Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Minggu, 28 Maret 2021

Perempuan dalam Kemelut Sejarah: Tribute to Nawal El Saadawi

Minggu, Maret 28, 2021 0

 

 

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Sejarah perempuan adalah sejarah kelam yang diliputi diskriminasi dan eksploitasi. Penuh kepedihan dan penderitaan. Peran mereka di ruang publik dibatasi, bahkan dipinggirkan. Begitu juga dalam ruang domestik dipaksa oleh pekerjaan rumah tangga: kasur, dapur, dan sumur. Seluruh hidup mereka ditindas oleh budaya patriarki, kolonial negara dan agama.

 

Tulisan sederhana ini saya persembahkan untuk feminis Mesir Nawal El Saadawi yang wafat pada Minggu, 21 Maret 2021 lalu. Nawal menghembuskan nafas terakhir di usia 89 tahun. Usia yang tidak muda. Tapi buah penanya dalam bentuk karya fiksi dan non-fiksi akan dikenang lebih abadi. Kita patut mengapresiasi “suara”-nya yang lantang menyuarakan hak-hak perempuan yang dibungkam oleh sejarah laki-laki.

 

Saya pertama kali mengenal Nawal lewat “Perempuan di Titik Nol” yang diterjemahkan dari “Women at Point Zero”. Novel ini bercerita tentang seorang gadis bernama Firdaus yang dipaksa oleh keadaan untuk menjadi seorang pelacur. Firdaus mengingatkan saya pada Nidah Kirani, tokoh dalam novel “Tuhan Izinkan Saya Jadi Pelacur” karya Muhidin M. Dahlan.

 

Kedua novel itu memiliki kesamaan. Sama-sama mengangkat tema tentang eksploitasi tubuh perempuan yang dilakukan kaum laki-laki. Ya, Firdaus dan Nidah Kirani dipaksa jadi pelacur oleh keadaan yang menghimpitnya. Tokoh yang disebut pertama memilih jadi pelacur karena ulah orang-orang terdekatnya. Sementara yang kedua, kecewa dengan sekelompok orang yang “sok suci” yang membuat sejumlah aturan namun malah melanggar semua aturan itu.

 

Bila kita cermati secara seksama, kesewenang-wenangan, penindasan dan pelecehan dalam segala bentuk dan wujudnya terhadap perempuan jamak terjadi di hampir semua peradaban. Sungguh sangat memperihatinkan memang. Prof. Quraish Shihab dalam “Wawasan Al-Qur’an” membeberkan sejumlah fakta yang memperlihatkan praktek keji terhadap perempuan terjadi pada peradaban Yunani, Romawi, India, China, bahkan Arab pra-Islam.

 

Yunani yang dikenal dengan pemikiran filsafatnya sempat menempatkan perempuan seperti barang dagangan yang dijualbelikan. Di kalangan elite mereka, perempuan disekap dalam istina-istana yang megah namun tidak memberi kebebasan. Begitu juga nasib perempuan di lingkup rumah tangga hanya menjadi pemuas nafsu suami. Mereka tidak memiliki hak-hak sipil. Bahkan hak waris pun tidak ada.

 

Nasib perempuan pada peradaban Romawi, China, India, bahkan pra-Islam juga tidak lebih baik dari peradaban Yunani. Perempuan pra-Islam mengalami situasi yang sangat menyedihkan. Selain hal-hal (bentuk penindasan) yang sudah disebutkan pada peradaban Yunani, anak-anak perempuan sebelum kedatangan Islam dikubur hidup-hidup demi menjaga marwah dan martabat keluarga. Umar bin Khattab, Khalifah Kedua, pernah mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan kemudian menyesalinya.

 

Di Era modern bahkan kontemporer pun pandangan negatif terhadap perempuan masih terlihat jelas sampai sekarang. Di dunia Islam misalnya, masih ada sekelompok orang mempersepsikan perempuan sebagai mahluk nomor dua—liyan dalam istilah Simone De Beauvoir. Mereka tidak boleh menjadi pemimpin, dilarang keluar rumah meski untuk pendidikan, tidak boleh muncul di ruang publik meski untuk aktualisasi diri, dan sejumlah larangan lainnya. Belum lagi kebijakan politik, ekonomi dan sosial yang merampas kebebasan dan hak-hak mereka.

 

Nawal dan Perempuan yang Tertindas

Nawal El Saadwi tidak bisa dipisahkan dengan nasib perempuan yang ditindas oleh sebuah sistem dan aturan baku yang bersifat patriarkis. Dia mencoba membongkar tabu agama yang merugikan perempuan namun justru dianggap menguntungkan bagi pihak laki-laki. Nawal menolak keras poligami. Meski praktek itu seolah mendapat legitimasi teks tapi menurutnya semangat Al Qur’an adalah monogami.

 

Isu poligami memang kerap menjadi isu paling seksi untuk diperbincangkan kapan pun dan di mana pun. Kita tidak bisa menutup mata, ada banyak orang berpoligami bukan untuk membantu dan meringankan beban wanita yang dinikahinya. Justru mereka memilih para gadis sebagai istri. Hal yang sesungguhnya bertentangan dengan cara Nabi Muhammad berpoligami. Nabi menikahi wanita-wanita yang usinya lebih tua dan memiliki banyak anak untuk dinafkahi.

 

Tubuh perempuan memang selalu menjadi daya tarik dan bisa mendatangkan keuntungan bagi mereka yang ingin memanfaatkannya. Dalam sistem ekonomi kapitalisme misalnya, tubuh perempuan dieksploitasi dalam bentuk iklan. Kemolekannya dipampang untuk menarik konsumen dan mendatangkan pundi-pundi uang yang berlipat. 

Di Mesir, Nawal pernah mengkritik agen-agen kapitalisme semacam itu. Dia melihat potret perempuan memakai baju terbuka yang ditampilkan dalam bentuk iklan bukan untuk membebaskan perempuan, melainkan hanya untuk meraup keuntungan dari standar kecantikan yang diciptakan oleh kapitalisme global.

 

Anggapan bahwa perempuan hanya berurusan dengan masalah domestik dimanfaatkan oleh sejumlah perusahaan dengan menjadikan mereka sebagai tenaga kerja tambahan yang dapat digaji dengan murah, tanpa jaminan sosial dan hak-hak kerja lainnya. Dalam buku “Perempuan dalam Budayata Patriarki” Nawal melihat kapitalisme global yang menyusup ke hampir semua negara Islam telah membuat perempuan makin terpinggirkan. Seolah ingin memberi kebebasan dan kesetaraan kepada perempuan di ruang publik tapi justru sebaliknya.

 

Nawal dan Gema Perlawanan dari dalam Kubur 

Nawal El Saadawi sudah wafat. Tapi suara perlawanannya yang nyaring akan terus bergema dari dalam kubur. Bahkan bisa jadi lebih nyaring dari sebelumnya. Mengingat para aktivis gender kini jumlahnya makin bertambah banyak, tidak hanya di negara-negara maju tapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Mereka getol berjuang melawan ketidakadilan dan penindasan terhadap kaum perempuan.

 

Dalam proses perjuangan itu, tentu saja, para aktivis gender, sedikit banyak, akan menyandarkan visi perjuangan dan argumentasinya pada pemikiran Nawal. Dalam dunia kepengarangan, Nawal, tergolong penulis yang produktif dan mempengaruhi banyak pikiran manusia. Sedikitnya 40 buah buku yang sudah dia tulis, di antaranya Memoirs of a Woman Doctor (1958), Women and Sex (1972), God Dies by the Niel (1974), The Hidden Face of Eve (1979), Women at Point Zero (1983), dan My Travels Around The World (1991).

 

Buku-buku itu akan selalu menjadi bahan penelitian dan didiskusikan dari zaman ke zaman, dalam waktu yang cukup panjang. Selama ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan masih terjadi di muka bumi ini, maka saat itu pula pemikiran Nawal tetap relevan untuk dijadikan rujukan. Dan bersamaan itu pula suara Nawal El Saadawi makin nyaring menggem walau sudah berada di dalam kubur.

 

Selamat jalan, Nawal....!

 

 

Sumber: telah dimuat di geotimes.id

Rabu, 10 Maret 2021

Mendialogkan Isra dan Mikraj

Rabu, Maret 10, 2021 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky
 
Ini bukan sekedar perjalanan spiritual-individual di waktu malam demi sebuah titah Tuhan berupa sholat yang harus didapat. Tapi tentang sebuah misi kenabian yang menyeluruh, yang meniscayakan hubungan harmonis dalam perjalanan empat arah Nabi Muhammad Saw pada peristiwa isra dan mikraj: dari bumi ke bumi, dari bumi ke langit, dari langit ke bumi, dan dari bumi ke bumi.

 

Sejarawan semisal Ibnu Hisyam mencatat, isra dan mikraj merupakan peristiwa paling agung yang pernah dialami Nabi Muhammad semasa hidupnya. Betapa agungnya peristiwa itu, sampai-sampai sejumlah pemikir ternama telah diilhaminya. Sebut saja misalnya, Dante Alighieri dalam The Divine Comedy, Mohamad Iqbal dalam Javid Namah, dan mistikus besar Fakhruddin Atthâr dalam Mantiq At-Thair.

 

Isra dan mikraj adalah jamuan istimewa (undangan) dari Allah SWT untuk Nabi agar ia datang menghadap-Nya. Mula-mula momen penghadapan ini dimengerti sebagai bagian dari bentuk penghambaan Nabi secara spiritual lantaran sangat bersifat personal. Namun juga sebetulnya mengisyaratkan penyapaan yang bermakna sosial kemanusiaan. Perjalanan arah kembali yaitu dari langit ke bumi dan dari bumi ke bumi, adalah dalam rangka menggenapi misi Nabi sebagai pembawa risalah bagi manusia.

 

Relasi Empat Arah

Akan ada suatu masa dalam waktu di bagian hidup manusia sebuah peristiwa yang diliputi kesedihan amat berat akibat batu ujian yang membeban di atas pundak. Seperti halnya pernah dialami Nabi Muhammad ketika ditinggal pergi (wafat) istri terkasih (Siti Khadijah) dan pamannya (Abî Thâlib). Sementara tanggung jawab profetik sebagai penyampai risalah kala itu belum terpenuhi semua. Inilah ‘Âm al Huzni—tahun duka cita baginda kita.

 

Pada keadaan seperti itu, Allah SWT perlu menguatkan hati Nabi dengan memperjalankannya (Isra’) di waktu malam dari Masjid al-Haram di Makkah al-Mukarramah menuju Masjid al-Aqsha di Jerusalem. Dalam pengembaraan tersebut, Allah mengajak Nabi untuk membuka mata, hati, dan pikirannya mengenai cakrawala dunia yang begitu luas dan besarnya ciptaan Tuhan yang tak terbatas. Isra merefleksikan perjalanan arah mendatar (dari bumi ke bumi) yang sebetulnya memuat kesadaran akan pentingnya penyaksian terhadap realitas emperik yang ada di dunia. Di mana kemelut hidup yang mendekap dalam diri tidak boleh mengabaikan kemungkinan masa depan yang bisa saja diraih lebih gemilang.

 

Perjalanan tahap kedua, mikraj lebih merefleksikan perjalanan menanjak (dari bumi ke langit). Dimulai dari Qubbah As-Sakhrah menuju Sidrat al-Muntaha, Nabi menembus petala langit untuk mendapat perintah sholat. Pada saat itulah Nabi bisa berdialog dengan Tuhan secara langsung, suatu momen yang dilukiskan oleh kaum sufi sebagai pertemuan penuh rindu antara pecinta dengan kekasihnya. Dan di dalam puncak ‘Arsy paling subtil, tak ada satu mahluk, bahkan malaikat pun, dapat ditemukan. Yang ada hanyalah Sang Kekasih dalam penyatuan paling akhir. Manunggal.

Hanya saja, pertemuan sakral dan personal di alam tanpa warna, tanpa aksara ala para sufi itu telah membuat mereka terlena. Kenikmatan spiritual pada level penyatuan (ittihâd) membuat mereka enggan menjejakkan kakinya kembali ke bumi. Satu situasi yang sebetulnya mengundang reaksi keras dari Mohamad Iqbal. Baginya, pengalaman spiritual sufi tidak boleh melenyapkan khudi (ego/diri) dari tanggungjawabnya sebagai mahluk sosial yang bereksistensi di bumi.

 

Atas dasar itulah perjalanan arah kembali dari langit ke bumi yang dilakukan Nabi Muhammad pada peristiwa isra dan mikraj menjadi sangat penting maknanya. Ibarat sinar matahari memberi terang bagi semesta, begitu juga dengan peran Sang Nabi pasca memperoleh pencerahan spiritual paling esensial, memberi kesadaran pada umat manusia. Perjalanan arah kembali ke alam bumi, tiada lain, kecuali untuk menggenapi misi Nabi sebagai pembawa risalah yang harus disampaikan, tablîgh. Lagi pula seluruh risalah yang dibawanya, tanpa kecuali, untuk kemaslahatan masyarakat bumi. Bukan masyarakat langit.

 

Sesampainya di bumi, Nabi kembali menjadi manusia yang menyejarah, yang terikat dengan ruang dan waktu. Dan itu berati momen pencerahan yang diperolehnya harus mengisi ruang-ruang kebudayaan dan kehidupan manusia melalui nilai-nilai keadilan, persamaan, kesetaraan, persaudaraan umat, dan kemanusiaan. Perjalanan tahap akhir (dari bumi ke bumi) ini pada akhirnya melahirkan peradaban maju yang berkeadaban, al Madînah al Munawwaroh (Kota Madinah), yang berarti peradaban yang cerah-mencerahkan.

 

Masyarakat yang Berkeadaban

Nabi Muhammad tak pernah bermaksud membuat Kota Madinah (tadinya Yasrib) tanpa tujuan. Madînah yang berarti “kota” berasal dari akar kata yang sama dengan “madaniyah” dan “tamaddun” yang artinya peradaban. Civilization dalam bahasa Inggris. Dan karena itu secara harfiah “madînah” adalah tempat peradaban atau suatu lingkup hidup yang ber-adab (kesopanan, “civility”), tidak “liar”.

 

Nurcholish Madjid (Cak Nur) tidak cukup sekali mengagumi nilai-nilai keadaban dalam Piagam Madinah yang dibuat Nabi. Sebagai sebuah konstitusi yang disepakati kala itu, juga telah dipandang oleh Robert N Bella, terlampau mendahului zamannya dan teramat modern di masanya. Madinah adalah kota yang diimajinasikan Nabi untuk menjadi antitesa dari pola kehidupan masyarakat baduy yang hidup “liar” dan jauh dari peradaban.

 

Di tengah kemelut hidup berbangsa, bernegara dan beragama dengan sejumlah persoalannya—korupsi yang belum teratasi, kemiskinan yang makin bertambah, hukum yang masih bermasalah, ekonomi nasional yang terus melemah, politik identitas yang mencederai takdir keragaman, perilaku elite yang kian jauh dari harapan, kemunculan populisme Islam yang bernada sumbang demi tujuan politik kekuasan, dan dampak wabah COVID 19 yang melumpuhkan hampir semua sektor kegiatan, maka semangat Isra dan Mikraj tahun ini memperoleh momentumnya.

 

Semua elemen masyarakat, mulai elite pemerintah, politisi, konglomerat, agamawan, hingga warga negara biasa, mesti melakukan Isra. Yaitu kontemplasi dan perenungan pada malam hari atas kondisi riil masyarakat yang tengah dihadapi. Dan dalam pada waktu itu juga, upaya Mikraj perlu dilakukan. Yaitu meningkatkan ibadah formal agar lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan memohon pertolongan kepada-Nya.

 

Sekali lagi, spirit Isra dan Mikraj harus kita terjemahkan kedalam kehidupan nyata. Sebab ikhtirah nyata mendialogkan keduanya akan melahirkan manusia yang unggul dan berkemajuan. Perenungan yang mendalam (Isra) terhadap realitas emperik sangat mungkin melahirkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang baru, yang bermanfaat bagi bangsa ini. Dan penyucian batin melalui ibadah-ibadah formal (Mikraj) bisa jadi akan menyelamatkan kita dan bangsa ini dari segala macam bencana dan musibah. Selamat Isra dan Mikraj 1442 H.