Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Jumat, 23 April 2021

Album Kenangan Subulussalam (Bagian I)

Jumat, April 23, 2021 4

Oleh Mohamad Asrori Mulky
 
Bulan Ramadhan telah tiba. Dan seketika ingatan saya pun jauh menoleh ke belakang, pada suatu masa dalam waktu, sekitar puluhan tahun yang lalu, saat saya masih nyantri di Pondok Pesantren Modern Subulussalam, yang terletak di ujung Tangerang, pintu masuk Kota Serang: KRESEK.

 

Memang seluruh hal yang mengisahkan masa lampau selalu saja hangat tiba di hati kita. Apalagi bila kenangan itu menorehkan selaksa kisah manis yang masih tersimpan dengan rapih. Semua ingatan tentang masa lampau itu (di pondok) bermunculan bak album kenangan, yang memuat banyak kisah tentang satu dan lain hal. Semuanya begitu nyata seolah baru saja terjadi seketika.

 

Pada lembar pertama dari album itu, saya terkenang wajah gurunda kita tercinta KH. AHMAD MAIMUN ALIE, MA. Kepadanya bermuara teladan yang baik yang patut ditiru oleh kita sebagai santrinya. Ibarat mata air yang mengalir dari hulu ke hilir, begitulah juga beliau, berkah dan ridhonya bisa membantu menyegarkan dahaga bagi jiwa-jiwa tandus seperti kita. Dalam pendidikan pesantren ‘ngalap berkah kiai’ lazim dicari. Suatu hal yang tidak terjadi di dunia penddidikan sekuler.

 

“Kadang cahaya kita lenyap dari dalam diri dan dinyalakan lagi oleh pijar dari orang lain. Masing-masing kita punya alasan untuk memikirkan dan memberikan penghargaan mendalam pada orang yang telah menyalakan api di dalam diri kita”. Demikian Albert Schweitzer, teolog berkebangsaan Perancis, pernah menuturkan.

 

Dalam menapaki jalan hidup, siapa pun, termasuk kita, butuh pijar orang lain. Apalagi bila pijar itu diharapkan datang dari guru sendiri. Sebagai santrinya tidaklah salah bila kita rutin mengirim hadiah doa bagi gurunda kita tercinta, almarhum almagfurlah Abah KH. Ahmad Maimun Alie, MA. Hanya itulah yang bisa kita persembahkan sebagai bakti dan rasa terimakasih kita atas ilmu dan jasa-jasa beliau selama ini. اللهم اغفر له وارحمه وعافه واعف عنه.

 


Kaum bijak bestari pernah mengatakan, “tiap orang yang sampai ke tempat ia berada saat ini, harus mulai dari tempat ia dulu berada”. Siapa pun yang mereguk manisnya hidup hari ini, sedikit banyak ada peran dan doa gurunda kita tercinta, Abah KH. Maimun Alie, MA. Di manapun kita berpijak pada tempat hari ini, kita pernah meninggalkan jejak di suatu tempat yang ada di belakang kita. Sekali lagi, semoga Allah SWT menganugerahi beliau pahala yang berlimpat dan menempatkannya di tempat yang paling layak. Amin ya rabbalâlamin!

 

Di mata saya, Pak Kiai adalah sosok yang amat bersahaja. Balutan sarung yang dikepang dua dan peci hitam yang dikenakannya dalam keseharian, mencirikan identitas sosial-budaya tentang pandangan hidup dunia pesantren. Penampilan beliau seperti itu tipikal ulama NU (Nahdlatul Ulama) yang akomodatif terhadap lokalitas budaya. Sikap akulturatif beliau terhadap budaya telah menta’kidkan (meneguhkan secara kuat) posisinya sebagai ulama moderat (وسطية).

 

Status beliau sebagai ulama moderat, juga bisa kita lihat dari pandangannya mengenai moderasi beragama. Dalam satu momen silaturahmi dengan Pak Kiai di Subulussalam. Beliau sempat menyinggung keberadaan Islam radikal dan Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia, yang pada saat itu menjadi buah bibir di masyarakat. Memang dua kelompok ini selalu terlibat persaingan sengit di ruang publik untuk tampil menjadi yang paling baik. Keduanya mengambil posisi ujung paling ekstrim: ekstrim kanan (Islam Radikal) dan ekstrim kiri (JIL).

 

Sepanjang pengetahuan saya, kelompok Islam radikal lebih menitikberatkan pada tekstualitas ayat dalam tafsir kitab suci. Terkesan mengabaikan sisi historisitas (اسباب النزول). Sementara JIL justru mengambil sikap yang sebaliknya. Dan di antara dua kutub yang saling berlawanan itu, kata Pak Kiai, perlu ada kelompok yang berdiri di tengah sebagai penyeimbang. Sebab dalam memahmi kitab suci diperlukan dua aspek sekaligus, yaitu teks dan konteks agar tidak terjadi tafsir yang otoriter dan hegemonik. 

 

[Baca Juga: Halal Bi Halal Virtual Aloemni Sevent: Mengikis Bayangan Lupa]

 

Sikap moderat Pak Kiai pada akhirnya kian mematangkan pribadinya, baik secara personal maupun intelektual. Saya yakin tidak ada satu pun dari kita menolak menyebut Pak Kiai sebagai pribadi yang punya ketenangan yang matang, tidak grasak grusuk dalam bertindak dan penuh pertimbangan dalam mengambil keputusan. Pribadi seperti itu sebetulnya menyiratkan kedalaman ilmu pengetahuan agama beliau.

 

Agama butuh kedalaman dan perenungan, agar ekspresinya memberi ketenangan bagi pemeluknya, dan kebaikan bagi alam semesta (رحمة للعالمين). Bila agama diekspresikan dalam kebisingan dan kegaduhan, miskin perenungan dan penghayatan, maka yang ada adalah suara parau dari agama yang bisa memekakkan telinga banyak orang. Keluasan pengetahuan beliau mengingatkan kita pada salah satu Motto Pondok yang amat melegenda, “BERPENGETAHUAN LUAS” (العلوم المتبحرة/broad knowledge).

 


Dengan Motto tersebut, Subulussalam tidak bermaksud mencetak generasi tanpa aksara yang tak sanggup membaca ayat-ayat Tuhan dan semesta. Para santri diharapkan memiliki pengetahuan luas agar dapat menghadapi kemelut zamannya, melintasi cakrawala, melompati aneka ragam horizon ilmu, agar menjadi manusia arif dan budiman, penuh hikmah dan kebijaksanaan. Menjadi penyintas di jalan ilmu memang tidaklah mudah. Butuh ketangguhan dan kekuatan mental agar tidak gampang rontok saat dihadapkan pada kenyataan hidup yang pahit.  

 

Pak Kiai sendiri telah menuntaskan tanggung jawab intelektualnya sebagai pengembara ilmu yang luar biasa. Beliau telah mereguk manisnya ilmu pengetahuan agama hingga Madinah dan Pakistan. Menimba ilmu pada banyak guru, menghabiskan waktu dengan membaca tumpukan buku, meninggalkan keluarga dan sanak saudara, adalah bagian dari batu ujian yang harus dijalani para penyintas ilmu seperti Pak Kiai. Beliau sadar ilmu pengetahuan mesti dicari meski harus ke negeri manca. Dan itu adalah titah dari sabda baginda Nabi kita tercinta (اطلبوا العلم ولو بالصين).

 

Sebagai pimpinan pondok, tidak cukup sekali beliau menghimbau para santri agar tangguh dalam menuntut ilmu walau harus melewati batas-batas negara yang jauh sekali pun. Dalam keyakinan beliau, ilmu akan menempatkan seseorang pada derajat paling tinggi sebagaimana janji Allah SWT dalam salah satu firman-Nya (يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات). Meski terkadang, pada zaman yang merepih seperti pasir ini, masih banyak orang mengukur kehormatan bahkan keberhasilan seseorang hanya dalam timbangan materi semata.

 

Beliau pernah berpesan: “seseorang dihormati karena ilmunya”. Kata-kata itu masih terngiang jelas di telinga saya. Apalagi saat itu beliau mengucapkannya dengan nada dan intonasi penuh penekanan—suatu hal yang amat lazim beliau lakukan saat menyampaikan perkara yang dianggapnya penting. Tentu saja pesan itu disampaikan tidak secara khusus kepada saya, tapi juga ditujukan kepada para santri Subulussalam, dari angkatan pertama sampai sekarang.

 

 

BERSAMBUNG.....

Bagian II: Lembar Kedua dari Album Kenangan, Insya Allah!

Rabu, 07 April 2021

Terorisme Lahir dari Watak yang Retak

Rabu, April 07, 2021 0



Oleh Mohamad Asrori Mulky

Salah satu musuh terbesar kemanusiaan adalah terorisme. Ia lahir dari watak retak manusia yang dikendalikan hasrat untuk membunuh. Dalam aksinya yang agresif, teroris hanya bicara tentang kematian, tentang bagaimana menghabisi yang liyan (orang lain).

 

Karen Armstrong dalam “Fields of Blood: Religion and the History of Violence” menyimpulkan, terorisme tak ada hubungannya dengan Nabi Muhammad dalam Islam atau Kristus dalam iman Kristen. Kendati terorisme bukan bersumber dari ajaran agama, faktanya hampir semua aktivitas teror selalu mendalihkan alasannya pada doktrin agama, pada kebenaran yang diyakininya.

 

Setidaknya, kita tidak boleh menutup mata pada kasus terorisme paling mutakhir, yakni bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar dan teror di Mabes Polri. Pelakunya secara terang-terangan melakukan "amaliyah" teror dengan mendasarkan alasannya pada pemahaman agama. Melalui surat wasiat yang ditinggalkan, mereka memilih menempuh jalan jihad untuk memperoleh kematian yang terhormat.

 

Radikalisme agama ada di tengah-tengah kita. Itu fakta yang tidak boleh kita ingkari. Dalam amatan saya, para teroris lebih banyak bicara tentang “teologi masa depan” (akhirat), tentang jihad, tentang musuh yang ada di sana yang berbeda haluan dan arah tujuan. Prinsip berani mati demi cita-cita yang dianggap luhur (masuk surga) menjadi dasar keyakinan mereka. Tak peduli berapa nyawa dimatikan. Tak mengapa berapa jiwa yang harus dilenyapkan.

 

Memupuk pahala demi surga meski harus menghilangkan nyawa manusia adalah tindakan yang melawan kemanusiaan dan bertentangan dengan nilai luhur tiap agama: Cinta kasih. Radikalisme agama dan bentuk kekerasan yang berdasarkan dalih agama hanyalah muncul dari akal yang tidak sehat, hati yang keras, dan jiwa yang sombong.

 

Memang! Ketika akal jadi sakit, daya kritis melemah. Maka semua tindakan yang dihasilkan dilalui lewat jalan perhitungan yang tak memadai, cenderung destruktif dan merusak. Ketika hati menjadi keras, cinta kasih pun menghilang. Maka yang muncul adalah sifat purba dari manusia; kebengisan tanpa welas asih. Ketika jiwa menjadi sombong, sifat sewenang-wenang muncul. Jiwa yang sombong adalah nama lain dari ke-aku-an yang angkuh. Dan keangkuhan itu akan membuat seseorang menjadi rapuh.

 

Para teroris tak banyak bicara tentang prinsip berani hidup. Mereka tak mengenal konsep tentang hidup yang rukun dan teratur. Sebab berdamping hidup dengan yang liyan (berbeda ideologi dan keyakinan) dianggap sebagai ancaman. Bagi mereka, membunuh adalah cara terbaik untuk bertahan “hidup” menuju kematian yang abadi.

 

Bagi para teroris, dunia adalah ladang pertempuran tiada akhir. Musuhnya sudah jelas: Mereka yang berbeda ideologi dan keyakinan. Dalam perang yang telanjur digelar ini mereka tak lagi mengenal rasa kemanusiaan dan belas kasihan. Yang ada adalah lawan atau kawan. Dia yang berbeda haluan dianggap sebagai musuh yang harus dilawan. Sementara mereka yang searah dianggap sebagai teman yang layak diperjuangkan.

 

 

Kebencian

Kebencian yang mendalam pada yang liyan kadang membuat seseorang lupa arah dan ingatan. Ibarat api dalam sekam, kebencian yang digumpalkan dalam dada bisa lebih berbahaya. Dia akan berkobar. Membakar banyak korban.

 

Apalagi bila kebencian yang digumpalkan dalam dada itu disebabkan oleh kemarahan yang menggunung akibat beda haluan dan keyakinan. Kebencian adalah kekuatan yang lahir dari dalam diri manusia untuk diarahkan kepada objek yang ada di luar sana—atau kepada “wajah yang lain” dalam istilah Emmanuel Levinas.

 

Ketika "aku" sebagai subjek telah merasa terkikis menjadi sebuah objek karena kehadiran "aku" yang lain, maka saat itu juga "aku" sebagai subjek mulai merasa terancam. Dan karena kehadiran objek dirasa mengancam subjektivitas, maka "aku" selaku subjek melakukan agresi dan dominasi terlebih dahulu atas yang lain.

 

Suasana batin seperti itu, juga dialami pelaku penembakan masjid Christchurch di Selandia Baru, beberapa tahun lalu. Pelakunya, yang juga pejuang supremasi kulit putih, merasa terancam oleh kehadiran imigran dari kalangan Islam. Sama dengan pelaku bom bunuh diri di Makassar dan penyerangan di Mabes Polri. Mereka merasa terancam oleh kelompok yang beda arah ideologi dan keyakinan. Dan karena itu mereka pupuk kebencian yang mendalam untuk jalan jihad yang diyakininya.

 

Dalam rentang sejarah yang panjang, sebuah peradaban yang damai nan permai tiba-tiba bisa runtuh oleh sebab peperangan yang disulut kebencian. Kisah Qabil dan Habil telah memberi gambaran betapa kebencian bisa mengakhiri riwayat orang lain. Tragedi kemanusiaan ini telah dipandang oleh Ibnu Khaldun sebagai tragedi berdarah pertama di dunia yang dilakukan oleh dua anak manusia pertama.

 

Rasanya sulit untuk menghapus terorisme di dunia selama kebencian pada yang liyan masih digelayutkan dalam dada. Kita perlu menyadari bahwa tujuan penciptaan manusia adalah sebagai khalifah (catat! bukan sistem khilafah). Tentu bukan untuk maksud-maksud destruktif dan merusak. Tapi untuk mengolah dunia, menebar benih damai, dan saling memberi kasih pada sesama. Hanya dengan itu, kita bisa menghapus terorisme yang disulut kebencian yang menggumpal.

 

Manusia adalah sebaik-baik ciptaan. Bukan semata-mata karena dia sanggup memikul titah (amanah) Tuhan yang pernah ditolak langit, bumi, dan gunung. Tapi karena dia memiliki Nurani atau نوران (dua pelita/cahaya), yaitu akal dan hati. Dan oleh sebab itu manusia berbeda dengan binatang. Bahkan lebih baik dari Malaikat. Bila dua pelita itu redup bahkan mati dari dalam diri seseorang, maka yang tersisa adalah kegelapan. Kebencian muncul oleh sebab hilangnya nurani dalam diri.

 

Sebagai penutup tulisan, izinkan saya mengutip salah satu ayat dari Firman Tuhan: “Jangan sekali-kali kebencian-mu pada kelompok lain (orang lain) membuat-mu berlaku tidak adil. Berlaku adil lah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (Al Maidah: Ayat 8).

 

Pesannya cukup jelas. Tidak perlu mengundang banyak pengertian.

 

Tapi mengapa para teroris menempuh jalan benci? Padahal adil lebih bisa mengantarkan mereka pada kasih Sang Pencipta. Di situlah watak retak mereka. Wallahu’alam!

 

*Dimuat di kumparan.com