Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 22 Mei 2023

Polemik Nasab di Keadaban yang Dangkal

Senin, Mei 22, 2023 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky, Dosen STISNU Nusantara Tangerang, Banten

Islam adalah agama ilmu dan adab (akhlak). Bukan agama nasab yang mengkultuskan garis keturunan. Begitulah Islam yang saya pahami hingga kini—Islam, yang tidak membedakan asal usul kecuali takwa yang lapang yang tersimpan rapih di inti hati.

 

Polemik nasab, yang kini memekakkan telinga dunia maya kita menyita perhatian publik. Pro kontra bermunculan. Sesekali diskursus itu berjalan di ruang ilmiah. Di mana satu sama lain saling membongkar, membabar kitab untuk saling menguji argumentasi. Dalil disangkal dengan dalil. Hujjah disanggah dengan hujjah.

 

Tapi lawan dalam pikiran tak selalu mendapat rekan debat yang sepadan. Tak jarang, bahkan dalam polemik nasab ini, banyak yang menyikapinya dengan cara emosional. Hujatan dan caci maki lebih banyak dipertontonkan, tanpa nalar, tanpa logika yang benar—hal yang sebetulnya tidak boleh terjadi.

 

Harus diakui riset ilmiah KH. Imaduddin Utsman Al Bantani mampu merontokkan susunan nasab Ba Alawi dari garis Ubaidillah yang sudah diyakini selama beradab-abad. Dan selama berabad-abad itu pula, mereka memiliki kebanggaan dengan nasabnya yang tersambung langsung kepada Baginda Nabi Muhammad Saw.

 

Sayang, keyakinan yang dirawat selama ratusan tahun itu harus diuji kesahihannya. Ubaidillah yang diyakini sebagai putra Ahmad Al Muhajir ternyata belum terkonfirmasi secara sah dan meyakinkan. Sebab dalam waktu yang cukup panjang, sekitar 550 tahun lamanya mata rantai nasabnya terputus. Hingga tulisan ini diturunkan belum ada yang bisa mematahkan kekuatan tesis KH. Imaduddin Utsman Al Bantani tersebut.

 

Keyakinan tanpa penyangkalan kadang bisa menjadi dogma yang mengerangkeng nalar waras manusia. Karena itulah, Pimpinan Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum, Cempaka, Kresek ini,  tidak memilih jalan tersebut. Baginya, keyakinan harus dimulai dari penyangkalan bukan semata penegasan. Sebab penyangkalan yang berarti keraguan itulah yang akan menghantarkan kita kepada sebuah keyakinan yang tak tergoyahkan.

 

Dalam tradisi filsafat, metode keraguan (Skeptisisme) pernah digunakan secara baik oleh Al Ghazali (Nazhoriyyah Al Syukuk) dan Rene Descartes (Le Doubte Methodique). Pertama-tama, metode ini mesti ‘meruntuhkan’ segenap pengetahuan yang kita miliki, termasuk ‘mencurigai’ semua ‘kebenaran’ yang kita terima sedari kecil. Hanya dengan cara itu, kata mereka, kebenaran sejati yang tak tergoyahkan dapat diperoleh secara meyakinkan karena sudah jelas dan terpilah-pilah (claire et distincte).

 

Apa yang dilakukan KH. Imaduddin Utsman Al Bantani semata-mata untuk mendapat keyakinan dari kebenaran yang selama ini diyakini secara jamak. Jangan-jangan keyakinan yang dipegang teguh secara jamak itu adalah ilusi dan menipu. Sayang, reaksi keluarga Ba Alawi terlalu naif. KH. Imaduddin Utsman Al Bantani dituduh menyebar adu domba dan anti dzuriyat Nabi. Padahal kecintaan beliau terhadap Nabi dan dzuriyatnya tidak perlu diragukan. Kalau pun beliau mencari pembuktian secara ilmiah mengenai garis keturunan Nabi, semata-mata demi menjaga marwah dan kemulian Nabi dari oknum yang ingin mengkapitalisasi nasab.

 

Tidak sedikit oknum habib mengkapitalisasi nasab Nabi untuk tujuan berbangga-bangga dan kepentingan tertentu. Sementara perilakunya tidak mencerminkan watak dan keperibadian Nabi yang santun, ramah, dan lemah lembut. Berbangga-bangga dengan nasab bukanlah ajaran Islam. Dia adalah warisan masyarakat Arab jahiliyah yang hendak Nabi hapus. Seseorang harus menjadi dan mengandalkan dirinya sendiri (ها أنا ذا), “inilah aku”. Bukan hidup dari ketiak nasab, yang sebetulnya (berbangga-bangga dengan nasab) menunjukkan kelemahan dirinya. Tanda kemuliaan seseorang bukan terletak  pada nasab, tapi pada ilmu dan adab.

 

Riset ilmiah yang dilakukan KH. Imaduddin Utsman Al Bantani mestinya disikapi dengan hal yang senada. Bukan dengan cacian, tuduhan, persekusi, apalagi sampai dibawa ke meja pengadilan seperti yang terjadi belakangan ini. Bagaimana mungkin pikiran seseorang dapat dihakimi? Bagaimana mungkin kebenaran ilmiah harus diputus di hadapan dewan hakim?

 

Riset KH. Imaduddin Utsman Al Bantani mesti diuji keabsahannya di meja kampus, di hadapan sejumlah profesor atau guru besar. Bukan di meja hakim. Riset harus dilawan dengan riset. Pendapat harus dibatalkan dengan pendapat. Tapi begitulah faktanya. Budaya literasi kita masih tumpul, masih mencerminkan peradaban dan keadaban yang dangkal.