanya sedikit melampaui Al Jabiri. Dalam merumuskan peta pemikirannya, Arkoun berpusat pada kritik epistemologis atas keseluruhan bangun keilmuan Islam, dibanding Al Jabiri yang memusatkan perhatiannya pada Nalar Arab. Tulisan ini merupakan refleksi sederhana dari pemahaman terbatas saya mengenai Arkoun.

 

Yang dimaksud dengan Nalar Islam adalah nalar ortodoksi, epistemologi skolastik, atau pemikiran Islam klasik. Di mana nalar keagamaan yang terhimpun dalam keilmuan Islam seperti fikih, tafsir, kalam, filsafat, tasawuf, masih tetap seperti itu adanya, baik dari segi bentuk, muatan maupun metodologinya. Sejak dimulai disusun, ilmu-ilmu itu hingga kini, belum—untuk tidak mengatakan tidak—ada perubahan-perubahan yang cukup berarti.

 

Saya mengenal Arkoun lewat beberapa buku yang ditulisnya—meski saya tidak mengingkari ada kontribusi penulis lain yang saya baca mengenai tokoh yang satu ini. Di beberapa bukunya, Arkoun bicara tentang keniscayaan menelaah ulang pemikiran Islam (rethinking Islam) dan metode-metode yang digunakannya. Dia menawarkan pembacaan dekonstruksi, suatu istilah yang dia pinjam dari Derrida, terhadap seluruh khazanah pemikiran Islam (tradisi) yang selama ini telah dianggap mapan dan sakral.

 

Arkoun bukan anti-tradisi. Tapi bila tradisi membawa kemajuan dan kemaslahatan bagi umat manusia, apapun bentuk dan wujudnya perlu dipertahankan. Namun bila sebaliknya. Maka perlu ditinjau ulang untuk dilakukan pembongkaran. Tradisi lama adalah produks orang-orang lama, yang belum tentu masih relevan dengan orang-orang sekarang. Arkoun percaya dengan rumus dunia, bahwa setiap orang adalah anak zamannya. Dan takdir zaman selalu berubah dari masa ke masa. Adapun perubahan itu sendiri adalah suatu keabadian.

 

Kritik dekonstruksi Arkoun terhadap tradisi (turats) Islam masa lalu bukan tanpa tantangan. Dia mendapat tembok penghalang yang cukup tebal. Meski tembok itu kadang, bahkan selalu bersembunyi di balik otoritas keagamaan, Arkoun tetap tak pernah lelah membongkarnya. Dia gunakan metode dekonstruksi untuk dapat menyusup, menerobos lapisan pemaknaan, betapapun makna itu hadir berlapis-lapis.

 

Tidak jarang Arkoun dituduh telah membuka jalan lebar bagi kritik identitas (terhadap Islam) dan memusnahkan makna yang jamak diyakini umat Islam hingga kini. Tentu saja makna yang dikehendaki Arkoun bukan makna tekstual. Tapi makna yang mengandung kebenaran yang terbebas dari ragam kepentingan (ideologi dan politik), dogma, dan keyakinan yang dimapankan oleh suatu atau otoritas tertentu.

 

Bagi Arkoun, kebenaran tidak akan mendapatkan jalannya yang lapang selama nalar agama mengerangkeng kebebasan berpikir. Segala penghalang dari hal ihwal yang dianggp otoritatif dan dogmatis harus disingkirkan. Semua yang dianggap mapan sebelumnya mesti dibongkar agar kini mendapat bentuknya yang lebih relevan. Al Islam Solihun li Kulli Zaman wa Makan (Islam relevan pada setiap zaman dan tempat). Relevansi Islam dengan setiap zaman yang dilalui bisa terwujud hanya bila pembongkaran terhadap tradisi dan keilmuan Islam dilakukan.

 

Pembongkaran bukan tanpa kehendak penyusunan ulang. Dekonstruksi tidak berarti destruksi. Yang pergi harus kembali. Yang hancur harus disusun ulang untuk mendapat bentuknya yang lebih bermakna. Begitulah perumpamaan dalam setiap tafsir keagamaan mesti menghadirkan makna baru. Dan makna baru itu, kata Ali Harb, pemikir asal Lebanon, diperoleh dari balik teks. Sebab teks itu sendiri, kata Arkoun, tidak lain sebatas mengeluakan bunyi dan suara semata.

 

Oleh karena teks hanyalah susunan kata dan rangkaian nada bunyi dan suara. Maka perlu penyingkapan makna. Dan upaya penyingkapan (makna) dari teks yang terbaca mensyaratkan kesadaran bahwa setiap teks lahir pada zaman dan periode tertentu. Di sinilah historisitas teks berlaku. Dia (teks) sudah dikenai budaya, adat, dan norma masyarakat yang berlaku kala itu. Teks sejak bersentuhan dengan ruang dan waktu maka dia menyejarah dalam budaya tertentu. Dan karena itu memperlakukan teks yang menyejarah harus melibatkan segala aspek yang terkait dengannya.

 

Rasanya Arkoun kesulitan memahami teks kitab suci yang benar-benar terbebas dari cengkeraman ruang dan waktu. Karena itu dia perlu mengkaji ulang konsep wahyu yang menurutnya terdiri dari tiga tingkat. Pertama, wahyu yang transenden, yaitu firman Allah yang statusnya tidak terbatas dan tidak diketahui manusia. Kedua, wahyu yang diturunkan dalam pengujaran lisan dalam realitas sejarah. Ketiga, wahyu yang ditulis dalam sebuah mushaf, yang oleh Arkoun disebut sebagai Kanon Resmi Tertutup (Official Closed Canons).

 

Wahyu yang transenden tidak memungkinkan seorang pun tahu dan mampu menjangkaunya, apalagi memahami maknanya secara sempurna. Wahyu dalam tahapa pertama ini tak terhingga dan melampaui batas kemampuan manusia. Dia (wahyu) melekat pada diri Tuhan: tidak tersusun kata, suara, dan nada apapun. Setiap upaya menjamahnya hanyalah kesia-siaan. Tuhanlah yang tahu, dan paling mengerti maksudnya. Tuhan yang transenden hanya bisa dipahami oleh Tuhan sendiri. Tak ada bahasa dan ibarat manusia yang bisa mewakili. Sebab bila ada itu telah mereduksi ketakterhinggan-Nya.

 

Adapun wahyu dalam bentuk pengujaran lisan. Dia (wahyu) mulai terhubung dengan realitas sejarah. Dalam hal ini adalah terhubung dengan Nabi Muhammad Saw dan masyarakat Quraish pada saat itu. Maka tidak heran bila Al Qur’an mulai terbentuk meski masih dalam wujud bunyi dan suara. Wahyu model kedua ini terjadi hanya sekali di mana Nabi Muhammad Saw adalah penerimanya. Nasr Hamid Abu Zaed mengatakan, wahyu model ini begitu kompleks dan rumit karena melibatkan pengalaman batin Nabi sendiri. Kadang Nabi menggigil dan terkesima saat menerima wahyu.

 

Sementara wahyu tingkat ketiga merujuk pada Mushaf Usmani yang sudah banyak tereduksi oleh prosedur-prosedur manusiawi. Dan inilah bentuk fisik wahyu yang sudah terkondisikan oleh kreasi manusia yang terbatas. Melalui wahyu yang ketiga inilah para penafsir bergumul, berdialog, dan berinteraksi secara intens untuk memperoleh makna yang dikehendaki. Tentu saja makna yang dikehendaki Tuhan. Meski makna itu tidak akan pernah diperoleh oleh penafsir manapun. Mereka hanya mendapatkan asumsi sementara berdasarkan penafsiran subjektifnya.

 

Dalam tradisi hermeneutis, terutama Gadamer, setiap pemahaman atas teks, tidak terkecuali pada Al Qur’an, unsur subjektivitas penafsir tidak mungkin disingkirkan. Teks suci yang berupa huruf dan bunyi akan terasa hidup dan bermakna bilamana dipahami, ditafsirkan, dan diajak dialog oleh penafsir. Memang problem menafsir adalah adanya jarak yang begitu lebar antara teks kitab suci dengan penafsirnya. Terdapat horizon yang berbeda dari keduanya. Karena itu menurut Gadamer perlu adanya peleburan horizon (fusi horizon).

 

Arkoun, saya kira, menyadari adanya horizon yang berbeda antara teks dan penafsirnya. Karena itu perlu ada kesepahaman dan peleburan agar makna baru bisa diproduksi. Berkenaan dengan makna teks yang diburu para penafsir. Seumpama kue lapis, makna teks pun berlapis-lapis. Teks dilahirkan pada zaman dan periode tertentu. Begitu juga tafsir kitab suci terikat ruang dan waktu. Dia tak pernah mapan, kecuali sengaja dimapankan oleh sebuah otoritas: bisa berupa kekuasaan atau lembaga keagamaan, bisa penguasa ataupun otoritas ulama. 

 

Arkoun membayangkan sebuah otoritas cenderung menghegemoni, menguasai, dan mendominasi. Karena itu harus diwaspadai. Kalau tidak, kata Muhammad Syahrur, bisa menimbulkan tirani (istibdad). Maka cara mengatasi persoalan teks yang hegemonik itu adalah dengan membongkar (dekonstruksi) demi membebaskan teks dari belenggu kata. Teks tidak pernah berdiri sendiri. Ada konteks yang melatari atau peristiwa yang mendahuluinya. Karena itu, Islam mestinya tidak dipahami sebagai sebuah dogma atau ajaran semata, tapi lebih dari itu sebagai ilmu dan peradaban.

 

Sebagai sebuah ilmu dan peradaban, Islam telah bergumul dengan ragam peradaban dunia yang berbeda. Dan karena pergumulan itulah Islam mendapati dirinya berhadapan dengan problem yang berbeda dalam setiap zaman yang dihadapinya. Setiap tahapan atau priode, kata Arkoun, dibentuk oleh “cara berpikir tertentu” atau Episteme, istilah yang dipinjam Arkoun dari filsuf Prancis, Paul-Michel Foucalt. Ini berarti setiap tahapan dalam sejarah Islam ada episteme (sistem) yang menata pikiran zamannya. Dan episteme itu sendiri dapat berganti dari satu zaman dengan zaman lain.

Senin, 19 Juni 2023

Islam Tercecer di Tubir Umat Lain

Senin, Juni 19, 2023 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Dalam rentang waktu yang cukup panjang, Islam telah mengalami banyak pergumulan dengan ragam peradaban dunia. Berbagai lapis kebudayaan dari berbagai dunia mampu diserap dengan baik, tanpa harus menghilangkan doktrin dan kemurnian Islam yang dimilikinya.

 

Kemampuan menyerap unsur-unsur yang datang dari luar itu, mestinya jadi modal utama dalam mengembangkan keadaban Islam dalam relasinya dengan peradaban Barat yang kini unggul di hampir lini kehidupan. Patut diakui dengan lapang dada pencapaian Barat begitu menakjubkan. Ilmu pengetahuan dan teknologi mereka maju pesat, bahkan mampu menembus batas bumi hingga mencapai luar angkasa.

 

Sementara Islam nasibnya kian tercecer di tengah etos umat (Islam) yang merepih seperti pasir: rapuh tanpa pondasi dan kendali. Bassam Tibi dalam The Crisis of Modern Islam: A Preindustrial Culture in the Scientific-Technological Age, menyebut negara-negara Islam masih dalam kultur pra-industri. Belum ada satu negara Islam di dunia masuk dalam kategori negara maju yang mampu mengimbangi capaian Barat.

 

Hingga kini, umat Islam hanya menjadi pengekor, konsumen ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, politik, seni, dan budaya. Sementara negara-negara Barat menjadi produsen produks-produks modernitas, dan kian kokoh menancapkan cakar-cakarnya. Mereka menjadi aktor utama dalam percaturan dunia, dan bisa dikatakan menjadi pengendali masa depan negara-negara dunia ketiga.

 

Kalaupun kita terpaksa harus menyebut beberapa negara Islam seperti Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab, masuk ke dalam negara sedang membangun (developing countries), kata Bassam Tibi, itu karena faktor kekayaan minyak dan gas bumi yang mereka miliki, bukan karena kemampuannya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi paling mutakhir.

 

Dan faktanya, yang mengembangkan sumber daya alam melimpah itu bukan Saudi dan Emirat Arab, melainkan negara-negara industri maju, seperti Amerika Serikat (AS). Ketertinggalan Dunia Islam adalah fakta yang tak mungkin kita ingkari. Negara-negara Islam harus segera mengatasi problem yang sedang mereka hadapi. Kalau tidak akan makin dalam terperosok ke dalam kemunduran yang tak terperikan lagi.

 

Pertanyaannya, mengapa Islam masih, dan kian tercecer di tubir umat lain? Mengapa umat Islam seperti berjalan dengan beban berat di pundaknya, sementara Barat melesat laksana kilat meninggalkan kita?

 

Pertanyaan menohok semisal ini sebetulnya pernah diajukan Syakib Arsalan di tahun 1930 dalam karyanya Limadza Taakhara Al Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum? (Mengapa Islam tertinggal dan mengapa Barat maju?). Jauh sebelumnya, Abdullah Nadhim pada tahun 1893, juga mengajukan pertanyaan yang serupa, Mengapa Bangsa Arab Maju dan Kita Mundur?. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh Islam mengajukan pertanyaan yang serupa.

 

Dalam menghadapi kemajuan akibat modernitas, umat Islam seperti berpijak di dua tempat yang berbeda. Satu kaki umat Islam ingin meniru kemajuan Barat namun tak berdaya. Dan kaki yang lain, masih berpijak di tradisi masa lalu karena tak mampu membacanya dengan bacaan kontemporer (qira’ah mu’ashirah), apalagi sampai meninggalkannya demi mengejar ketertinggalan.

Problem Laten

Isu kemunduran Islam kini dikaji dan menjadi perhatian serius para pakar, akademisi dan kaum cendikiawan. Seruan pembaruan Islam digemakan oleh para pembaharu seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, Taha Husein, Muhammad Iqbal, Ali Syariati, Fazlurrahman, Hassan Hanafi, Abed Al Jabiri, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zaed, Ali Ahmad Said (Adonis), dll. Semuanya sepakat mencari akar kemunduran Islam dan berupaya menemukan solusinya.

 

Ada banyak hipotesa mengenai sebab kemunduran umat Islam. Pertama, paham agama yang ekslusif. Kedua, sektarianisme. Ketiga, meninggalkan metode rasional dan eksperimental. Keempat, jauh dari kultur demokrasi dan minimnya partisipasi masyarakat dalam membangun bangsa. Kelima, budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang meningkat. Keenam, gagal menciptakan keadilan sosial dan persamaan di lingkuan negara dan masyarakat Arab.

 

Dalam kesempatan ini, saya tidak bermaksud mengulas semua problem yang dihadapi umat Islam di atas. Sektarianisme menjadi persoalan mendasar. Ini terjadi sejak berabad-abad yang lalu, dalam waktu yang cukup panjang. Konflik Sunni-Syiah dari dulu hingga kini tidak lebih menjadi baik. Apalagi bila konflik teologis itu dibumbui persoalan politik identitas dan kekuasaan. Kadang, luka lama mereka buka kembali. Tak peduli betapa bau busuk itu menyengkat bagi kehidupan Islam masa kini.

 

Perlu diketahui, problem sektarianisme yang terjadi di tubuh umat Islam itu berlapis-lapis, bukan semata pada wilayah keagamaan, tapi juga pada wilayah budaya, etnis atau kabila, sejarah, dan politik. Kesemuanya itu sedikit banyak berkontribusi pada keadaan umat Islam yang makin runyam. Sampai saat ini, rasa kesukuan Dunia Arab masih menonjol. Warisan masa lalu itu tidak pernah hilang. Malah dibawa turun temurun.

 

Ibnu Khaldun dalam Muqodimah-nya menggambarkan dengan baik bagaimana Dunia Arab begitu fanatik terhadap suku dan kabilahnya. Solidaritas kesukuan ini di masa lalu, bahkan di masa-masa berikutnya sering menjadi peletup peperangan di antara mereka sendiri. Permusuhan yang berdarah-darah antara Bani Ummayah dengan Bani Abbasiyah menjadi bukti bagaimana rasa kesukuan dan kabilah di tubuh umat Islam masih kental. Bahkan para sejarawan membeberkan konflik sektarianisme ini sudah terjadi di hari di mana Nabi Muhammad Saw wafat.

 

Perseteruan awal umat Islam yang diwakili Muhajirin dan Anshor di Bani Tsaqifah, memperebutkan kepemimpinan pasca Nabi. Sejarawan mengisahkan bagaimana keributan dua kelompok itu begitu keras dan nyaris terlibat konflik fisik. Tetapi konflik itu segera bisa diatasi setelah sebelumnya berdebat tentang keutamaan Suku Quraish (Muhajir) dari kaum Anshor. Mengenai cerita ini, Khalil Abdil Karim dengan cemerlang mengulas hegemoni Suku Quraish dalam menentukan masa depan umat Islam di tahun-tahun berikutnya.

 

Apa yang terjadi pada dunia Islam, terutama pada bangsa Arab saat ini, seperti sebuah tragedi yang sulit dipahami. Agaknya tidak ada kosa kata yang lebih tepat menggambarkan tragedi kemanusiaan yang terus meningkat di banyak negara Arab pasca-Perang Dunia II. Negara-negara Arab terus berperang. Dan perang yang terlanjur digelar itu masih sulit ditemukan titik damainya.

 

Pengalaman pahit tentang kegagalan Arab Spring menambah masa depan masyarakat Arab makin terpuruk. Transisi menuju demokrasi di Dunia Arab malah menghasilkan instabilitas, kehancuran, dan kehidupan tanpa arah. Di tengah situasi seperti itu, kekuatan non-negara radikal seperti ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), muncul memusuhi umat Islam lain yang berbeda haluan dan arah pandangan. Meski kini ISIS mengalami kemunduran signifikan dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara Arab masih belum bisa keluar dari kemelut yang membelitnya.

 

Kolumnis asal Lebanon, Gassan Charbel menulis artikel di harian Asharq Al Awsat. Dalam tulisan tersebut dia mengibaratkan keadaan negara-negara Arab seperti orang sakit parah dan selalu menunggu dokter dari luar negeri untuk mengobatinya. Dengan meminta pertolongan kepada dokter luar memberi isyarat seolah dunia Arab sendiri tidak mampu mengobati penyakit yang dideritanya karena penyakitnya terlalu ruwet dan rumit.

 

Ahmet T. Kuru dalam Authoritarianism and Underdevelopment, menganalisa aspek politik dan teologi yang membuat dunia Islam kian terbelakang, baik dalam sains, ekonomi, politik, bahkan seni dan kebudayaan. Menurutnya, krisis laten yang membekap Dunia Arab dan Islam disebabkan krisis politik berkepanjangan yang menghancurkan prestasi peradaban yang dibangun selama berabad-abad.

 

Kuru menyebut, terjadi perebutan kekuasaan di antara umat Islam dengan menjadikan agama dan ulama sebagai sumber legitimasi kekuasaan. Akibatnya, dunia Islam tidak memiliki pusat riset dan pengembangan keilmuan kelas dunia yang independen. Secara ekonomi dan politik, para ulama berada di bawah kontrol kekuasaan. Situasi ini diperburuk oleh tiadanya kelas borjuis yang juga independen. Tanpa ulama dan kelas pedagang yang kuat dan berdiri di luar kekuasaan negara, ketika penguasa jatuh maka masyarakat ikut jatuh.

 

Begitulah keadaan umat Islam Dunia, terpolarisasi ke dalam banyak kepentingan yang pada akhirnya sulit mencari titik temu di antara mereka sendiri. Perbedaan mazhab dan golongan menjadi pemicu perang. Rasa persaudaraan di antara sesama umat Islam hanyalah jargon dan ajaran semata. Namun tidak dibuktikan dalam dunia nyata. Islam hanya sebatas formalitas, sementara subtansinya masih jauh panggang dari api.

Senin, 12 Juni 2023

Yerusalem Rumah Jagal Agama-Agama

Senin, Juni 12, 2023 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky

"Yerusalem adalah kota suci tiga agama—Yahudi, Kristen, dan Islam," begitulah Simon Sebag Montefiore mendeskripsikan kota tersebut dalam karya monumentalnya Jerusalem The Biography. Ibarat perempuan cantik nan memesona, Yerusalem jadi rebutan banyak kekuatan dan agama yang ada di sana.

 

Melalui kota yang dikuduskan ini, perjalanan ketiga agama dengan segala macam peristiwa dan tragedi mulai dikisahkan. Sejak dulu, hingga kini, Yahudi, Kristen dan Islam saling mengklaim paling berhak atas yang lain. Di mana pada akhirnya satu sama lain terdorong untuk menulis ulang sejarahnya hanya demi mempertahankan mitos yang mereka yakini.

 

Sejarawan Palestina Dr. Nazmi Al Jubeh mengungkapkan dengan nada lirih: “Di Yerusalem ini,  jangan tanya padaku sejarah fakta-fakta. Ambillah fiksinya. Maka tak ada apapun lagi yang tersisa”. Sejarah yang benar tentang Yerusalem sudah dibelokan, didistorsi oleh banyak kepentingan, termasuk oleh ketiga agama Abrahamik itu.

 

Inilah yang mendorong Simon Sebag Montefiore menyusun kembali serpihan sejarah Yerusalem yang sengaja dikaburkan selama berabad-abad. Fakta-fakta tentang Yerusalem terkubur di antara reruntuhan puing dan bangunan sejarah masa silam yang dikooptasi banyak kepentingan.

 

Yerusalem memang tak bisa disamakan dengan kota-kota besar lain di dunia. Di kota ini ada banyak tempat bersejarah terkait persoalan keyakinan beragama. Satu yang paling mencolok adalah Tembok Ratapan milik Yahudi. Karena itulah kaum Yahudi meyakini, Yerusalem adalah Tanah Perjanjian seperti yang sudah termaktub dalam Kitab Suci masa lampau mereka. Bahwa Tuhan telah memilih mereka sebagai kaum unggulan (pilihan) dengan memberi berkah sebuah kota suci, Yerusalem.

 

Begitu pula dengan umat Kristen. Mereka mengklaim Yerusalem sebagai tanah tempat Yesus dilahirkan dari rahim perawan suci bernama Maria. Namun di tanah ini pula pada akhirnya Yesus mengalami siksaan pedih, disalib di Bukit Golgota. Umat Nasrani meyakini inilah jalur bersejarah, jalan yang dilalui Yesus Kristus saat mengusung salib menuju kalvari atau Bukit Golgota.

 

Sedangkan bagi umat Islam, Yerusalem adalah kiblat pertama dan Tanah Suci ketiga setelah Mekkah dan Madinah. Dari tempat itu pula konon Nabi Muhammad Saw melakukan perjalan suci ke Sidrat al Muntaha pada peristiwa Isra Mikraj.

 

Karena statusnya sebagai kota suci tiga agama, Yerusalem yang berusia lebih dari 3.000 tahun itu, juga menyimpan cerita perang bersimbah darah di setiap periode zaman. Tragedi Perang Salib dan Salahudin Al Ayubi adalah salah satu peristiwa besar dari jejak masa lampau kota tersebut. Bahkan sampai kini, Yerusalem menjadi pusaran konflik antara Israel dan Palestina, penyebab keributan tak berkesudahan antara kaum Muslim Palestina dan bangsa Yahudi.

 

Zaman boleh berubah, tunas-tunas masa depan tumbuh, dan pemimpin baru datang silih berganti, tapi wajah Yerusalem tetap pekat dari cahaya damai. Kota tiga agama itu masih memelihara konflik lama. Dan itu berarti perdamaian dunia sedang masih dalam keadaan tidak baik-baik saja. Karen Armstrong dalam Jerusalem: One City, Three Faiths (1996) menyebut Yerusalem tulang punggung dunia. Dimana kedamaian dunia tak akan pernah terjalin selama kota suci itu masih dalam pusara konflik yang tak pernah kunjung berakhir.

 

Jutaan nyawa manusia melayang untuk memperebutkan kota satu Tuhan yang dianut tiga agama besar. Semua perang yang terjadi di dalamnya selalu mengatasnamakan Tuhan. Ambisi politik dan klaim otoritas atas wilayah tersebut memperdalam konflik, dan ikut serta menyediakan pedang dan mesiu untuk menghabisi musuh.

 

Demikianlah Yerusalem seolah menjadi kota yang "ditakdirkan" untuk selalu diperebutkan dengan berbagai alasan kepentingan. Yahudi, Kristen, dan Islam dalam rentang panjang sejarahnya kerap menjadikan Yerusalem tempat yang tidak pernah luput dari tragedi dan kekerasan—pembantaian, kezaliman, perang, terorisme, pengepungan, dan malapetaka, yang dalam kata-kata Aldous Huxley sebagai “rumah jagal agama-agama”.