Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Rabu, 09 Maret 2022

Wayang Yang Saya Pahami

Rabu, Maret 09, 2022 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Saya tidak tahu persis bagaimana wayang sebagai budaya leluhur bangsa kita tiba-tiba saja “diharamkan”—seolah mengajarkan syirik, menduakan Tuhan. Padahal fungsinya sebagai media dakwah di awal kemunculan Islam ikut menyertai mengislamkan bumi Nusantara.

Mempertengkarkan hal yang jamak diterima masyarakat kadang membuat kita muak. Hanya membuat gaduh ruang publik. Memekakan telinga. Dan membuat sesak cara beragama kita saja. Apalagi, hal yang diterima masyarakat itu (wayang) sudah melewati terik kehidupan yang panjang.

Saya berkeyakinan, beragama itu bukan semata kesanggupan menjalankan ritual formal. Tapi juga kelapangan hati menerima segala perbedaan dari pernak-pernik budaya yang sudah ada. Sebab agama, kata Nasr Hâmid Abû Zaed, muncul bukan di ruang hampa. Ia pasti berjejak di bumi, di mana budaya setempat sudah dulu tumbuh dan berkembang.

Islam masuk ke bumi Nusantara. Bertemu budaya setempat. Maka terjadilah proses pembudayaan: bisa jadi pembauran (akulturasi), bisa juga peleburan (asimilasi). Kadang pertemuan itu tidak menghilangkan identitas masing-masing. Kadang sebaliknya (peleburan). Dan bahkan memunculkan budaya lain sebagai hal yang baru.

Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, secara terang mengatakan: “Sungguh tak ada satu pun tempat di dunia ini—kecuali mungkin Asia Tengah—yang, seperti halnya Nusantara, menjadi tempat kehadiran hampir semua kebudayaan besar dunia, berdampingan atau lebur menjadi satu”.

Apa yang disampaikan Denys Lombard, tentu saja tidak mengada-ada. Lebih dari tiga puluh tahun dia meneliti sejarah kebudayaan Nusantara. Dia mampu mengamati berbagai lapisan budaya yang ada di sini, mulai dari yang tampak di permukaan sampai yang terkubur di kedalaman sejarah. Setiap lapisan budaya itu dia uraikan sejarah perkembangannya, dan diulas unsur masyarakat yang mengembangkannya.

Nusa Jawa: Silang Budaya adalah maha karya Denys Lombard yang bercerita tentang persilangan budaya peradaban-peradaban besar yang terjadi selama dua ribu tahun. Sebagai titik temu semua peradaban besar (India, Cina, Persia, Eropa, Islam), Nusantara, hingga kini, masih tetap menjaga kemandiriannya. Diharapkan akan selalu begitu, dan terus begitu, selamanya. Para leluhur Nusantara mampu menerima, mengolah, mengembangkan, bahkan memperbarui unsur-unsur asing yang masuk ke dalam.

Ibarat laut yang mampu menampung segala macam kotoran yang datang dari luar, kemudian menyerapnya, lalu memurnikannya kembali. Begitu juga halnya dengan watak budaya Nusantara sebagai budaya maritim, mampu menerima dan membersihkan sampah peradaban yang datang dari luar. Masuknya semua unsur luar tidak merubah jati diri bangsa kita sebagai bangsa yang punya kepribadian dan kekhasan yang tidak dimiliki bangsa lain.

Ciri khas yang dimiliki bangsa ini mengagumkan bangsa-bangsa lain. Robert Hefner, John L Esposito, William Liddle, dan MB Hooker menyimpulkan, keberadaan Islam di Indonesia sangat spesifik. Di mana ekspresinya secara intelektual, cultural, sosial, dan politik, berbeda dengan ekspresi Islam yang berada di belahan dunia lain.

Islam Indonesia adalah Islam yang akamodatif dengan budaya. Sehingga menjadi muslim tidak harus menjadi orang Arab. Kita bisa menjadi muslim tanpa harus menghilangkan budaya yang sudah ada. Relasi keduanya saling mengisi dan menerima. Gagasan ini disebut oleh Gus Dur (Abdurrahman Wahid) sebagai pribumisasi Islam.

Berdasarkan pertimbangan di atas, saya memandang wayang bukan sekedar barang sejarah yang memiliki nilai unik dan antik. Tapi dia memiliki peran fungsional sebagai media dakwah dalam mengislamkan Nusantara. Saya baru mengerti kalau setiap lakon wayang yang ditampilkan menyimpan makna simbolik, yang bila digali mengeluarkan teladan dan nasehat bagi laku hidup manusia di alam mayapada ini.

Wayang adalah bayangan kehidupan, mewakili kehidupan nyata dari laku hidup manusia. Sebagai bayangan kehidupan, wayang sarat akan tuntunan makna kehidupan. Wayang bukan sekedar pertunjukan seni untuk hiburan, namun juga mengandung tuntunan hidup yang sangat bermakna dalam kehidupan sehari-hari. Lakon wayang pada hakikatnya adalah laku kehidupan. Dalam pentas pewayangan, kita dapat mengamati segala laku hidup manusia dengan segala pernak-perniknya.

Dunia wayang menyuguhkan cerita yang menampilkan manusia dengan berbagai macam watak dan karakternya. Karakter positif seperti santun, pemberani, pahlawan, maupun karakter negatif seperti sombong, angkuh, sewenang-wenang, pengecut, sampai dengan sikap beda ucapan dan tindakan, semua ada dalam karakter wayang.