Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 08 Juni 2020

Syaikh Yusuf al-Makassari

Senin, Juni 08, 2020 0
Mohamad Asrori Mulky, Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.
Rasanya tidak berlebihan bila menyebut Syaikh Yusuf Al-Makassari sebagai pejuang pengembara. Jejaknya melampaui batas-batas negara dan benua: Sulawesi Selatan, Banten, hingga Arabia, Srilanka dan Afrika Selatan. Ia tak hanya dikenal sebagai da’i, ulama, dan ahli tarekat, tapi juga pejuang anti-kolonial. Bersama kesultanan Banten, Syaikh Yusuf menentang penjajahan Belanda meski harus diasingkan ke Ceylon, Srilanka, dan dibuang ke Cape Town, Afrika Selatan.

Ketokohannya, kata Taufik Ismail, sudah lebih dari seorag Pahlawan Nasional. November 1995, Presiden Soeharto kala itu, menjadikannya Pahlawan Nasional dan Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia. Sementara Presiden Afrika Selatan Nelseon Mandella, pada 1994 telah lebih dulu menganugerahi Syaikh Yusuf sebagai Pejuang Kemanusiaan. Mandella menyebutnya putra terbaik Afrika Selatan. Dan oleh pendukungnya di kalangan rakyat Sulawesi Selatan, ia digelari Tuanta Salamaka ri Gowa (Guru Kami yang Agung dari Gowa).

Konteks Historis
Syaikh Yusuf dilahirkan di Tallo, pada 3 Juli 1626 M, bertepatan dengan 8 Syawal 1036 H. Menurut silsilah yang disimpan oleh anak cucunya di Makassar (Takalar dan Sudiang) ayah Syaikh Yusuf bernama Abdullah Khaidir. Dalam risalahnya, Hasyiyah fi Kitaab al-Anbaai fi I’raab Laa Ilaaha Illallah, juga disebutkan ayahnya bernama Abdullah. Ibunya bernama Siti Aminah, memiliki hubungan darah dengan raja-raja Gowa. Ia meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72 tahun. 

Di usia 3-4 tahun, Syaikh Yusuf belajar ilmu al-Qur’an kepada Daeng Ri Tasammang. Ia juga belajar ilmu agama kepada seorang ulama besar, mufti Haramaen Makah dan Madinah, Syaikh Sayyid BaaAlwi Assegaf bin Abdullah al-Allaamatuttahir Assegaf di Bontoala Makassar. Dan di usia16-17 tahun, Syaikh Yusuf belajar tasawuf pada as-Syaikh Sayyid Jalaluddin al-Aidid dari Hadramaut. Berkat arahan dua guru yang terakhir inilah Syaikh Yusuf berangkat ke Mekah dan Madinah untuk menimba ilmu. Kebetulan saat itu, kerajaan Gowa yang tengah berkembang membutuhkan kader ulama dari bangsanya sendiri.

Pada 22 September, tepatnya saat usia Syaikh Yusuf 18 tahun, ia berangkat menuju Mekah melalui pelabuhan Somba Opu menumpang kapal Melayu. Oleh karena jalan pelayaran niaga pada waktu itu mesti melalui laut Jawa dan transit di Banten (Jawa Barat), maka beliaupun ikut singgah di pusat bandara kesultanan Banten. Syaikh Yusuf tiba di Banten pada masa Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdul Qadir yang memerintah tahun 1596-1651. Di Banten, ia juga bersahabat dengan putra mahkota, Abdul Fattah, yang kelak menjadi raja Banten dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.

Setelah beberapa lama berada di Banten, kemudian beliau meneruskan perjalanannya ke Aceh Darussalam sebelum melanjutkan perjalanannya ke Jazirah Arabia. Di Aceh beliau berkenalan dengan seorang tokoh ulama dan pemimpin serta khalifah “Tariqah al-Qadiriyyah” di Aceh, yaitu Syekh Muhammad Jilani bin Hasan bin Muhammad Hamid al-Raniriy.

Syaik Yusuf menghabiskan waktunya selama transit di Banten dan Aceh lebih kurang lima tahun. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Yaman. Setelah itu menunaikan ibadah haji di Mekah dan berziarah ke makam Nabi Muhammad di Madinah. Kemudian ia pergi ke Syria dan terakhir ke Turki. Setelah kurang lebih 23 tahun mengembara, Syaikh Yusuf kembali ke Tanah Air pada tahun 1668 M.  

Di Tanah Air, Syaikh Yusuf dianggap menjadi duri dalam daging oleh Belanda. Di Banten, Syaikh Yusuf menjadi ulama besar. Sultan Ageng Tirtayasa mengangkatnya menjadi qadli (hakim) dan guru tarekat. Karena kondisi Banten saat itu sedang mengalami peperangan dengan Belanda, Syaikh Yusuf diangkat oleh Sultan sebagai panglima perang. Sejak saat itulah pasukan Banten yang dipimpin Syaikh Yusuf berulang kali memukul mundur pasukan Belanda.

F. de Haan dalam bukunya “Priangan Jilid III”, menceritakan pengepungan Belanda terhadap pasukan Banten yang dipimpin Syaik Yusuf. Belanda yang mengadakan pengejaran secara teratur dan terus menerus akhirnya bisa menangkap Syaikh Yusuf dan putra Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Purbaya. Pada 1683, Syaikh Yusuf diasingkan ke Ceylon, Srilanka. Selama di Ceylon, Syaikh Yusuf menulis sejumlah kitab seperti, Hab al-Warid, Tuhfat al-Labib, Safinah an-Najah, Zubdat al-Asrar, dan Tuhfat al-Rabaniyah. 

Karena dituduh menjadi penyebab terjadi pemberontakannya di Jawa, Syaikh Yusuf pada 1694, bersama 49 Syaikh Yusuf dibuang ke Cape Town, Afrika Selatan. Meski dalam pengasingan dan pembuangan, Syaikh Yusuf tetap menularkan semangat perlawanan dan nsionalisme pada pengikutnya. Perjuangan Syaikh Yusuf melawan Belanda berlangsung kurang lebih 23 tahun, yaitu sejak usianya masih 34 tahun. Ketokohannya sebagai ulama besar dan ahli tarekat tak membuat Syaikh Yusuf melupakan kewajibannya sebagai anak bangsa untuk berjuang mengusir Belanda.

Kontribusi
Sebagai ulama pengembara dari satu daerah ke daerah lain, dan dari satu negara ke negara lain, membuat Syaikh Yusuf bukan lagi milik orang Bugis di Sulawesi Selatan. Tapi sudah milik masyarakat Banten, muslim Srilanka dan Afrika Selatan. Karena jasanya yang begitu besar untuk Islam, Azyumardi Azra menyebut Syaikh Yusuf sebagai “pembangkit” atau “penghidup” Islam di Afrika Selatan. Ialah peletak dasar kehadiran komunitas Muslim di Ceylon dan Afrika Selatan. Ia juga, oleh Taufik Ismail, disebut inspirator bagi pejuang anti-apartheid di abad ke-20.

Dalam hal ini Nelson Mandella tak segan-segan menyebut Syaikh Yusuf “putra Afrika, pejuang teladan kami”. Mandella yang terlahir dengan nama Rolihlahla Mandela mampu menggulingkan pemerintahan rasis yang diberlakukan kaum kulit putih di awal abad ke-20 sampai dengan awal tahun 1990-an. Semuanya, sedikit banyak, karena terinspirasi dari kegigihan Syaikh Yusuf yang anti-kolonial dan penindasan.

Bagi warga Cape Town, Syaihk Yusuf tidak hanya diakui sebagai ulama dan pendakwah, namun juga pejuang bagi rakyat Afrika. Daerah tempat tinggal Syaikh Yusuf di Cape Town diberi nama sebagai kawasan Macassar untuk menghormati tempat asalnya. Kampung Macassar ini terletak di Distrik Stellenbosch, kawasan perkebunan anggur, 40 kilometer dari jantung kota Cape Town. Hingga kini, keturunan Syaikh Yusuf yang terdapat di kampung Macassar, Afrika Selatan, masih ada. 

Gelarnya sebagai Al-Taj Al-Khalwati, “Mahkota tarekat Khalwatiyah” memberi gambaran betapa pengaruh Syaikh Yusuf dalam penyebaran tarekat di Indonesia, terutama tarekat Khalwatiyah, begitu penting. Martin van Bruinessen sampai berani menyimpulkan bahwa Syaikh Yusuf adalah orang pertama yang menyebarkan tarekat Khalwatiyah di Indonesia, dan di Sulawesi tarekat ini dihubungkan dengan namanya, Khalwatiyah Yusuf. Hingga kini, tarekat yang didapat Syaik Yusuf dari ulama Damaskus, Abu Barakat Ayyub bin Ahmad Al-Khalwati Al-Quraisyi ini, masih diterima masyarakat.

Sabtu, 06 Juni 2020

Syaikh Nawawi Al-Bantani

Sabtu, Juni 06, 2020 0

Mohamad Asrori Mulky, Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.
 
Saya pertama kali mengenal sosok ini dari suatu jarak yang teramat jauh. Jarak yang membuat saya mustahil menemuinya, apalagi menyentuh fisiknya secara langsung. Karena memang, beliau sudah wafat pada 1897 lalu. Kita doakan, semoga almarhum ditempatkan di sisi Allah SWT. Amin ya Rabb ‘Alamin!

Awal memutuskan menulis Syaikh Nawawi, imajinasi saya langsung tertuju pada Snouck Hurgronje. Di dunia intelektual, dia dianggap paling otoritatif bicara mengenai putra Banten ini. Terutama terkait kegiatan ilmiahnya di Mekah. Hampir dipastikan, semua penulis mengenai ulama ini mendasarkan datanya pada laporan Snouck Hurgronje.

Jika saya boleh menyebut—tentu hanya sebagian nama saja. Adalah Karel A. Steenbrink, Martin van Bruinessan, dan Azyumardi Azra; mereka tidak dapat menghindar dari deskripsi Snouck Hurgronje tatkala menulis tentang Syaikh Nawawi. Demikianlah watak ilmiah yang mensyaratkan rujukan utamanya pada kesaksian peneliti; Snouck Hurgronje.

Mari kita kembali pada tema pembahasan. Syaikh Nawawi memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad Nawawi ibn Umar Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani. Disebut Al-Bantani karena dia berasal dari Banten. Sedangkan Al-Jawi merujuk muasalnya yang Jawah, sebutan untuk para pendatang Nusantara bahkan Asia Tenggara di Mekah. Kala itu belum ada nama Indonesia melainkan Jawah atau Jawa.

Di dunia kepengarangan, Syaik Nawawi sangat mumpuni dalam tafsir. Kedalaman pemahamannya dalam ilmu ini dapat dibuktikan seperti terlihat dalam Marah al-Labid li Kasyfi Ma’na Qur’an al-Majid alias Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil. Dan karena kitab inilah dia dijuluki “Sayyid Ulama Al-Hijaz” yang berarti “Penghulu Ulama Hijaz”. Sebuah gelar yang pantas disematkan kepadanya.

Setahu saya, hingga kini Al-Munir masih menjadi rujukan penting dalam studi tafsir di Universitas al-Azhar, Kairo. Sesuatu yang jarang terjadi ada karya anak bangsa dikaji di negeri orang. Apalagi Mesir, pusat perdaban dan ilmu pengetahuan Islam dulu dan kini. Sungguh sangat membanggakan kita semua.

Selain mahir dalam ilmu tafsir, Syaikh Nawawi juga mempuni dalam ilmu fikih, hadis, tasawuf, akhlak, dan tauhid. Tak heran bila Louis Ma’luf mengabadikan nama Syaikh Nawawi dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah wal ‘Ulum. Sebuah kamus, yang oleh kalangan santri dijadikan rujukan untuk mencari kosa kata bahasa Arab.

Konteks Historis
Syaikh Nawawi lahir dari pasangan K.H. Umar bin ‘Arabi dan Nyai Zubaidah, di Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Wafat pada 25 Syawal 1314 H/1897 M. Dan dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, istri terkasih Nabi Muhammad Saw.

Untuk menghormati perjuangan dan kontribusi Syaikh Nawawi dalam khazanah keilmuan Islam, masyarakat Tanara, Tirtayasa, Banten setiap tahunnya di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal menggelar acara haul bersama. Ribuan santri dari berbagai daerah datang mendoakan almarhum.

Ditinjau dari silsilahnya, Syaikh Nawawi merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), yaitu keturunan dari putera Maulana Hasanuddin (Sultan Banten Pertama) yang bernama Pangeran Suryararas (Tajul Arsy).

Nasabnya dari garis ayah tersambung sampai Nabi Muhammad Saw melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra. Sementara dari garis ibu jika dirunut terus akan sampai pada para bangsawan Kesultanan Banten dan Sunan Gunung Jati.

Di usia 5 tahun, Syaikh Nawawi mendapat bimbingan dan pengajaran dari ayahnya ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Setelah kurang lebih 3 tahun lamanya menimba ilmu agama pada sang ayah, Nawawi kecil bersama dua saudaranya, Tamim dan Ahmad, belajar pada Haji Sahal, seorang guru ternama di Banten kala itu. Setelah itu, Syaikh Nawawi nyantri di Purwakarta, Jawa Barat, pada Kiai Yusuf.

Di usia 15 tahun, dua tahun setelah ayahnya wafat, Syaikh Nawawi pergi haji untuk pertama kalinya. Di sana ia tinggal selama kurang lebih 3 tahun. Setelah itu Syaikh Nawawi pulang ke Banten. Tidak lama kemudian, ia kembali lagi ke Mekah dan tinggal di sana untuk selama-lamanya.

C. Brockelmann mengungkapkan, Syaikh Nawawi kembali ke Mekah lantaran tidak betah tinggal di tanah kelahirannya karena sering mendapat tekanan dari pemerintah Belanda agar tidak memberikan pengajaran agama pada masyarakat.

Di Mekah, sebelum ia menjadi seorang alim, ia telah belajar kepada sejumlah ulama terkenal di Haramain, di antaranya pada Syaikh Ahmad Al-Nahrawi, Syaikh Sayyid Ahmad Al-Dimyati, Syaikh Sayyid Ahmad Dahlan, dan Syaikh Muhammad Khatib Al-Hambali (Azyumardi, Jaringan Ulama, 2007).

Selain menjadi murid, Syaikh Nawawi juga menjadi guru banyak murid dari berbagai daerah di Indonesia, Asia dan Timur Tengah. Tidak kurang dari 200 orang menyimak setiap pengajaran Syaik Nawawi di Masjidil Haram.

Tidak sedikit orang Indonesia-Melayu yang belajar padanya, dan kebanyakan dari mereka kemudian menjadi kiai-kiai di banyak pesantren di Jawa. Sebut saja misalnya, KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Kiai Kholil Bangkalan, Kiai Mahfudz Termas, KH. Asnawi Caringin, hingga tokoh penentu dalam peristiwa Geger Cilegon 1888, Haji Wasith dan KH. Tubagus Ismail.

Saat peristiwa pemberontakan petani Banten itu terjadi, Syaikh Nawawi memang tidak berada di Banten. Di Mekah, ia tetap menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh dan masyarakat Banten melalui orang-orang yang pergi haji. Di antaranya Haji Wasith dan KH. Tubagus Ismail.

Kepada jama’ah haji Indonesia, Syaikh Nawawi kerap mengobarkan semangat api nasionalisme dan perlawanan terhadap penjajah. Tidak mengherankan jika kampanye anti-penjajahan yang diletupkan Syaikh Nawawi di Mekah itu, mampu membakar semangat murid-muridnya untuk melakukan pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah Belanda.

Kondisi ini membuat Belanda panik. Mereka kemudian mengutus Snouck Hurgronje guna memata-matai gerak-gerik dan aktivitas Syaikh Nawawi dan jama’ah haji Indonesia di Mekah. Menurutnya, saat itu Banten paling banyak mengirim orang berhaji ke Mekah dibandingkan daerah lain di Indonesia.  

Alhasil, aktivitas haji dari koloni Jawa, dan Banten pada khususnya, dianggap menjadi ancaman serius bagi pemerintah Belanda. Sartono Kartodirdjo berpandangan, selama ada orang-orang yang naik haji, maka selama itu pula berlangsung terus hubungan-hubungan regional-politik yang esensial antara Mekah dan masyarakat-masyarakat Islam yang paling jauh sekalipun. Oleh karena itu dapat dipahami, mengapa pemerintah kolonial mengawasi dengan seksama perjalanan naik haji itu.

Kontribusi
Di tengah kesibukannya mengajar di Masjidil Haram, Syaikh Nawawi meluangkan waktu untuk menulis. Martin van Bruinessen menyebut Syaikh Nawawi sebagai ulama produktif. Karya-karyanya banyak dibaca kalangan santri Indonesia dan dunia.

Yousuf Alian Sarkis dalam Dictionari of Araboc Printed Books menyebutkan ada 38 buah karya Syaikh Nawawi yang telah diterbitkan oleh penerbit Mesir dan Arab. Sementara itu Yayasan An-Nawawi, Tanara, Banten—yayasan yang didirikan pada 1980 oleh keturunan Syaikh Nawawi—memiliki koleksi 41 judul karya Syaikh Nawawi yang sudah dicetak.

Dalam catatat C. Brockelmann, Syaikh Nawawi telah menulis paling tidak tentang 9 bidang disiplin pengetahuan, yakni tafsir, fikih, ushuluddin, ilmu tauhid, tasawuf, kehidupan nabi, tata bahasa Arab, hadist, dan akhlak.

Salah satu karya Syaikh Nawawi yang sangat dikagumi ulama Mekah dan Mesir hingga kini adalah Tafsir al-Munir. Kitab yang terdiri dari 2 jilid ini pertama kali dipublikasikan di Kairo, Mesir, pada 1887 M. Karel A. Steenbrink sampai pada kesimpulan, Tafsir al-Munir dalam banyak hal kecil lebih lengkap ketimbang Tafsir Anwar a-Tanzil karya Ahmad Baidhawi.

Di antara kitab-kitab Syaik Nawawi yang menjadi bacaan wajib para santri dan kiai hingga kini adalah Tafsir al-Munir, Sullam at-Taufiq, Maraqi al-‘Ubudiyyah, Nashaih al-‘Ibad, Qami’ ath-Thuggyan, Kasyifat as-Saja’, Nihayah az-Zain, ‘Uqudu al-Lujain, dan Fathu al-Majid.

Banyak madrasah di Patani, Yala, Satun, dan Narathiwat di Muangthai Selatan memakai kitab karangan Syaikh Nawawi sebagai buku pegangan. Begitu juga dengan madrasah-madrasah di Mindanai, Filipina Selatan, melakukan hal yang sama. Karya-karya itu kemudian menyebar ke Malaysia dan dijadikan bahan bacaan standar di pesantren-pesantren.

Karya-karya Syaikh Nawawi juga menyebar di kawasan Timur Tengah seperti Arab, Mesir, Afrika Utara, Yaman, Syiria, Beirut. Bahkan menurut Hamka menyebar hingga Turki dan Hidustan (Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, 1982).