Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Rabu, 30 November 2022

Rayap Agama

Rabu, November 30, 2022 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Agama seperti pisau bermata dua: bisa melukai sekaligus melindungi. Keberadaannya bergantung pada sikap pemeluknya. Sekalipun misi profetik agama ramah membawa berkah, tapi pemeluknya kerap menampilkan wajah agama yang sangar penuh marah.

Inilah dua wajah agama yang kontradiktif. Kedua sisinya bisa menampilkan wajah agama yang berbeda. Pertanyaannya, wajah mana yang sering kita tampilkan?

Dalam beberapa tahun belakangan ruang publik beragama kita disesaki aksi kekerasan. Korbannya, lagi-lagi kelompok minoritas. Masjid dibakar. Gereja dirusak. Pura dan Vihara disegel. Jama’ahnya jadi korban perundungan, bahkan jadi sasaran kekerasan yang berujung pada hilangnya nyawa manusia.

Ahamadiyah memang takdirnya bagai di tepi jurang. Salah sedikit melangkah nasibnya akan makin terperosok kedalam ketidak-pastian. Hingga kini, keberadaan mereka masih dianggap duri di tubuh umat Islam. Entah berapa kali kelompok ini jadi sasaran amuk massa. Tak terbilang. Tak terbayangkan.

Sementara hubungan Sunni-Syi’ah masih tidak lebih menjadi baik. Dari waktu ke waktu, konflik saudara ini kerap menyisakan luka bercoreng karat. Pengalaman traumatik dalam sejarah tidak membuat keduanya berlapang dada untuk saling menerima perbedaan. Masing-masing justru mengklaim paling punya otoritas untuk dianggap paling benar.

Perbedaan tak membuat umat beragama menjadi dewasa. Padahal Tuhan tak pernah bermaksud membuat perbedaan tak pernah ada. Entah mengapa perbedaan disikapi dengan begitu menakutkan, seolah seperti teror yang mengancam kelangsungan hidup umat beragama. Padahal perbedaan adalah sunatullah (hukum alam) yang mustahil kita seragamkan.

Perbedaan agama: Islam, Katolik, Protestan, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, Zoroaaster, Sikh, dll, adalah fakta yang tak seorang pun mampu menolaknya. Perbedaan aliran teologis: Sunni, Syi’ah, Muktazilah, Khawarij, Salafisme, Wahabisme, dll, adalah kenyataan yang juga tidak mungkin disangkal keberadaannya.

Lalu mengapa kesombongan manusia ingin menyeragamkan perbedaan dan membuatnya hanya menjadi satu aliran dan keyakinan? Berhentilah seolah menjadi tuhan. Karena Tuhan yang sesungguhnya pun tidak pernah mengharapkan umat manusia menjadi satu golongan.

Apa yang ditampilkan umat beragama sejauh ini, hemat saya, masih jauh dari misi profetik para nabi. Agama sejak semula hadir untuk membawa kedamaian dan kemaslahatan. Justru berubah menjadi petaka bagi kelangsungan hidup umat manusia. Jika ajaran agama sudah tidak lagi menawarkan kehidupan bagi kelangsungan umat beragama, lantas apa fungsi agama?

Charles Kimbell nampaknya mampu menangkap sisi kelam dari agama. Dalam When Religion Becomes Evil, (2013), dia memotret ragam bencana yang dibawa agama. Dalam banyak episode sejarah yang lalu berapa sudah tragedi berdarah berlatar agama yang memakan banyak korban. Berapa kisah pertempuran antar golongan disulut dengan dalih mempertahankan iman dan keyakinan.

Perang Salib terjadi berulang kali. Dan setiap perang itu pecah, korbannya sungguh tak terbilang. Perang atas nama agama tidak terjadi pada abad-abad yang lampau semata. Di era modern, yang katanya menjunjung rasionalitas dan humanisme, perang itu justru semakin mengerikan dan mendebarkan.

Tragedi 11 September 2001 masih menyisakan mimpi buruk bagi warga dunia. Ribuan nyawa manusia tak berdosa melayang hanya dalam sekejap mata. Perang terhadap terorisme pun dikumandangkan. Tapi setiap seruan itu digemakan setiap itu pula aksi teror makin membabibuta.

Benar apa yang dikatakan Charles Kimbell mengenai agama menjelma bencana. Yaitu ketika pelaku kejahatan mendalihkan seluruh kegiatan jahatnya pada teks-teks kitab suci. Situasi ini benar-benar membuat agama menjadi rumit dipahami. Di satu sisi sebagian memahami agama sebagai sumber cinta dan kasih sayang, tapi ada sebagian lain mencurigai agama sebagai sumber petaka.

Lihatlah sekarang bagaimana caci maki terhadap keyakinan agama yang berbeda menjadi persoalan yang belum juga terselesaikan. Sialnya, pelaku kebencian itu justru bersumber dari mulut pemuka agama yang disebarkan di majelis taklim-majelis taklim dan mimbar-mimbar agama. Padahal sejatinya mulut para juru dakwah itu dijaga agar tidak mengeluarkan bau busuk yang mencemar peradaban.

Dan yang paling mengerikan lagi adalah saat agama dijadikan alat propaganda untuk mengalahkan lawan-lawan politik seseorang. Politisasi agama dipraktikkan secara massif dan terorganisir. Hingga tak jarang berdampak pada pembelahan masyarakat menjadi dua. Di mana masing-masing kubu mengaku paling benar dan paling sahih.

Menjadikan agama sebagai alat politik telah mendegradasi esensi dan kesejatian agama. Pada saat itulah agama menjadi busuk. Dia menjadi busuk bukan karena ajaranya, tapi karena dibusukkan oleh pemeluknya sendiri, oleh kebodohan umatnya, dan kedunguan para pemuka agamanya. “Al Islâm Bain ‘Ajzi Ummatihi Wa Jahli Ulamâ’ihi”, begitulah Syaikh Abdul Qadir Audah pernah mengatakan.

Semua itu adalalah rayap agama yang menggerogoti sendi-sendi agama ini hingga keropos dan rapuh. Agama tidak boleh roboh oleh rayap agama yang seolah berdalih untuk Tuhan padahal demi perut dan nafsu dunia. Rayap agama adalah noda yang hanya bisa dibasuh oleh cinta dan kasih sayang.

Senin, 28 November 2022

Epilog: Subulussalam adalah ‘Rumah Kembali’

Senin, November 28, 2022 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Hari-hari boleh berganti. Perubahan musim selalu saja datang dan pergi. Tapi ingatan kita tentang masa lampau tidak boleh hilang oleh amuk waktu yang berjalan mengikuti peredaran matahari.

Waktu mampu merubah semua dan menghentikan segala. Seluruh jalan hidup yang pernah kita lewati pasti meninggalkan jejak. Sewaktu-waktu kita pun bisa menengoknya kembali untuk sekedar mengingat dan melawan bayangan lupa.

Kadang, masa kini terlalu melenakan, membuai dan melupakan semua ingatan. Apalagi bila jarak dan antara yang kita miliki terlampau jauh ditempuh atau justru terlalu lama ditepikan. Situasi seperti ini pada akhirnya membuat kita sulit menoleh, apalagi untuk menghadirkan seluruh ingatan dalam kekinian.

Kita pernah hidup di ruang bersama’ meski datang dari arah yang berbeda-beda. Ruang itu pula yang mempertemukan kita untuk saling mengenal, menjadi sahabat, bahkan saudara. Ruang yang tak lagi tersekat oleh perbedaan latar belakang, golongan, identitas, dan ego komunal. Ruang yang menjadi titik temu dan diharapkan tidak mudah berlalu.

Ya, Subulussalam. Di sanalah kita mengawali semua cerita. Kisah yang mempertautkan seluruh kehidupan dari banyak perbedaan. Muasal kita tidak sama, titik berangkat kita juga tidak serupa: ada yang datang dari Pandeglang, Rangkas, Serang, Tangerang, Jakarta, Solo, Lampung, Palembang, Riau, dll.

Sebagai manusia kelana yang datang dari selaksa asal kembara, mulanya kita tidak mengenal satu sama lain. Namun kala hati, pikiran, dan perbuatan kita terbuka untuk semua hal baru dalam hidup, kita akan menemukan sahabat terbaik yang akan mengisi hari-hari kosong. Wajah-wajah asing yang dulu bagai orang lain, kini seketika jadi orang-orang yang paling berpengaruh bagi karir dan hidup kita.

Masa lalu adalah masa kini yang tiba terlalu dini. Kita tidak boleh menepikannya dari bagian kisah hidup kita. Sebab segala upaya untuk melupakannya adalah nama lain dari ketidakjujuran dan pengkhianatan pada kisah yang telah kita torehkan sendiri.

Masih ingatkah kita pada malam yang melipat siang? Atau pada matahari yang membasuh embun sisa kenangan di waktu malam? Senja selalu membawa kita pada batas hari, perlahan tapi pasti. Pergantian siang dan malam, dan peredaran matahari yang tak pernah berhenti, semua itu kita lewati hari-harinya di ‘rumah bersama’ bernama Subulussalam.

Subulussalam adalah ‘rumah bersama’. Jangan sekedar menjadikannya kenangan sesaat, sebab kenangan seperti itu hanyalah bayangan masa lalu, yang lambat laun akan pupus dilupakan amuk waktu. Jadikanlah Subulussalam sebagai ingatan yang akan senantiasa terpatri dalam memori, meski waktu terus berjalan mendampingi putaran matahari.

Subulussalam adalah ‘rumah bersama’. Di sini pernah kita berlindung dari terpaan angin, goresan hujan, dan sengatan lidah matahari. Di sini pernah kita digembleng dan ditempa untuk menjadi manusia utama. Di sini pula pernah kita bicara tentang banyak hal; tentang Tuhan, tentang alam, tentang manusia, tentang ombak kehidupan.

Subulussalam adalah ‘rumah bersama’. Rahim yang telah melahirkan kita semua. Adakalanya kita pergi keluar rumah, mengembara, melewati dataran dan tanjakan; menjelajahi gunung, tebing, bahkan tanjung; mengarungi samudera dan lautan. Tapi jangan pernah lupa jalan untuk pulang.

“Kam Min Manjilin Fi Al Ardhi Ya’lifuhu Al Fatâ // Wa Hanînuhu Abadan Liawwali Manzilin”. [كم من منزل فى الأرض يألفه الفتى وحنينه أبدا لأول منزل] Betapa banyak tempat di dunia mampu disinggahi sang pengembara // Tapi kerinduannya selalu hanya kepada tempat persinggahan yang pertama.

Setiap perjalanan pergi merindukan ruang kembali. Adakalanya para petualang menyusuri punggung bumi. Adakalanya juga harus memenuhi panggilan pulang ibu pertiwi. Manusia adalah atma kembara, sekaligus jiwa pertapa.

Subulussalam adalah ‘rumah kembali’. Setelah ‘ribuan purnama’ bergelut dengan ombak kehidupan, kadang kita lelah, bahkan mungkin hampir terkapar kalah. Pulanglah sejenak ke ‘rumah kembali’ untuk mencari berkah kiai agar kita tidak kehilangan jangkar jati diri.

Pergumulan hidup kadang membuat sayap-sayap ini patah dan terbelah. Sejenak kiranya kita perlu pulang ke ‘kampung kenangan’, yang dulu menyimpan banyak kisah indah yang sulit dilupakan. Kenangan kadang baik untuk memulihkan beban hidup, juga baik untuk menyehatkan ingatan yang hampir tergerus amuk waktu.

Subulussalam adalah ‘kampung kenangan’. Sesekali kita perlu pulang untuk merawat akar dan tradisi, yang sempat ditinggalkan dalam proses kembara mencari nafkah bumi. Sesekali kita juga perlu pulang untuk melawan bayangan lupa. Ibarat burung yang terbang bebas melintasi cakrawala, namun tak pernah lupa pulang ke sarang.

Di kelam malam, manusia kadang baru menyadari arti kehadiran bintang penuntun. Memang, tidak semua orang bisa mengikuti setiap seruan yang datang. Bahkan bila seruan itu diarahkan pada jalan kebenaran sekali pun, tetap saja akan masih ada yang menolaknya.

Rahim Subulussalam (Pak Kiai Maimun) yang dulu melahirkan para santri, kini telah menunggu anak-anaknya kembali. Pulanglah sejenak, meski kini beliau tidak lagi bisa menyambut kedatangan kita seperti waktu dulu kala. Beliau tak lagi bisa menyapa, meski sekadar bertanya tentang kabar kita.

Pak Kiai, di Haul ke-2 ini, kami para alumni datang bukan untuk meminta nasehat yang dulu sering engkau berikan. Kami datang bukan untuk melihat senyuman yang biasa engkau pancarkan dari wajah yang sejuk dan bijaksana. Kami datang bukan untuk meminta jalan hidup dari persoalan yang kami hadapi. Sebab engkau telah pergi.

Engkau pergi untuk selamanya ke tempat tanpa suara, tanpa aksara. Tempat seluruh hamba pada akhirnya nanti akan kembali. Engkau pergi memang tidak akan pernah kembali. Tapi engkau telah meninggalkan jejak layaknya manusia utama

Hari ini kami datang untuk memberi penghormatan yang dalam atas semua jasa-jasa yang telah engkau berikan. Engkau adalah guru sejati, yang tak lelah memberi arti. Engkau pergi untuk Cinta Yang Abadi. Allahummagfirlahu Warhamhu Waafiihi Wa’fuanhu.

Minggu, 06 November 2022

Sang Bintang Penuntun

Minggu, November 06, 2022 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

 

“Kadang cahaya kita lenyap dari dalam diri dan dinyalakan lagi oleh pijar dari orang lain. Masing-masing kita punya alasan untuk memikirkan dan memberikan penghargaan mendalam pada orang yang telah menyalakan api di dalam diri kita”, (Albert Schweitzer)

  

Tak terasa dua tahun sudah gurunda kita tercinta, KH. Ahmad Maimun Alie, MA (selanjutnya ditulis Abah), pergi ke pangkuan Illahi. Tempat seluruh hamba akan kembali pada waktunya nanti; saat semuanya telah menyempurnakan perjalanan hidupnya di dunia. Dari-Nya akan kembali kepada-Nya. Innalillahi wa Innailahi Raajiun.

Hingga kini, kepergian Abah masih menyisakan ruang duka bagi kita, terutama keluarga dan orang-orang terdekat. “Dan duka maha tuan bertahta”, demikian Chairil Anwar menggambarkan suasana lirih akibat ditinggal pergi orang-orang terkasih. Ada pilu yang membatin, ada perih berulang pedih.

Manakala saya mengenang sosok Abah, seketika ingatan saya menoleh jauh ke belakang, pada suatu masa dalam waktu, sekitar puluhan tahun yang lalu, saat saya masih nyantri di Pondok Pesantren Modern Subulussalam, yang terletak di ujung Tangerang, pintu masuk Kota Serang: Kresek.

Memang seluruh hal yang mengisahkan masa lampau selalu saja hangat tiba di hati kita. Apalagi bila kenangan itu menorehkan selaksa kisah manis yang masih tersimpan dengan rapih. Semua ingatan tentang masa lampau itu (di pondok) bermunculan bak album kenangan, yang memuat banyak kisah tentang satu dan lain hal. Semuanya begitu nyata seolah baru saja terjadi seketika.

Bagi para santri, khususnya saya pribadi, Abah laksana bintang penuntun ke arah jalan terang. Dalam menapaki jalan hidup, siapa saja termasuk kita, bisa sempat ‘tersesat’ arah atau salah mencari jalan kembali. Dalam situasi seperti itu diperlukan penuntun yang bisa mengantarkan kita ‘kembali’ ke jalan pulang. Jalan yang direstui para ulama dan para nabi; jalan yang bila dilalui tidak akan pernah memberi penyesalan.

Saya tidak mengingkari ada banyak bintang yang telah menuntun saya dari lorong gelap, lalu mengantarkan saya pada kesadaran akan pentingnya cahaya bernama ilmu pengetahuan. Namun di antara bintang-bintang penuntun yang ada itu, Abah memberi pondasi kuat dan mendasari semua tuntunan yang saya terima.

 

Jalan Ilmu

Pernah dalam suatu hari saya menemui Abah di kediamannya, sekedar untuk menyimak petuah-petuah dan nasehatnya-nasehatnya yang menenteramkan hati dan menambah asupan gizi bagi jiwa ini. Entah mengapa sepanjang obrolan kala itu hal yang banyak dibahas justru seputar manfaat dan keutamaan ilmu. Perkara yang sebetulmya sudah sering kita dengar dari beliau saat memberi wejangan kepada para santri.

“Ilmu adalah cahaya (العلم نور), yang akan menjaga dan menerangi jalan hidup kita,” kira-kira seperti itu Abah pernah menyampaikan. Memang benar ilmu akan menjadi pelita bagi hati yang gundah dan jiwa yang resah. Dia mampu menjaga apa yang tidak dapat dijaga oleh harta. Silahkan saja dicek qaul ulama terdahulu mengenai perkara ini, dipastikan semuanya mengatakan hal yang senada. Betapa pentingnya posisi ilmu dalam Islam hingga wahyu pertama yang diterima baginda Nabi Muhammad Saw. tidak lain adalah perintah membaca: Bacalah! (اقرأ). Dan membaca adalah salah satu ikhtiar untuk mendapatkan tetesan ilmu dari lautan ilmu Allah yang tak terhingga.

Ilmu adalah pondasi bagi amal. Berapa banyak amalan ibadah seorang hamba jadi rusak—bahkan tertolak—hanya karena dikerjakan tanpa dasar ilmu. Itulah mengapa Imam al Ghazâlî, dalam Ihyâ’ Ulûm al Dîn, menulis bab khusus mengenai fadhl ‘ilm ‘alâ al ‘amal (keutamaan ilmu atas amal). Amal tanpa ilmu bisa cacat, bahkan bisa mengatarkan pelakunya terperosok pada kekeliruan. Berkenaan dengan keutamaan ilmu atas amal, kita pernah sering mendengar sebuah riwayat yang berkisah tentang syetan yang mengaku lebih takut kepada orang berilmu yang tidur ketimbang orang bodoh yang sholat.

Apa yang disampaikan Abah perihal keutamaan ilmu kala itu begitu meresap, masuk ke inti hati, hingga membangkitkan semangat saya untuk terus belajar dan belajar. Sementara saat itu—masih semester pertama di Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) UIN Jakarta—saya kurang begitu bergairah masuk kuliah. Maklum, metode pembelajaran di fakultas yang katanya menjalin kerjasama dengan Al Azhar Mesir itu lebih mengandalkan ceramah satu arah (tarîqah ilqâiyyah), sebuah metode yang umumnya lazim dipraktikan di kampus-kampus Timur Tengah.

Padahal, dalam al tarbiyyah wa al ta’lîm yang pernah kita pelajari selama di Subulussalam, metode pembelajaran (turuq al tadrîs) relatif banyak, sebut saja misalnya (semoga saya tidak keliru) metode dialog (al tarîqah al tahâwuriyyah), metode diskusi (al tarîqah al munâqasyah), metode aplikatif/penerapan (al tarîqah al tatbîqiyyah), dan metode eksperimen/riset (al tarîqah al tajrîbiyyah). Sehingga dengan begitu seorang pendidik harus bisa menerapkan metode-metode tersebut secara bergantian demi kelancaran proses belajar mengajar di kelas, agar tidak membosankan dan menjemukan anak didik.

Selama satu semester di tahun pertama saya masih lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluyuran ketimbang menelaah materi-materi kuliah. Namun, berkat wejangan Abah tentang pentingnya ilmu membuat saya kembali ke kampus meski harus bosan mengikuti model ceramah satu arah dari para dosen. Tapi itulah kenyataan yang harus saya dan teman-teman FDI terima kala itu.

Untuk memuaskan dahaga mencari ilmu, akhirnya saya keluar masuk forum-forum kajian yang ada di Ciputat. Salah satunya adalah Komunitas Pintu Terbalik (Koplik). Di forum kajian ini saya mendapat bimbingan langsung dari Miming Ismail dan Ahmad Mahromi (keduanya alumni Subulussalam). Suhu intelektual Ciputat kala itu memang sedang bergairah dengan diskursus tema-tema baru yang sebelumnya tak pernah terpikirkan dan belum terpikirkan oleh saya sendiri.

Sejak itulah, perlahan tapi pasti pengetahuan saya kian bertumbuh, pikiran ekslusif dan literal yang saat itu masih mendominasi saya tepikan demi menerima kelapangan ragam pengetahuan. UIN Jakarta yang menjadi tempat bertemunya aneka pemikiran, ideologi, dan latar belakang kultural, memaksa saya harus membuka diri terhadap segala keragaman dan perbedaan yang ada. Tanpa prinsip itu, betapapun canggihnya perkembangan zaman yang ditopang ilmu dan teknologi, tidak akan membuat kita bertumbuh maju.

Apa yang saya terima di UIN Ciputat, sebetulnya fondasinya sudah saya peroleh di Subulussalam. Metode kritis, berpikir logis, bebas dan luas sebetulnya sudah sama-sama kita peroleh sejak di Subulussalam. Kalau kita mengingat kembali MOTTO PONDOK (poin ketiga: Berpengetahuan Luas dan poin keempat: Berpikiran Bebas) dan PANCA JIWA PONDOK (poin kelima: Kebebasan), semua kesadaran itu sudah ditanamkan sejak menjadi santri, dan diharapkan bisa diinternalisasikan dalam menapaki jalan hidup di dunia. Kita juga diperkenalkan Ilmu Mantiq (Imu Logika dalam tradisi Aristotelian di Barat). Sebuah ilmu yang mendorong kita berpikir kritis, sistimatis, koheren, dan lurus. Sehingga ketika kita berpikir terhindar dari cacat logika dan gagal paham.

Belum lagi kalau kita bicara fikih yang diajarkan di Subulussalam. Salah satu kitab yang jadi pegangan santri adalah Bidâyah al Mujtahid wa Nihâyah al Muqtashid, karya mujtahid ternama dan filosof terbesar di dunia Islam bernama Ibn Rusyd. Kitab ini menjelaskan secara baik sebab-sebab munculnya perbedaan (khilâf) di kalangan ulama tentang satu dan lain persoalan, mengapa khilâf sampai terjadi, menyebutkan pendapat paling absah yang mungkin bisa diikuti, tanpa harus mengarahkan pada satu klaim kebenaran sehingga menafikan pendapat yang lain. Mencermati kitab ini kita akan mendapati kesadaran kritis yang sudah ditanamkan sang filosof.

Selain itu, kurikulum yang digunakan Subulussalam adalah Kulliyatul Mu’allimin Al Islamiyyah (KMI). Saya tidak tahu persis mengapa pondok kita mesti mengadopsi KMI. Tapi saya menduga Abah mengimajinasikan suatu proses belajar mengajar layaknya di tempat kuliah (kampus), di mana para santri diorietasikan seperti mahasiswa yang berpikir kritis, metodologis, dan berpandangan maju kedepan. Memang sistem KMI diadopsi dari Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Tapi aktor yang membawa sistem tersebut dan mengadaptasikannya sesuai dengan kurikulum dan kebutuhan Subulussalam adalah Abah sendiri. Dari sini kita bisa mengerti kalau Abah sebetulnya sudah membangun pondasi kuat bagi keilmuan para santri. Kelak di kehidupan riil santri mampu menerapkannya.

Abah sendiri adalah penjelajah ilmu yang luar biasa. Beliau telah banyak mereguk pahit-manisnya proses mencercap ilmu pengetahuan. Beliau lewati batas-batas negara untuk tiba studi di Madinah dan Pakistan meski jauh terpisah dari keluarga. Beliau sadar ilmu pengetahuan mesti dicari meski harus ke negeri orang. Tak peduli berapa jarak yang harus dilewati. Tak mengapa betapa beda budaya tempat beliau menempa ilmu. Pahit getir menuntut ilmu adalah bagian yang harus dilewati para pencari. Sebab “siapa yang tidak merasakan getirnya menuntut ilmu, maka nikmatilah kebodohan sepanjang hidup.” Kira-kira seperti itu kalimat mutiara yang pernah kita pelajari.

Dalam proses menuntut ilmu, seseorang memang dipinta untuk berkorban; merelakan segenap waktu, tenaga, pikiran, perasaan, bahkan materi. Kesuksesan bagi penuntut ilmu adalah bilamana dia mampu melampaui macam batu ujian yang menghampirinya, dalam bentuk dan wujudnya yang berbeda-beda. Tapi sebaliknya, kekalahan terbesar dari hidup yang kalah adalah menyerah di tengah proses belajar. Abah mampu melewati segala macam batu ujian yang menghampirinya saat menimba ilmu hingga pada akhirnya memperoleh gelar master (MA). Sebuah gelar starta dua (S2) yang kala itu di zamannya sangat jarang dimiliki oleh banyak orang.

Sebagai pimpinan pondok, tidak cukup sekali beliau menghimbau para santri agar tangguh dalam menuntut ilmu walau harus melewati batas-batas negara yang jauh sekali pun. Dalam keyakinan beliau, ilmu akan menempatkan seseorang pada derajat paling tinggi sebagaimana janji Allah SWT dalam salah satu firman-Nya (يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات). Meski terkadang, pada zaman yang merepih seperti pasir ini, masih banyak orang mengukur kehormatan bahkan keberhasilan seseorang hanya dalam timbangan materi semata.

Abah pernah berpesan: “seseorang dihormati karena ilmunya”. Kata-kata itu masih terngiang jelas di telinga saya. Apalagi saat itu beliau mengucapkannya dengan nada dan intonasi penuh penekanan—suatu hal yang amat lazim beliau lakukan saat menyampaikan perkara yang dianggapnya penting. Tentu saja pesan itu disampaikan tidak secara khusus kepada saya, tapi juga ditujukan kepada para santri Subulussalam, dari angkatan pertama sampai sekarang.

Sebagai penutup dari tulisan singkat ini, sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa Abah di mata saya bak bintang penuntun yang menyinari gelapnya lapisan malam. Meski sinarnya tak bisa menerangi semua lorong kosong, tapi cahayanya mampu memberi arah bagi mereka yang mau pulang ke jalan yang terang. Abah menuntun kita melalui banyak cara; pengajaran, pembelajaran, keteladanan, dan alunan doa yang beliau rapal dalam setiap munajat-munajatnya. Dalam sepi, dalam sunyi, dan dalam diam, tak terbilang berapa doa dipanjatkan untuk kebaikan para santrinya. Tak terhitung berapa laksa munajat yang dirapal untuk kita semua.

Abah ingin para santrinya meraih bintang-bintang (cita-cita) yang pernah digantungkan di petala langit paling tinggi, atau paling tidak setiap harapan yang pernah diletakan tepat 3 inci di depan kening para santri bisa hasil maksud. Abah pernah bilang, doa-doanya di persetiga malam selalu pasti menyebut nama-nama santri secara umum. Semoga kita semua mendapat limpahan berkah dari doa-doa beliau. Amin ya rabbal alamin.